Jurnal Tanggung Gugat

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 44

TANGGUNG GUGAT AHLI WARIS NOTARIS

TERHADAP PEWARIS YANG DIJATUHI

HUKUMAN GANTI RUGI

Andi Fitra

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya | Jl. Arief Rachman
Hakim No. 51, Klampis Ngasem, Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur 60117. (031)
5946404

e-mail : 19fitra@gmail.com

Abstract : Authentic deeds in agreements made by notaries do not rule out the
possibility to bring up legal matters and cause lawsuit case from the parties in the
deed. The limitation of accountability of notaries can be required as long as they are
still authorized to perform the duties of a notary. However, if the notary has passed
away in the making of the deed, it becomes a legal matter and has harmed the parties.
then what happens in interpretations of positive law is the one that must bear the
punishment for damages made by the notary, based on a decision that has the legal
binding verdict (inkracht) is the heir of the notary.
Keywords: Accountability, notary, heir, authentic deed

Abstrak : Akta otentik dalam perjanjian yang dibuat oleh Notaris tidak menutup
kemungkinan menimbulkan masalah hukum dan memunculkan suatu perkara gugatan
yang berasal dari para pihak yang berada dalam akta. Batasan tanggung gugat notaris
tersebut dapat diminta sepanjang mereka masih berwenang dalam melaksanakan tugas
jabatan sebagai notaris. Namun apabila notaris tersebut telah meninggal dunia dalam
pembuatan akta semasa hidupnya yang menjadi suatu permasalahan hukum dan telah
merugikan para pihak, maka yang terjadi dalam penafsiran-penafsiran hukum sekarang
adalah yang harus menanggung hukuman ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan oleh
notaris tersebut berdasarkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
ahli waris dari notaris tersebut tersebut.
Kata Kunci : Tanggung gugat, notaris, ahli waris, akta otentik

PENDAHULUAN

Hukum Indonesia saat ini seiring perjalanan waktu terus melakukan adaptasi
terhadap pengaruh perkembangan yang terjadi baik itu di dalam negeri maupun
pengaruh dari luar, sehingga nantinya Pemerintah dalam melaksanakan
penyelenggaraan negara dalam menjalankan suatu kebijakan pemerintahan dapat
terkontrol dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Penyelenggaraan
negara pada zaman ini yang menjadi penopang pembangunan dibidang profesi,
sehingga suatu negara dituntut untuk menentukan regulasi yang sesuai dengan suatu
profesi itu sendiri baik dengan perundang-undangan ataupun kebijakan dari negara itu
sendiri.
Indonesia yang mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang
perjanjian dan kerjasama saat ini, dibutuhkan suatu perjanjian yang tertulis sehingga
memiliki bukti bahwa telah dilaksanakan suatu perjanjian atau kerjasama tersebut
antara para pihak, yang mana dalam hal ini merupakan suatu kebutuhan untuk
melegalkan kegiatan kerjasama dan perjanjian tersebut, oleh karena itu regulasi dan
peraturan-perundangan yang mengatur mengenai hal tersebut yaitu notaris. Kehadiran
notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis
yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh notaris merupakan
wujud kepastian hukum bagi para pihak yang bertransaksi.

Notaris sebagai salah satu profesi di bidang hukum bertugas memberikan


pelayanan hukum serta menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
dalam masyarakat. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut notaris mengemban
tanggung jawab yang berkenaan dengan alat bukti yang dapat menentukan dengan jelas
hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-


Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris (yang selanjutnya di sebut
UUJN Perubahan), yang saat ini merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan pasal
BW berisikan pengaturan umum tentang notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta Otentik. Berdasarkan pengertian mengenai Notaris serta tugas dan
kewenangannya itu apabila di kaitkan dengan Pasal 15 ayat (1) UUJN Perubahan maka
teranglah bahwa notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat dimana berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya dapat menciptakan alat pembuktian yang
melalui akta otentik yang dibuat, dengan pengertian bahwa apa yang dibuat dalam akta
otentik tersebut ialah yang dianggap benar sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1870
BW.

Notaris sebagai pejabat umum pada dasarnya mempunyai kewenangan utama


yaitu pembuatan akta otentik dan kewenangan lainnya yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Pembuatan akta otentik oleh notaris dapat karena di haruskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau pembuatan akta otentik yang tidak di
haruskan oleh peraturan perudang-undangan namun dikehendaki oleh para pihak,
sepanjang tidak ditugaskan atau di kecualikan kepada pejabat lain atau orang lain.1
Keterlibatan notaris dalam pembuatan akta otentik mengenai perbuatan atau perjanjian
tertentu yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan umumnya di berlakukan
terhadap hal-hal substansial yang tidak saja berpengaruh terhadap para pihak dalam
akta namun juga berpengaruh terhadap pihak ketiga dan masyarakat pada umumnya.
Dalam hal ini akta notaris merupakan syarat adanya suatu perbuatan hukum tertentu,
sehingga dengan tidak adanya atau tidak di buatnya akta tersebut perbuatan hukum itu
tidak terjadi.2

Akta otentik dalam perjanjian yang dibuat oleh Notaris untuk kepentingan para
pihak, tidak menutup kemungkinan menimbulkan masalah hukum, masalah hukum
yang sering terjadi adalah suatu produk hukum yang dibuat oleh notaris pada saat
dibuat dan dalam waktu yang singkat belum terdapat permasalahan, namun

1
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatanb Akta,
Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 121.
2
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, hal. 46.
permasalahan itu muncul dan terjadi pada saat waktu yang sangat lama dimana
terjadinya suatu perkara gugatan antara para pihak yang berada dalam akta yang dibuat
oleh notaris itu. Akibat dari perkara para pihak yang ada dalam akta notaris seringkali
dalam suatu pemeriksaan, notaris juga dikaitkan oleh karena sebagai pelaksana yang
menuangkan isi dari perjanjian para pihak yang berseteru.

Dalam suatu permasalahan hukum yang timbul akibat dibuatnya suatu akta
oleh notaris saat menjalankan tugas dan jabatannya di bidang kenotariatan, kedudukan
Notaris sebagai pelaksana hukum, sedangkan pada waktu Notaris dikenakan tanggung
gugat, kedudukan Notaris sebagai yang dikenakan hukum, berhadapan dengan
penerapan sanksi. Apabila seorang Notaris, sudah tidak menjabat lagi meskipun yang
bersangkutan masih hidup tidak dapat di mintakan lagi tanggung gugat dalam bentuk
apapun dan Notaris penyimpan protokol wajib memperlihatkan atau menyerahkan
grosse/akta, salinan akta atau kutipan akta atau oleh Majelis Pengawas Daerah untuk
protokol Notaris yang telah berumur dua puluh lima tahun atau lebih, Pasal 63 ayat (5)
UUJN Perubahan. Batasan tanggung gugat notaris, dapat diminta sepanjang mereka
masih berwenang dalam melakanakan tugas jabatan sebagai notaris atau kesalahan-
kesalahan yang di lakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris dan sanksi-
sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris dapat dijatuhkan sepanjang notaris masih
berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris, dengan kontruksi
tanggung gugat seperti tersebut di atas, tidak akan ada lagi notaris setelah yang
bersangkutan berhenti dari tugasnya sebagai notaris.

Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa notaris, batasan tanggung gugat


apabila masih menjabat namun yang terjadi dalam penafsiran-penafsiran hukum bahwa
akta yang dibuat oleh notaris yang di jadikan suatu permasalahan hukum yang
merugikan para pihak, sehingga sampai dimana tanggung gugat notaris tersebut, dan
apabila telah meninggal dunia maka Notaris yang membuat akta tersebut berdasarkan
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka yang harus menanggung
hukuman ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan oleh notaris itu adalah ahli waris
dari notaris tersebut, oleh karena itu dari uraian tersebut diatas, maka penulis ingin
meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif, Penelitian hukum


normatif dilakukan untuk mencari pemecahan masalah berdasarkan Peraturan
perundang-undangan, sehingga hasil dari penelitian hukum ini adalah memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyannya mengenai isu hukum ini diajukan serta
dapat diterapkan dalam hukum praktek pemerintahan. Peter Mahmud Marzuki
menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.3

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Pendekatan


perundang-undangan (statue approach) dan Pendekatan konseptual (conceptual
approach).4

3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. 6, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2010,
hal 35.
4
Ibid, hal. 93
PEMBAHASAN

1. BENTUK TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP AKTA YANG


CACAT YURIDIS

A. Tinjauan Umum mengenai Tanggung Gugat

Tanggunggugat berkaitan dengan sebuah tanggungjawab dan sebuah tanggung


jawab berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang melekat pada diri seseorang
ataupun badan hukum. Berkaitan dengan jabatan Notaris. Notaris secara umum
mempunyai wewenang dalam membuat suatu akta otentik, dimana pada dasarnya
sebuah akta tersebut berpedoman pada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
dalam pasal 1320 BW dan secara formil pembuatannya berpedoman pada Undang
Undang Jabatan Notaris. Apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atas
kesalahan pada akta tersebut maka notaris dapat digugat dengan dasar adanya
perbuatan melanggar hukum.

Istilah perbuatan melanggar hukum pada umumnya adalah sangat luas artinya
yaitu kalau perkataan ”hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan hal
perbuatan hukum dipandang dari berbagai aspek. Istilah perbuatan melanggar
merupakan terjemahan dari istilah ”onrechtmatige daad” dalam bahasa Belanda yang
lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 BW.
Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan hukum privat berdasarkan :

1. Teori fiksi; bahwa badan hukum itu diumpakan sebagai manusia terpisah dari
manusia yang menjadi pengurusnya, karena itu perbuatan hukum dilakukan oleh
pengurusnya tidak dapat dikatakan perbuatan hukum melainkan perbuatan orang
lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada badan hukum itu.
2. Teori organ; menurut teori ini badan hukum itu sama dengan manusia pribadi,
dapat melakukan perbuatan hukum. Jika terjadi pelanggaran, badan hukum itu
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Teori yuridische realitet; menurut teori ini badan hukum adalah realitas yuridis,
yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Jadi ia dapat
dipertanggung jawabkan dalam setiap perbuatan hukum.5

Dengan demikian, berdasarkan teori fiksi badan hukum privat tidak dapat dituntut
berdasarkan Pasal 1365 tetapi berdasarkan Pasal 1367 BW. Sedangkan berdasarkan
teori organ dan teori yuridische realitet, badan hukum privat dapat dituntut
berdasarkan Pasal 1365 BW.6

Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum harus dipertanggungjawabkan


akibat kerugian yang ditimbulkan. Tanggung jawab akibat kerugian tersebut
merupakan tanggung jawab menurut hukum perdata atau liability.7 Peter Mahmud
Marzuki berpendapat bahwa, tanggung jawab dalam arti liability diartikan sebagai
tanggung gugat sebagai terjemahan dari liability/aansprakelijkheid yang merupakan

5
FX.Suhardana et al, Hukum Perdata I, Jakarta, Prenhalindo, 1987 hal. 58-59. Berdasarkan teori dari
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861)
6
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 252
7
K. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi Pertama, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm 308
bentuk spesifik dari tanggung jawab. Tanggung gugat merujuk kepada posisi
seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk
kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum. Ia,
misalnya harus membayar ganti kerugian kepada orang atau badan hukum lain karena
telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga
menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum lain tersebut. Istilah tanggung
gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat. Hal tersebut dikuatkan oleh
pendapat J.H. Nieuwenhuis, berpendapat bahwa tanggung gugat merupakan
kewajiban untuk menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma.
Perbuatan melanggar norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena Perbuatan
Melanggar Hukum dan wanprestasi.8

Dengan demikian maka tanggunggugat merupakan suatu bentuk tanggungjawab


yang khusus dalam ruang lingkup hukum perdata sehingga hukuman yang dapat
dijatuhkan untuk sebuat bentuk pertanggunggugatan adalah penggantian gantirugi,
biaya dan bunga terhadap pihak-pihak yang dirugikan berdasarkan Putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

B. Tinjauan Umum tentang Notaris

Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada
masa roma kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius.
Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato. Istilah notaris
diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi
golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari
profesi hukum yang tertua di dunia. Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral,
sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka
notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris
diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum
yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan
hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas
notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah.9

Notaris berasal dari kata “nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang
dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya
ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan
kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan
oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya
di tengah masyarakat.10 G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian notaris
sebagai berikut: 11 “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang

8
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas Airlangga, Surabaya,
1985, hlm 135.
9
Ibid.
10
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga,Jakarta, 1999,
hal. 41.
11
Ibid, hal. 31.
untuk membuat Akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akte otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktenya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akte itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain. Menurut Colenbrunder, notaris adalah: “Pejabat
yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat
semuanya yang ia alami dalam suatu akta. Demikianlah ia membuat berita acara dan
pada apa yang dibicarakan dalam rapat pemegang saham, yang dihadiri atas
permintaan pengurus perseroan atau tentang jalannya pelelangan yang dilakukannya
atas permintaan pengurus perseroan, atau tentang jalannya pelelangan yang
dilakukannya atas permintaan penjual. Demikianlah ia menyaksikan (comtuleert)
dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh
kliennya. 12

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan No. 30


Tahun 2004 tengan Jabatan Notaris (UUJN Perubahan) dimana disebutkan Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang undang lainnya. Notaris sebagai pejabat umum pada dasarnya
mempunyai kewenangan utama yaitu pembuatan akta otentik dan kewenangan
lainnya yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pembuatan akta otentik
oleh notaris dapat karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
pembuatan akta otentik yang tidak diharuskan oleh peraturan perudang-undangan
namun dikehendaki oleh para pihak, sepanjang tidak ditugaskan atau di kecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain.13 Menurut Wawan Setiawan, Pejabat Umum
adalah organ negara yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang
menjalankan sebagian dari kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari
kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum
perdata 14 Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik adalah sebagai
berikut: 15
a. Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari Openbaar Ambtenaar, dalam
konteks ini, openbaar tidak bermakna umum, tapi bermakna Publik, dan Ambt
pada dasarnya jabatan publik. Maka pejabat Umum yang dimaksud dalam pasal 1
angka 1 UUJN harus dibaca sebagai pejabat publik atau Notaris sebagai Pejabat
Publik yang berwenang untuk membuat akta Otentik (pasal 15 ayat 1 UUJN) dan
kewenagan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) dan Ayat (3)
UUJN.
b. Mengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam hal ini Publik yang
bermakna hukum, bukan publik sebagai Khalayak umum. Notaris sebagai Pejabat
Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang
dikategorikan sebagai badan atau Pejabat Tata usaha Negara. Hal ini dapat
12
14 Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek
Indonesie, Ichtiar Baru-Van Voeve, Jakarta 1998 hal. 882.
13
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatanb Akta,
Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 121.
14
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan dengan
kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sitem Hukum Nasional, Jakarta, 2 Juli 2001, Hal. 8,
Pengurus Pusat Pejabat Pembuat Akta Tanah.
15
Habib Adjie, sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan
Pertama, PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 163-164.
dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai
Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat
sebagai keputusan tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final
dan Pejabat Tata Usaha Negara merupakan suatu jabatan tetap tidak menimbulkan
akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang
dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris dan bukan
kehendak Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa dipengadilan umum.
Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu surat keputusan atau
ketetapan yang terikat dalam ketentuan hukum administrasi negara diperiksa
diPengadilan tata usaha negara, dengan demikian Notaris sebagai Pejabat Publik
yang bukan pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Notaris dalam kategori sebagai
Pejabat Publik yang bukan dengan wewenang yang tersebut dalam aturan hukum
yang mengatur jabatan notaris yang sekarang berlaku.

C. Tugas dan Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Otentik

Pasal 1 angka 1 UUJN Perubahan menerangkan bahwa notaris sebagai adalah


pejabat umum. Selanjutnya pengertian berwenang meliputi : berwenang terhadap
orangnya, yaitu untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang
yang berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan undang-
undang atau yang dikehendaki yang bersangkutan.16 Serta berwenang terhadap waktunya
dan berwenang terhadap tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan wilayah jabatan
notaris dan notaris menjamin kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam
akta. Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu akta
menjadi otentik, seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib
Melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya
tidak boleh diragukan.17

Salah satu aparat hukum dibidang keperdataan adalah Notaris yang harus
profesional karena mewakili negara menjalankan dan fungsi sosialnya didalam
pembuatan akta sebagai alat bukti yang berupa “Akta Otentik”. 18 Notaris juga
memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang kepada
pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai
bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk
melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi penguasa, yaitu pemerintah
untuk menunjuk dan mengangkat Notaris. Berkaitan dengan wewenang yang harus
dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang
telah ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum tersebut
Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat

16
Habieb Adjie Op-Cit, hal. 14.
17
Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2000), hal. 166
18
A.A Andi Prajitno, Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra
Media Nusantara, 2010, Hlm. 1
oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi
empat (4) hal yaitu sebagai berikut :
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.19

Fungsi notaris adalah memberi kepastian dan kelancaran hukum keperdataan bagi
segenap usaha masyarakat. Notaris haruslah dapat diandalkan, tidak memihak, mampu
menjaga rahasia dan memberi jaminan atau bukti. Notaris juga berfungsi membuat
perjanjian yang melindungi kepentingan perdata setiap pihak.20Sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 UUJN Perubahan, bahwa salah satu kewenangan notaris adalah membuat
akta autentik. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki
wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh
UUJN.21

Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Adapun akta
otentik itu menurut Pasal 1870 BW memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya
suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris, bahwa
Notaris karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang
sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada
pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya. Menurut Setiawan,
"Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik
hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada
dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para
pihak yang bersengketa”.22 Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan
bukan sebagai salah satu pihak ia tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan.
Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat
ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan
sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat di hadapannya.

Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam Pasal Pasal
1 angka 1 UUJN Perubahan yaitu membuat akta otentik. Notaris tidak boleh membuat
akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa
perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak
baik secara pribadi maupun diwakili oleh kuasanya. Sehubungan dengan kewenangan
Notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 UUJN
Perubahan dijelaskan bahwa :
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan

19
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hal. 49-50.
20
Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Prinsip-prinsip dasar profesi notaris, ,Dunia Cerdas,Cetakan I,
Jakarta, 2013, hal 13.
21
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press,
Yogyakarta, 2009, hal. 13‐14.
22
Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu kajian uraian
yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), hal. 2.
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Di dalam pasal 1868 Kitab Undang – undang Hukum Perdata ( BW ) menetukan


bahwa :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang – undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai – pegawai umum yang
berkuasa untuk ditempat dimana akta dibuatnya”
Akta yang dibuat notaris sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 1 dan ayat 7
UUJN berkaitan dengan ayat 1 pasal 15 Undang – undang Jabatan Notaris
meruapakan akta dan pejabat yang dimaksud pada pasal 1868 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ( BW ), yaitu berupa akta relaas dan akta partij. Akta para pihak
(partij akte), adalah akta yang berisi keterangan yang dikehendaki oleh para pihak
untuk dimuatkan dalam akta bersangkutan. Termasuk kedalam akta ini misalnya ; akta
jual beli, akta perjanjian pinjam pakai, akta perjanjian kridit, akta perjanjian sewa
menyewa, dan lain-lain. Dengan demikian partij akte adalah : 1) Inisiatif ada pada
pihak-pihak yang bersangkutan dan 2) Berisi keterangan para pihak. Sedangkan Akta
Pejabat (Ambtelijk Akte atau Relaas Akte) adalah Akta yang memuat keterangan resmi
dari pejabat berwenang, tentang apa yang dia lihat dan saksikan dihadapannya. Jadi
akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang
membuatnya. Yang termasuk kedalam akta diantaranya; Berita acara rapat pemegang
saham perseroan terbatas; Berita acara lelang; Berita acara penarikan undian; Berita
acara rapat direksi perseroan terbatas; Akta kelahiran, Akta kematian, Kartu tanda
penduduk, Surat izin mengemudi; Ijazah; Daftar inventaris harta peninggalan dan
lain-lain. selanjutnya, dari dua jenis atau macam akta ini dipilah – pilah lagi.
1. Akta Notariel ( Notariel Akta ) berupa :
1.1.Akta Notariel ;
Akta Notariil ada dua macam bentuk akta yang dibuat atas dasar permintaan
dari jumlah pihak, yaitu :
1.1.1. Permintaan beberapa pihak, merupakan tibdakan hukum minimal dua
pihak ; dan akta yang dikehendaki oleh beberapa pihak merupakan akta
partij atau akta pihak yang dikenal dengan bentuknya disebut
perjanjian (overeenskomst). Bagian materi atau yang harus dipenuhi
dalam perjanjian adalah subyek hukum dan obyek hukum harus jelas,
tidak mencntumkan hal – hal yang telah diatur oleh Undang – Undang
dan memenuhi pasal 1320 KUHPerdata ( Syarat sah nya perjanjian )
1.1.2. Permintaan Sepihak, merupakan tindakan hukum dari suatu subyek
hukum (Lebih tepat satu pihak, dimana satu pihak ini bisa terdiri lebih
dari satu subjek hukum). Akta Sepihak adalah akta yang dikehendaki
oleh satu subjek hukum berupa akta pernyataan yang bentuknya berupa
akta pemberian kuasa, akta pembuatan manusia, akta hibah wasiat,
akta pengakuan, akta keterangan. Akta ini dapat dicabut sepihak, setiap
saat oleh penghadap atau pembuat akta.
1.1.3. Akta Berita Acara atau Akta Pejabat ( Ambtelijk Akta/Relaas Akta ).
Akta ini isinya bukan merelatir kehendak para pihak, tetapi mencatat
segala peristiwa yang dilihat didengar dan dirasakan dari pelaksanaan
jalannya rapat atau acara yang diliput.
1.1.4. Akta Wessel Protes, akta ini sebenarnya semacam akta teguran dari
Notaris, atas tagihan yang muncul karena akta yang dibuatnya /
dihadapannya untuk kepentingan kliennya jadi yang ditagih tidak perlu
atau tidak perlu menandatangi minuta aktanya, bila tidak
ditandatangani cukup didalam akta ditulis dengan alasannya.
1.1.5. Akta Perubahan, sesuai dengan pasal 51 Undang – undang Jabatan
Notaris, yang dimaksud dengan akta perubahan disini adalah akta yang
bersifat pembetulan karena kesalahan penulisan oleh Notaris dalam
akta yang dibuatnya.23

Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3)
menerangkan sebagai berikut :
“Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain”.
Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai
karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang
pengaturan jabatan Notaris, artinya satusatunya aturan hukum dalam bentuk undang-
undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang
berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris
merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris
sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat
oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta
bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.24 Oleh karena
Notaris adalah sebuah jabatan, maka sepatutnya dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya berpedoman pada asas – asas pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris

23
Ibid., Hlm.67-72
24
Habib Adjie I, op.cit, hal. 32-34.
yang baik dalam Asas Pemerintahan yang baik ( AUPB ) yang diantaranya dikenal
asas – asas sebagai berikut :
a. Asas Persamaan
Pada awalnya kehadiran notaris di Indonesia, sekitar tahun 1620, kewenangannya
terbatas dan hanya melayani golongan penduduk tertentu atau melayani mereka yang
bertransaksi dengan pihak Vereenigde Oost Ind. Compagnie ( VOC ). Sesuai dengan
perkembangan jaman, institusi Notaris telah menjadi bagian Notaris telah menjadi
bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan
institusi Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak
membedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaan sosial – ekonomi atau
alasan lainnya.
b. Asas Kepercayaan
Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan
mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang dapat dipercaya.
Notaris sebagai jabatan kepercayaan tidak berarti apa – apa jika ternyata mereka yang
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris adalah orang yang tidak dapat dipercaya.
Dalam hal ini, antara Jabatan Notaris dan Pejabatnya (yang menjalankan tugas jabatan
notaris) harus sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
c. Asas Kepastian Hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif
kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk
kemudian dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku
akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat dihadapan
atau oleh notaristelah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi
permasalahan, akta notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.
d. Asas Kecermatan
Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan didasarkan pada
aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris,
dan mendenganrkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai
bahan dasar untuk ditungkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan
dari pasal 16 ayat ( 1 ) huruf a, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya
Notaris wajib bertindak seksama. Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan
dalam pembuatan akta dengan:
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang
diperlihatkan kepada Notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut ( tanya – jawab ).
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para
pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan
atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk
minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan
Notaris.
e. Asas Pemberian alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris harus mempunyai alasan dan
fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum
yang harus dijelaskan kepada para pihak / penghadap.
f. Larangan penyalahgunaan wewenang
Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan notaris, dalam menjalankan tugas
jabatannya. Penyalahgunaan wewenang yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh
notaris diluar dari wewenang yang telah ditentukan.
g. Larangan bertindak sewenang – wenang
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan bahwa tindakan
para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta notaris atau tidak. Notaris harus
mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris.
h. Asas Proporsionalitas
Dalam pasal 16 ayat ( 1 ) huruf a, Notaris dalam menjalankan tugas jabatan nya
wajib bertindak menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum
dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Disamping itu, wajib mengutamakan
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang menghadapi Notaris.
i. Asas Profesionalitas
Dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf d, Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai
dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini
mengutamakan keahlian ( keilmuan ) Notaris dalam menjalankan Tugas jabatannya
berdaasarkan UUJN dan Kode Etik jabatan Notaris. Tindakan profesionalitas Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dan
akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.

D. Kesalahan Notaris dalam membuat Akta Autentik.

Di dalam praktik kenotariatan, bisa terjadi seorang notaris melakukan


kesalahan dalam aktanya. Adapun yang dimaksud kesalahan itu adalah kesalahan yang
dilakukan dalam pembuatan akta notaris, yang terjadi bukan karena kesengajaan, tetapi
karena kelalaian atau ketidakhati-hatian notaris semata-mata, sehingga hal yang tertulis
di dalam akta notaris tidak sesuai dengan yang sebenarnya ingin dituangkan dalam akta
tersebut. Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani mengatakan “tugas seorang notaris secara
umum antara lain: 25

1. Membuat akta-akta otentik sebagaimana tertuang dalam pasal 1 UUJN dan Pasal
1868 BW. Akta-akta otentik yang dibuat notaris.
2. Berdasarkan pasal 1874 BW, notaris bertugas mendaftarkan surat-surat di bawah
tangan kedalam buku khusus (waamerken), lalu mengesahkan surat-surat di bawah
tangan tersebut (legaliseren).
3. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
4. Membuat salinan dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
5. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir)
6. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta
akta yang telah ditandatangani, dengan membuat berita acara (BA) dan

25
Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Op-Cit, hal. 15
memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli yang menyebutkan
tanggal dan nomor BA pembetulan, dan salinan tersebut dikirimkan ke para pihak
(pasal 51 UUJN).

Selain daripada itu untuk memenuhi syarat otentik sebuah akta, Notaris wajib
berpedoman pada susunan akta yang diatur sebagaimana dalam Pasal 38 Undang –
undang Jabatan Notaris yaitu:
1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan;
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan
akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau
uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan,
atau penggantian.
5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris,
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.

Pasal 1869 BW menentukan batasan akta Notaris yang mempunyai kekuatan


pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan
karena :
1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
3. Cacat dalam bentuknya.

Ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal


tertentu dalam Undang – Undang Jabatan Notaris yang menyebutkan jika dilanggar oleh
Notaris, sehingga akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan, yaitu :
1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu jika Notaris pada akhir akta
tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak
dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta.
2. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu
tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan :
a. Pasal 39 bahwa :
1. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum.
2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2
(dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2
(dua) penghadap lainnya.
3. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan
dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau
telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang
digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta
tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping
sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
3. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik
karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

Apabila terdapat kesalahan tulis atau ketik, Notaris dapat membetulkan


kesalahan tulis dan kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang dibuatnya.
Kesalahan ketik dalam akta notaris dapat bersifat substantif maupun non substantif.
Kesalahan ketik yang bersifat non substantif artinya kesalahan tersebut tidak
menyebabkan perbedaan makna yang signifikan dalam substansi akta atau jikapun ada
perbedaan makna kata, tetapi secara konteks kalimat tidak dapat ditafsirkan lain dari
yang sebenarnya dimaksudkan, di antaranya kesalahan dalam ejaan. 26 Sebaliknya,
kesalahan ketik yang bersifat substantif mengakibatkan terjadinya perbedaan makna
atau perbedaan maksud yang signifikan di dalamsubstansi akta, sehingga substansi akta
menjadi tidak sesuai dengan yang sebenarnya ingin dituangkan dalam akta tersebut oleh
para penghadap (dalam akta partai) atau oleh notaris (dalam akta relas). Apabila
kesalahan ketik tersebut, baik yang bersifat substantif maupun non substantif, diketahui
sebelum minuta akta ditandatangani, maka kesalahan tersebut dapat diperbaiki dengan
cara melakukan perubahan atau renvooi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2)
junctis Pasal 49 ayat (1) dan (2) serta Pasal 50 UUJN dan UUJN Perubahan, Yang
menjadi masalah adalah ketika minuta akta sudah ditandatangani, para penghadap
sudah pergi, dan salinan akta telah dikeluarkan, tetapi kemudian ditemukan kesalahan
di dalam minuta akta tersebut. Namun, adanya kemungkinan kesalahan seperti itu
rupanya telah diperkirakan oleh pembuat undang-undang, sehingga di dalam UUJN
diatur kewenangan notaris untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik
yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, yaitu sebagaimana diatur di
dalam Pasal 51 UUJN.

26
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 , 2013, hal. 2
Meskipun Pasal 51 UUJN telah mengatur kewenangan notaris dalam
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik, di dalam UUJN tidak diberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kesalahan tulis dan kesalahan ketik
tersebut. Tidak adanya penjelasan mengenai hal itu dapat menimbulkan penafsiran
berbeda-beda, terutama tentang sejauh mana pembetulan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 UUJN boleh dilakukan. Misalnya apakah kesalahan ketik 1
(satu) angka boleh dibetulkan dengan cara ini, sedangkan jika dibetulkan akan
mengubah suatu hal yang substantif. Pembuat undang-undang telah memberikan jalan
keluar apabila terjadi kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang sudah
ditandatangani, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UUJN Perubahan yaitu: 27

1. Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik


yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
2. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat berita
acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan
menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan.
3. Salinan akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan
kepada para pihak.
4. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
5. Akta Berita Acara Pembetulan merupakan akta notaris yang termasuk dalam akta
relas khusus (akta verbal khusus).Dikatakan sebagai akta relas khusus karena akta
tersebut dapat dibuat oleh notaris atas inisiatifnya sendiri, tanpa harus ada
permintaan dari para pihak yang berkepentingan. Jadi, apabila notaris mengetahui
bahwa di dalam suatu minuta akta yang sudah ditandatangani terdapat kesalahan
ketik, ia bisa dengan segera melakukan pembetulan terhadap kesalahan itu,
meskipun tanpa bantuan atau persetujuan dari para penghadap, sepanjang
pembetulan itu sesuai dengan kenyataan yang terjadi dan tidak melampaui
kewenangan notaris.
6. Pada Akta Berita Acara Pembetulan, tanda tangan penghadap bukanlah merupakan
keharusan. Namun, Akta Berita Acara Pembetulan harus ditandatangani oleh para
saksi. Setelah Akta Berita Acara Pembetulan selesai dibuat, berdasarkan Pasal 51
ayat (2) UUJN, notaris wajib memberikan catatan tentang adanya pembetulan
tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta Berita
Acara Pembetulan. Yang dimaksud dengan “minuta akta asli” adalah minuta akta
yang di dalamnya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik. Selanjutnya,
notaris menyampaikan salinan Akta Berita Acara Pembetulan tersebut kepada para
pihak. Pengaturan mengenai pembetulan terhadap kesalahan ketik seperti ini
merupakan hal yang baru ada dalam UUJN. Di dalamnya terdapat kewenangan
besar bagi notaris untuk membetulkan suatu kesalahan ketik di dalam minuta akta
yang sudah ditandatangani. Namun di dalam undang-undang itu tidak diberikan
batasan ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan ketik.
Tidak adanya batasan atau penjelasan itu akhirnya dapat menimbulkan penafsiran
yang beragam, di antaranya mengenai kesalahan ketik yang seperti apa yang boleh
dibetulkan dengan cara membuat Akta Berita Acara Pembetulan.

27
Ibid
Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN itu berlaku pula untuk
minuta akta yang telah dikeluarkan salinannya. Adapun alasannya sebagai berikut:

a. Pasal 51 ayat (1) UUJN hanya menyebutkan frasa “minuta akta yang telah
ditandatangani”, tanpa memberikan perkecualian terhadap minuta akta yang telah
dikeluarkan salinannya. Dengan demikian, kewenangan notaris untuk
membetulkan kesalahan ketik tersebut berlaku bagi minuta akta yang telah
ditandatangani, baik yang salinannya belum dikeluarkan maupun sudah
dikeluarkan.
b. Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN memberikan kewajiban kepada notaris untuk
mengeluarkan salinan akta berdasarkan minuta akta. Menurut Pasal 1 angka 9
UUJN, salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada
bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama
bunyinya”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
walaupun di dalam suatu minuta akta yang telah ditandatangani terdapat kesalahan
ketik, notaris wajib mengeluarkan salinan akta yang isinya sama persis dengan
minutanya. Dengan demikian, tidak perlu dipermasalahkan salinan dikeluarkan
sebelum atau setelah dibetulkannya kesalahan ketik, karena kapanpun salinan itu
dikeluarkan isinya harus tetap sama dengan minuta akta.
c. Pasal 51 ayat (3) menentukan bahwa salinan Akta Berita Acara Pembetulan wajib
disampaikan kepada para pihak. Sewajarnya salinan akta dari minuta akta yang di
dalamnya terdapat kesalahan ketik telah disampaikan kepada para pihak sebelum
atau setidak-tidaknya pada saat yang sama dengan penyampaian salinan Akta
Berita Acara Pembetulan.

Perbaikan dapat dilakukan bila kesalahan ketik tidak mengubah substansi


perjanjian. Apabila kesalahan ketik yang terletak pada isi perjanjian ternyata bersifat
substantif dan salah satu pihak tidak mau hadir kembali di hadapan notaris, maka
upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan karena kesalahan pada
akta yang dibuatnya itu adalah mengajukan gugatan ke pengadilan. Selain itu apabila
Kesalahan kesalahan pada akta yang dibuatnya pada suatu akta notaris terjadi karena
notaris yang bersangkutan lalai dan tidak berhati-hati dalam menjalankan jabatannya.

Mengenai suatu perjanjian yang dibuat oleh notaris berdasarkan hal tersebut
diatas bahwa Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari
perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan
kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum
yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian
tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat
objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut
dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun, apabila perjanjian telah
memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka
perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untu
k melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan
Pasal 1338 BW, yaitu:
1. perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
2. perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya
kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh
undang-undang.
3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
Pasal 1338 BW menentukan bahwa suatu perjanjian, yang dibuat sesuai dengan
undang-undang terhadap para pihak, berlaku seolah-olah perjanjian itu adalah undang-
undang.28 Ketentuan yang ada pada pasal 1320 dan 1338 BW memuat asas-asas dan
prinsip kebebasan untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya
setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun
muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan
dalam masyarakat. Didalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang
sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian, asas-asas perjanjian diatur dalam BW,
yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat
perjanjian : Asas Kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas Konsensualisme
(consensualism), Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda), Asas itikad baik (good
faith), dan Asas Kepribadian(personality).
1. Asas Kebebasan Berperjanjian (freedom of contract)
Menurut Agus Yudha Hernoko, menyatakan bahwa : “Asas kebebasan
berperjanjian merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum
perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun
mempunyai pengaruh besar yang sangat kuat dalam hubungan perjanjiantual para
pihak.”29 Sedangkan BN, Marbun Menyatakan bahwa :“Kebebasan mengadakan
perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku didunia. Asas
ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian
tetang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan ketertiban umum.”30
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat
sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) BW, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua
perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu
tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas
persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan
(pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat
provokasi kerusuhan). Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas
yang memberi kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :31
a. Membuat atau tidak membuat Perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis;

28
Ibid , hal. 411.
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2010, hal. 108.
30
BN, Marbun, Membuat perjanjian yang aman dan sesuai hukum,Puspa Swara, Cetakan I, Jakarta,
2009, hal. 4
31
Ibid, hal. 5
e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat
opsional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi
syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuatan yang sama seperti undang-
undang, para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi
apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memperhatikan batasan-batasan hukum
yang berlaku.
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Menurut Agus Yudha Hernoko : “Asas pacta Sunt Servanda atau
diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum (janji wajib ditepati) terangkum
dalam rumusan pasal 1338 ayat (1) BW “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang”.32 Selanjutnya Beberapa hal mengenai Asas pacta
Sunt Servanda/ Asas Kepastian Hukum sebagai berikut : 33
a. Asas daya mengikat perjanjian (the binding force of contract) dipahami
sebagai mengikatnya kewajiban perjanjiantual (i.c. terkait isi perjanjian –
prestasi) yang harus dilaksanakn para pihak. Jadi pertama-tama makna daya
mengikat perjanjian tertuju pada isi atau prestasi perjanjiantualnya.
b. Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta Sunt Servanda) sehingga perlu
diberikan kekuatan untuk berlakunnya. Untuk memberikan kekuatan daya
berlaku atau daya mengikatnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat secara
sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara
dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.
c. Asas pacta Sunt Servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya
kekuatan mengikat perjanjian,
d. Kekuatan mengikat perjanjian pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para
pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khususnya di-
common law, disebut dengan “privity of contract”.
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak
ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar
pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian –
bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan
pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.

3. Asas Konsensualisme (concensualism)


Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya
perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah
mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak
perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal
undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian,
misalkan syarat harus tertulis contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang
harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris. Menurut BN, Marbun,
menyatakan bahwa : 34 “ Dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas
konsesualisme, berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Selanjutnya

32
Ibid, hal. 5
33
Agus Yudha Hernoko, op-cit, hal. 123.
34
BN, Marbun,op-cit, hal. 5
Dengan kata lain, perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-
hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun, berbagai ketentuan
undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara
tertulis (contohnya perjanjian perdamaian), atau yang diharuskan dibuat dengan
akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (antara lain Notaris atau Pejabat
Pembuat akta Tanah/PPAT).

4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw)


Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “ semua perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut Agus Yudha Hernoko : “Asas itikad
baik menyatakan bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, harus
melaksanakan substansi perjanjian berlandaskan kepercayaan atau keyakinan teguh
atau kemauan baik dari para pihak. Pengaturan pasal tersebut diatas, yang
menetapkan harus dilaksanakan dengan itkiad baik (contractus binafidei –
perjanjian berdasarkan itikad baik), maksudnya perjanjian itu dilaksanakan
menurut kepatuhan dan keadilan.”35 Itikad baik berarti keadaan batin para pihak
dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling
percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud
untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.

5. Asas Kepribadian (personality)


Asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUHperdata.36 Kedua
pasal ini menerangkan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang
membuatnya sehingga tidak boleh seseorang melakukan perjanjian yang
membebani pihak ketiga. Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat
para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak
memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan
tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Selain lima asas yang diuraikan diatas, sebenarnya masih ada beberapa hal
mendasar yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan perjanjian, ketentuan ini
berlaku universal dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari
prinsip dasar tersebut adalah asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasan, dan
asas perlindungan. Oleh karena itu dengan adanya asas-asas tersebut yang dianut di
indonesia maka dalam membuat Perjanjian baik tidak tertulis ataupun tertulis maka
tergantung pada para pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut apakah sudah
berdasarkan oleh aturan yang berlaku suatu perjanjian yang mereka buat tersebut atau
tidak. Ini berarti bahwa dengan membuat suatu perjanjian, para pihak menciptakan hak
dan kewajiban yang mempunyai kekuatan yang tidak kalah dari ketentuan undang-
undang. hak itu berlaku seolah-olah hak itu berdasarkan undang-undang dan kewajiban
itu diperintahkan oleh undang-undang.37

35
Agus Yudha Hernoko, op-cit, hal. 135.
36
BN, Marbun,op.cit, hal. 6.
37
Tan Thong kie, op.cit, hal. 412.
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak
yang dirugikan. Seperti disebutkan dalam UUJN Perubahan Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris suatu perjanjian yang dibuat kedalam akta otentik mengenai isinya merupakan
keinginan para pihak, Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN Perubahan ditegaskan bahwa isi
akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak penghadap yang datang
menghadap Notaris. 38

Pihak yang merasa dirugikan karena terjadinya kesalahan ketik pada minuta
akta atau adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dapat mengajukan gugatan perdata dengan
berdasarkan perbuatan melanggar hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365
BW yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Munir Fuady berpendapat bahwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 1365 bw, perbuatan melanggar hukum mengandung unsur-
unsur sebagai berikut.
1. Adanya suatu perbuatan; 39
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum;
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
4. Adanya kerugian bagi korban;
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar
tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 BW
tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak,
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang
halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang
dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani,
akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh
Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang
lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris
melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan pembacaan akta ini adalah agar
para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu
merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga
dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta
bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak lain.40

Notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan


suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di
dalam pembuatan suatu akta dan hal itu benar-benar dapat diketahui, bahwa sesuatu
yang dilakukan oleh Notaris misalnya bertentangan dengan undang-undang, maka
Notarisdapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 BW. Begitu juga
sebaliknya, apabila Notaris yang tugasnya juga memberikan pelayanan kepada
masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau
pembuatan suatu akta, kemudian didalam akta itu terdapat suatu klausula yang

38
Habib Adjie, op.cit, hal. 2
39
Munir Fuady, Perbuatan Melanggar Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 10
40
Penjelasan umum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
bertentangan misalnya dengan undang-undang, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak
mengetahuinya, maka dengan sikap pasif atau diam itu Notaris yang bersangkutan
dapat dikenakan Pasal 1365 BW. Notaris yang melakukan Perbuatan Melanggar
Hukum dapat diajukan ke pengadilan, selanjutnya apabila Perbuatan Melanggar Hukum
tersebut dapat dibuktikan, maka Notaris wajib membayar ganti kerugian kepada para
pihak yang dirugikan.

Semua peraturan hukum sesungguhnya bertujuan ke arah keseimbangan dari


berbagai kepentingan tersebut, oleh karena peraturan-peraturan hukum hanya hasil
perbuatan manusia dan seorang manusia adalah bersifat tidak sempurna, maka sudah
tentu segala peraturan hukum itu mengandung sifat yang tidak sempurna pula. Jika hal
ini dikaitkan dengan profesi Notaris, maka pada dasarnya Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya dapat saja melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran yang secara
perdata hal ini dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban, meskipun hal tersebut
berkaitan dengan kebenaran materiil dari akta dihadapannya.

Notaris yang melakukan pelanggaran dalam pembuatan akta para pihak, tidak
dapat digugat berdasarkan wanprestasi, tetapi dapat digugat berdasarkan Perbuatan
Melanggar Hukum. Akta yang dibuat oleh Notaris atau akta relaas, secara otentik
sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
pembuat akta itu, yakni Notaris di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
Meskipun terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta, bukan
berarti Notaris telah melakukan wanprestasi terhadap client, karena pembuatan akta
relaas bukan atas perjanjian antara parapihak dengan Notaris, melainkan kewajiban
yang lahir dari adanya perintah undang-undang terhadap Notaris tersebut. Terhadap
kebenaran materil dalam akta relaas jika terjadi kesalahan atau bertentangan dengan
sebenarnya tertuang dalam akta, Notaris tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal tersebut dapat terjadi apabila Notaris yang
bersangkutan telah melakukan tugasnya dan mengetahui berdasarkan ilmu pengetahuan
dan sifat kehati-hatian yang dimilikinya.41

Apabila Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta


tersebut,maka terhadap akta yang dibuat itu dapat batal demi hukum atau dapat
dimintakan pembatalan. Notaris dapat dimintakan pertanggung jawaban secara perdata
dan tuntutan itu adalah berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum. Artinya walaupun
Notaris hanya menuangkan dan menceritakan kembali tentang apa yang dilihat atau
disaksikan ke dalam suatu akta, bukan berarti Notaris tidak pernah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, karena dalam
praktiknya hal tersebut juga banyak terjadi. Segala sesuatu yang dilakukan oleh setiap
orang yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, dapat diperkarakan di
pengadilan.

Suatu Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh Notaris yang


menimbulkan kerugian kepada klientnya, dapat dijerat berdasarkan Pasal 1365 BW dan
adapun tujuan dari Pasal 1365 BW ini, sebenarnya adalah untuk mengernbalikan
penderita yang dirugikan pada keadaan semula, setidak-tidaknya pada keadaan yang
mungkin dapat dicapai sekiranya tidak terjadi Perbuatan Melanggar Hukum, maka akan

41
R. Wirjono Prodjodikoro, 1983, Asas-asas Hukum Perdata, Cetakan 9, Bandung: Sumur, hal. 40.
diusahakan pengembalian secara nyata yang kiranya lebih sesuai dari pada pembayaran
ganti kerugian dalam bentuk uang, karena pembayaran dalam bentuk uang hanyalah
nilai yang ekuivalen saja.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan
dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan).
Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena
perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah atau diganti atau
dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang membuatnya, maksudnya
kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu akta otentik mengikat
kedua belah pihak sebagai mana mengikatnya undang-undang. Kerugian para pihak
dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada
Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi
kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain
(akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan
Perbuatan Melanggar Hukum.

Perbuatan Melanggar Hukum diartikan sebagai “berbuat atau tidak berbuat


melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang
berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati
sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri atau barang barang
orang lain.42 Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum, dalam hukum
perdata tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan karena kesengajaan
pelaku, melainkan juga karena kesalahan atau kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak kurang
hati-hati”43 Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum, "dapat berupa
kerugian materil dan dapat pula berupa kerugian immateriil". Kerugian dalam bentuk
mateil, yaitu kerugian yang jumlahnya dapat dihitung, sedangkan kerugian immateril,
jumlahnya tidak dapat dihitung, misalnya nama baiknya tercemar, mengakibatkan
kematian. Dengan adanya akta yang dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
mengakibatkan timbulnya suatu kerugian, sehingga unsur harus ada kerugian telah
terpenuhi.

Adanya hubungan kausal atau hubungan sebab akibat maksudnya yaitu kerugian
yang diderita tersebut ditimbulkan atau disebabkan karena Perbuatan Melanggar
Hukum yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Riduan
Syahrani yang mengutip teori Von Kries sebagai berikut: "suatu hal baru dapat
dinamakan sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman masyarakat dapat
diduga, bahwa sebab itu akan di ikuti oleh akibat itu”.44 Hal ini berarti bahwa jika
terdapat suatu sebab tetapi sebab tersebut tidak menimbulkan suatu kerugian, atau
timbul suatu kerugian namun bukan disebabkan oleh pelaku, maka tidak dapat
dikatakan adanya suatu hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang
ditimbulkan.Kerugian yang diderita oleh seseorang disebabkan karena kesalahan
Notaris dalam membuat akta, sehingga unsur harus ada hubungan kausal antara
perbuatan Notaris dengan kerugian yang timbul telah terpenuhi.

42
Riduan Syahrani, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 264.
43
Ibid, hal. 279
44
Ibid, hal. 281
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, yaitu objeknya tidak
tertentu dan kausa yang terlarang, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Mengenai perjanjian harus mempunyai objek tertentu ditegaskan dalam Pasal 1333 BW
( KUHPerdata ), yaitu : “ Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang)
tersebut dapat ditentukan atau dihitung ”

Pasal 1335 BW ( KUHPerdata ) menegaskan bahwa : “ Suatu perjanjian tanpa


sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka
perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan, ini membuktikan bahwa setiap
perjanjian harus mempunyai kausa yang halal. “
Menurut Pasal 1336 BW ( KUHPerdata ), yaitu : “Jika tidak dinyatakan sesuatu
sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab lain
daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian adalah sah.”
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 BW). Dengan
demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika :
1. Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan.
2. Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum.
Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta Notaris mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal
tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas akta Notaris
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain itu
termasuk ke dalam akta Notaris yang batal demi hukum, yaitu :
a. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf I, yaitu
tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam
waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan
bilamana nihil).
b. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf k, yaitu
tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukannya.
c. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau
dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta
yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan
dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di
hadapan penghadap, Notaris dan penterjemah resmi.
d. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan
tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan Notaris, atas pengubahan atau
penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan
menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau
pencoretan.
e. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang
dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta
sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan
menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian
yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
f. Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan
atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan
sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula,
dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak
menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan
penambahan.
g. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga
tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan
berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau
dapat dibatalkan adalah sebagai berikut :
1. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak.
Secara umum dibedakan antara kewenangan bertindak dan kecakapan
bertindak. Sejak seorang anak lahir, malahan anak dalam kandungan dianggap
sebagai telah dilahirkan berkedudukan sebagai subjek hukum dan sebab itu pula
memiliki kewenangan hukum ( Pasal 1 ayat ( 2 ) KUHPerdata. Kewenangan
bertindak dari subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum dapat dibatasi oleh
atau melalui hukum. Setiap orang dianggap cakap melakukan tindakan hukum,
tetapi kebebasan ini dibatasi pula oleh daya kerja hukum objektif. Dikatakan mereka
yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang
secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di bawah
umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia. Sebagai
penghadap untuk pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat paling sedikit
berumur 18 tahun ( Pasal 39 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris ).
Mereka yang tidak mempunyai kewenangan bertindak atau tidak berwenang
adalah orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Notaris (termasuk para saksi) yang dengan perantaraannya telah dibuat akta wasiat
dari pewaris tidak boleh menikmati sedikit pun dari apa yang pada mereka dengan
wasiat itu telah dihibahkannya ( Pasal 907 KUHPerdata ). Ini berarti bahwa Notaris
tersebut boleh saja mendapat hibah wasiat dari orang lain asal bukan dari klien yang
membuat wasiat di hadapannya tersebut.
2. Cacat Dalam Kehendak
KUHPerdata (Pasal 1322 – Pasal 1328 KUHPerdata) menetapkan secara
limitatif adanya cacat kehendak, yakni kekhilafan/kesesatan (dwaling), penipuan
(bedrog), dan paksaan (dwang).
a. Kekeliruan dan Penipuan
Dikatakan penipuan apabila seseorang dengan sengaja dengan
kehendak dan pengetahuan memunculkan kesesatan pada orang lain. Penipuan
dikatakan terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak
diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan
sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain. Di dalam praktik
penipuan dan kekhilafan menunjukkan perkaitan yang erat, tetapi ada pula
sejumlah perbedaan.
b. Ancaman
Ancaman terjadi bilamana seseorang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan melawan hukum,
mengancam, dan menimbulkan kerugian pada diri orang tersebut atau
kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga. Ancaman tersebut sedemikian
menimbulkan ketakutan sehingga kehendak seseorang terbentuk secara cacat.
Kehendak betul telah dinyatakan, tetapi kehendak tersebut muncul sebagai
akibat adanya ancaman.
c. Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan tergeraknya seseorang karena
suatu keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan
menyalahgunakan hal ini. Keadaan khusus ini terjadi karena keadaan
memaksa/darurat, keadaan kejiwaan tidak normal, atau kurang pengalaman.
d. Bertentangan dengan Undang-Undang
Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian
akan berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum yang dimaksud, yakni
:
i. Pelaksanaan dari tindakan hukum.
ii. Substansi dari tindakan hukum.
iii. Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut.
iv. Suatu perjanjian yang dibuat pada saat tidak adanya larangan mengenai
perbuatan hukum tersebut, tetapi ternyata di kemudian hari ada ketentuan
undang - undang yang melarangnya, maka perjanjian tersebut tidak batal
demi hukum, tetapi menjadi dapat dibatalkan atau mungkin masih dapat
dilaksanakan setelah adanya izin tertentu. Penentuan apakah suatu
perjanjian adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-
undang adalah pada waktu perjanjian tersebut dibuat.
e. Bertentangan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan Baik
Pada umumnya perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan
asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat, sedangkan perbuatan
hukum dianggap bertentangan dengan kesusilaan baik jika perbuatan tersebut
melanggar atau bertentangan dengan norma kesusilaan dari suatu masyarakat
Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap
akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung
sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan
notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya
dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya kesepakatan
yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Apabila akta
yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris
baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu
harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya
hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.
Kesalahan yang dimaksud oleh Pasal 1365 BW adalah
mengandung “gradasi” dari mulai perbuatan yang disengaja, sampai perbuatan yang t
idak disengaja.
Menurut hukum perdata, seseorang itu dapat dikatakan bersalah jika terhadapny
a, bahwa ia telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharu
snya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan, tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira-
kirakan. Dapat dikira-
kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-
ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan atau tidak d
ilakukan. Gradasi kesalahan dapat dipisah-pisahkan dalam kategori yang berbeda-
beda yaitu :
a. Kesalahan yang dilakukan karena kesalahan ;
b. Kesalahan yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hati ;
c. Kesalahan yang dibebankan karena pertanggung jawaban (tanpa kesalahan).

Suatu perbuatan dapat dikatakan mengandung unsur kesengajaan ,terkait e


rat dengan
pikiran pelaku atau niat dalam hati pelaku untuk menimbulkan secara pasti, bahwa per
buatannya akan menimbulkan akibat tertentu seperti yang diinginkannya. Unsur kese
ngajaan baru dianggap ada jika perbuatannya itu memenuhi element -
element sebagai berikut :
a. Adanya kesadaran ;
b. Adanya konsekuensi dari perbuatan itu ;
c. Adanya kepercayaaan bahwa dengan perbuatan itu pasti dapat menimbulkan
konsekuensi tertentu

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan, seperti yang


dimaksudkan oleh Pasal 1365 KUHPerdata, dan dipertegas kembali dalam pasal 1366
KUHPerdata yang menentukan:“
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan kar
ena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugianyang disebabkan kelalainnya atau
kurang kehati – hatiannya “. Pasal 1366 KUHPerdata tersebut seolah-
olah membedakan antara kesalahan dengan kelalaian dan kurang hati-
hati, tetapi sesungguhnya kelalaian adalah salah satu gradasi dari kesalahan.

Perbedaan yang mendasar dari kelalaian dengan kesengajaan


adalah, hal ada niat dari hati pelaku. Jika perbuatan yang dilakukan dengan seng
aja telah dapat mengetahui secara pasti tentang akibat atau konsekuensi yang ak
an timbul, tidak demikian halnya dengan kelalaian. Pelaku tidak berniat dalam h
ati menimbulkan kerugian, bahkan mungkin saja pelaku memiliki keinginan untu
k mencegah terjadinya kerugian, tetapi tidak sepenuhnya berhasil, karena ada ba
gian dari kewajibannya yang tidak dilakukan. Jika ada kesengajaan niat atau sika
p mental menjadi faktor dominan, pada kelalaian tidak menjadi ukuran. Kelalaian lebi
h memperhatikan sikap lahiriyah dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, tanpa per
timbangan apa yang ada dalam pikirannya. Perlu juga dilihat unsur-
unsur tersebut, keberadaan pelakunya yang menyangkut antara lain tingkat pengetah
uan, keterampilan, pengalaman, keadaan fisik dan mental pelaku, sehingga dapat me
ngukur tingkat kepedulian dari pelaku itu sendiri.
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang
dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk
pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan demikian diharapkan agar notaris dalam
menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai
agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu seorang
notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang mengandung cacat hukum dengan
cara sengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan
notaris para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar dan menyerahkan surat-surat/dokumen-
dokumen yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituang kedalam akta lahirlah
sebuah akta yang mengandung keterangan palsu.
Bila seorang notaris dapat dibuktikan ikut sebagai “dader Intelektual” atau
“Ide Guide” dapat diancam pidana pasal 55 KUHPidana yang bersembunyi :
“(1) Dipidana sebagai si Pembuat sesuatu tindak pidana ;
Ke – 1, orang melakukan yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan
perbuatan itu ;
Ke – 2, orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan
atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan,
ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan tersebut
dilakukan.”45
Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus
dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang -
undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :“barangsiapa menyuruh memasukkan
keterangan palsu kedalam suatu akte otentik mengenai sesuatu hal yang
kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun;”
Dalam unsur pasal tersebut, menentukan bahwa tindak pidana menyuruh
mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu
tindak pidana pemalsuan. Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan
menyebabkan notaris harus keluar masuk gedung pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat notaris merupakan
pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan akta otentik yang dibuatnya
setelah ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara. Sehubungan dengan
hal tersebut diatas notaris dalam mempertanggungjawabkan akta yang telah
diterbitkannya harus terlebih dahulu mendapat izin / persetujuan dari Majelis
Pengawas untuk dapat diperiksa atau diproses oleh Aparat Hukum.

E. Bentuk Tanggung Gugat Notaris atas Kesalahan dalam Akta yang


dibuatnya

Tuntutan tanggung jawab oleh Notaris muncul sejak terjadinya sengketa


berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur dalam
perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan
peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum delictumnulla
poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam aturan undang-

45
A.A Andi Prajitno, Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra
Media Nusantara, 2010, Hlm. 39
undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum. Konsep
pertanggung jawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi Notaris, maka Notaris dapat
dipertanggung jawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan
jabatannya. Secara umum pembatasan mengenai tanggunggugat dapat diminta
sepanjang mereka masih berwenang dalam melakukan akan tugas jabatan sebagai
Notaris atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan
sebagai Notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap Notaris dapat
dijatuhkan sepanjang Notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan
sebagai Notaris, dengan kontruksi tanggung gugat seperti tersebut di atas, tidak akan
ada lagi Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus dan pejabat sementara
Notaris dimintai tanggung gugat lagi setelah yang bersangkutan berhenti dari tugasnya
sebagai Notaris.46 Berdasarkan penafsiran seperti itu, maka akta notaris sebagai akta
otentik yang akan membuktikan dirinya sendiri sebagai alat bukti yang sah menurut
hukum karena akta Notaris sebagai akta otentik harus dilihat dan dinilai apa adanya
sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta Notaris
tersebut palsu atau tidak benar, maka pihak yang menuduh atau menilai tersebut harus
dapat membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri melalui proses hukum gugatan
perdata bukan dengan cara mengadukan Notaris kepada pihak kepolisian.47 Akta
otentik menjamin adanya kepastian hukum. Dengan demikian dapat dihindari kerugian
maupun sengketa yang akan terjadi dikemudian hari. Dengan hubungan hukum seperti
itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal
dari tanggunggugat Notaris.48

Berkaitan dengan adanya kesalahan dalam akta yang dibuat oleh Notaris, Akta
Berita Acara Pembetulan merupakan akta notaris yang termasuk dalam akta relas
khusus (akta verbal khusus).Dikatakan sebagai akta relas khusus karena akta tersebut
dapat dibuat oleh notaris atas inisiatifnya sendiri, tanpa harus ada permintaan dari para
pihak yang berkepentingan. Jadi, apabila notaris mengetahui bahwa di dalam suatu
minuta akta yang sudah ditandatangani terdapat kesalahan ketik, ia bisa dengan segera
melakukan pembetulan terhadap kesalahan itu, meskipun tanpa bantuan atau
persetujuan dari para penghadap, sepanjang pembetulan itu sesuai dengan kenyataan
yang terjadi dan tidak melampaui kewenangan notaris. Pada Akta Berita Acara
Pembetulan, tanda tangan penghadap bukanlah merupakan keharusan. Namun, Akta
Berita Acara Pembetulan harus ditandatangani oleh para saksi.Setelah Akta Berita
Acara Pembetulan selesai dibuat, berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UUJN, notaris wajib
memberikan catatan tentang adanya pembetulan tersebut pada minuta akta asli dengan
menyebutkan tanggal dan nomor Akta Berita Acara Pembetulan.Yang dimaksud
dengan “minuta akta asli” adalah minuta akta yang di dalamnya terdapat kesalahan tulis
dan/atau kesalahan ketik.Selanjutnya, notaris menyampaikan salinan Akta Berita Acara
Pembetulan tersebut kepada para pihak.Pengaturan mengenai pembetulan terhadap
kesalahan ketik seperti ini merupakan hal yang baru ada dalam UUJN.Di dalamnya

46
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., hal. 193.
47
Ibid
48
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, hal.17. Istilah ”Tanggunggugat” dipergunakan terutama terhadap kesalahan-kesalahan yang
dilakukan dalam menjalankan jabatan khusus tertentu (beroepsaansprakelijkheid), Marthalena Pohan,
Tanggunggugat Advocaat, Dokter, Notaris , Surabaya, Bina Ilmu, 1985 hal.11.
terdapat kewenangan besar bagi notaris untuk membetulkan suatu kesalahan ketik di
dalam minuta akta yang sudah ditandatangani. Namun di dalam undang-undang itu
tidak diberikan batasan ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
kesalahan ketik. Tidak adanya batasan atau penjelasan itu akhirnya dapat menimbulkan
penafsiran yang beragam, di antaranya mengenai kesalahan ketik yang seperti apa yang
boleh dibetulkan dengan cara membuat Akta Berita Acara Pembetulan. 49

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN itu berlaku pula untuk minuta
akta yang telah dikeluarkan salinannya.Adapun alasannya sebagai berikut.
d. Pasal 51 ayat (1) UUJN hanya menyebutkan frasa “minuta akta yang telah
ditandatangani”, tanpa memberikan perkecualian terhadap minuta akta yang telah
dikeluarkan salinannya. Dengan demikian, kewenangan notaris untuk membetulkan
kesalahan ketik tersebut berlaku bagi minuta akta yang telah ditandatangani, baik
yang salinannya belum dikeluarkan maupun sudah dikeluarkan.
e. Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN memberikan kewajiban kepada notaris untuk
mengeluarkan salinan akta berdasarkan minuta akta. Menurut Pasal 1 angka 9
UUJN, salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian
bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun di dalam
suatu minuta akta yang telah ditandatangani terdapat kesalahan ketik, notaris wajib
mengeluarkan salinan akta yang isinya sama persis dengan minutanya. Dengan
demikian, tidak perlu dipermasalahkan salinan dikeluarkan sebelum atau setelah
dibetulkannya kesalahan ketik, karena kapanpun salinan itu dikeluarkan isinya harus
tetap sama dengan minuta akta.
f. Pasal 51 ayat (3) menentukan bahwa salinan Akta Berita Acara Pembetulan wajib
disampaikan kepada para pihak. Sewajarnya salinan akta dari minuta akta yang di
dalamnya terdapat kesalahan ketik telah disampaikan kepada para pihak sebelum
atau setidak-tidaknya pada saat yang sama dengan penyampaian salinan Akta Berita
Acara Pembetulan.

Untuk menafsirkan kesalahan kesalahan pada akta yang dibuatnya yang seperti apa
yang boleh dibetulkan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UUJN,
terlebih dahulu perlu diingat bahwa terdapat 2 (dua) jenis akta notaris, yaitu akta partai
dan akta relas. Akta partai adalah akta yang “dibuat di hadapan” notaris, sedangkan akta
relas adalah akta yang “dibuat oleh” notaris. Kedua jenis akta tersebut memiliki sifat yang
berbeda. Oleh karena itu, penafsiran dan batasan penerapan cara pembetulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 UUJN tersebut juga bergantung pada jenis aktanya. Namun,
perlu diingat bahwa perbaikan dengan cara tersebut hanya dapat dilakukan bila kesalahan
ketik tidak mengubah substansi perjanjian. Apabila kesalahan ketik yang terletak pada isi
perjanjian ternyata bersifat substantif dan salah satu pihak tidak mau hadir kembali di
hadapan notaris, maka upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan
karena kesalahan pada akta yang dibuatnya itu adalah mengajukan gugatan ke pengadilan.

Selain itu apabila Kesalahan kesalahan pada akta yang dibuatnya pada suatu akta
notaris terjadi karena notaris yang bersangkutan lalai dan tidak berhati-hati dalam
menjalankan jabatannya. Oleh karena itu, notaris telah melanggar kewajibannya untuk
bertindak secara saksama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-
P. sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau

49
Ibid
mentaati ketentuan undang-undang.50 Berikut ketentuan Sanksi dalam pasal 16 Pasal (11),
(12) dan (13) UUJN-P sebagai berikut:
1. Pasal 16 ayat (11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
2. Pasal 16 ayat (12), Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
3. Pasal 16 ayat (13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.

Sebuah akta dikatakan cacat hukum apabila dalam akta tersebut terdapat cacat
dalam kehendak terjadi karena adanya paksaan, kekeliruan, tipuan, dan penyalahgunaan
keadaan. Dalam hal batal demi Hukum, merupakan istilah yang digunakan untuk menilai
suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat obyektif, yaitu suatu hal tertentu, dan sebab
yang tidak dilarang serta istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi
syarat subjektif yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk
membuat suatu perikatan. Berdasarkan pasal 84 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Para Pihak yang memiliki kepentingan terhadap akta tersebut dapat menuntut
biaya kerugian berikut bunga kepada notaris yang telah melakukan kelalaian tersebut.
Berkaitan dengan adanya akta yang cacat hukum tersebut maka Notaris sebagai
pejabat yang membuat akta tersebut apabila dapat dibuktikan terdapat unsur kesalahan
yang diperbuat olehnya maka Notaris dapat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Sebagaimana pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa, tanggung jawab dalam arti
liability diartikan sebagai tanggung gugat sebagai terjemahan
dari liability/aansprakelijkheid yang merupakan bentuk spesifik dari tanggung jawab
yang berada dalam ruang lingkup hukum privat. Hal sama juga dikuatkan oleh pendapat
J.H. Nieuwenhuis, berpendapat bahwa tanggung gugat merupakan kewajiban untuk
menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma. Perbuatan melanggar
norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena Perbuatan Melanggar Hukum
dan wanprestasi.51 Dengan demikian apabila ada Perbuatan Melanggar Hukum yang
dilakukan oleh Notaris yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum atau
dibatalkan maka Notaris tersebut dapat dihukum bertanggung gugat dengan mengganti
kerugian, biaya dan bunga kepada pihak yang dirugikan. Apabila dalam perbuatan notaris
membuat akta tersebut dapat dibuktikan terdapar unsur pidana maka Notaris dapat
diberikan sanksi pidana sebagai bentuk tanggung jawab dalam ranah pidana.

50
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 1224.
51
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas Airlangga,
Surabaya, 1985, hlm 135.
2. BENTUK TANGGUNGGUGAT AHLI WARIS NOTARIS YANG DI JATUHI
KEWAJIBAN UNTUK BERTANGGUNG GUGAT

A. Kedudukan Hukum Ahli Waris Almarhum Notaris Apabila Terdapat


Tuntutan Dari Pihak Yang Dirugikan Akibat Akta Yang Dibuat Almarhum
Notaris

Warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris
yang berpindah kepada para ahli waris.52 Menurut Eman Suparman wujud harta
peninggalan menurut hukum perdata Barat yang tercantum dalam BW meliputi
"seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat
dinilai dengan uang" sehingga harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli
waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan,
melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari
harta kekayaan yang ditinggalkan sehingga "kewajiban membayar hutang pada
hakekatnya beralih juga kepada ahli waris"53 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1100
BW yang menyebutkan “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan
dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian
yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dan warisan”.
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu:54
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta
benda saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya
secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan
segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan
kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak
ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut :55


a. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater) yaitu orang yang meninggalkan
harta warisan dan disebut Pewaris.
b. Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam) yaitu orang yang menurut
undang-undang atau testamen berhak mendapatkan warisan dari orang yang
meninggal dunia mereka disebut Ahli Waris.
c. Adanya benda yang di tinggalkan (erftenis, nalatenschap) yaitu sesuatu yang
di tinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia, yang disebut harta
warisan, wujud harta warisan inibisa berbentik Activa (piutang, tagihan) atau
Pasiva (hutang).

52
J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, 1992, Bandung, hlm.8
53
Eman Suparman, Loc.Cit.
54
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 95-96
55
H.A. Wahab Afif, 1994, Fiqh Mewaris, Cet. I, Yayasan Ulumul Quran, Serang, Hal. 53.
Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan Untuk memperoleh warisan, haruslah
dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya pewarisan maka si
pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 830 KUH Perdata. Matinya pewaris dalam hal ini dapat
dibedakan menjadi:
1. Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu
dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.
2. Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui
secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan
bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang-orang yang berhak/ahli
waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian
si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1. Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar
masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2. Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih
hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal
1 ayat 2 KUH Perdata).

Dalam BW terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu: 1) Secara
ab intestato yaitu suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah merupakan
faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris dan 2)
secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat). Selanjutnya
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau
terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris yaitu:56
i. Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk
menerima warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh si pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu
pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman
penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris
untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
si pewaris.
ii. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima
warisan dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
1. Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
2. Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat
wasiat si pewaris.
3. Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris
untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.

56
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang hukum Perdata (
Burgerlijk Wetboek ), ( Serang: Darul Ulum Press. 1993 ),hlm.58
Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena
meninggalnya pewaris.57 Menurut Abdulkadir Muhammad ahli waris adalah
setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban
menyelesaikan hutang-hutangnya.58 Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah
pewaris meninggal dunia. Adapun Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris
adalah sebagai berikut:59
a. Pewaris
Pewaris dalam hal waris berhak memberikan testament (wasiat) namun disisi
lain juga berkewajiban untuk memperhatikan legitieme portie.
b. Ahli Waris
Ahli waris mempunyai hak diantaranya:
1. Menentukan sikap terhadap harta peninggalan
2. Menerima baik secara diam-diam ataupun secara tegas
3. Menerima dengan catatan (beneficiare)
4. Menolak warisan
Ahli waris mempunyai kewajiban diantaranya:
1. Memelihara Harta Peninggalan
2. Membagi warisan berdasarkan ketentuan hukum waris B.W.
3. Melunasi hutang pewaris jika ada
4. Melaksanakan wasiat

Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta peninggalan orang
yang meninggal dunia. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada selalu menerima
harta peninggalan, sebab para ahli waris yang lebih dekat kepada pewaris, menutup
yang lebih jauh berdasarkan urutan.60 Ahli waris menurut BW digolongkan
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:61
1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya ke bawah tanpa
batas beserta janda/duda (Pasal 852-852a)
2. Golongan II : Terdiri dari ayah/atau ibu si pewaris beserta saudara dan
keturunannya sampai derajat ke 6 (Pasal 855)
3. Golongan III : Terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas (Pasal
850-855)
4. Golongan IV : Terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke samping yang lebih
jauh sampai derajat ke 6 (Pasal 858-861)

Hak waris ini didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan
surat wasiat yang diberikan kepada orang yang disebut dengan istilah legataris,
yang diatur dalam undang-undang. Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia
berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas
benda tertentu tanpa kewajiban. Jika terbuka suatu warisan, seorang ahli waris

57
Surini Ahlan Sjarif dan nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005 hal 11
58
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
hlm.282
59
Henny Tanuwidjaja, S.H.,SpN., Hukum Waris Menurut BW, Refika Aditama, Bandung,
2012, hlm.5
60
Ridwan Setiawan dalam Oemar Moecthar, Kedudukan Negara sebagai Pengelola Warisan
atas Harta Peninggalan Tak Terurus dalam Sistem Hukum Waris Burgerlijk Wetboek, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Yuridika Vol.32 2 Mei 2017, hlm.284
61
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit.,hlm.8
dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula
kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan
membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan
itu. BW memberikan tiga macam sikap yang harus dipilih salah satunya oleh ahli
waris yaitu:62
1. Menerima seluruh harta warisan, yang dalam pengertian ini berarti juga
meliputi utang-utang si peninggal warisan
2. Menerima dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan
pengertian bahwa utang-utangnya dapat dibayar sekedar harta warisan
mencukupi.
3. Menolak harta warisan dengan pengertian bahwa ia tidak tahu menahu
tentang pengurusan harta warisan tersebut.

Apabila ahli waris mengambil sikap pertama, menurut pasal 1048 BW


dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pasal 1048 BW menyatakan
“Penerimaan suatu warisan dapat dilakukan secara tegas atau dengan diam-diam;
terjadilah dengan tegas penerimaan itu jika seorang didalam suatu tulisan otentik
atau suatu tulisan di bawah tangan menamakan dirinya waris atau mengambil
kedudukan sebagai demikian; dengan diam-diam terjadilah penerimaan itu, jika
seorang waris melakukan suatu perbuatan, yang dengan jelas menunjukkan
maksudnya untuk menerima warisan tersebut, dan yang memang hanya dapat
dilakukannya dalam kedudukannya sebagai waris”. Berdasarakan pengertian
tersabut maka penerimaan secara tegas adalah jika seorang ahli waris menerima
kedudukannya sebagai ahli waris dengan menyatakannya dalam akta otentik
ataupun akta dibawah tangan. Secara diam-dam dapat dimerngerti jika seorang ahli
waris melakukan suatu perbuatan, misalnya mengambil atau menjual barang-
barang warisan atau melunasi hutang-hutang si meninggal, dapat dianggap telah
menerima warisan itu secara penuh. Namun apabila perbuatan ahli waris
berhubungan dengan penguburan mayat dan tindakan melindungi/mengawasi
warisan seperti menyimpan harta waris untuk sementara waktu maka berdasarkan
pasal 1049 BW bukanlah sikap menerima warisan.

Apabila ahli waris memilih sikap kedua yaitu menerima dengan syarat
maka harta pribadi ahli waris tidak bercampur dengan harta warisan, dengan
demikian utang-utang si peninggal warisan tidak akan dilunasi secara pribadi oleh
ahli waris tersebut. Sikap penerimaan dengan syarat ini disebut juga "voorrecht van
boedelbeschrijving" atau "beneficiaire aanvaarding." Ahli waris yang hendak
memilih sikap kedua ini ini harus menyatakan kehendaknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri setempat di mana warisan itu telah terbuka. Akibat yang
terpenting dari "beneficiaire aanvaarding", bahwa kewajiban si waris untuk
melunasi hutang-hutang dan beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa,
sehingga pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si
waris tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang dengan kekayaannya
sendiri.63 Adapun atas hal tersebut ahli waris yang memilih sikap menerima dengan
syarat (beneficiary aanvarding) tersebut dibebani kewajiban diantaranya : 64

62
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit, hlm 61
63
Hartono Soerjopratiknyo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Yogyakarta: Andi Offset, 1983, hlm.
68.
64
Subekti, Op.Cit, hlm. 104
1. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri,
bahwa ia menerima warisannya secara beneficiair.
2. Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya.
3. Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan (de' boedel tot effenheid
brengen").
4. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan
untuk harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak
bergerak yang tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang
memegang hypotheek.
5. Memberikan pertanggunganjawab kepada sekalian penagih hutang dan orang-
orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa
menghitung harga serta pendapatan-pendapatan yang mungkin akan diperoleh,
jika barang-barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang-piutang
dan legaten itu dapat dipenuhi.
6. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar
resmi. Sebenarnya, peraturan yang diberikan oleh undang-undang mengenai
pemberesan harta peninggalan dalam hal penerimaan warisan secara
beneficiair ini, adalah sangat sederhana dan kurang jelas.

Sikap terakhir yang dapat dipilih oleh ahli waris adalah menolak harta
warisan. Sikap ini diatur dalam pasal 1057 BW yaitu “Menolak suatu warisan
harus terjadi dengan tegas , dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang
dibuat dikepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dlam daerah hukumnya terbuka
warisan itu.” Selanjutnya dalam pasal 1058 BW disebutkan ahli waris yang
menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris.

Atas ketiga sikap tersebut, baik penerimaan maupun penolakan selalu


dihitung berlaku surut sejak hari meninggalnya orang yang meninggalkan
warisan.65 Sikap manapun yang diambil oleh ahli waris akan mempunyai pengaruh
terhadap harta warisnya maupun terhadap dirinya, oleh karena itu oleh BW
diberikan waktu dan hak untuk berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil sikap
(beraad). Mengenai hak untuk berpikir (recht van beraad) diatur dalam pasal 1023
BW sampai dengan pasal 1029 BW. Untuk berpikir ini maka ahli waris haruslah
menyampaikan keterangan kepada Panitera Pengadilan Negeri agar dimasukkan
dalam daftar dan tenggang waktu untuk berpikir ini menurut pasal 1024 BW
ditetapkan selama 4 bulan dihitung sejak menyampaikan keterangannya kepada
Panitera Pengadilan Negeri.66 Selama masa berpikir ini maka ahli waris diwajibkan
untuk memelihara harta warisan (al seen good huisvader) dan jika terdapat barang-
barang yang tidak dapat disimpan maka ahli waris dapat melaporkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar diambil tindakan penyelamatan.

Berdadarkan hal tersebut maka ahli waris pada dasarnya mempunyai hak
waris saat si peninggal harta waris meninggal dunia dimana tidak hanya harta
benda dan hak saja yang beralih kepada ahli waris melainkan juga kewajiban dan
utang si peninggal harta waris. Namun para ahli waris oleh hukum diberikan
pilihan untuk menentukan sikap atas hak waris tersebut karena pada prinsipnya

65
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980, hlm. 103
66
Henny Tanuwidjaja, Op.CIt, hlm. 61-62
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan atau warisan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi
yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit), juga di dalamnya terdapat
harta yang akan diturunkan kepada para ahli waris yang sah

B. Kewajiban Pembayaran Ganti Rugi Berdasarkan Putusan Pengadilan


Merupakan Utang

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa harta waris tidak hanya


meliputi hak dan harta kekayaan milik si peninggal waris saja melainkan juga termasuk
pula utang-utang yang harus dibayar oleh si peninggal warisan. Ter Haar Bzn
menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban untuk membayar hutang yang ada atau yang
timbul pada waktu matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu akhimya
termasuk juga bagian-bagian daripada harta peninggalan walaupun sebagai bagian
negatif. 67 Dalam pasal 1100 BW disebutkan “Para waris yang menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul
bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dan warisan.”

Utang berkaitan erat dengan perikatan bahkan Soedewi Masjchoen Sofwan


menerjemahkan istilah hukum perikatan (verbitenissenrecht) itu dengan perutangan.
Menurutnya perutangan itu merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu seseorang
dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain jika perlu dengan
perantaraan hakim.68 Menurut Yahya Harahap verbintennis mengandung pengertian
“suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya.69 Menurut Subekti yang
dimaksud dengan perikatan oleh Buku III BW adalah:70 “Suatu hubungan hukum
(mengenai harta benda) antara 2 orang, yang memberikan hak kepada satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu. Buku II KUHPerdata mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan benda (hak-hak perbendaan).

Buku III BW mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan


orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu
benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III BW itu selalu berupa
suatu tuntut menuntut, maka isi Buku III BW ini juga dinamakan "hukum perutangan".
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditor, sedangkan
pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berutang atau debitor.
Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi yang menurut undang-
undang dapat berupa:
1. Menyerahkan suatu barang
2. Melakukan suatu perbuatan

67
Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, hlm. 252.
68
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan), Bagian A, Yogyakarta
: Seksi Hukum Perdata UGM, 1980, hlm. 1.
69
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm.7
70
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, , 1985, hlm. 122-123.
3. Tidak melakukan suatu perbuatan

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka utang adalah kewajiban yang


melekat pada pihak yang berutang/debitor untuk memenuhi prestasi kepada pihak
berpiutang atau kreditor. Dimana kewajiban tersebut dapat berupa menyerahkan
sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dalam hukum positif
pengertian mengenai utang secara tegas dinyatakan dalam pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yaitu :
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan Debitor.
Berdasarkan pengertian utang dalam UU Kepailitan dan PKPU tersebut maka
sejalan dengan pendapat Soedewi Masjchoen Sofwan dan Subekti bahwa utang sangat
identic dengan perikatan karena utang dan perikatan sama-sama dapat timbul karena
perjanjian ataupun karena undang-undang. Di dalam Pasal 1233 BW menyebutkan
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena Undang-
undang. Berdasarkan Pasal 1352 BW, perikatan yang lahir dari undang-undang adalah
perikatan yang besumber dari undang-undang saja, dan perikatan yang bersumber dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat perbuatan manusia dibagi 2 (dua) yaitu:71
1. perikatan yang terbit dari perbuatan yang halal (rechtmatig) diatur dalam Pasal 1357
BW. Figur dari perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
yang halal, antara lain perbuatan mewakili orang lain (zaakwaarneming, Pasal 1354
BW), pembayaran hutang yang tidak diwajibkan (onverschuldigde betaling, Pasal
1359 ayat 1 9 BW), perikatan wajar (natuurlijke verbintenis, Pasal 1359 ayat 2
BW).
2. Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam Pasal 1365 BW.
Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai perbuatan manusia yang melawan
hukum ditetapkan bukan saja karena salahnya orang melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang juga karena perbuatan dari orang tersebut
bertentangan dengan hukum tidak tertulis (unwritten law).

Utang menurut Setiawan seyogyanya diberi arti luas baik dalam arti kewajiban
membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang
(dimana debitor telah menerima sejumlah uang tertentu dari kreditumya), maupun
kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak
lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan
perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang
tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul
dari perjanjian-perjanjian lain".72 Apabila dilihat dari sumber perikatan maka utang

71
Abdul Hakim Siagian, Hukum Perjanjian, UMSU Press, Medan, 2014, hlm 8-9
72
Setiawan, Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi Kini, seperti dikutip oleh Rudy A. Lontoh,
Denny Kailimang dan Benny Ponto, (ed) “Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan
Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2001, hlm. 117
tidak hanya timbul dari perjanjian kredit ataupun perjanjian-perjanjian lain bahkan
semakin luas utang dapat timbul dari perbuatan melanggar hukum, baik hukum yang
tertulis maupun tidak tertulis. Perbuatan melanggar hukum salah satunya adalah tidak
melaksanakan kewajiban hukumnya sebagai mahkluk sosial. Hal tersebut dapat dilihat
dari kasus Lindenbaum-Cohen dimana Arrest Hoge Raad pada 31 Januari 1919
memutuskan bahwa pengertian dari Perbuatan Melanggar Hukum menjadi lebih luas.
Makna Perbuatan Melanggar Hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang
melanggar hukum atau norma-norma yang tertulis saja, melainkan juga meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah
hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak
tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau
terhadap harta benda warga masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut maka apabila seseorang melakukan Perbuatan


Melanggar Hukum dan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dihukum untuk membayar ganti rugi, biaya dan bunga kepada pihak yang dirugikan,
maka saat itu juga seseorang yang melakukan Perbuatan Melanggar Hukum tersebut
mempunyai utang kepada pihak yang dirugikan karena saat itu pula timbul kewajiban
hukum bagi seseorang yang melakukan Perbuatan Melanggar Hukum tersebut.

Dengan demikian oleh karena kewajiban pembayaran ganti rugi yang diberikan
oleh putusan pengadilan atas Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh si
peninggal harta waris merupakan utang dan merupakan bagian dari warisan yang
dialihkan kepada ahli waris selain dari hak dan harta kekayan si peninggal harta waris
karena warisan menurut 1100 BW adalah semua yang didalamnya juga termasuk utang-
utang yang harus dibayar si peninggal harta warisan.

C. Tanggung Gugat Ahli Waris Notaris atas Kerugian Para Pihak

Warisan meliputi hak dan harta kekayaan milik peninggal harta waris beserta
utang yang harus dibayar oleh si peninggal harta warisan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman pembayaran gantirugi, biaya dan bunga yang
dijatuhkan oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada si
peninggal harta warisan merupakan utang yang melekat pada diri si peninggal harta
warisan sehingga apabila si peninggal harta warisan tersebut meninggal dunia maka
kewajiban pembayaran gantirugi, biaya dan bunga merupakan bagian dari warisan
untuk ahli warisnya. Namun atas warisan tersebut ahli waris dapat menentukan sikap,
apakah ahli waris menyatakan menerima tanpa syarat, menerima dengan syarat
ataupun menolak warisan tersebut. Akibat hukum atas sikap ahli waris tersebut
kepada para kreditor ataupun pihak yang dirugikan lainnya tentunya berbeda.

Undang-undang tidak menetapkan suatu waktu, seorang waris harus menentukan


sikapnya atas suatu warisan. Undang-undang hanya mengatur mengenai jangka waktu
ahli waris menggunakan hak untuk berpikir (recht van beraad) dalam pasal 1023 BW
sampai dengan pasal 1029 BW yang ditetapkan selama 4 bulan terhitung sejak
menyampaikan keterangannya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Dengan demikian
maka terdapat suatu keadaan yang tidak tentu bagi para kreditor dimana hal
ketidakpastian tersebut merugikan para kreditor dalam proses penagihan. Oleh
karenanya, para kreditor atau pihak yang berkepentingan berhak untuk menggugat
para ahli waris agar menyatakan sikapnya. Setelah gugatan diterima oleh ahli waris
maka ahli waris dituntut untuk menentukan sikap atas warisannya dan dapat segera
memutuskan atau menggunakan hak untuk meminta suatu waktu untuk berpikir
(termijn van beraad) melalui Panitera Pengadilan Negeri dengan tenggang waktu
selama empat bulan sejak memberikan keterangan di Panitera Pengadilan Negeri.

Selama masa berpikir tersebut ahli waris diwajibkan untuk memelihara harta
waris. Akibatnya, selama waktu itu si waris tidak dapat dipaksa untuk melakukan
kewajiban-kewajiban seorang ahli waris. Terhadap dirinya tak dapat dimintakan
putusan hakim. Apabila sudah ada sesuatu putusan, pelaksanaannya harus
ditangguhkan dahulu. Jika ia digugat sebagai ahli waris, ia dapat mengajukan
perlawanan yang bertujuan untuk mempertangguhkan perkara sampai habisnya waktu
untuk berfikir. Selama itu ahli waris tersebut, diwajibkan mengurus harta peninggalan
itu sebaik-baiknya. la tak boleh menjual apa-apa, sebab perbuatan semacam itu dapat
diartikan sebagai penerimaan penuh secara diam-diam (stilzwijgende aanvaarding).73

Akibat hukum ahli waris yang menerima warisan penuh atau tanpa syarat berarti
harta pribadi bercampur dengan harta warisan, sehingga bila perlu harta pribadinya
dapat dikurangi untuk membayar utang-utang si peninggal warisan.74 Hal tersebut
berlaku bagi ahli waris yang menerima warisan secara tegas maupun yang menerima
warisan secara diam-diam. Atas sikap ahli waris tersebut para kreditor ataupun pihak
yang berkepentingan tidak kesulitan dalam menuntut kewajiban hukum dari ahli waris
karena sikap ahli waris tersebut menunjukkan sikap kesediaan untuk
bertanggunggugat atas kewajiban hukum yang sebelumnya melekat pada si peninggal
harta waris. Dengan demikian maka apabila ada pihak kreditor ataupun pihak yang
berkepentingan menggugat ahli waris almarhum notaris atas kesalahan dalam akta
yang dibuat oleh almarhum notaris dan menuntut ganti kerugian, biaya dan bunga
maka apabila ahli waris almarhum notaris tersebut menyatakan menerima secara
penuh / tanpa syarat baik secara tegas maupun diam-diam maka ahli waris almarhum
tersebut secara penuh bertanggung gugat atas kerugian yang diderita oleh pihak yang
merasa dirugikan karena akta yang dibuat oleh almarhum notaris. Hakim dapat
memutuskan untuk menyita seluruh harta kekayaan milik ahli waris notaris tersebut
tidak hanya harta yang diperoleh dari waris melainkan juga sampai pada harta pribadi
ahli waris.

Yang kedua, akibat hukum yang ditimbulkan karena sikap ahli waris yang
menerima warisan dengan syarat yaitu harta pribadi ahli waris tidak bercampur dengan
harta warisan, sehingga hal yang menyangkut dengan utang-utang si peninggal warisan
hanya dibayar sampai nilai harta warisan.75 Dengan demikian maka ahli waris baru
dapat menerima harta warisan apabila masih ada sisa dari harta peninggalan yang
terlebih dahulu dipergunakan untuk melunasi utang si peninggal harta waris kepada
para kreditor. Atas sikap ini ahli waris beneficiary aanvarding dibebani kewajiban
diantaranya :76

73
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000, hlm. 56
74
Henny Tanuwidjaja, Op.Cit, hlm. 63
75
Ibid.,hlm 64
76
Subekti, Op.Cit, hlm. 104
1. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa
ia menerima warisannya secara beneficiair.
2. Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya.
3. Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan (de' boedel tot effenheid brengen").
4. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk
harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak bergerak yang
tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang memegang hypotheek.
5. Memberikan pertanggunganjawab kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang
yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung harga
serta pendapatan-pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang-barang
warisan dijual dan sampai berapa persen piutang-piutang dan legaten itu dapat
dipenuhi.
6. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.
Sebenarnya, peraturan yang diberikan oleh undang-undang mengenai pemberesan
harta peninggalan dalam hal penerimaan warisan secara beneficiair ini, adalah
sangat sederhana dan kurang jelas.

Atas hal tersebut maka apabila ahli waris beneficiair mendapat gugatan dari para
kreditor dari si peninggal waris maka ahli waris tersebut mempunyai kewajiban
mengurus harta warisan dan baru menerima harta warisan apabila terdapat sisa dari
pembayaran utang-utang si peninggal waris. Bagi kreditor apabila sudah lampau 3
bulan sejak harta warisan diterima ahli waris dan 6 bulan setelah meninggalnya si
peninggal warisan maka apabila kreditor dapat membuktikan suatu warisan tidak akan
mencukupi untuk melunasi hutang-hutang si meninggal, maka biasanya ditempuh jalan
meminta pada hakim supaya warisan itu dinyatakan pailit. Dengan demikian maka
apabila ahli waris almarhum notaris atas gugatan Perbuatan Melanggar Hukum yang
diajukan oleh pihak yang dirugikan atas akta almarhum notaris maka ahli waris notaris
yang menerima warisan secara beneficiary tidak dapat bertanggunggugat sampai
dengan harta pribadinya.

Yang ketiga, apabila ahli waris menolak harta warisan, maka berdasarkan
pasal 1061 BW, pihak kreditor dapat meminta kepada hakim agar ia diberi kuasa untuk
mengganti menerima harta warisan atas nama ahli waris yang menolak warisan.77
Berdasarkan hal tersebut maka apabila terdapat gugatan terhadap ahli waris almarhum
notaris dari pihak yang dirugikan akibat akta yang dibuat oleh almarhum notaris maka
apabila ahli waris almarhum notaris menyatakan menolak waris maka upaya yang dapat
dilakukan oleh pihak yang dirugikan tersebut adalah permohonan untuk menerima harta
warisan atas nama ahli waris yang menolak warisan tersebut sebagai upaya untuk
mendapatkan haknya.

KESIMPULAN

Jabatan Notaris merupakan pendukung hak dan kewajiban dan oleh


pemerintah diberikan kekuasaan untuk membuat akta otentik berdasarkan Undang
undang jabatan Notaris namun oleh karena itu apabila terjadi kesalahan terhadap akta
otentik yang dibuat oleh Notaris, merupakan suatu kesalahan karena Jabatan yang
diembannya dan pertanggungjawaban Notaris bergantung pada kesalahan yang
diperbuatnya, apabila terdapat kesalahan minor seperti halnya dalam hal pengetikan
77
Ibid, hlm 65
maka oleh Undang-Undang diberikan ruang bagi Notaris untuk melakukan
pembetulan. Selanjutnya apabila akta yang dibuat tersebut turun kekuatan hukumnya
menjadi akta bawah tangan dan bahkan akibat kesalahan notaris akta yang dibuatnya
oleh pengadilan dinyatakan batal ataupun batal demi hukum maka notaris
bertanggunggugat atas kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan baik secara
materiil maupun immaterial dimana notaris dapat dihukum untuk membayar
gantirugi, biaya dan bunga.

Atas kesalahan yang dibuat oleh notaris yang pada akhirnya membuat
kekuatan pembuktian akta yang dibuatanya turun menjadi akta dibawah tangan atau
atas kesalahan maupun perbutan notaris menyebabkan akta tersebut oleh pengadilan
dinyatakan batal atau batal demi hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi para
pihak yang berkepentingan maka apabila notaris tersebut meninggal dunia maka para
pihak yang dirugikan tersebut oleh hukum diperbolehkan untuk menggugat ahli waris
almarhum notaris dengan dasar kewajiban pembayaran gantirugi, biaya dan bunga
dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas Perbuatan Melanggar
Hukum yang dilakukan oleh almarhum notaris merupakan utang almarhum notaris.
Warisan tidak hanya meliputi hak dan harta kekayaan saja melainkan juga meliputi
utang sehingga hukuman pembayaran ganti rugi, bunga dan biaya atas Perbuatan
Melanggar Hukum almarhum notaris dapat beralih ke ahli waris almarhum notaris
sebagai warisan. Dengan demikian para ahli waris dapat bertanggunggugat atas
hukuman pembayaran gantirugi biaya dan bunga tersebut. Namun oleh hukum pula
ahli waris tersebut diberikan hak untuk memilih menerima warisan, menerima
warisan dengan syarat atau menolak warisan.

SARAN

Notaris sebagai Pejabat Umum yang merupakan kepanjangtanganan dari


pemerintah khususnya di bidang perdata yang mana Produk hukumnya merupakan
akta otentik, baik dalam peristiwa hukum maupun perbuatan hukum dapat mengerti
dalam Pembuatan akta yang dibuat para pihak, sehingga diharapkan dalam hal ini asas
kehati-hatian sangatlah penting dalam membuat setiap produk hukumnya yaitu akta
otentik, karena berdasarkan kehati-hatian tersebut maka dapat mengurangi kesalahan
yang dapat merugikan para pihak sehingga tidak akan timbulnya suatu gugatan atas
ganti kerugian oleh ahli waris dari Notaris tersebut.

Apabila terjadinya gugatan yang dialami oleh ahli waris notaris di Pengadilan
Negeri yang melibatkan pihak yang dirugikan, maka diperlukan produk hukum yang
menegaskan bahwa tanggunggugat notaris dapat beralih ke ahli warisnya atau hal
tersebut dapat ditegaskan dalam Undang – undang Jabatan Notaris Nomor 02 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) sehingga ada kepastian hukum bagi para
pihak yang dirugikan atas Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh notaris
yang telah meninggal dunia.

DAFTAR PUSTAKA

14 Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de


Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru-Van Voeve, Jakarta 1998
Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Refika Aditama, 2008

Adjie, Habib sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai


Pejabat Publik, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, 2008

Afandi, Ali ,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT


Rineka Cipta, 2000

Afif, H.A. Wahab, 1994, Fiqh Mewaris, Cet. I, Yayasan Ulumul Quran, Serang,

Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum


dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009

BN, Marbun, Membuat perjanjian yang aman dan sesuai hukum,Puspa Swara,
Cetakan I, Jakarta, 2009

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 , 2013

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa


Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008

Hartati Sulihandari & Nisya Rifiani, Prinsip-prinsip dasar profesi notaris, ,Dunia
Cerdas,Cetakan I, Jakarta, 2013

Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986

Henny Tanuwidjaja, S.H.,SpN., Hukum Waris Menurut BW, Refika Aditama,


Bandung, 2012

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak


Komersial, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2010

Kie, Tan Thong, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2000)

Martono, K. Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi


Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet. 6, Kencana Perdana Media


Group, Jakarta, 2010
Moecthar, Oemar, Kedudukan Negara sebagai Pengelola Warisan atas Harta
Peninggalan Tak Terurus dalam Sistem Hukum Waris Burgerlijk Wetboek, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Yuridika Vol.32 2 Mei 2017

Muhammad, Abdulkadir Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2000,

Munir Fuady, Perbuatan Melanggar Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Nieuwenhuis, J.H. Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1985

Prajitno, A.A Andi Pengetahuan praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di
Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, 2010

Prodjodikoro, R. Wirjono 1983, Asas-asas Hukum Perdata, Cetakan 9, Bandung:


Sumur,

Ramulyo, M. Idris ,Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan


Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002

Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto, (ed) “Penyelesaian


Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Pembayaran Utang, Bandung :
Alumni, 2001, hlm. 117

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung:


Alumni, 1992, hal. 46.

Satrio, J. Hukum Waris, Alumni, 1992, Bandung

Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP
(suatu kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta)

Setiawan, Wawan, Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT


dibandingkan dengan kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sitem Hukum
Nasional, Jakarta, 2 Juli 2001,

Siagian, Abdul Hakim ,Hukum Perjanjian, UMSU Press, Medan, 2014

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam


Pembuatanb Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen , Hukum Perdata (Hukum Perutangan), Bagian


A, Yogyakarta : Seksi Hukum Perdata UGM, 1980

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980

Suhardana, FX et al, Hukum Perdata I, Jakarta, Prenhalindo, 1987

Surini Ahlan Sjarif dan nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat,
Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005

Syahrani, Riduan 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung,

Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti
Poesponoto, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981,
Tobing, G.H.S. Lumban Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement),
Erlangga,Jakarta, 1999

Usman, Suparman Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang


hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ), ( Serang: Darul Ulum Press. 1993 )

Anda mungkin juga menyukai