Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK II

“ASUHAN KEPERAWATAN HIPERTENSI PADA LANSIA”

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat dengan tujuan
memenuhi tugas Keperawatan Gerontik II.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. Team dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik selaku dosen pembimbing mata kuliah.
2. Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya makalah ini.

Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat memahami dan
mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di aplikasikan untuk
mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri
menerima berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.

2
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hipertensi pada lansia
2.2 Klasifikasi hipertensi pada lansia
2.3 Etiologi hipertensi pada lansia
2.4 Patofisiologi hipertensi pada lansia
2.5 Tanda dan gejala hipertensi pada lansia
2.6 Pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia
2.7 Komplikasi hipertensi pada lansia
2.8 Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
2.9 Asuhan keperawatan hipertensi pada lansia

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota
masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia
harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa
atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk
lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat
di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari
seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau
11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara
konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun
1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun,
dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia, maka dapat
diperkirakan bahwa insidensi penyakit degeneratif akan meningkat pula. Salah satu
penyakit degeneratif yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah
hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa
patogenesis, perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama
dengan hipertensi pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan
bertambah tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah diastolik
akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami peningkatan
resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990, kematian penyakit tidak menular
48 % dari seluruh kematian di dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di dunia
dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular yaitu 64 %
dari seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh
darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan kematian akibat
penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di dunia dan sebanyak

4
66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke,
dimana faktor resiko utama penyakit tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab kematian dan
kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The Silent Killer karena
hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena disamping karena prevalensinya
yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat
keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak.
Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani
perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan
waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995,
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada
batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita
hipertensi di indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas
tekanan darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat
menjadi 37 % pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus. Bentuk
hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti
tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel, mungkin pula
ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan –
perubahan berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan
baroreseptor, (3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit
hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim
ginjal atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi, bahkan
memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari berbagai strategi dapat
disimpulkan bahwa penanggulangan hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu.
Kunci pencegahan atau penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat.
Masyarakat juga perlu tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk
mencegah atau menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan
sampai mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI memberi
apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit Hipertensi. Sejak tahun
2006 Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak

5
Menular yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan
akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan beberapa
langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian
hipertensi; melaksanakan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan intensifikasi,
akselerasi, dan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber daya manusia
dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian hipertensi,
antara lain dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi;
memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan surveilans epidemiologi dan
sistem informasi pengendalian hipertensi; melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan
mengembangkan sistem pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan komplikasi,
pengenalan berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang tersebut perlu
mendapatkan perhatian oleh karena berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara
keseluruhan. Dahulu hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu diobati,
bahkan dianggap berbahaya untuk diturunkan. Memang teori ini didukung oleh
observasi yang menunjukkan turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada jangka
pendeknya oleh perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir
ini dari penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat antihipertensi pada
lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia merupakan risiko yang paling
penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak
data akhir-akhir ini menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas.

6
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu hipertensi pada lansia?
1.2.2 Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
1.2.3 Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
1.2.4 Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
1.2.5 Bagaimana Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
1.2.7 Apa saja komplikasi hipertensi pada lansia?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
1.2.9 Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit hipertensi pada
lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
1.3.2.2 Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.5 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia.
1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
1.3.2.9 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.

1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Hipertensi pada lansia.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipertensi Pada Lansia


Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang
intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah
sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)

2.2. Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia


2.2.1. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu
sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit tinggi
natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun faktor
genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi mekanisme
pastinya masih belum diketahui.

2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi
lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler,
feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu
sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.

2.2.2. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal 115 atau kurang 75 atau kurang
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89

8
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat
dibedakan:
 Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.
 Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
 Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60th,
lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

2.3. Etiologi Hipertensi Pada Lansia


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi
diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan
garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol,
antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria atau
wanita pasca menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang
belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya
proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita
mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini

9
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita
secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi
berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria
bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita
setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini
sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.

b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang
yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang
yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara
khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun,
karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada
kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering
terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter (2009)
mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk
samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini
dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian
diri.

c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya
adalah penderita hipertensi.

10
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan
meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat
memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh
darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-
30% memiliki berat badan lebih.

2. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung
sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang
lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan
risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk.
Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat
dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi,
semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan
yang mendesak arteri.

3. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4. Mengkonsumsi garam berlebih


Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih
dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi

11
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.

5. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.

6. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung
75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi
meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di
masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini
dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat
yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga
akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan
dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

12
2.4
2.5 Tanda Dan Gejala Hipertensi Pada Lansia
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau
tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien
yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan,
Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

2.6 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi Pada Lansia


a. Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas) dan
dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

b. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal


c. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh
peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau
menjadi efek samping terapi diuretik.
e. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
f. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan
plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
h. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
i. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
j. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
k. Steroid urin

13
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu
ginjal / ureter.
m. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
n. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

2.7 Komplikasi Hipertensi Pada Lansia


Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan,
dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.

a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler


Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya
membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris
dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri
yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur
dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar
pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler,
ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram,
ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat
terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan
oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga
bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada

14
asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan
tekanan darah atau kadar angiotensin II.

b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina
dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri
dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan
optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak
hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit
kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang merupakan
salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’,
kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi
manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara
sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana
perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan darah dan
perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard).
Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan
mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan
kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan
spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang
ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau
transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa
retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat pada
retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat berupa
penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam,
fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.

c. Efek pada Ginjal

15
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi
terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

2.8 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia


Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya
pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra menyatakan bahwa
penurunan tekanan darah pada hipertensi lansia justru akan menyebabkan kemungkinan
terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural dan penurunan kualitas hidup. Dengan
penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa
menurunkan tekanan darah pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi
akibat hipertensi secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita
hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan diastol
saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya adalah mencapai
target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg
berhubungan dengan penurunan terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien
hipertensi dengan diabetes melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin seumur
hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar
pengobatan hipertensi.

16
Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b. Interaksi obat
c. Efek samping obat.
d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
penderita adalah :
a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat
antihipertensi, yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi


mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di bawah ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal,
dan kurangnya pemberian diuretik
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder

17
Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *
BP SBP DBP Lifestyle Initial Drug Therapy
Classifica (mmHg) (mmHg Modificati Without With Compelling
tion * )* on Compelling Indication
Indication
Normal < 120 and < 80 Encourage
Prehyperte 120-139 or 80-89 Yes No Drug(s) for
nsion antihypertensive compelling
indicated indications. ‡
Stage I 140-159 or 90-99 Yes Thiazide-type Drug(s) for the
Hypertensi diuretics for most. compelling
on May consider indications. ‡
ACEI , ARB, BB Other
, CCB or antihypertensive
combination. drugs (diuretics,
Stage II ≥ 160 ≥ 100 Yes Two-drug ACEI, ARB, BB,
Hypertensi combination for CCB) as needed.

on most (usually
thiazide-type
diuretic and ACEI
or ARB or BB or
CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.

Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.

Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg

18
2.8.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini
Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru
yaitu :
a. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah
diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis
dengan cara modifikasi gaya hidup.
b. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan penatalaksanaan
secara farmakologis dengan diberikan obat golongan diuretik atau bisa juga
diberikan obat dari golongan lain.
c. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus
dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah
diastoliknya tidak.
d. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi antihipertensi,
salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
e. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk
mencapai tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang
diinginkan.
f. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic
masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan hipertensi
yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.

Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit
penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah. Penatalaksanaan untuk hipertensi
dibagi menjadi :
1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2. Farmakologis

19
A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :
Kriteria Indeks Massa Tubuh
Kriteria IMT (kg/m2)

Kurang <18,5

Normal 18,5-24,9

Berat badan lebih 25,0-29,9

Obesitas 30,0-34,9

Obesitas berat ≥ 35,0

 Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT ≥ 27


 Membatasi alkohol.
 Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
 Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
 Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), kalsium dan magnesium yang
adekuat.
 Berhenti merokok.
 Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *†


Modification Recommendation Approximate SBP
Reduction (Range)
Weight reduction Maintain normal body weight (BMI 18,5 5-20 mmHg / 10 kg
– 24,9 kg/m2) weight loss
Adopt DASH Consume a diet rich in fruits, vegetables 8-14 mmHg
eating plan and low fat dairy products with a reduced
content of saturated and total fat
Dietary sodium Reduced dietary sodium intake to no more 2-8 mmHg
reduction than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6
g sodium chloride)
Physical activity Engage in regular aerobic physical 4-9 mmHg

20
activity such as brisk walking (at least 30
min per day, most days of the week)
Moderation of Limit consumption to no more than 2 2-4 mmHg
alcohol drinks (1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz
consumption beer, 10 oz wine, or 3 oz 80-proof
whiskey) per day in most men and to no
more thsn 1 drink per day in women and
lighter weight persons
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
† The effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and could
be greater for some individuals.

B. Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1. Diuretik
 Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga volume
plasma dan cairan ekstrasel.
 Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi
perifer.
 Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
- Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg
- Klortalidonn – tab 50 mg
- Bendroflumentiazid – tab 5 mg
- Indapamid – tab 2,5 mg
- Xipamid – tab 20 mg
b. Diuretik kuat :
a. Furosemid – tab 40 mg
c. Diuretik hemat kalium :
a. Amilorid – tab 5 mg
b. Spironolakton – tab 25 dan 100 mg
 Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.

21
2. Penghambat Adrenergik
 Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta
menurunkan sekresi renin
 Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
 Terdiri dari golongan :
- penghambat adrenoreseptor α / α –bloker : terazosin, doxazosin,
prazosin
- penghambat adrenoreseptor β / β-bloker : propanolol, asebutolol,
atenolol, bisoprolol
- penghambat adrenoreseptor α dan β : labetalol
- adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin
3. Vasodilator
 Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang
akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah
 Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin,
doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.
 Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek
samping hipotensi ortostatik.

4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin


 Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis
prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis
 Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam
sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
 Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria, gagal
ginjal dan agranulositosis.

5. Antagonis Kalsium
 Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan
vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata
dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.
 Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,
amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)

22
 Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi
produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
 Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin.
 Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena
reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :


 Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
 Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
 Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
 Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
 Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
 Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk
maintenance (Gambar 2)

Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat
kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat gangguan
metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih rendah. Pada
hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5 – 25 mg atau
setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi sebagai
pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik
merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering menimbulkan
efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut terbuang bersama
urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang kardioselektif
dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat β tidak begitu disukai oleh
karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik.
Penghambat α merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi
prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini
dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.

23
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai
efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat
ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun
efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping sedasi,
mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai pengaruh pada
susunan saraf pusat, α dan ß bloker dapat mengakibatkan depresi serta penurunan
kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
 Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
 Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya
sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
 Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
 Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
 Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.
 Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada
lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek
samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan


hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-lahan
dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang lebih
kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang lebih muda,
dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya hipertensi
dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.

24
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah
pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,
maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak meningkatkan
dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek penurunan
tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian HOT, terapi
kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII, para ahli bahkan
menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada penderita yang ada pada
stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak disediakan oleh pabrik farmasi,
upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih baik. Berikut diberikan pedoman
yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham
Hypertension Square.

The Birmingham Hypertension Square

ACE Inhibitor atau Diuretik


Bloker Reseptor
Angiotensin II
Tiazid

Nasihat nonfarmakologik :
garam, berat badan, alkohol,
olahraga, rokok

Bloker Kanal
Kalsium golongan
dihidropiridine β-Bloker

25
Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat yang
ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek
antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi dengan
baik.

2.9 Asuhan Keperawatan Hipertensi Pada Lansia

No DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL


1 Gangguan rasa Tujuan: Intervensi :
nyaman nyeri Menghilangkan  Pertahankan  Meminimalka
b.d rasa nyeri tirah baring n stimulasi
peningkatan Kriteria hasil : selama fase dan
tekanan intra  Melaporkan akut. meningkatkan
kranial ketidakyam relaksasi.
anan hilang
atau  Berikan  Tindakan yang
terkontrol. tindakan menurunkan
 Mengikuti nonfarmakolog tekanan
regimen i untuk vaskuler
farmakologi menghilangkan serebral,efektif
yang sakit kepala, dalam
diresepkan. misalnya menghilangkan
kompres dingin sakit kepala dan
pada dahi, pijat komplikasinya.
punggung dan
leher.

 Hilangkan/  Aktifitas yang


minimalkan meningkatkan
aktifitas vasokontraksi
vasokontraksi menyebabkan
yang dapat sakit kepala
meningkatkan pada adanya
sakit kepala, peningkatan
misalnya batuk vaskuler
panjang, serebral.
mengejan saat
BAB.

 Bantu pasien  Meminimalka


dalam ambulasi n penggunaan
sesuai oksigen dan
kebutuhan. aktivitas yang
berlebihan

26
yang
memperberat
kondisi klien.

 Kolaborasi  Analgetik
dengan dokter menurunkan
dalam nyeri dan
pemberian obat menurunkan
analgetik, anti rangsangan
ansietas, saraf simpatis.
diazepam dll.

2 pemenuhan Tujuan: kebutuhan Intervensi:


kebutuhan nutrisi terpenuhi  Bicarakan  Kesalahan
nutrisi kurang pentingnya kebiasaan
dari kebutuhan Kriteria hasil: menurunkan makan
tubuh b.d  Klien masukan menunjang
intake nutrisi menunjukk lemak, garam terjadinya
inadekuat an dan gula sesuai atero
peningkatan indikasi. sklerosis,
berat badan kelebihan
 Menunjukk masukan
an perilaku garam
meningkatk memperbanya
an atau k volume
mempertah cairan intra
ankan berat vaskuler dan
badan ideal dapat merusak
ginjal yang
lebih
memperburuk
hipertensi.

 Kaji ulang  Mengidentifik


masukan kalori asi
harian dan kekuatan/kele
pilihan diet. mahan dalam
program diit
terakhir.

 Dorong klien  Memberikan


untuk data dasar
mempertahank tentang
an masukan keadekuatan
makanan nutrisi yang
harian dimakan dan
termasuk kapan kondisi emosi
dan saat makan,
dimanamakan membantu
dilakukan, untuk

27
lingkungan dan memfokuskan
perasaan perhatian
sekitar saat pada factor
makanan mana pasien
dimakan. telah/dapat
mengontrol
perubahan.

 Intruksikan dan  Menghindari


bantu memilih makanan
makanan yang tinggi lemak
tepat, hindari jenuh dan
makanan kolesterol
dengan penting dalam
kejenuhan mencegah
lemak tinggi perkembanga
(mentega, keju, n atero
telur, es krim, genesis.
daging dll) dan
kolesterol
(daging
berlemak,
kuning telur,
produk
kalengan,
jeroan).

 Kolaborasi  Memberikan
dengan ahli konseling dan
gizi sesuai bantuan
indikasi. dengan
memenuhi
kebutuhan
diet individual

3 Intoleransi Tujuan : tidak Intervensi :


aktifitas b.d terjadi Intoleransi  Kaji toleransi  Parameter
kelemahan aktifitas. pasien terhadap menunjukan
umum. aktivitas respon
Kriteria Hasil : dengan fisiologis
 Klien dapat menggunkan pasien
berpartisipa parameter : terhadap
si dalam frekwensi nadi stress,
aktivitas 20x/menit aktivitas dan
yang di diatas indikator
inginkan frekwensi derajat
atau istirahat, catat pengaruh
diperlukan peningkatan kelebihan
 Melaporkan TD, dipsnea, kerja jantung.
peningkatan atau nyeri

28
dalam dada, kelelahan
toleransi berat dan
aktivitas kelemahan,
yang dapat berkeringat,
diukur. pusing atau
pingsan.

 Kaji kesiapan  Stabilitas


untuk fisiologis
meningkatkan pada istirahat
aktivitas penting untuk
contoh : memajukan
penurunan tingkat
kelemahan/kele aktivitas
lahan, TD individual.
stabil,
frekwensi nadi,
peningkatan
perhatian pada
aktivitas dan
perawatan diri.

 Dorong  Konsumsi
memajukan oksigen
aktivitas/tolera miokardia
nsi perawatan selama
diri. berbagai
aktivitas dapat
meningkatkan
jumlah
oksigen yang
ada.
Kemajuan
aktivitas
bertahap
mencegah
peningkatan
tiba-tiba pada
kerja jantung.

 Berikan  Teknik
bantuan sesuai penghematan
kebutuhan dan energi
anjurkan menurunkan
penggunaan penggunaan
kursi mandi, energi dan
menyikat sehingga
gigi/rambut membantu
dengan duduk keseimbangan
dan suplai dan

29
sebagainya. kebutuhan
oksigen.

 Dorong pasien  Jadwal


untuk meningkatkan
berpartisipasi toleransi
dalam memilih terhadap
periode kemajuan
aktivitas. aktivitas dan
mencegah
kelemahan.

4 Resiko tinggi Tujuan : Tidak Intervensi:


penurunan terjadi penurunan  Observasi  Perbandingan
curah jantung curah jantung tekanan darah. dari tekanan
berhubungan darah
dengan Kriteria Hasil : memberikan
vasokontriksi  Klien gambaran
pembuluh berpartisipa yang lebih
darah. si dalam lengkap
aktivitas tentang
yang keterlibatan
menurunka vaskuler.
n tekanan
darah/beban  Catat  Denyutan
kerja keberadaan, karotis,
jantung kualitas jugularis,
 Mempertah denyutan radialis dan
ankan TD sentral dan femoralis
dalam perifer mungkin
rentang teramati saat
individu palpasi.
yang dapat Denyut pada
diterima, tungkai
 Memperliha mungkin
tkan normal menurun,
dan mencerminka
frekwensi n efek dari
jantung vasokontriksi
stabil dalam dan kongesti
rentang vena.
normal
pasien.  Auskultasi  ICS4 umum
tonus jantung terdengar
dan bunyi pada pasien
napas. hipertensi
berat karena
adanya
hipertropi

30
atrium,
perkembanga
n ICS3
menunjukan
hipertropi
ventrikel dan
kerusakan
fungsi, adanya
krakels,
mengidapat
mengindikasi
kan kongesti
paru sekunder
terhadap
terjadinya
atau gagal
jantung
kronik.
 Amati warna
kulit,  Adanya pucat,
kelembaban, dingin, kulit
suhu, dan masa lembab dan
pengisian masa
kapiler. pengisian
kapiler lambat
mencerminka
n
dekompensasi
/penurunan
curah jantung.
 Berikan
lingkungan  Membantu
yang nyaman, untuk
tenang, kurangi menurunkan
aktivitas atau rangsangan
keributan simpatis,
ligkungan, meningkatkan
batasi jumlah relaksasi.
pengunjung
dan lamanya
tinggal.

 Anjurkan
teknik  Dapat
relaksasi, menurunkan
panduan rangsangan
imajinasi dan yang
distraksi. menimbulkan
stress,

31
membuat efek
tenang,sehing
ga akan
menurunkan
tekanan darah.
 Kolaborasi
dengan dokter  Menurunkan
dalam tekanan darah.
pembrian terapi
anti hipertensi
dan diuretik.

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi
pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik
hipertensi pada usia lanjut adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid)
dan komplikasi organ target, seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal,
gangguan pada sistem saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah
sampai target 140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia lanjut harus
juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
tidak berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola
hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan
dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting and
Exposotion of American Society of Hypertension. New York, USA.
2. Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar
Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
3. Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut)
edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
5. Stanley, Mickey. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta :
EGC.
6. Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta :
EGC.
7. Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.
8. Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.
9. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve
d=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F1
23456789%2F19074%2F5%2FChapter%2520I.pdf&ei=FxSCUPTKEuciAeXsI
DwAQ&usg=AFQjCNEirKwyg_Z55lpLGGwhFxTq-efDKA

34

Anda mungkin juga menyukai