Jurnal Tanggung Gugat
Jurnal Tanggung Gugat
Jurnal Tanggung Gugat
Andi Fitra
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya | Jl. Arief Rachman
Hakim No. 51, Klampis Ngasem, Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur 60117. (031)
5946404
e-mail : 19fitra@gmail.com
Abstract : Authentic deeds in agreements made by notaries do not rule out the
possibility to bring up legal matters and cause lawsuit case from the parties in the
deed. The limitation of accountability of notaries can be required as long as they are
still authorized to perform the duties of a notary. However, if the notary has passed
away in the making of the deed, it becomes a legal matter and has harmed the parties.
then what happens in interpretations of positive law is the one that must bear the
punishment for damages made by the notary, based on a decision that has the legal
binding verdict (inkracht) is the heir of the notary.
Keywords: Accountability, notary, heir, authentic deed
Abstrak : Akta otentik dalam perjanjian yang dibuat oleh Notaris tidak menutup
kemungkinan menimbulkan masalah hukum dan memunculkan suatu perkara gugatan
yang berasal dari para pihak yang berada dalam akta. Batasan tanggung gugat notaris
tersebut dapat diminta sepanjang mereka masih berwenang dalam melaksanakan tugas
jabatan sebagai notaris. Namun apabila notaris tersebut telah meninggal dunia dalam
pembuatan akta semasa hidupnya yang menjadi suatu permasalahan hukum dan telah
merugikan para pihak, maka yang terjadi dalam penafsiran-penafsiran hukum sekarang
adalah yang harus menanggung hukuman ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan oleh
notaris tersebut berdasarkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
ahli waris dari notaris tersebut tersebut.
Kata Kunci : Tanggung gugat, notaris, ahli waris, akta otentik
PENDAHULUAN
Hukum Indonesia saat ini seiring perjalanan waktu terus melakukan adaptasi
terhadap pengaruh perkembangan yang terjadi baik itu di dalam negeri maupun
pengaruh dari luar, sehingga nantinya Pemerintah dalam melaksanakan
penyelenggaraan negara dalam menjalankan suatu kebijakan pemerintahan dapat
terkontrol dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Penyelenggaraan
negara pada zaman ini yang menjadi penopang pembangunan dibidang profesi,
sehingga suatu negara dituntut untuk menentukan regulasi yang sesuai dengan suatu
profesi itu sendiri baik dengan perundang-undangan ataupun kebijakan dari negara itu
sendiri.
Indonesia yang mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang
perjanjian dan kerjasama saat ini, dibutuhkan suatu perjanjian yang tertulis sehingga
memiliki bukti bahwa telah dilaksanakan suatu perjanjian atau kerjasama tersebut
antara para pihak, yang mana dalam hal ini merupakan suatu kebutuhan untuk
melegalkan kegiatan kerjasama dan perjanjian tersebut, oleh karena itu regulasi dan
peraturan-perundangan yang mengatur mengenai hal tersebut yaitu notaris. Kehadiran
notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis
yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh notaris merupakan
wujud kepastian hukum bagi para pihak yang bertransaksi.
Akta otentik dalam perjanjian yang dibuat oleh Notaris untuk kepentingan para
pihak, tidak menutup kemungkinan menimbulkan masalah hukum, masalah hukum
yang sering terjadi adalah suatu produk hukum yang dibuat oleh notaris pada saat
dibuat dan dalam waktu yang singkat belum terdapat permasalahan, namun
1
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatanb Akta,
Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 121.
2
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, hal. 46.
permasalahan itu muncul dan terjadi pada saat waktu yang sangat lama dimana
terjadinya suatu perkara gugatan antara para pihak yang berada dalam akta yang dibuat
oleh notaris itu. Akibat dari perkara para pihak yang ada dalam akta notaris seringkali
dalam suatu pemeriksaan, notaris juga dikaitkan oleh karena sebagai pelaksana yang
menuangkan isi dari perjanjian para pihak yang berseteru.
Dalam suatu permasalahan hukum yang timbul akibat dibuatnya suatu akta
oleh notaris saat menjalankan tugas dan jabatannya di bidang kenotariatan, kedudukan
Notaris sebagai pelaksana hukum, sedangkan pada waktu Notaris dikenakan tanggung
gugat, kedudukan Notaris sebagai yang dikenakan hukum, berhadapan dengan
penerapan sanksi. Apabila seorang Notaris, sudah tidak menjabat lagi meskipun yang
bersangkutan masih hidup tidak dapat di mintakan lagi tanggung gugat dalam bentuk
apapun dan Notaris penyimpan protokol wajib memperlihatkan atau menyerahkan
grosse/akta, salinan akta atau kutipan akta atau oleh Majelis Pengawas Daerah untuk
protokol Notaris yang telah berumur dua puluh lima tahun atau lebih, Pasal 63 ayat (5)
UUJN Perubahan. Batasan tanggung gugat notaris, dapat diminta sepanjang mereka
masih berwenang dalam melakanakan tugas jabatan sebagai notaris atau kesalahan-
kesalahan yang di lakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris dan sanksi-
sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris dapat dijatuhkan sepanjang notaris masih
berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris, dengan kontruksi
tanggung gugat seperti tersebut di atas, tidak akan ada lagi notaris setelah yang
bersangkutan berhenti dari tugasnya sebagai notaris.
METODE PENELITIAN
3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. 6, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2010,
hal 35.
4
Ibid, hal. 93
PEMBAHASAN
Istilah perbuatan melanggar hukum pada umumnya adalah sangat luas artinya
yaitu kalau perkataan ”hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan hal
perbuatan hukum dipandang dari berbagai aspek. Istilah perbuatan melanggar
merupakan terjemahan dari istilah ”onrechtmatige daad” dalam bahasa Belanda yang
lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 BW.
Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan hukum privat berdasarkan :
1. Teori fiksi; bahwa badan hukum itu diumpakan sebagai manusia terpisah dari
manusia yang menjadi pengurusnya, karena itu perbuatan hukum dilakukan oleh
pengurusnya tidak dapat dikatakan perbuatan hukum melainkan perbuatan orang
lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada badan hukum itu.
2. Teori organ; menurut teori ini badan hukum itu sama dengan manusia pribadi,
dapat melakukan perbuatan hukum. Jika terjadi pelanggaran, badan hukum itu
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Teori yuridische realitet; menurut teori ini badan hukum adalah realitas yuridis,
yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Jadi ia dapat
dipertanggung jawabkan dalam setiap perbuatan hukum.5
Dengan demikian, berdasarkan teori fiksi badan hukum privat tidak dapat dituntut
berdasarkan Pasal 1365 tetapi berdasarkan Pasal 1367 BW. Sedangkan berdasarkan
teori organ dan teori yuridische realitet, badan hukum privat dapat dituntut
berdasarkan Pasal 1365 BW.6
5
FX.Suhardana et al, Hukum Perdata I, Jakarta, Prenhalindo, 1987 hal. 58-59. Berdasarkan teori dari
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861)
6
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 252
7
K. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi Pertama, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm 308
bentuk spesifik dari tanggung jawab. Tanggung gugat merujuk kepada posisi
seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk
kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum. Ia,
misalnya harus membayar ganti kerugian kepada orang atau badan hukum lain karena
telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga
menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum lain tersebut. Istilah tanggung
gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat. Hal tersebut dikuatkan oleh
pendapat J.H. Nieuwenhuis, berpendapat bahwa tanggung gugat merupakan
kewajiban untuk menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma.
Perbuatan melanggar norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena Perbuatan
Melanggar Hukum dan wanprestasi.8
Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada
masa roma kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius.
Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato. Istilah notaris
diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi
golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari
profesi hukum yang tertua di dunia. Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral,
sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka
notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris
diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum
yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan
hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas
notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah.9
Notaris berasal dari kata “nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang
dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya
ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan
kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan
oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya
di tengah masyarakat.10 G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian notaris
sebagai berikut: 11 “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang
8
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas Airlangga, Surabaya,
1985, hlm 135.
9
Ibid.
10
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga,Jakarta, 1999,
hal. 41.
11
Ibid, hal. 31.
untuk membuat Akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akte otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktenya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akte itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain. Menurut Colenbrunder, notaris adalah: “Pejabat
yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat
semuanya yang ia alami dalam suatu akta. Demikianlah ia membuat berita acara dan
pada apa yang dibicarakan dalam rapat pemegang saham, yang dihadiri atas
permintaan pengurus perseroan atau tentang jalannya pelelangan yang dilakukannya
atas permintaan pengurus perseroan, atau tentang jalannya pelelangan yang
dilakukannya atas permintaan penjual. Demikianlah ia menyaksikan (comtuleert)
dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh
kliennya. 12
Salah satu aparat hukum dibidang keperdataan adalah Notaris yang harus
profesional karena mewakili negara menjalankan dan fungsi sosialnya didalam
pembuatan akta sebagai alat bukti yang berupa “Akta Otentik”. 18 Notaris juga
memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang kepada
pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai
bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk
melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi penguasa, yaitu pemerintah
untuk menunjuk dan mengangkat Notaris. Berkaitan dengan wewenang yang harus
dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang
telah ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum tersebut
Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat
16
Habieb Adjie Op-Cit, hal. 14.
17
Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2000), hal. 166
18
A.A Andi Prajitno, Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra
Media Nusantara, 2010, Hlm. 1
oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi
empat (4) hal yaitu sebagai berikut :
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.19
Fungsi notaris adalah memberi kepastian dan kelancaran hukum keperdataan bagi
segenap usaha masyarakat. Notaris haruslah dapat diandalkan, tidak memihak, mampu
menjaga rahasia dan memberi jaminan atau bukti. Notaris juga berfungsi membuat
perjanjian yang melindungi kepentingan perdata setiap pihak.20Sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 UUJN Perubahan, bahwa salah satu kewenangan notaris adalah membuat
akta autentik. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki
wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh
UUJN.21
Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Adapun akta
otentik itu menurut Pasal 1870 BW memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya
suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris, bahwa
Notaris karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang
sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada
pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya. Menurut Setiawan,
"Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik
hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada
dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para
pihak yang bersengketa”.22 Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan
bukan sebagai salah satu pihak ia tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan.
Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat
ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan
sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat di hadapannya.
Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam Pasal Pasal
1 angka 1 UUJN Perubahan yaitu membuat akta otentik. Notaris tidak boleh membuat
akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa
perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak
baik secara pribadi maupun diwakili oleh kuasanya. Sehubungan dengan kewenangan
Notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 UUJN
Perubahan dijelaskan bahwa :
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
19
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hal. 49-50.
20
Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Prinsip-prinsip dasar profesi notaris, ,Dunia Cerdas,Cetakan I,
Jakarta, 2013, hal 13.
21
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press,
Yogyakarta, 2009, hal. 13‐14.
22
Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu kajian uraian
yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), hal. 2.
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3)
menerangkan sebagai berikut :
“Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain”.
Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai
karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang
pengaturan jabatan Notaris, artinya satusatunya aturan hukum dalam bentuk undang-
undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang
berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris
merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris
sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat
oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta
bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.24 Oleh karena
Notaris adalah sebuah jabatan, maka sepatutnya dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya berpedoman pada asas – asas pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris
23
Ibid., Hlm.67-72
24
Habib Adjie I, op.cit, hal. 32-34.
yang baik dalam Asas Pemerintahan yang baik ( AUPB ) yang diantaranya dikenal
asas – asas sebagai berikut :
a. Asas Persamaan
Pada awalnya kehadiran notaris di Indonesia, sekitar tahun 1620, kewenangannya
terbatas dan hanya melayani golongan penduduk tertentu atau melayani mereka yang
bertransaksi dengan pihak Vereenigde Oost Ind. Compagnie ( VOC ). Sesuai dengan
perkembangan jaman, institusi Notaris telah menjadi bagian Notaris telah menjadi
bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan
institusi Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak
membedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaan sosial – ekonomi atau
alasan lainnya.
b. Asas Kepercayaan
Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan
mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang dapat dipercaya.
Notaris sebagai jabatan kepercayaan tidak berarti apa – apa jika ternyata mereka yang
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris adalah orang yang tidak dapat dipercaya.
Dalam hal ini, antara Jabatan Notaris dan Pejabatnya (yang menjalankan tugas jabatan
notaris) harus sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
c. Asas Kepastian Hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif
kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk
kemudian dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku
akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat dihadapan
atau oleh notaristelah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi
permasalahan, akta notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.
d. Asas Kecermatan
Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan didasarkan pada
aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris,
dan mendenganrkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai
bahan dasar untuk ditungkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan
dari pasal 16 ayat ( 1 ) huruf a, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya
Notaris wajib bertindak seksama. Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan
dalam pembuatan akta dengan:
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang
diperlihatkan kepada Notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut ( tanya – jawab ).
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para
pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan
atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk
minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan
Notaris.
e. Asas Pemberian alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris harus mempunyai alasan dan
fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum
yang harus dijelaskan kepada para pihak / penghadap.
f. Larangan penyalahgunaan wewenang
Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan notaris, dalam menjalankan tugas
jabatannya. Penyalahgunaan wewenang yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh
notaris diluar dari wewenang yang telah ditentukan.
g. Larangan bertindak sewenang – wenang
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan bahwa tindakan
para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta notaris atau tidak. Notaris harus
mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris.
h. Asas Proporsionalitas
Dalam pasal 16 ayat ( 1 ) huruf a, Notaris dalam menjalankan tugas jabatan nya
wajib bertindak menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum
dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Disamping itu, wajib mengutamakan
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang menghadapi Notaris.
i. Asas Profesionalitas
Dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf d, Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai
dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini
mengutamakan keahlian ( keilmuan ) Notaris dalam menjalankan Tugas jabatannya
berdaasarkan UUJN dan Kode Etik jabatan Notaris. Tindakan profesionalitas Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dan
akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.
1. Membuat akta-akta otentik sebagaimana tertuang dalam pasal 1 UUJN dan Pasal
1868 BW. Akta-akta otentik yang dibuat notaris.
2. Berdasarkan pasal 1874 BW, notaris bertugas mendaftarkan surat-surat di bawah
tangan kedalam buku khusus (waamerken), lalu mengesahkan surat-surat di bawah
tangan tersebut (legaliseren).
3. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
4. Membuat salinan dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
5. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir)
6. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta
akta yang telah ditandatangani, dengan membuat berita acara (BA) dan
25
Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Op-Cit, hal. 15
memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli yang menyebutkan
tanggal dan nomor BA pembetulan, dan salinan tersebut dikirimkan ke para pihak
(pasal 51 UUJN).
Selain daripada itu untuk memenuhi syarat otentik sebuah akta, Notaris wajib
berpedoman pada susunan akta yang diatur sebagaimana dalam Pasal 38 Undang –
undang Jabatan Notaris yaitu:
1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan;
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan
akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau
uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan,
atau penggantian.
5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris,
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
26
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 , 2013, hal. 2
Meskipun Pasal 51 UUJN telah mengatur kewenangan notaris dalam
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik, di dalam UUJN tidak diberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kesalahan tulis dan kesalahan ketik
tersebut. Tidak adanya penjelasan mengenai hal itu dapat menimbulkan penafsiran
berbeda-beda, terutama tentang sejauh mana pembetulan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 UUJN boleh dilakukan. Misalnya apakah kesalahan ketik 1
(satu) angka boleh dibetulkan dengan cara ini, sedangkan jika dibetulkan akan
mengubah suatu hal yang substantif. Pembuat undang-undang telah memberikan jalan
keluar apabila terjadi kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang sudah
ditandatangani, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UUJN Perubahan yaitu: 27
27
Ibid
Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN itu berlaku pula untuk
minuta akta yang telah dikeluarkan salinannya. Adapun alasannya sebagai berikut:
a. Pasal 51 ayat (1) UUJN hanya menyebutkan frasa “minuta akta yang telah
ditandatangani”, tanpa memberikan perkecualian terhadap minuta akta yang telah
dikeluarkan salinannya. Dengan demikian, kewenangan notaris untuk
membetulkan kesalahan ketik tersebut berlaku bagi minuta akta yang telah
ditandatangani, baik yang salinannya belum dikeluarkan maupun sudah
dikeluarkan.
b. Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN memberikan kewajiban kepada notaris untuk
mengeluarkan salinan akta berdasarkan minuta akta. Menurut Pasal 1 angka 9
UUJN, salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada
bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama
bunyinya”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
walaupun di dalam suatu minuta akta yang telah ditandatangani terdapat kesalahan
ketik, notaris wajib mengeluarkan salinan akta yang isinya sama persis dengan
minutanya. Dengan demikian, tidak perlu dipermasalahkan salinan dikeluarkan
sebelum atau setelah dibetulkannya kesalahan ketik, karena kapanpun salinan itu
dikeluarkan isinya harus tetap sama dengan minuta akta.
c. Pasal 51 ayat (3) menentukan bahwa salinan Akta Berita Acara Pembetulan wajib
disampaikan kepada para pihak. Sewajarnya salinan akta dari minuta akta yang di
dalamnya terdapat kesalahan ketik telah disampaikan kepada para pihak sebelum
atau setidak-tidaknya pada saat yang sama dengan penyampaian salinan Akta
Berita Acara Pembetulan.
Mengenai suatu perjanjian yang dibuat oleh notaris berdasarkan hal tersebut
diatas bahwa Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari
perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan
kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum
yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian
tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat
objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut
dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun, apabila perjanjian telah
memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka
perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untu
k melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan
Pasal 1338 BW, yaitu:
1. perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
2. perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya
kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh
undang-undang.
3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
Pasal 1338 BW menentukan bahwa suatu perjanjian, yang dibuat sesuai dengan
undang-undang terhadap para pihak, berlaku seolah-olah perjanjian itu adalah undang-
undang.28 Ketentuan yang ada pada pasal 1320 dan 1338 BW memuat asas-asas dan
prinsip kebebasan untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya
setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun
muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan
dalam masyarakat. Didalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang
sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian, asas-asas perjanjian diatur dalam BW,
yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat
perjanjian : Asas Kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas Konsensualisme
(consensualism), Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda), Asas itikad baik (good
faith), dan Asas Kepribadian(personality).
1. Asas Kebebasan Berperjanjian (freedom of contract)
Menurut Agus Yudha Hernoko, menyatakan bahwa : “Asas kebebasan
berperjanjian merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum
perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun
mempunyai pengaruh besar yang sangat kuat dalam hubungan perjanjiantual para
pihak.”29 Sedangkan BN, Marbun Menyatakan bahwa :“Kebebasan mengadakan
perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku didunia. Asas
ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian
tetang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan ketertiban umum.”30
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat
sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) BW, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua
perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu
tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas
persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan
(pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat
provokasi kerusuhan). Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas
yang memberi kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :31
a. Membuat atau tidak membuat Perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis;
28
Ibid , hal. 411.
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2010, hal. 108.
30
BN, Marbun, Membuat perjanjian yang aman dan sesuai hukum,Puspa Swara, Cetakan I, Jakarta,
2009, hal. 4
31
Ibid, hal. 5
e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat
opsional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi
syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuatan yang sama seperti undang-
undang, para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi
apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memperhatikan batasan-batasan hukum
yang berlaku.
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Menurut Agus Yudha Hernoko : “Asas pacta Sunt Servanda atau
diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum (janji wajib ditepati) terangkum
dalam rumusan pasal 1338 ayat (1) BW “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang”.32 Selanjutnya Beberapa hal mengenai Asas pacta
Sunt Servanda/ Asas Kepastian Hukum sebagai berikut : 33
a. Asas daya mengikat perjanjian (the binding force of contract) dipahami
sebagai mengikatnya kewajiban perjanjiantual (i.c. terkait isi perjanjian –
prestasi) yang harus dilaksanakn para pihak. Jadi pertama-tama makna daya
mengikat perjanjian tertuju pada isi atau prestasi perjanjiantualnya.
b. Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta Sunt Servanda) sehingga perlu
diberikan kekuatan untuk berlakunnya. Untuk memberikan kekuatan daya
berlaku atau daya mengikatnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat secara
sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara
dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.
c. Asas pacta Sunt Servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya
kekuatan mengikat perjanjian,
d. Kekuatan mengikat perjanjian pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para
pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khususnya di-
common law, disebut dengan “privity of contract”.
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak
ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar
pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian –
bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan
pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
32
Ibid, hal. 5
33
Agus Yudha Hernoko, op-cit, hal. 123.
34
BN, Marbun,op-cit, hal. 5
Dengan kata lain, perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-
hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun, berbagai ketentuan
undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara
tertulis (contohnya perjanjian perdamaian), atau yang diharuskan dibuat dengan
akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (antara lain Notaris atau Pejabat
Pembuat akta Tanah/PPAT).
35
Agus Yudha Hernoko, op-cit, hal. 135.
36
BN, Marbun,op.cit, hal. 6.
37
Tan Thong kie, op.cit, hal. 412.
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak
yang dirugikan. Seperti disebutkan dalam UUJN Perubahan Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris suatu perjanjian yang dibuat kedalam akta otentik mengenai isinya merupakan
keinginan para pihak, Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN Perubahan ditegaskan bahwa isi
akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak penghadap yang datang
menghadap Notaris. 38
Pihak yang merasa dirugikan karena terjadinya kesalahan ketik pada minuta
akta atau adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dapat mengajukan gugatan perdata dengan
berdasarkan perbuatan melanggar hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365
BW yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Munir Fuady berpendapat bahwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 1365 bw, perbuatan melanggar hukum mengandung unsur-
unsur sebagai berikut.
1. Adanya suatu perbuatan; 39
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum;
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
4. Adanya kerugian bagi korban;
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar
tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 BW
tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak,
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang
halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang
dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani,
akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh
Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang
lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris
melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan pembacaan akta ini adalah agar
para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu
merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga
dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta
bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak lain.40
38
Habib Adjie, op.cit, hal. 2
39
Munir Fuady, Perbuatan Melanggar Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 10
40
Penjelasan umum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
bertentangan misalnya dengan undang-undang, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak
mengetahuinya, maka dengan sikap pasif atau diam itu Notaris yang bersangkutan
dapat dikenakan Pasal 1365 BW. Notaris yang melakukan Perbuatan Melanggar
Hukum dapat diajukan ke pengadilan, selanjutnya apabila Perbuatan Melanggar Hukum
tersebut dapat dibuktikan, maka Notaris wajib membayar ganti kerugian kepada para
pihak yang dirugikan.
Notaris yang melakukan pelanggaran dalam pembuatan akta para pihak, tidak
dapat digugat berdasarkan wanprestasi, tetapi dapat digugat berdasarkan Perbuatan
Melanggar Hukum. Akta yang dibuat oleh Notaris atau akta relaas, secara otentik
sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
pembuat akta itu, yakni Notaris di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
Meskipun terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta, bukan
berarti Notaris telah melakukan wanprestasi terhadap client, karena pembuatan akta
relaas bukan atas perjanjian antara parapihak dengan Notaris, melainkan kewajiban
yang lahir dari adanya perintah undang-undang terhadap Notaris tersebut. Terhadap
kebenaran materil dalam akta relaas jika terjadi kesalahan atau bertentangan dengan
sebenarnya tertuang dalam akta, Notaris tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal tersebut dapat terjadi apabila Notaris yang
bersangkutan telah melakukan tugasnya dan mengetahui berdasarkan ilmu pengetahuan
dan sifat kehati-hatian yang dimilikinya.41
41
R. Wirjono Prodjodikoro, 1983, Asas-asas Hukum Perdata, Cetakan 9, Bandung: Sumur, hal. 40.
diusahakan pengembalian secara nyata yang kiranya lebih sesuai dari pada pembayaran
ganti kerugian dalam bentuk uang, karena pembayaran dalam bentuk uang hanyalah
nilai yang ekuivalen saja.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan
dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan).
Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena
perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah atau diganti atau
dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang membuatnya, maksudnya
kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu akta otentik mengikat
kedua belah pihak sebagai mana mengikatnya undang-undang. Kerugian para pihak
dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada
Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi
kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain
(akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan
Perbuatan Melanggar Hukum.
Adanya hubungan kausal atau hubungan sebab akibat maksudnya yaitu kerugian
yang diderita tersebut ditimbulkan atau disebabkan karena Perbuatan Melanggar
Hukum yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Riduan
Syahrani yang mengutip teori Von Kries sebagai berikut: "suatu hal baru dapat
dinamakan sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman masyarakat dapat
diduga, bahwa sebab itu akan di ikuti oleh akibat itu”.44 Hal ini berarti bahwa jika
terdapat suatu sebab tetapi sebab tersebut tidak menimbulkan suatu kerugian, atau
timbul suatu kerugian namun bukan disebabkan oleh pelaku, maka tidak dapat
dikatakan adanya suatu hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang
ditimbulkan.Kerugian yang diderita oleh seseorang disebabkan karena kesalahan
Notaris dalam membuat akta, sehingga unsur harus ada hubungan kausal antara
perbuatan Notaris dengan kerugian yang timbul telah terpenuhi.
42
Riduan Syahrani, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 264.
43
Ibid, hal. 279
44
Ibid, hal. 281
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, yaitu objeknya tidak
tertentu dan kausa yang terlarang, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Mengenai perjanjian harus mempunyai objek tertentu ditegaskan dalam Pasal 1333 BW
( KUHPerdata ), yaitu : “ Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang)
tersebut dapat ditentukan atau dihitung ”
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau
dapat dibatalkan adalah sebagai berikut :
1. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak.
Secara umum dibedakan antara kewenangan bertindak dan kecakapan
bertindak. Sejak seorang anak lahir, malahan anak dalam kandungan dianggap
sebagai telah dilahirkan berkedudukan sebagai subjek hukum dan sebab itu pula
memiliki kewenangan hukum ( Pasal 1 ayat ( 2 ) KUHPerdata. Kewenangan
bertindak dari subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum dapat dibatasi oleh
atau melalui hukum. Setiap orang dianggap cakap melakukan tindakan hukum,
tetapi kebebasan ini dibatasi pula oleh daya kerja hukum objektif. Dikatakan mereka
yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang
secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di bawah
umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia. Sebagai
penghadap untuk pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat paling sedikit
berumur 18 tahun ( Pasal 39 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris ).
Mereka yang tidak mempunyai kewenangan bertindak atau tidak berwenang
adalah orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Notaris (termasuk para saksi) yang dengan perantaraannya telah dibuat akta wasiat
dari pewaris tidak boleh menikmati sedikit pun dari apa yang pada mereka dengan
wasiat itu telah dihibahkannya ( Pasal 907 KUHPerdata ). Ini berarti bahwa Notaris
tersebut boleh saja mendapat hibah wasiat dari orang lain asal bukan dari klien yang
membuat wasiat di hadapannya tersebut.
2. Cacat Dalam Kehendak
KUHPerdata (Pasal 1322 – Pasal 1328 KUHPerdata) menetapkan secara
limitatif adanya cacat kehendak, yakni kekhilafan/kesesatan (dwaling), penipuan
(bedrog), dan paksaan (dwang).
a. Kekeliruan dan Penipuan
Dikatakan penipuan apabila seseorang dengan sengaja dengan
kehendak dan pengetahuan memunculkan kesesatan pada orang lain. Penipuan
dikatakan terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak
diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan
sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain. Di dalam praktik
penipuan dan kekhilafan menunjukkan perkaitan yang erat, tetapi ada pula
sejumlah perbedaan.
b. Ancaman
Ancaman terjadi bilamana seseorang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan melawan hukum,
mengancam, dan menimbulkan kerugian pada diri orang tersebut atau
kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga. Ancaman tersebut sedemikian
menimbulkan ketakutan sehingga kehendak seseorang terbentuk secara cacat.
Kehendak betul telah dinyatakan, tetapi kehendak tersebut muncul sebagai
akibat adanya ancaman.
c. Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan tergeraknya seseorang karena
suatu keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan
menyalahgunakan hal ini. Keadaan khusus ini terjadi karena keadaan
memaksa/darurat, keadaan kejiwaan tidak normal, atau kurang pengalaman.
d. Bertentangan dengan Undang-Undang
Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian
akan berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum yang dimaksud, yakni
:
i. Pelaksanaan dari tindakan hukum.
ii. Substansi dari tindakan hukum.
iii. Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut.
iv. Suatu perjanjian yang dibuat pada saat tidak adanya larangan mengenai
perbuatan hukum tersebut, tetapi ternyata di kemudian hari ada ketentuan
undang - undang yang melarangnya, maka perjanjian tersebut tidak batal
demi hukum, tetapi menjadi dapat dibatalkan atau mungkin masih dapat
dilaksanakan setelah adanya izin tertentu. Penentuan apakah suatu
perjanjian adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-
undang adalah pada waktu perjanjian tersebut dibuat.
e. Bertentangan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan Baik
Pada umumnya perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan
asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat, sedangkan perbuatan
hukum dianggap bertentangan dengan kesusilaan baik jika perbuatan tersebut
melanggar atau bertentangan dengan norma kesusilaan dari suatu masyarakat
Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap
akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung
sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan
notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya
dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya kesepakatan
yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Apabila akta
yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris
baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu
harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya
hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.
Kesalahan yang dimaksud oleh Pasal 1365 BW adalah
mengandung “gradasi” dari mulai perbuatan yang disengaja, sampai perbuatan yang t
idak disengaja.
Menurut hukum perdata, seseorang itu dapat dikatakan bersalah jika terhadapny
a, bahwa ia telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharu
snya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan, tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira-
kirakan. Dapat dikira-
kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-
ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan atau tidak d
ilakukan. Gradasi kesalahan dapat dipisah-pisahkan dalam kategori yang berbeda-
beda yaitu :
a. Kesalahan yang dilakukan karena kesalahan ;
b. Kesalahan yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hati ;
c. Kesalahan yang dibebankan karena pertanggung jawaban (tanpa kesalahan).
45
A.A Andi Prajitno, Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra
Media Nusantara, 2010, Hlm. 39
undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum. Konsep
pertanggung jawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi Notaris, maka Notaris dapat
dipertanggung jawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan
jabatannya. Secara umum pembatasan mengenai tanggunggugat dapat diminta
sepanjang mereka masih berwenang dalam melakukan akan tugas jabatan sebagai
Notaris atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan
sebagai Notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap Notaris dapat
dijatuhkan sepanjang Notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan
sebagai Notaris, dengan kontruksi tanggung gugat seperti tersebut di atas, tidak akan
ada lagi Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus dan pejabat sementara
Notaris dimintai tanggung gugat lagi setelah yang bersangkutan berhenti dari tugasnya
sebagai Notaris.46 Berdasarkan penafsiran seperti itu, maka akta notaris sebagai akta
otentik yang akan membuktikan dirinya sendiri sebagai alat bukti yang sah menurut
hukum karena akta Notaris sebagai akta otentik harus dilihat dan dinilai apa adanya
sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta Notaris
tersebut palsu atau tidak benar, maka pihak yang menuduh atau menilai tersebut harus
dapat membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri melalui proses hukum gugatan
perdata bukan dengan cara mengadukan Notaris kepada pihak kepolisian.47 Akta
otentik menjamin adanya kepastian hukum. Dengan demikian dapat dihindari kerugian
maupun sengketa yang akan terjadi dikemudian hari. Dengan hubungan hukum seperti
itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal
dari tanggunggugat Notaris.48
Berkaitan dengan adanya kesalahan dalam akta yang dibuat oleh Notaris, Akta
Berita Acara Pembetulan merupakan akta notaris yang termasuk dalam akta relas
khusus (akta verbal khusus).Dikatakan sebagai akta relas khusus karena akta tersebut
dapat dibuat oleh notaris atas inisiatifnya sendiri, tanpa harus ada permintaan dari para
pihak yang berkepentingan. Jadi, apabila notaris mengetahui bahwa di dalam suatu
minuta akta yang sudah ditandatangani terdapat kesalahan ketik, ia bisa dengan segera
melakukan pembetulan terhadap kesalahan itu, meskipun tanpa bantuan atau
persetujuan dari para penghadap, sepanjang pembetulan itu sesuai dengan kenyataan
yang terjadi dan tidak melampaui kewenangan notaris. Pada Akta Berita Acara
Pembetulan, tanda tangan penghadap bukanlah merupakan keharusan. Namun, Akta
Berita Acara Pembetulan harus ditandatangani oleh para saksi.Setelah Akta Berita
Acara Pembetulan selesai dibuat, berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UUJN, notaris wajib
memberikan catatan tentang adanya pembetulan tersebut pada minuta akta asli dengan
menyebutkan tanggal dan nomor Akta Berita Acara Pembetulan.Yang dimaksud
dengan “minuta akta asli” adalah minuta akta yang di dalamnya terdapat kesalahan tulis
dan/atau kesalahan ketik.Selanjutnya, notaris menyampaikan salinan Akta Berita Acara
Pembetulan tersebut kepada para pihak.Pengaturan mengenai pembetulan terhadap
kesalahan ketik seperti ini merupakan hal yang baru ada dalam UUJN.Di dalamnya
46
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., hal. 193.
47
Ibid
48
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, hal.17. Istilah ”Tanggunggugat” dipergunakan terutama terhadap kesalahan-kesalahan yang
dilakukan dalam menjalankan jabatan khusus tertentu (beroepsaansprakelijkheid), Marthalena Pohan,
Tanggunggugat Advocaat, Dokter, Notaris , Surabaya, Bina Ilmu, 1985 hal.11.
terdapat kewenangan besar bagi notaris untuk membetulkan suatu kesalahan ketik di
dalam minuta akta yang sudah ditandatangani. Namun di dalam undang-undang itu
tidak diberikan batasan ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
kesalahan ketik. Tidak adanya batasan atau penjelasan itu akhirnya dapat menimbulkan
penafsiran yang beragam, di antaranya mengenai kesalahan ketik yang seperti apa yang
boleh dibetulkan dengan cara membuat Akta Berita Acara Pembetulan. 49
Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN itu berlaku pula untuk minuta
akta yang telah dikeluarkan salinannya.Adapun alasannya sebagai berikut.
d. Pasal 51 ayat (1) UUJN hanya menyebutkan frasa “minuta akta yang telah
ditandatangani”, tanpa memberikan perkecualian terhadap minuta akta yang telah
dikeluarkan salinannya. Dengan demikian, kewenangan notaris untuk membetulkan
kesalahan ketik tersebut berlaku bagi minuta akta yang telah ditandatangani, baik
yang salinannya belum dikeluarkan maupun sudah dikeluarkan.
e. Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN memberikan kewajiban kepada notaris untuk
mengeluarkan salinan akta berdasarkan minuta akta. Menurut Pasal 1 angka 9
UUJN, salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian
bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun di dalam
suatu minuta akta yang telah ditandatangani terdapat kesalahan ketik, notaris wajib
mengeluarkan salinan akta yang isinya sama persis dengan minutanya. Dengan
demikian, tidak perlu dipermasalahkan salinan dikeluarkan sebelum atau setelah
dibetulkannya kesalahan ketik, karena kapanpun salinan itu dikeluarkan isinya harus
tetap sama dengan minuta akta.
f. Pasal 51 ayat (3) menentukan bahwa salinan Akta Berita Acara Pembetulan wajib
disampaikan kepada para pihak. Sewajarnya salinan akta dari minuta akta yang di
dalamnya terdapat kesalahan ketik telah disampaikan kepada para pihak sebelum
atau setidak-tidaknya pada saat yang sama dengan penyampaian salinan Akta Berita
Acara Pembetulan.
Untuk menafsirkan kesalahan kesalahan pada akta yang dibuatnya yang seperti apa
yang boleh dibetulkan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UUJN,
terlebih dahulu perlu diingat bahwa terdapat 2 (dua) jenis akta notaris, yaitu akta partai
dan akta relas. Akta partai adalah akta yang “dibuat di hadapan” notaris, sedangkan akta
relas adalah akta yang “dibuat oleh” notaris. Kedua jenis akta tersebut memiliki sifat yang
berbeda. Oleh karena itu, penafsiran dan batasan penerapan cara pembetulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 UUJN tersebut juga bergantung pada jenis aktanya. Namun,
perlu diingat bahwa perbaikan dengan cara tersebut hanya dapat dilakukan bila kesalahan
ketik tidak mengubah substansi perjanjian. Apabila kesalahan ketik yang terletak pada isi
perjanjian ternyata bersifat substantif dan salah satu pihak tidak mau hadir kembali di
hadapan notaris, maka upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan
karena kesalahan pada akta yang dibuatnya itu adalah mengajukan gugatan ke pengadilan.
Selain itu apabila Kesalahan kesalahan pada akta yang dibuatnya pada suatu akta
notaris terjadi karena notaris yang bersangkutan lalai dan tidak berhati-hati dalam
menjalankan jabatannya. Oleh karena itu, notaris telah melanggar kewajibannya untuk
bertindak secara saksama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-
P. sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau
49
Ibid
mentaati ketentuan undang-undang.50 Berikut ketentuan Sanksi dalam pasal 16 Pasal (11),
(12) dan (13) UUJN-P sebagai berikut:
1. Pasal 16 ayat (11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
2. Pasal 16 ayat (12), Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
3. Pasal 16 ayat (13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.
Sebuah akta dikatakan cacat hukum apabila dalam akta tersebut terdapat cacat
dalam kehendak terjadi karena adanya paksaan, kekeliruan, tipuan, dan penyalahgunaan
keadaan. Dalam hal batal demi Hukum, merupakan istilah yang digunakan untuk menilai
suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat obyektif, yaitu suatu hal tertentu, dan sebab
yang tidak dilarang serta istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi
syarat subjektif yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk
membuat suatu perikatan. Berdasarkan pasal 84 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Para Pihak yang memiliki kepentingan terhadap akta tersebut dapat menuntut
biaya kerugian berikut bunga kepada notaris yang telah melakukan kelalaian tersebut.
Berkaitan dengan adanya akta yang cacat hukum tersebut maka Notaris sebagai
pejabat yang membuat akta tersebut apabila dapat dibuktikan terdapat unsur kesalahan
yang diperbuat olehnya maka Notaris dapat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Sebagaimana pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa, tanggung jawab dalam arti
liability diartikan sebagai tanggung gugat sebagai terjemahan
dari liability/aansprakelijkheid yang merupakan bentuk spesifik dari tanggung jawab
yang berada dalam ruang lingkup hukum privat. Hal sama juga dikuatkan oleh pendapat
J.H. Nieuwenhuis, berpendapat bahwa tanggung gugat merupakan kewajiban untuk
menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma. Perbuatan melanggar
norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena Perbuatan Melanggar Hukum
dan wanprestasi.51 Dengan demikian apabila ada Perbuatan Melanggar Hukum yang
dilakukan oleh Notaris yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum atau
dibatalkan maka Notaris tersebut dapat dihukum bertanggung gugat dengan mengganti
kerugian, biaya dan bunga kepada pihak yang dirugikan. Apabila dalam perbuatan notaris
membuat akta tersebut dapat dibuktikan terdapar unsur pidana maka Notaris dapat
diberikan sanksi pidana sebagai bentuk tanggung jawab dalam ranah pidana.
50
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 1224.
51
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas Airlangga,
Surabaya, 1985, hlm 135.
2. BENTUK TANGGUNGGUGAT AHLI WARIS NOTARIS YANG DI JATUHI
KEWAJIBAN UNTUK BERTANGGUNG GUGAT
Warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris
yang berpindah kepada para ahli waris.52 Menurut Eman Suparman wujud harta
peninggalan menurut hukum perdata Barat yang tercantum dalam BW meliputi
"seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat
dinilai dengan uang" sehingga harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli
waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan,
melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari
harta kekayaan yang ditinggalkan sehingga "kewajiban membayar hutang pada
hakekatnya beralih juga kepada ahli waris"53 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1100
BW yang menyebutkan “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan
dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian
yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dan warisan”.
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu:54
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta
benda saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya
secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan
segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan
kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak
ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
52
J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, 1992, Bandung, hlm.8
53
Eman Suparman, Loc.Cit.
54
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 95-96
55
H.A. Wahab Afif, 1994, Fiqh Mewaris, Cet. I, Yayasan Ulumul Quran, Serang, Hal. 53.
Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan Untuk memperoleh warisan, haruslah
dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya pewarisan maka si
pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 830 KUH Perdata. Matinya pewaris dalam hal ini dapat
dibedakan menjadi:
1. Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu
dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.
2. Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui
secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan
bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang-orang yang berhak/ahli
waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian
si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1. Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar
masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2. Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih
hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal
1 ayat 2 KUH Perdata).
Dalam BW terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu: 1) Secara
ab intestato yaitu suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah merupakan
faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris dan 2)
secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat). Selanjutnya
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau
terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris yaitu:56
i. Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk
menerima warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh si pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu
pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman
penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris
untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
si pewaris.
ii. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima
warisan dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
1. Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
2. Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat
wasiat si pewaris.
3. Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris
untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.
56
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang hukum Perdata (
Burgerlijk Wetboek ), ( Serang: Darul Ulum Press. 1993 ),hlm.58
Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena
meninggalnya pewaris.57 Menurut Abdulkadir Muhammad ahli waris adalah
setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban
menyelesaikan hutang-hutangnya.58 Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah
pewaris meninggal dunia. Adapun Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris
adalah sebagai berikut:59
a. Pewaris
Pewaris dalam hal waris berhak memberikan testament (wasiat) namun disisi
lain juga berkewajiban untuk memperhatikan legitieme portie.
b. Ahli Waris
Ahli waris mempunyai hak diantaranya:
1. Menentukan sikap terhadap harta peninggalan
2. Menerima baik secara diam-diam ataupun secara tegas
3. Menerima dengan catatan (beneficiare)
4. Menolak warisan
Ahli waris mempunyai kewajiban diantaranya:
1. Memelihara Harta Peninggalan
2. Membagi warisan berdasarkan ketentuan hukum waris B.W.
3. Melunasi hutang pewaris jika ada
4. Melaksanakan wasiat
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta peninggalan orang
yang meninggal dunia. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada selalu menerima
harta peninggalan, sebab para ahli waris yang lebih dekat kepada pewaris, menutup
yang lebih jauh berdasarkan urutan.60 Ahli waris menurut BW digolongkan
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:61
1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya ke bawah tanpa
batas beserta janda/duda (Pasal 852-852a)
2. Golongan II : Terdiri dari ayah/atau ibu si pewaris beserta saudara dan
keturunannya sampai derajat ke 6 (Pasal 855)
3. Golongan III : Terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas (Pasal
850-855)
4. Golongan IV : Terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke samping yang lebih
jauh sampai derajat ke 6 (Pasal 858-861)
Hak waris ini didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan
surat wasiat yang diberikan kepada orang yang disebut dengan istilah legataris,
yang diatur dalam undang-undang. Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia
berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas
benda tertentu tanpa kewajiban. Jika terbuka suatu warisan, seorang ahli waris
57
Surini Ahlan Sjarif dan nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005 hal 11
58
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
hlm.282
59
Henny Tanuwidjaja, S.H.,SpN., Hukum Waris Menurut BW, Refika Aditama, Bandung,
2012, hlm.5
60
Ridwan Setiawan dalam Oemar Moecthar, Kedudukan Negara sebagai Pengelola Warisan
atas Harta Peninggalan Tak Terurus dalam Sistem Hukum Waris Burgerlijk Wetboek, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Yuridika Vol.32 2 Mei 2017, hlm.284
61
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit.,hlm.8
dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula
kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan
membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan
itu. BW memberikan tiga macam sikap yang harus dipilih salah satunya oleh ahli
waris yaitu:62
1. Menerima seluruh harta warisan, yang dalam pengertian ini berarti juga
meliputi utang-utang si peninggal warisan
2. Menerima dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan
pengertian bahwa utang-utangnya dapat dibayar sekedar harta warisan
mencukupi.
3. Menolak harta warisan dengan pengertian bahwa ia tidak tahu menahu
tentang pengurusan harta warisan tersebut.
Apabila ahli waris memilih sikap kedua yaitu menerima dengan syarat
maka harta pribadi ahli waris tidak bercampur dengan harta warisan, dengan
demikian utang-utang si peninggal warisan tidak akan dilunasi secara pribadi oleh
ahli waris tersebut. Sikap penerimaan dengan syarat ini disebut juga "voorrecht van
boedelbeschrijving" atau "beneficiaire aanvaarding." Ahli waris yang hendak
memilih sikap kedua ini ini harus menyatakan kehendaknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri setempat di mana warisan itu telah terbuka. Akibat yang
terpenting dari "beneficiaire aanvaarding", bahwa kewajiban si waris untuk
melunasi hutang-hutang dan beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa,
sehingga pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si
waris tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang dengan kekayaannya
sendiri.63 Adapun atas hal tersebut ahli waris yang memilih sikap menerima dengan
syarat (beneficiary aanvarding) tersebut dibebani kewajiban diantaranya : 64
62
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit, hlm 61
63
Hartono Soerjopratiknyo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Yogyakarta: Andi Offset, 1983, hlm.
68.
64
Subekti, Op.Cit, hlm. 104
1. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri,
bahwa ia menerima warisannya secara beneficiair.
2. Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya.
3. Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan (de' boedel tot effenheid
brengen").
4. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan
untuk harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak
bergerak yang tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang
memegang hypotheek.
5. Memberikan pertanggunganjawab kepada sekalian penagih hutang dan orang-
orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa
menghitung harga serta pendapatan-pendapatan yang mungkin akan diperoleh,
jika barang-barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang-piutang
dan legaten itu dapat dipenuhi.
6. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar
resmi. Sebenarnya, peraturan yang diberikan oleh undang-undang mengenai
pemberesan harta peninggalan dalam hal penerimaan warisan secara
beneficiair ini, adalah sangat sederhana dan kurang jelas.
Sikap terakhir yang dapat dipilih oleh ahli waris adalah menolak harta
warisan. Sikap ini diatur dalam pasal 1057 BW yaitu “Menolak suatu warisan
harus terjadi dengan tegas , dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang
dibuat dikepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dlam daerah hukumnya terbuka
warisan itu.” Selanjutnya dalam pasal 1058 BW disebutkan ahli waris yang
menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris.
Berdadarkan hal tersebut maka ahli waris pada dasarnya mempunyai hak
waris saat si peninggal harta waris meninggal dunia dimana tidak hanya harta
benda dan hak saja yang beralih kepada ahli waris melainkan juga kewajiban dan
utang si peninggal harta waris. Namun para ahli waris oleh hukum diberikan
pilihan untuk menentukan sikap atas hak waris tersebut karena pada prinsipnya
65
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980, hlm. 103
66
Henny Tanuwidjaja, Op.CIt, hlm. 61-62
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan atau warisan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi
yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit), juga di dalamnya terdapat
harta yang akan diturunkan kepada para ahli waris yang sah
67
Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, hlm. 252.
68
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan), Bagian A, Yogyakarta
: Seksi Hukum Perdata UGM, 1980, hlm. 1.
69
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm.7
70
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, , 1985, hlm. 122-123.
3. Tidak melakukan suatu perbuatan
Utang menurut Setiawan seyogyanya diberi arti luas baik dalam arti kewajiban
membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang
(dimana debitor telah menerima sejumlah uang tertentu dari kreditumya), maupun
kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak
lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan
perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang
tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul
dari perjanjian-perjanjian lain".72 Apabila dilihat dari sumber perikatan maka utang
71
Abdul Hakim Siagian, Hukum Perjanjian, UMSU Press, Medan, 2014, hlm 8-9
72
Setiawan, Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi Kini, seperti dikutip oleh Rudy A. Lontoh,
Denny Kailimang dan Benny Ponto, (ed) “Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan
Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2001, hlm. 117
tidak hanya timbul dari perjanjian kredit ataupun perjanjian-perjanjian lain bahkan
semakin luas utang dapat timbul dari perbuatan melanggar hukum, baik hukum yang
tertulis maupun tidak tertulis. Perbuatan melanggar hukum salah satunya adalah tidak
melaksanakan kewajiban hukumnya sebagai mahkluk sosial. Hal tersebut dapat dilihat
dari kasus Lindenbaum-Cohen dimana Arrest Hoge Raad pada 31 Januari 1919
memutuskan bahwa pengertian dari Perbuatan Melanggar Hukum menjadi lebih luas.
Makna Perbuatan Melanggar Hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang
melanggar hukum atau norma-norma yang tertulis saja, melainkan juga meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah
hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak
tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau
terhadap harta benda warga masyarakat.
Dengan demikian oleh karena kewajiban pembayaran ganti rugi yang diberikan
oleh putusan pengadilan atas Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh si
peninggal harta waris merupakan utang dan merupakan bagian dari warisan yang
dialihkan kepada ahli waris selain dari hak dan harta kekayan si peninggal harta waris
karena warisan menurut 1100 BW adalah semua yang didalamnya juga termasuk utang-
utang yang harus dibayar si peninggal harta warisan.
Warisan meliputi hak dan harta kekayaan milik peninggal harta waris beserta
utang yang harus dibayar oleh si peninggal harta warisan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman pembayaran gantirugi, biaya dan bunga yang
dijatuhkan oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada si
peninggal harta warisan merupakan utang yang melekat pada diri si peninggal harta
warisan sehingga apabila si peninggal harta warisan tersebut meninggal dunia maka
kewajiban pembayaran gantirugi, biaya dan bunga merupakan bagian dari warisan
untuk ahli warisnya. Namun atas warisan tersebut ahli waris dapat menentukan sikap,
apakah ahli waris menyatakan menerima tanpa syarat, menerima dengan syarat
ataupun menolak warisan tersebut. Akibat hukum atas sikap ahli waris tersebut
kepada para kreditor ataupun pihak yang dirugikan lainnya tentunya berbeda.
Selama masa berpikir tersebut ahli waris diwajibkan untuk memelihara harta
waris. Akibatnya, selama waktu itu si waris tidak dapat dipaksa untuk melakukan
kewajiban-kewajiban seorang ahli waris. Terhadap dirinya tak dapat dimintakan
putusan hakim. Apabila sudah ada sesuatu putusan, pelaksanaannya harus
ditangguhkan dahulu. Jika ia digugat sebagai ahli waris, ia dapat mengajukan
perlawanan yang bertujuan untuk mempertangguhkan perkara sampai habisnya waktu
untuk berfikir. Selama itu ahli waris tersebut, diwajibkan mengurus harta peninggalan
itu sebaik-baiknya. la tak boleh menjual apa-apa, sebab perbuatan semacam itu dapat
diartikan sebagai penerimaan penuh secara diam-diam (stilzwijgende aanvaarding).73
Akibat hukum ahli waris yang menerima warisan penuh atau tanpa syarat berarti
harta pribadi bercampur dengan harta warisan, sehingga bila perlu harta pribadinya
dapat dikurangi untuk membayar utang-utang si peninggal warisan.74 Hal tersebut
berlaku bagi ahli waris yang menerima warisan secara tegas maupun yang menerima
warisan secara diam-diam. Atas sikap ahli waris tersebut para kreditor ataupun pihak
yang berkepentingan tidak kesulitan dalam menuntut kewajiban hukum dari ahli waris
karena sikap ahli waris tersebut menunjukkan sikap kesediaan untuk
bertanggunggugat atas kewajiban hukum yang sebelumnya melekat pada si peninggal
harta waris. Dengan demikian maka apabila ada pihak kreditor ataupun pihak yang
berkepentingan menggugat ahli waris almarhum notaris atas kesalahan dalam akta
yang dibuat oleh almarhum notaris dan menuntut ganti kerugian, biaya dan bunga
maka apabila ahli waris almarhum notaris tersebut menyatakan menerima secara
penuh / tanpa syarat baik secara tegas maupun diam-diam maka ahli waris almarhum
tersebut secara penuh bertanggung gugat atas kerugian yang diderita oleh pihak yang
merasa dirugikan karena akta yang dibuat oleh almarhum notaris. Hakim dapat
memutuskan untuk menyita seluruh harta kekayaan milik ahli waris notaris tersebut
tidak hanya harta yang diperoleh dari waris melainkan juga sampai pada harta pribadi
ahli waris.
Yang kedua, akibat hukum yang ditimbulkan karena sikap ahli waris yang
menerima warisan dengan syarat yaitu harta pribadi ahli waris tidak bercampur dengan
harta warisan, sehingga hal yang menyangkut dengan utang-utang si peninggal warisan
hanya dibayar sampai nilai harta warisan.75 Dengan demikian maka ahli waris baru
dapat menerima harta warisan apabila masih ada sisa dari harta peninggalan yang
terlebih dahulu dipergunakan untuk melunasi utang si peninggal harta waris kepada
para kreditor. Atas sikap ini ahli waris beneficiary aanvarding dibebani kewajiban
diantaranya :76
73
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000, hlm. 56
74
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit, hlm. 63
75
Ibid.,hlm 64
76
Subekti, Op.Cit, hlm. 104
1. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa
ia menerima warisannya secara beneficiair.
2. Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya.
3. Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan (de' boedel tot effenheid brengen").
4. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk
harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak bergerak yang
tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang memegang hypotheek.
5. Memberikan pertanggunganjawab kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang
yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung harga
serta pendapatan-pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang-barang
warisan dijual dan sampai berapa persen piutang-piutang dan legaten itu dapat
dipenuhi.
6. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.
Sebenarnya, peraturan yang diberikan oleh undang-undang mengenai pemberesan
harta peninggalan dalam hal penerimaan warisan secara beneficiair ini, adalah
sangat sederhana dan kurang jelas.
Atas hal tersebut maka apabila ahli waris beneficiair mendapat gugatan dari para
kreditor dari si peninggal waris maka ahli waris tersebut mempunyai kewajiban
mengurus harta warisan dan baru menerima harta warisan apabila terdapat sisa dari
pembayaran utang-utang si peninggal waris. Bagi kreditor apabila sudah lampau 3
bulan sejak harta warisan diterima ahli waris dan 6 bulan setelah meninggalnya si
peninggal warisan maka apabila kreditor dapat membuktikan suatu warisan tidak akan
mencukupi untuk melunasi hutang-hutang si meninggal, maka biasanya ditempuh jalan
meminta pada hakim supaya warisan itu dinyatakan pailit. Dengan demikian maka
apabila ahli waris almarhum notaris atas gugatan Perbuatan Melanggar Hukum yang
diajukan oleh pihak yang dirugikan atas akta almarhum notaris maka ahli waris notaris
yang menerima warisan secara beneficiary tidak dapat bertanggunggugat sampai
dengan harta pribadinya.
Yang ketiga, apabila ahli waris menolak harta warisan, maka berdasarkan
pasal 1061 BW, pihak kreditor dapat meminta kepada hakim agar ia diberi kuasa untuk
mengganti menerima harta warisan atas nama ahli waris yang menolak warisan.77
Berdasarkan hal tersebut maka apabila terdapat gugatan terhadap ahli waris almarhum
notaris dari pihak yang dirugikan akibat akta yang dibuat oleh almarhum notaris maka
apabila ahli waris almarhum notaris menyatakan menolak waris maka upaya yang dapat
dilakukan oleh pihak yang dirugikan tersebut adalah permohonan untuk menerima harta
warisan atas nama ahli waris yang menolak warisan tersebut sebagai upaya untuk
mendapatkan haknya.
KESIMPULAN
Atas kesalahan yang dibuat oleh notaris yang pada akhirnya membuat
kekuatan pembuktian akta yang dibuatanya turun menjadi akta dibawah tangan atau
atas kesalahan maupun perbutan notaris menyebabkan akta tersebut oleh pengadilan
dinyatakan batal atau batal demi hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi para
pihak yang berkepentingan maka apabila notaris tersebut meninggal dunia maka para
pihak yang dirugikan tersebut oleh hukum diperbolehkan untuk menggugat ahli waris
almarhum notaris dengan dasar kewajiban pembayaran gantirugi, biaya dan bunga
dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas Perbuatan Melanggar
Hukum yang dilakukan oleh almarhum notaris merupakan utang almarhum notaris.
Warisan tidak hanya meliputi hak dan harta kekayaan saja melainkan juga meliputi
utang sehingga hukuman pembayaran ganti rugi, bunga dan biaya atas Perbuatan
Melanggar Hukum almarhum notaris dapat beralih ke ahli waris almarhum notaris
sebagai warisan. Dengan demikian para ahli waris dapat bertanggunggugat atas
hukuman pembayaran gantirugi biaya dan bunga tersebut. Namun oleh hukum pula
ahli waris tersebut diberikan hak untuk memilih menerima warisan, menerima
warisan dengan syarat atau menolak warisan.
SARAN
Apabila terjadinya gugatan yang dialami oleh ahli waris notaris di Pengadilan
Negeri yang melibatkan pihak yang dirugikan, maka diperlukan produk hukum yang
menegaskan bahwa tanggunggugat notaris dapat beralih ke ahli warisnya atau hal
tersebut dapat ditegaskan dalam Undang – undang Jabatan Notaris Nomor 02 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) sehingga ada kepastian hukum bagi para
pihak yang dirugikan atas Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh notaris
yang telah meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, H.A. Wahab, 1994, Fiqh Mewaris, Cet. I, Yayasan Ulumul Quran, Serang,
BN, Marbun, Membuat perjanjian yang aman dan sesuai hukum,Puspa Swara,
Cetakan I, Jakarta, 2009
Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Prinsip-prinsip dasar profesi notaris, ,Dunia
Cerdas,Cetakan I, Jakarta, 2013
Kie, Tan Thong, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2000)
Munir Fuady, Perbuatan Melanggar Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Nieuwenhuis, J.H. Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1985
Prajitno, A.A Andi Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di
Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, 2010
Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP
(suatu kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta)
Surini Ahlan Sjarif dan nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat,
Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
Syahrani, Riduan 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung,
Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti
Poesponoto, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981,
Tobing, G.H.S. Lumban Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement),
Erlangga,Jakarta, 1999