Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. DEFINISI PERILAKU KEKERASAN


Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.

B. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Faktor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang
memotivasi perilaku kekerasan.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa
kecil yang tidak menyenangkan.
c. Rasa frustasi.
d. Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
e. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya
dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
f. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipeljari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-respons yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari emlalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. budaya
juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
emmbantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan menimbulkan mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada
disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.
b. Pengaruh biokimia/menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin,
norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan geentik termasuk genetik tipe kariotipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal
(narapidana).
d. Gangguan otak, sindrom otak organikberhubungan dengan
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi
lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kriminal (Direja, 2011).

C. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) secara umum seseorang akan marah jika dirinya
merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep
diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut:
1. Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
3. Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa.
4. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu
mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan

D. POHON MASALAH

Perilaku kekerasan GPS: Halusinasi
↑ ↑
Regimen terapeutik Harga diri rendah kronis Isolasi sosial : menarik
inefektif diri
↑ ↑
Koping keluarga tidak Berduka disfungsional
efektif

E. TANDA dan GEJALA


1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual (Direja,
2011).
F. AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan
menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
Pendidikan kesehatan
H. DATA YANG PERLU DIKAJI
Subyektif
a. Klien mengancam
b. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
c. Klien mengatakan dendam dan jengkel
d. Klien mengatakan ingin berkelahi
e. Klien menyalahkan dan menuntut
f. Klien meremehkan
Objektif
a. Mata melotot/pandangan tajam
b. Tangan mengepal
c. Rahang mengatup
d. Wajah memerah dan tegang
e. Postur tubuh kaku

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

J. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual,
g. sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya.
1. Mengucapkan salam terapeutik.
2. Berjabat tangan.
3. Menjelaskan tujuan interaksi.
4. Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa
lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
1. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
2. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
3. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
4. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
5. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada
saat marah secara:
1. verbal,
2. terhadap orang lain,
3. terhadap diri sendiri,
4. terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
1. fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
2. obat;
3. sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
4. spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
5. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu
latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,
secara spiritual, dan patuh minum obat.
6. Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai