- Identitas Pasien
(nama, umur, pekerjaan, usia, jenis kelamin, sudah menikah/belum)
- Keluhan utama:
Nyeri perut bagian bawah yang menjalar ke pinggang, mual, muntah, sakit
kepala, cepat marah dan mudah tersinggung.
- Riwayat penyakit sekarang:
Apakah ada penyakit lainnya yang diderita sekarang?
- Riwayat penyakit dahulu:
Umum :
Apakah pernah menderita penyakit jantung, ginjal, DM, TBC, Penyakit Darah
(Anemia)?
Ginekologi :
Apakah ada keluhan yang sama yang pernah di alami dahulu?
Apakah mengalami keputihan?
Apakah ada riwayat penyakit/kelainan ginekologi serta riwayat pengobatannya.
· Riwayat haid:
Menarche di usia berapa?
Siklus haid teratur/tidak?
Banyak darah yang keluar waktu haid?
Ada rasa nyeri atau tidak?
( menarche usia 13 tahun, ada nyeri, dan gejala PMS lainnya)
· Riwayat kehamilan:
G0P0A0 -> untuk kasus ini
· Gaya hidup:
Olahraga, kebiasaan merokok dan alkoholisme, stress, aktifitas sehari-hari
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisik
· Keadaan umum (tensi, nadi, respirasi, suhu, conjungtiva anemis)
· Pemeriksaan ginekologi pemeriksaan abdomen ( inspeksi, palpasi, perkusi abdomen) dan
pemeriksaan genitalia eksterna (inspeksi genitalia eksterna, inspeksi vulva untuk melihat
adanya ulkus, pembengkakan, pus, darah, leucorrhoe). VT dan inspekulo tidak dilakukan
karena pasien masih belum menikah.
Pemeriksaan Penunjang
· Pemeriksaan darah lengkap dan urinalisis
· Pemeriksaan kadar hormon: FSH, LH, estrogen dan progesteron
· Tes diagnostic tambahan
.Tes laparaskopi, untuk penyikapan adanya gangguan endometriosis atau adanya
kelainan pelvis yang lain
.USG
ETIOLOGI
Dismonere biasanya terjadi akibat pelepasan berlebihan prostaglandin tertentu,
prostaglandin F2 alfa,dari sel-sel endometrium uterus. Prostaglandin F2 alfa adalah suatu
perangsangan kuat kontraksi otot polos miometrium dan konstraksi pembuluh darah uterus. Hal
ini memperparah hipoksia uterus yang secara normal terjadi pada haid, sehingga timbulnya rasa
nyeri hebat.
Faktor Penyebab dan Faktor Resiko Menurut Manuaba (2001) terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi dismenore antara lain:
1. Faktor Kejiwaan
Dismenore primer banyak dialami oleh remaja yang sedang mengalami tahap pertumbuhan dan
perkembangan baik fisik maupun psikis. Ketidaksiapan remaja putri dalam menghadapi
perkembangan dan pertumbuhan pada dirinya tersebut, mengakibatkan gangguan psikis yang
akhirnya menyebabkan gangguan fisiknya, misalnya gangguan haid seperti dismenore.
2. Faktor Konstitusi
Faktor konstitusi berhubungan dengan faktor kejiwaan sebagai penyebab timbulnya dismenore
primer yang dapat menurunkan ketahanan seseorang terhadap nyeri. Faktor ini antara lain:
a. Anemia
Sebagian besar penyebab anemia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk
pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan zat besi. Kekurangan zat
besi ini dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh
maupun sel otak.
b. Penyakit Menahun
Penyakit menahun yang diderita seorang perempuan akan menyebabkan tubuh
kehilangan terhadap suatu penyakit atau terhadap rasa nyeri. Penyakit yang termasuk
penyakit menahun dalam hal ini adalah asma dan migrain.
3. Faktor Obstruksi Kanalis Servikalis
Teori tertua menyatakan bahwa dismenore primer disebabkan oleh stenosis kanalis servikalis.
Pada perempuan dengan uterus dalam hiperantifleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis
servikalis, akan tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai
penyebab dismenore. Banyak perempuan yang menderita dismenore tanpa stenosis servikalis dan
tanpa uterus dalam hiperantifleksi. Sebaliknya terdapat perempuan tanpa keluhan dismenore,
walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terlatak dalam hiperantifleksi atau hiperretofleksi.
4. Faktor Endokrin
Kejang pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi yang berlebihan. Hal ini disebabkan
karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2 α yang menyebabkan
kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah prostaglandin F2 α berlebih akan dilepaskan dalam
peredaran darah, maka selain dismenore, dijumpai pula efek umum, seperti diare, nausea, dan
muntah.
5. Faktor Alergi
Teori ini dikemukakan setelah adanya asosiasi antara dismenore primer dengan urtikaria, migren
atau asma bronkial. Smith menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid.
Menurut Bare & Smeltzer (2002 dikutif dalam Hermawan 2012), faktor resiko terjadinya
dismenore primer adalah:
a. Menarche pada usia lebih awal
Menarche pada usia lebih awal menyebabkan alat-alat reproduksi belum berfungsi secara
optimal dan belum siap mengalami perubahan- perubahan sehingga timbul nyeri ketika
menstruasi.
b. Belum pernah hamil dan melahirkan
Perempuan yang hamil biasanya terjadi alergi yang berhubungan dengan saraf yang
menyebabkan adrenalin mengalami penurunan, serta menyebabkan leher rahim melebar sehingga
sensasi nyeri haid berkurang bahkan hilang.
c. Lama menstruasi lebih dari normal (7 hari)
Lama menstruasi lebih dari normal (7 hari), menstruasi menimbulkan adanya kontraksi uterus,
terjadi lebih lama mengakibatkan uterus lebih sering berkontraksi, dan semakin banyak
prostaglandin yang dikeluarkan. Produksi prostaglandin yang berlebihan menimbulkan rasa
nyeri, sedangkan kontraksi uterus yang turus menerus menyebabkan suplai darah ke uterus
terhenti dan terjadi dismenore.
d. Umur
Perempuan semakin tua, lebih sering mengalami menstruasi maka leher rahim bertambah lebar,
sehingga pada usia tua kejadian dismenore jarang ditemukan.
Sedangkan menurut Medicastore (2004), wanita yang mempunyai resiko menderita dismenore
primer adalah:
a. Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan racun bagi tubuh. Hati bertanggungjawab terhadap penghancur estrogen
untuk disekresi tubuh. Adanya alkohol dalam tubuh secara terus menerus dapat mengganggu
fungsi hati sehingga estrogen tidak dapat disekresi tubuh sehingga estrogen yang menumpuk
dalam tubuh dapat merusak pelvis.
b. Perokok
Merokok dapat meningkatkan lamanya menstruasi dan meningkatkan lamanya dismenore.
c. Tidak pernah berolah raga
Kejadian dismenore akan meningkat dengan kurangnya aktifitas selama menstruasi dan
kurangnya olah raga, hal ini dapat menyebabkan sirkulasi darah dan oksigen menurun. Dampak
pada uterus adalah aliran darah dan sirkulasi oksigen pun berkurang dan menyebabkan nyeri.
d. Stres
Stres menimbulkan penekanan sensasi saraf-saraf pinggul dan otot-otot punggung bawah
sehingga menyebabkan dismenore.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dismenore tertinggi sering ditemui pada remaja wanita, yang diperkirakan antara 20-
90% , itu juga tegantung pada metode penelitian apa yang digunakan. Sekitar 15% remaja
dilaporkan mengalami dismenore berat. Di Amerika Serikat, dismenore diakui sebagai penyebab
paling sering ketidakhadiran di sekolah yang dialami remaja putri. Selain itu, juga dilakukan
survey pada 113 wanita Amerika Serikat dan dinyatakan prevalensi sebanyak 29-44%, paling
banyak pada usia 18-45 tahun (Karim,2013). Sebuah studi di Swedia ditemukan prevalensi
dismenore adalah 90% pada wanita usia 19 tahun dan 67% pada wanita usia 24 tahun. Sepuluh
persen dari 67% wanita usia 24 tahun itu bahkan mengalami nyeri berat hingga mengganggu
aktivitas mereka (French,2005). Pada suatu penelitian juga ditemukan 51% wanita absen di
sekolah atau pekerjaan paling tidak sekali dalam sebulan dan 8% wanita absen selama
mengalami menstruasi setiap bulan. Lebih lanjut, wanita yang mengalami dismenore
memperoleh nilai rendah di sekolah dan sulit beradaptasi di sekolah dibanding wanita yang tidak
dismenore (Abbaspour,2005).
Klein dan Litt melaporkan prevalensi dismenore mencapai 59.7% . Dari pasien yang mengalami
keluhan, 12% mendeskripsikan nyeri yang severe, 37% mengalami nyeri moderate dan 49%
mengalami nyeri mild. Dismenore menyebabkan 14% remaja putri ketinggalan pelajaran
sekolah. Selain itu, dikatakan bahwa dismenore lebih sering terjadi pada remaja ras kulit hitam
dibanding ras kulit putih ( Karim,2013).
Patofisiologi
Dismenore adalah nyeri yang terjadi tanpa tanda-tanda infeksi atau penyakit panggul.
Dismenore biasanya terjadi akibat pelepasan berlebihan suatu
prostaglandin, prostaglandin F2a, dari sel-sel endometrium uterus. Prostaglandin
F2a adalah suatu perangsang kuat kontraksi otot polos miometriumdan kontraksi
pembuluh darah uterus, hal ini memperparah hipoksia uterus yang secara normal
terjadi pada haid, sehingga timbul rasa nyeri hebat. Nyeri hebat tersebut dapat
teratasi dengan inhibitor prostaglandin misalnya indometasin, dapat secara
efektif mengurangi kram.Inhibator prostaglandin harus digunakan pada saat
tanda awal nyeri muncul, atau sebagian wanita pada tanda pertama pengeluaran
(Corwin,2000).
· Nyeri perut bagian bawah, menjalar ke pinggang à pelepasan prostaglandin yang
berlebihan yang menyebabkan hiperaktifitas uterussedangkan penjalaran ke pinggang
diakibatkan olehpeningkatan sensitivitas serabut saraf
· Mual, muntah, sakit kepala akibat peredaran prostaglandin secara sistemik
· Cepat marah, mudah tersinggung akibat gangguan keseimbangan hormon estrogen dan
progesteron
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari dismenore primer yaitu kram dibagian perut tengah bawah yang dimulai dengan
aliran darah saat haid atau beberapa saat sebelumnya.
Kram yang dialami paling intens pada hari pertama atau kedua dan menghilang sebelum siklus
haid berakhir. Nyeri yang dialami mungkin mengarah dan dirasakan juga pada bagian bawah
belakang atau nyeri paha anterior. Mual dan muntah dapat terjadi pada beberapa individu. Near-
syncope atau “dizziness” (not true vertigo) dan keluhan "weakness” juga dapat timbul.
Premenstrual atau men- strual molimina, meliputi breast tenderness, bloating (bengkak), sakit
kepala dan mood changes, juga dapat mengganggu.
Dismenore sekunder biasanya dimulai beberapa hari bahkan 1 sampai 2 minggu sebelum onset
of bleeding dan bertahan sampai akhir siklus haid. Bersamaan dengan beberapa gejala, seperti
heavy bleeding, mungkin dapat mengesankan uterine fibroids sebagai penyebabnya.
PENATALAKSANAAN
Farmakologis
Upaya farmakologis yang dapat dilakukan dengan memberikan obat analgesik sebagai
penghilang rasa sakit. Menurut Bare & Smeltzer (2002 dalam Hermawan, 2012), penanganan
nyeri yang dialami oleh individu dapat melalui intervensi farmakologis, dilakukan kolaborasi
dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya pada pasien. Obat-obatan ini dapat
menurunkan nyeri dan menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan yang
mengalami trauma dan inflamasi yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive
terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya, contoh obat anti inflamasi nonsteroid adalah aspirin,
ibuprofen.
Penanganan dismenore primer adalah (Calis, 2011):
1) Penanganan dan nasehat
2) Pemberian obat analgesik
Obat analgesik yang sering diberikan adalah preprat kombinasi aspirin, fansetin, dan kafein.
Obat-obatan paten yang beredar dipasaran antara lain novalgin, ponstan, acetaminophen dan
sebagainya.
3) Terapi hormonal
Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi, bersifat sementara untuk membuktikan
bahwa gangguan benar- benar dismenore primer. Tujuan ini dapat dicapai dengan memberikan
salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
4) Terapi dengan obat non steroid anti prostaglandin
Endometasin, ibuprofen, dan naproksen, dalam kurang lebih 70% penderita dapat
disembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Pengobatan dapat diberikan sebelum haid mulai
satu sampai tiga hari sebelum haid dan dapat hari pertama haid.
5) Dilatasi kanalis servikalis
Dilatasi kanalis servikalis dapat memberikan keringanan karena dapat memudahkan
pengeluaran darah dengan haid dan prostaglandin didalamnya. Neurektomi prasakral
(pemotongan urat saraf sensorik antara uterus dan susunan saraf pusat) ditambah dengan
neurektomi ovarial (pemotongan urat saraf sensorik pada diligamentum infundibulum)
merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha lainnya gagal.
Non Farmakologis
Menurut Bare & Smeltzer (2002 dalam Hermawan 2012) penanganan nyeri secara
nonfarmakologis terdiri dari:
1) Stimulasi dan Masase kutaneus
Masase adalah stimulus kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung
dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
2) Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostsglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri
dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Terapi panas
mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurungkan nyeri dengan memprcepat penyembuhan.
3) Transecutaneus Electrical Nerve Stimulaton ( TENS)
4) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan perhatian dari hal yang menyebabkan nyeri, contoh:
menyanyi, brdoa, menceritakan gambar atau foto denaga kertas, mendengar musik dan bermain
satu permainan.
5) Relaksasi
Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau pelepasan ketegangan. Teknik relaksasi
yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama (teknik relaksasi
nafas dalam. Contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan.)
6) Imajinasi
OAINS/NSAID adalah terapi awal yang sering digunakan untuk dismenorea. OAINS/NSAID
mempunyai efek analgetika yang secara langsung menghambat sintesis prostaglandin dan
menekan jumlah darah haid yang keluar. Seperti diketahui sintesis prostaglandin diatur oleh dua
isoform siklooksigenase (COX) yang berbeda, yaitu COX-1 dan COX-2. Sebagian besar
NSAID/OAINS bekerja menghambat COX-2.
- Pil Kontrasepsi Kombinasi : bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan pertumbuhan
jaringan endometrium sehingga mengurangi jumlah darah haid dan sekresi Prostaglandin serta
kram uterus. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi sangat efektif untuk mengatasi dismenorea
dan sekaligus akan membuat siklus haid menjadi teratur.
- Latihan Fisik : latihan fisik dapat meningkatkan aliran darah ke daerah pelvis sehingga
menstimulasi pelepasan Beta Endorfin yang bekerja sebagai analgesik non spesifik .
- Kompres Hangat : Penempelan panas dengan suhu 39 derajat Celsius selama 12 jam
terbukti sama efektifnya dengan penggunaan ibuprofen.
+ KOMPLIKASI
· syok neurogenik
· mengganggu aktivitas sehari-hari
· emosional : gelisah & depresi
PROGNOSIS
Menurut Karim (2013), dengan penggunaan NSAID, prognosis dismenore sangat baik. Akan
tetapi, prognosis dari dismenore sekunder bervariasi tergantung etiologi dari dismenore itu
sendiri. Apabila diagnosa dari etiologi dismenore sekunder tidak tepat, maka dapat menyebabkan
peningkatan morbiditas pasien.
Walaupun dismenore tidak mengancam nyawa, dismenore dapat mengganggu aktivitas dan
produktivitas seseorang. Pemahaman remaja yang terbatas tentang menstruasi dan dismenore,
mengakibatkan kebanyakan remaja perempuan menggunakan cara yang tidak tepat untuk
mengatasi dismenore. Penanganan dismenore pada remaja sering dilakukan sendiri, hanya
sebagian kecil yang datang berkonsultasi pada tenaga kesehatan untuk mengatasi keluhan yang
dialaminya.
Hipotalamus menghasilkan GnRH yang berfungsi merangsang Hipofisis menghasilkan FSH dan
LH. Siklus haid dibagi menjadi dua fase yaitu fase folikel dan fase luteal. Selama siklus haid ada
perubahan kadar hormon oleh mekanisme umpan balik antara hormon steroid dengn
gonadotropin di hipotalamus. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH.
Sedangkan pada LH, umpan balik negatif apabila kadar LH rendah dan positif apabila kadar LH
tinggi. Pada fase folikel dini, folikel berkembang oleh FSH yang meningkat karena regresi
korpus luteum sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, estrogen
meningkat, dan menekan produksi FSH . Pada waktu ini LH juga ikut meningkat, namun
perannya hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat
pada fase akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukan folikel telah masak dan peka terhadap
FSH. Perkembangan folikel akan berakhir ketika estrogen dalam plasma meninggi. Ketika
estrogen berangsur-angsur meninggi dan mencapai puncak terjadi umpan balik positif terhadap
pusat siklik dan dengn lonjakan LH, mengakibatkan ovulasi. LH meninggi menetap kira-kira 24
jam dan menurun pada fase luteal karena estrogen yang menurun ketika ada perubahan
morfologik dari folikel yang pecah. Pada fase luteal, sel-sel granulosa membesar membentuk
vakuola dan bertumpuk pigmen kuning, folikel menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan
membuat progesteron banyak dan estrogen banyak. Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat
pada corpus luteum, bersama dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat
terjadi implantasi jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk sekresi air
susu. Progesteron menghambat secara maksimal LH dan FSH . Mulai 10-12 hari korpus luteum
akan mengalami regresi dan berdegenrasi diikuti menurunnya sekresi progesteron dan estrogen.
Inhibisi LH dan FHS juga ikut berkurang. Hal ini terjadi apabila tidak ada pembuahan. Setelah
itu siklus haid akan dimulai lagi dari awal.
Morfologi Endometrium
Sesudah ovulasi, berlangsung dari hari ke 14-28. Pada stadium ini, tebal endometrium tetap
tapi bentuk kelenjar berubah menjadi panjang dan berliku serta mengeluarkan getah. Dalam
endometrium tertimbun glikogen dan kapur untuk makanan untuk telur yang dibuahi kelak.
Sekresi dini
Endometrium lebih tipis dari pada fase sebelumnya karena kehilangan cairan, tebalnya ±
4-5 mm. Pada saat ini lapisan terbagi jadi 3 bagian :
1. Stratum basale, lapisan yang berbatasan dengan lapisan otot, inaktif kecuali mitosis
pada kelenjar.
2. Stratum spongiosum, lapisan tengah bentuk anyaman seperti spons karena banyak
kelenjar yang melebar dan berkelok dengan stroma sedikit.
3. Stratum kompaktum, lapisan permukaan, saluran kelenjar sempit, lumen ada sekret,
stroma berlebih, ada edema
Sekresi lanjut
Tebalnya ± 5-6 mm. Endometrium sangat vaskuler, dan kaya glikogen. Sangat ideal
untuk nutrisi dan perkembangan ovum
HUBUNGAN NYERI HAID DENGAN RASA MUAL, MUNTAH, DAN SAKIT KEPALA,
SERTA CEPAT MARAH DAN MUDAH TERSINGGUNG
Dalam fase sekresi endometrium menghasilkan prostaglandin F2 yang membuat kontraksi otot-
otot polos. Ketika jumlah prostaglandin yang berlebihan dilepaskan ke dalam peredaran darah
maka akan terjadi efek umum lainnya seperti diare, nausea, muntah.
Hampir setiap wanita gangguan menjelang, dan sementara haid yang disebut molimina
menstrualia. Yang menyertai perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus haid normal.
Apabila perubahan tersebut lebih dari biasa maka dapat timbul sindrom yang mengganggu
wanita yang lazim disebut tegangan pra haid yang dapat berlangsung sampai haid. Hal ini terjadi
karena ada ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron. Dominasi estrogen
mengakibatkan terjadinya defisiensi air dan edema pada beberapa tempat.
Hipotalamus menghasilkan GnRH yang berfungsi merangsang Hipofisis menghasilkan FSH dan
LH. Siklus haid dibagi menjadi dua fase yaitu fase folikel dan fase luteal. Selama siklus haid ada
perubahan kadar hormon oleh mekanisme umpan balik antara hormon steroid dengn
gonadotropin di hipotalamus. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH.
Sedangkan pada LH, umpan balik negatif apabila kadar LH rendah dan positif apabila kadar LH
tinggi. Pada fase folikel dini, folikel berkembang oleh FSH yang meningkat karena regresi
korpus luteum sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, estrogen
meningkat, dan menekan produksi FSH . Pada waktu ini LH juga ikut meningkat, namun
perannya hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat
pada fase akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukan folikel telah masak dan peka terhadap
FSH. Perkembangan folikel akan berakhir ketika estrogen dalam plasma meninggi. Ketika
estrogen berangsur-angsur meninggi dan mencapai puncak terjadi umpan balik positif terhadap
pusat siklik dan dengn lonjakan LH, mengakibatkan ovulasi. LH meninggi menetap kira-kira 24
jam dan menurun pada fase luteal karena estrogen yang menurun ketika ada perubahan
morfologik dari folikel yang pecah. Pada fase luteal, sel-sel granulosa membesar membentuk
vakuola dan bertumpuk pigmen kuning, folikel menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan
membuat progesteron banyak dan estrogen banyak. Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat
pada corpus luteum, bersama dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat
terjadi implantasi jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk sekresi air
susu. Progesteron menghambat secara maksimal LH dan FSH . Mulai 10-12 hari korpus luteum
akan mengalami regresi dan berdegenrasi diikuti menurunnya sekresi progesteron dan estrogen.
Inhibisi LH dan FHS juga ikut berkurang. Hal ini terjadi apabila tidak ada pembuahan. Setelah
itu siklus haid akan dimulai lagi dari awal.
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus mengontrol siklus baik
pada ovarium dan uterus. GnRH merangsang dilepaskannya follicle-stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH) oleh pituitari anterior. FSH berperan dalam pertumbuhan folikel,
sedangkan LH berperan dalam perkembangan dari folikel tersebut. FSH dan LH menstimulasi
folikel-folikel untuk mensekresikan estrogen. Selain itu, LH juga berperan untuk merangsang
theca cells dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk mensekresi androgen. Androgen
yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi menjadi estrogen karena adanya pengaruh dari
FSH. LH akan memicu terjadinya ovulasi dan pembentukan corpus luteum, corpus luteum akan
menghasilkan estrogen, progesterone, relaxin dan inhibin.
Estrogen yang disekresi oleh folikel memiliki beberapa fungsi yang penting :
sekunder.
4. Inhibisi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH serta FSH oleh
pituitari anterior.
Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat pada corpus luteum, bersama dengan estrogen
untuk mempertahankan endometrium agar dapat terjadi implantasi jika terjadi pembuahan dan
mempersiapkan kelenjar mamae untuk sekresi air susu. Relaksin diproduksi untuk menginhibisi
kontraksi uterus yang berlebihan. Sedangkan, Inhibin disekresi oleh sel granulosa dan juga oleh
corpus luteum setelah