Anda di halaman 1dari 17

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI

SKRINING

Disusun oleh :

Kelompok : 6, Kelas : A

Ellen Herliana Pratiwi G1B013084


Ratih Handayani G1B014059
Dewi Wulandari I1A015007
Dian Meliana Dewi I1A015009
Nurma Kurniawati I1A015057
Dimas Arya Pamungkas I1A015101

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skrining berkembang dengan pesat dan diterima secara luas dalam praktek
kesehatan. Skrining juga merupakan bentuk pencegahan sekunder. Bentuk
skrining dapat berupa konseling tentang gaya hidup masyarakat (Hackl, dkk.
2012).
Skrining atau penyaringan merupakan suatu tes yang sederhana dan relatif
murah, dapat diterapkan pada populasi tertentu yang relatif sehat. Program
skrining sangat dibutuhkan karena adanya isu yang mendasari penemuan gejala
penyakit secara dini akan lebih baik dibandingkan dalam waktu yang lama,
pencegahan sebelum terjadinya penyakit akan lebih baik dibandingkan dengan
sudah terjadinya penyakit serta pencegahan memerlukan biaya yang relatif
ringan sehingga diagnosis lengkap kepada orang yang mempunyai faktor
resiko tinggi dan pengobatan kepada penderita dapat dilakukan secara dini
(Noor, 2008).
Upaya skrining dapat dilakukan pada penyakit tidak menular yang
merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Prevalensi penyakit
tidak menular cenderung meningkat dan sebagian besar masyarakat umumnya
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan sudah dalam fase lanjut. Riset
kesehatan dasar tahun 2007 menunjukan sekitar 70% penyakit tidak menular
belum terdiagnosa petugas kesehatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,
2007) menunjukkan penyebab kematian telah terjadi pergeseran dari penyakit
menular ke Penyakit Tidak Menular. Penyakit menular menyumbang 28,1%
kematian sedangkan Penyakit Tidak Menular sebagai penyumbang terbesar
penyebab kematian terbesar (59,5%).
Penyakit metabolik dan kardiovaskular merupakan salah satu contoh
penyakit tidak menular. Menurut pedoman yang dikeluarkan The Royal
Australian College of General Practitioners (RACGP) edisi ke-8 terkait
tindakan pencegahan penyakit metabolik dan kardiovaskular, 90% penduduk
Australia berusia 45 tahun ke atas lebih berisiko mengalami penyakit
kardiovaskular sehingga skrining profil lipid perlu dilakukan minimal 5 tahun
sekali, sedangkan batasan usia skrining tersebut untuk ras Aborigin dan
penduduk asli di pulau Torres Strait adalah 35 tahun keatas. Berdasarkan
pedoman US Preventive Services Task Force (USPSTF), pria berusia 35 tahun
keatas dan wanita berusia 45 tahun keatas sangat dianjurkan menjalani skrining
rutin pemeriksaan profil lipid. USPSTF membuktikan bahwa pemeriksaan
profil lipid dapat mengidentifikasi penduduk berusia pertengahan yang berisiko
mengalami penyakit jantung koroner, tetapi belum mengalami gejala klinis.
USPSTF juga membuktikan bahwa pemberian obat penurun kadar lipid pada
individu-individu berisiko tersebut bermanfaat dalam menurunkan insidens
penyakit jantung koroner tanpa menimbulkan risiko yang bermakna
(Riskesdas, 2013).

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian skrining.
2. Mengetahui tujuan skrining
3. Mengetahui syarat skrining
4. Mengetahui macam skrining
5. Mengetahui vaiditas dan reabilitas skrining
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Skrining
Menurut WHO pengertian skrining adalah upaya pengenalan penyakit
atau kelainan yang belum diketahui dengan menggunakan tes, pemeriksaan
atau prosedur lain yang dapat secara cepat membedakan orang yang tampak
sehat benar-benar sehat dengan orang yang tampak sehat tetapi sesungguhnya
menderita kelainan. Skrining adalah pemeriksaan orang-orang asimptometik
untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang diperkirakan
mengidap atau diperkirakan tidak mengidap penyakit yang menjadi objek
skrining (Sulistiani, 2012).
Sumber yang lain menyatakan bahwa penyaringan adalah suatu usaha
mendeteksi atau menemukan penderita penyakit tertentu yang tanpa gejala
(tidak tampak) dalam suatu masyarakat atau penduduk tertentu melalui tes
atau pemeriksaan secara singkat dan sederhana untuk dapat memisahkan
mereka yang betul-betul sehat terhadap mereka yang kemungkinan besar
menderita, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis pasti dan pengobatan
(Noor, 2008).
B. Tujuan Skrining
Menurut Morton (2009), tujuan skrining adalah mencegah penyakit atau
akibat penyakit dengan mengidentifikasi individu-individu pada suatu titik
dalam riwayat alamiah ketika proses penyakit dapat diubah melalui
intervensi. Bustan (2006) memiliki pendapat yang berbeda mengenai tujuan
dilakukannya skrining yaitu :
1. Mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat
dengan segera memperoleh pengobatan,
2. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat,
3. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini
mungkin,
4. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang
sifat penyakit dan selalu waspada melakukan pengamatan terhadap gejala
dini,
5. Mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinisi dan
peneliti.
C. Syarat – Syarat Skrining
Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi
beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan
persyaratan suatu tes penyaringan, berikut ini merupakan syarat-syarat
skrining menurut Noor (2008).
1. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti
dalam masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat
tersebut,
2. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan
penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi
tingkat atau kekuatan tes yang dipilih,
3. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif serta tersedianya biaya pengobatan bagi mereka yang
dinyatakan positif melalui diagnosis klinis,
4. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya
cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
5. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan standar
untuk mengetahui apakah di suatu daerah yang dilakukan skrining
berkurang atau malah bertambah frekuensi endemiknya,
6. Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan
harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum,
7. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan
pasti,
8. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut,
9. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada
titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa
melakukan tes tersebut,
10. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap
penyakit tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan.
Keberhasilan suatu tes skrining berhubungan dengan tujuan skrining.
Wilson dan Junger menganjurkan untuk memperhatikan persyaratan untuk
keberhasilan skrining sebagai berikut:
1. Seharusnya ada pengobatan yang sesuai dan dapat diterima bila hasil
pemeriksaan positif,
2. Fasilitas pengobatan dan diagnosis harus tersedia,
3. Mengenal kelainan yang timbul tahap dini suatu penyakit,
4. Harus ada tes atau pemeriksaan yang sesuai,
5. Tes atau pemeriksaan harus diterima masyarakat,
6. Riwayat alamiah yang di skrining harus dimengerti secara baik,
7. Harus ada kebijakan yang disetujui untuk mengobati bila pasien positif
terkena penyakit,
8. Biaya harus seimbang secara keseluruhan,
9. Penemuan kasus harus merupakan proses berkelanjutan, tidak hanya
berdasarkan proyek,
10. Test cukup sensitif dan spesifik,
11. Penyakit atau masalah yang akan di skrining merupakan masalah yang
cukup serius, prevalensinya tinggi, merupakan masalah kesehatan
masyarakat,
12. Kebijakan intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah
dilaksanakannya skrining harus jelas.
D. Macam – Macam Skrining
Macam skrining dibagi berdasarkan sasaran atau populasi yang akan di
skrining yaitu sebagai berikut.
1. Mass screening
Skrining yang dilakukan pada seluruh populasi. Misalnya, mass X-ray
survey atau blood pressure skrining pada seluruh masyarakat yang
berkunjung pada pelayanan kesehatan.
2. Selective screening
Populasi tertentu menjadi sasaran dari jenis skrining ini, dengan target
populasi berdasarkan pada risiko tertentu. Tujuan selective screening pada
kelompok risiko tinggi untuk mengurangi dampak negatif dari skrining.
Contohnya, Pap’s smear skrining pada wanita usia > 40 tahun untuk
mendeteksi Ca Cervix, atau mammography skrining untuk wanita yang
punya riwayat keluarga menderita Ca.
3. Single disease screening
Jenis skrining yang hanya dilakukan untuk satu penyakit. Misalnya,
skrining terhadap penderita penyakit TBC, jadi lebih tertuju pada satu
jenis penyakit.
4. Case finding screening
Case finding adalah upaya dokter atau tenagga kesehatan untuk
menyelidiki suatu kelainan yang tidak berhubungan dengan kelompok
pasien yang datang untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan. Penderita
yang datang dengan keluhan diare kemudian dilakukan pemeriksaan
terhadap mamografi atau rongen torax,
5. Multiphasic screening
Pemeriksaan skrining untuk beberapa penyakit pada satu kunjungan waktu
tertentu. Jenis skrining ini sangat sederhana, mudah dan murah serta
diterima secara luas dengan berbagai tujuan seperti pada evaluasi
kesehatan dan asuransi. Sebagai contoh adalah pemeriksaan kanker
disertai dengan pemeriksaan tekanan darah, gula darah dan kolesterol.
E. Tes Skrining
Tes ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam epidemiologi
untuk mengetahui prevelensi suatu penyakit yang tidak dapat di diagnosis
atau keadaan ketika angka kesakitan tinggi pada suatu individu atau
masyarakat berisiko tinggi serta pada keadaan yang kritis dan serius yang
memerlukan penanganan segara. Namun dengan demikian masih harus
dilengkapi dengan pemeriksaaan lain untuk menentukan diagnosis definit
(Chandra, 2009).
1. Karakteristik tes skrining
Untuk keberhasilan suatu program skrining, ketersediaan tes skrining
juga diperlukan selain juga harus memiliki kriteria penyakit yang cocok
untuk di skrining. Tes skrining seharusnya juga tidak mahal, mudah
dilaksanakan dan memberikan ketidaknyamanan yang minimal pada
pasien. Dan juga hasil skrining haruslah valid dan konsisten (Sarwani,
2007).
a. Validitas
Validitas adalah derajat yang menunjukkan dimana suatu tes mengukur
apa yang hendak diukur (Sukardi, 2013). Sedangkan menurut Saifuddin
Azwar (2014) bahwa validitas mengacu sejauh mana akurasi suatu tes atau
skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Sedangkan validitas
dalam skrining adalah kemampuan dari suatu alat untuk membedakan
antara orang yang sakit dan orang yang tidak sakit. Validitas mempunyai
dua komponen yaitu :
1) Sensitivitas
Kemampuan yang dimiliki oleh alat ukur untuk
menunjukan secara tepat individu-individu yang menderita
penyakit atau besarnya probabilitas seseorang yang sakit akan
memberikan hasil tes positif pada tes diagnostik tersebut.
Sensitivitas merupakan true positive rate (TPR) dari suatu tes
diagnostik
2) Spesifisitas
Kemampuan yang dimiliki oleh alat ukur untuk
menunjukan secara tepat individu-individu yang tidak menderita
sakit. Besarnya probabilitas seseorang yang tidak sakit atau sehat
akan memberikan hasil tes negatif pada tes diagnostik.
Sensitivitas merupakan true negative rate (TNR) dari suatu tes
diagnostik.
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan komponen ukuran dalam
validitas, selain itu terdapat pula ukuran-ukuran lain dalam validitas yaitu :
a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-
benar menderita penyakit dengan hasil tes positif pula.
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang
sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak
sakit dengan hasil test yang negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang
sebenarnya menderita penyakit tetapi hasil test negatif.
Perbandingan hasil alat ukur dengan status penyakit
Penduduk
Hasil uji
Dengan penyakit Tanpa penyakit
Mempunyai penyakit dan alat Tidak mempunyai
Positif uji positif = True Positif = TP penyakit tapi alat uji
positif
Mempunyai penyakit, tapialat Tidak mempunyai
uji negatif = False negative = penyakit dan alat uji
Negatif
FN negatif = True negatif=
TN
Sensitivitas=TP/TP+FN Spesifitasnya
TN/TN+FP

Distribusi penyakit berdasarkan status kesehatan


Diagnosis pasti
Tes Skrining Total
Sakit Tidak sakit
Positif A B A+B
Negatif C D C+D
Total A+C B+D A+B+C+D

Rumus Sensitivitas =

Negatif palsu (false negative rate) = × 100

Spesifitas =
Positif palsu (false positive rate) =

Rumus nilai prediksi


Nilai prediksi tes (Predict velue positif) (+) =

Nilai prediksi tes (predict velue negatif) (-) =

Keterangan
a = true positif individu dengan test skrining positif dan benar salah
b = false positif individu dengan test positif dan sebenarnya tidak sakit
c = false negatif individu dengan test skrining negatif tapi sebenarnya sakit
d = true negatif individu dengan test skrining ndgatif dan benar tidak sakit
Contoh
Pada tabel di bawah ini di tunjukan 100 orang yang menderita
penyakit, 80 orang didefinisikan positif menderita sakit oleh alat uji dan 20
orang dinyatakan negatif menderita sakit oleh alat uji,dari datainidapat
dihitung bahwa sensitivitas nya adalah 80/100*100% =80%
Dari 900 orang yang tidak mengalami sakit, alat uji mengidentifikasi 800
orang negatif menderita sakit. Jadi spesifikasinya adalah 800/900*100% =
89%
Konsep sensitivitas dan spesifikasinya
Hasil skrining Apa yang sebenarnya terjadi Total
Penyakit - Penyakit +
Positif 80 100 180
Negatif 20 800 820
Total 100 900 1000

Didefinisikan menderita sakit oleh alat uji dari data inidapat di


hitung sensitivitanya adalah 80/100*100%= 80%
Dari 900 orang yangtidakmenderita sakit , alat uji mengidentifikasi 80
orang negatif menderita sakit.jadisensitifitas adalah 800/900* 100% =
89%.
2. Reliabilitas
Groth-Marnat (2008) mendefinisikan reliabilitas suatu test merujuk
pada derajat stabilitas, konsistensi, daya prediksi, dan akurasi. Ia melihat
seberapa skor yang diperoleh seseorang itu akan menjadi sama jika orang
itu diperiksa ulang dengan tes yang sama pada kesempatan berbeda.
Reliabilitas skrining adalah ukuran konsistensi berdasarkan orang dan
waktu. Menurut Budiarto (2003) reliabilitas ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor berikut.
a. Reliabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:
1) Stabilitas reagen
2) Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen
dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan. Oleh karena itu,
sebelum digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera atau diuji ulang
ketepatannya.
b. Reliabilitas orang yang diperiksa.
Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit atau penyakit dalam masa tunas.
Misalnya lelah, kurang tidur, marah, sedih, gembira, penyakit yang berat,
penyakit dalam masa tunas. Umumnya, variasi ini sulit diukur terutama
faktor psikis.
c. Reliabilitas pemeriksa.
Variasi pemeriksa dapat berupa:
1) Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang
sama.
2) Variasi eksterna, merupakan variasi yang terjadi bila satu
sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang. Upaya
untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan
dengan mengadakan:
a) Standarisasi reagen dan alat ukur.
b) Latihan intensif pemeriksa.
c) Penentuan kriteria yang jelas.
d) Penerangan kepada orang yang diperiksa.
e) Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.

Pengukuran yang telah dilakukan memiliki empat kemungkinan


pada hasil pengukurannya yaitu:
1. Tepat & teliti (valid – reliabel): good precision & good accuracy.
2. Teliti tapi tidak tepat (valid tapi tidak reliabel): good accuracy & poor
precision.
3. Tidak teliti tapi tepat (tidak valid tapi reliabel): poor accuracy & good
precision.
4. Tidak teliti & tidak tepat (tidak valid & tidak reliabel): poor accuracy
& poor precision.
Tidak teliti = tidak valid = Bias.
F. Contoh Skrining
1. Mammografi untuk Ca mammae
Kanker payudara merupakan salah satu penyakit kanker yang paling
banyak menyebabkan kematian pada penderitanya. Di Indonesia, kanker
payudara menempati urutan kedua penyebab kematian tertinggi
perempuan Indonesia (Primartha dan Fathiyah, 2013).
Salah satu metode pemeriksaan kanker payudara adalah mammografi.
Mammografi merupakan metode skrining kanker payudara yang dapat
mengidentifikasi kanker beberapa tahun sebelum gejala-gejala fisik
penyakit tersebut muncul (Keles dan Yafuz, 2011). Mammografi adalah
pemeriksaan radiologi khusus menggunakan sinar- X dosis rendah untuk
mendeteksi kelainan pada payudara seperti benjolan yang dapat dirasakan
(Putra, et al., 2009).
2. Pap Smear untuk Ca cervix
Kanker leher rahim (kanker serviks) merupakan penyakit keganasan
ginekologik yang menimbulkan masalah dalam kesehatan kaum wanita
terutama di negara berkembang. Kanker ini mulai ditemukan di usia 25- 34
tahun dan puncaknya pada usia 45- 54 tahun (Kusuma, 2004).
Pemeriksaan pap smear dilakukan untuk mendeteksi perubahan–
perubahan prakanker yang mungkin terjadi pada serviks. Uji ini bisa
dilakukan pada semua wanita yang berusia antara 20- 64 tahun (Indrawati,
2009). Tes pap smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio
untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau
porsio (displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker
(Rasjidi, Irwanto, Sulistyanto, 2008).
Pap smear merupakan metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari
leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap Smear
merupakan tes yang aman dan murah serta telah di pakai bertahun-tahun
lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel leher
rahim (Diananda, 2009). Menurut Dalimartha 2004, pemeriksaan ini
mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa dilakukan setiap saat,
kecuali pada saat haid.
3. VCT untuk HIV/AIDS
Salah satu pintu masuk untuk mendeteksi infeksi HIV adalah melalui
kegiatan konseling dan tes HIV. Kegiatan ini terbukti sangatlah bernilai
tinggi dalam pelayanan kesehatan dan dukungan yang dibutuhkan dan
memungkinkan intervensi yang aman dan efektif terutama dalam
pencegahan penularan dari ibu ke anak (Anonim, 2012).
Konseling dan tes HIV tersedia dalam berbagai situasi dengan
menggunakan pendekatan sukarela (VCT= Voluntary Counseling Test).
Sasaran kegiatan VCT adalah masyarakat yang ingin mengetahui status
HIV/AIDS dan mencegah penularan, masyarakat yang berperilaku risiko
tinggi seperti sering berganti pasangan dan pengguna narkoba jarum
suntik. Kegiatan VCT didahului oleh konseling pra tes dan diakhiri
konseling pasca tes (WHO-UNAIDS, 2009).
4. Uji latih jantung untuk mendeteksi penyakit jantung koroner
Uji latih jantung merupakan suatu uji latihan fisik yang dipergunakan
untuk mengukur kondisi kardiovaskuler dengan mendeteksi perubahan
hemodimamika, iskemia, dan gangguan irama jantung yang berhubungan
dengan aktivitas fisik tersebut. Uji latih jantung merupakan suatu uji stres
fisiologis yang bertujuan memunculkan ketidaknormalan kerja jantung
yang bersifat laten atau yang tidak terjadi pada saat istirahat. (Heger,
1995).
Sebelum dilakukan uji latih jantung terhadap penderita, perlu
dilakukan persiapan khusus antara lain penderita tidak diperbolehkan
makan atau merokok paling sedikit 2-3 jam sebelum uji latih dilaksanakan
serta tidak melakukan pekerjaan berat selama 12 jam sebelumnya.
Pemakaian obat yang dapat mengganggu respons latihan serta
menimbulkan keraguan interpretasi terhadap uji latih juga harus dihentikan
dalam 24 jam sebelum dilakukan uji latih. Hal yang penting untuk
dilakukan adalah anamnesis serta pemeriksaan fisik untuk menghindari
kemungkinan adanya kontraindikasi, penjelasan mengenai prosedur
latihan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi serta dilakukannya E
K G standar 12 sadapan (kad) ketika istirahat sebelum latihan dimulai
(Verani, 2000). Peralatan yang paling sering digunakan adalah treadmill
dan sepeda ergometer.
Pemantauan keadaan jantung pada uji latih jantung dapat dilakukan
dengan memakai elektrokardiografi, ekokardiografi, atau perfusion
imaging. Pemantauan keadaan jantung pada saat uji latih jantung
dilakukan untuk menentukan diagnosis bagi penderita. Informasi dasar
yang diperlukan meliputi data sebelum, selama dan sesudah uji latih
jantung dilakukan. Sebuah perangkat elektrokardiograf yang penampil
outputnya berupa plotter akan menampilkan hasil perekaman pada sebuah
kertas grafik millimeter blok seperti pada gambar berikut:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Skrining merupakan upaya pengenalan penyakit atau kelainan yang belum
diketahui dengan menggunakan tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang
dapat secara cepat membedakan orang yang tampak sehat benar-benar
sehat dengan orang yang tampak sehat tetapi sesungguhnya menderita
kelainan.
2. Skrining bertujuan untuk medeteksi penyakit sedini mungkin sehingga
dapat menurunkan angka kesakitan, dan kematian, serta meningkatkan
kulaitas hidup.
3. Syarat skrining antara lain, masalah kesehatan tersebut merupakan
masalah kesehatan yang berarti dengan kata lain mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat secara luas, tersedianya obat yang potensial untuk
menyembuhkan penyakit tersebut, tersedia fasilitas dan biaya untuk
diagnosis pasti, adanya standar yang telah disepakati, dimungkinkan untuk
dilakukan pemantauan kepada individu yang positif terkena suatu
penyakit.
4. Macam skrining dibagi berdasarkan sasaran atau populasi yang akan di
skrining.
5. Validitas dalam skrining adalah kemampuan dari suatu alat untuk
membedakan antara orang yang sakit dan orang yang tidak sakit.
Sedangkan reabilitas dalam skrining merupakan ukuran konsistensi
berdasarkan orang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA

A.Keles & U. Yafuz. 2011. “Expert system based on neuro-fuzzyrules for


diagnosis breast cancer”. Expert system with Application, 38 (5), pp. 5719-
5726.
Anonim. 2012. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available at :
http://spriritia.or.id/Stats/ Stat..curr.pdf diakses pada tanggal 26 Oktober
2016.
Azwar S. 2014. Psikologi Inteligensi. Yogyakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Riset Kesehatan Dasar


2007. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar


2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Budiarto dan Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta : EGC

Bustan, M.N.2006 . Pengantar Epidemiologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Pencegahan Kedokteran Komunitas. Jakarta :


EGC

Dalimartha S. 2004. Deteksi Dini Kanker dan Simplisia Anti Kanker. Jakarta:
Penebar Swadya.

Gary Growth, Marnat. 2009. Handbook of Psychological Assessment. Yogyakarta


: PustakaPelajar

Hackl, Franz., Martin Halla, Michael Hummer, Gerald J. Pruckner. 2012. “The
Effectiveness of Health Screening”. IZA Discussion Paper, No. 6310.

Indrawati M. 2009. Bahaya Kanker bagi Wanita dan Pria Cetakan Pertama.
Jakarta : Pendidikan Untuk Kehidupan.

Kusuma H. W. 2004. Atasi Kanker Dengan Tanaman Obat. Jakarta : PT Niaga


Swadaya.

Metodologi Penelitian Kebidanan: Panduan Penulisan Protokol dan Laporan Prof.


Dr. Buchari Lapau, dr. MPH.2015

Morton, Richard. 2009. Panduan Studi Epidemiologi dan Biostatistik. Jakarta:


EGC.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Primartha, R dan Fathiyah, N. 2013. “Sistem Pakar Fuzzy untuk Diagnosis


Kanker Payudara Menggunakan Metode Madani”. Jurnal Generik, Vol. 8,
No 1, pp 190- 197.

Putra. D K, Santoso. I, Zahra A.A. 2009. Identifikasi Kanker Pada Citra


Mammografi Menggunakan Metode Wavelet Haar. Jurusan Teknik elektro :
Universitas Diponegoro

Rasjidi, I.Irwanto, Y. Sulistyanto, H. 2008. Modalitas Deteksi Dini Kanker


Serviks. Jakarta : Sagung Seto.

Riani, Emy, Agus Triwinarto dan Rasumawati. 2009. Buku Ajar Epidemiologi
dalam Kebidanan. Jakarta : CV. Trans Info Media

Sarwani, Dwi. 2007. Dasar Epidemiologi. Purwokerto: UNSOED PRESS.

Sukardi, 2009. Metodologi penelitian pendidikan: kompetensi dan praktiknya

Sulistiani, Karlina dkk. 2012. Pelaksanaan Kegiatan Skrinning/Deteksi Aktif


Kasus PTM yang Dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor. Jakarta :
UIN Syarif Hidayatullah.

Verani MS. (2000) "Exercise Perfusion Testing in The Diagnosis of Coronary


Heart Disease". http//www.uptodate.com. 8: 3

WHO-UNAIDS. 2009. Guidelines for Using HIV Testing Technologies in


Surveillabce; Selection, Evaluation and Implementation, Available at: //
http:www.who.int/hiv/pub/surveillance/hiv_testing. Diakses tanggal 26
Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai