Anda di halaman 1dari 6

Abstrak

Pengelolaan jalan nafas pada pasien-pasien dengan cedera cervical merupakan tugas yang sulit
dan menantang. Perhatian lebih pada pemosisian kepala dan stabilisasi selama penilaian awal
dan pengelolaan jalan nafas sangat pentingdalam tatalaksana pasien-pasien ini untuk
meminimalisir resiko terjadinya kerusakan neurologis sekunder. Selain itu, penting untuk
menyadari bahwa pasien-pasien ini beresiko mengalami obstruksi jalan nafas sehingga
pendekatan sistemik dan pengembangan rencana pengelolaan jalan nafas yang baik diperlukan
untuk optimalnya tatalaksana pada pasien-pasien dengan cedera cervical.

Pendahuluan

Seseorang yang berkecimpung dalam bidang anestesi sering sekali dipanggil untuk melakukan
pengelolaan jalan nafas pada pasien-pasien dengan cedera pada daerah cervical, baik dilakukan
secara gawat darurat pada saat presentasi awal di UGD ataupun secara elektif pada pasien yang
direncanakan untuk anestesi umum dengan intubasi. Trauma yang terjadi pada vertebra cervical
dapat disertai atau tanpa disertai trauma medulla spinalis. Selain itu, pasien-pasien dengan
fraktur cervical beresiko mengalami kerusakan neurologis sekunder akibat pecahan fraktur atau
subluksasi. Untuk meminimalisir resiko tersebut, maka tulang belakang (spine) harus
distabilisasi selagi kita mengelolah jalan nafas.

Anatomi

Tulang belakang cervical (C1-C7) tersusun atas tujuh buah vertebra cervical. Vertebra cervical
pertama (C1) disebut juga atlas dan berartikulasi di superior dengan condylus occipitalis dari
basis cranii. C2 di sebut juga axis yang ditandai dengan processus odontoideus yang menonjol
kearah superior dan berartikulasi dengan atlas. Lima vertebra cervical lainnya (C3-C7) sama
secara struktur anatomi dan semakin inferior semakin meningkat ukuran tulangnya. Terdapat
ligamentum longitudinalis anterior dan longitudinalis posterior yang berjalan pada sisi anterior
dan posterior corpus vertebra. Ligamentum flavum, ligamentum supraspinosus dan interspinosus
memperkuat seluruh lamina dan processus spinosus vertebra. Terdapat discus intervertebralis
diantara masing-masing corpus vertebra. Medulla spinalis terletak didalam canalis vertebralis
dengan tiap radiks cervicalisnya keluar diantara masing-masing vertebra. Garis anatomi normal
dari vertebra cervical yang sering digunakan untuk menilai kesejajaran tulang dan adanya trauma
diperlihatkan pada gambar 1a dan 1 b.

Biomekanik

Normalnya vertebra cervical mempertahankan aligment lordosis dan kebanyakn trauma pada
vertebra cervical menyebabkan kifosis vertebra. Hal ini memiliki implikasi penting untuk
memposisikan kepala pada pengelolaan jalan nafas. Meskipun kebanyakan pasien tertangani
dengan baik dengan collar standard an backboard untuk imobilisasi tulang belakakng, terdapat 2
kategori pasien yang membutuhkan perhatian khusus. Yang pertama adalah pasien pediatric.
Pada anak-anak, pertumbuhan cranium lebih cepat disbanding pertumbuhan dada (head to body
rasio sangat besar) karena alasan itu, maka anak-anak membutuhkan sebuah selimut atau
penahan lain dibawah dadanya untuk mencegah kifosis pada vertebranya. Yang kedua adalah
pasien-pasiean dengan tulang belakang yang kifosis dan kaku, misalnya pada ankilosing
spondylitis. Pasien-pasien ini memang memiliki postur kaku yang condong kearah depan dan
membutuhkan elevasi kepala dengan selimut atau bantal.

Trauma vertebra dan medulla spinalis

Berdasarkan survey pada 165 pusat trauma, didapatkan bahwa insidens terjadinya trauma pada
vertebra cervical dari seluruh pasien trauma adalah 4,3% dan trauma pada medulla spinalis hanya
1,3% baik berupa komplit atau inkomplit. Mayoritas dari trauma medulla spinalis terjadi akibat
fraktur dan/atau dislokasi (central cord syndrome dapat terjadi tanpa fraktur pada pasien
kongenital). Trauma pada vertebra cervical dapat berupa fraktur minor yang cukup diatasi
dengan collar dan mobilisasi secepatnya samapai dengan trauma yang berbahaya dan dapat
berakibat fatal yang dihubugkan dengan kerusakan neurologis berat. Fraktur-fraktur yang
beresiko tinggi untuk mengalami perburukan sebelum dilakukan tatalaksana definitive adalah:
yang disertai dengan deficit neurologis, yang disertai dengan subluksasi atau dislokasi, yang
disertai burst type fracture dan penekanan canalis spinalis. Pemosisian kepala dan stabilisasi
yang hati-hati sangat penting pada pasien-pasien ini.

Penilaian cedera cervical

Anamnesis
Beberapa riwayat penyakit tertentu (RA, ankilosing spondilosis) dapat menjadi predisposisi
terjadinya trauma cervical pada pasien. Penting juga untuk menentukan mekanisme terjadinya
trauma (apakah ada pergerakan spesifik pada kepala, leher, dan tubuh bagian atas yang terjadi),
Tentukan pula ada tidaknya intoksikasi (alcohol atau yang lain) atau adanya trauma kepala
tertutup yang mungkin dapat mengganggu tingkat kooperatif pasien.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untk trauma cervical yaitu berupa inspeksi pada kepala, leher dan batang tubuh
bagian atas. Terdapat beberapa perdebatan tentang apakah adanya jejas diatas clavicula tanpa
perubahan neurologis berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya trauma cervical.
Tapi, jejas di atas clavicula yang disertai dengan penurunan fungsi neurologis merupakan sebuah
hal yang menjadi perhatian besar. Palpasi tulang belakang dan otot-otot paravertebral dilakukan
untuk mencari adanya nyeri tekan dan deformitas. Pemeriksaan neurologis yang terarah
dilakukan untuk menilai simetris tidaknya modalitas motorik, sensoris dan refleks pasien.
Adanya kecurigaan abnormal yang ditemukan sebaiknya diikuti dengan evaluasi lebih lanjut atau
dilakukan pemeriksaan radiologis (imaging).

Pemeriksaan diagnostic

Terdapat 2 pertanyaan : (1. Siapa saja yang membutuhkan imaging) (2. Jenis pemeriksaan
radiologis apa yang sebaiknya dilakukann). Indikasi dilakukannya imaging vertebra cervical
yaitu pada pasien-pasien trauma tumpul dengan deficit neurologis, adanya jejas yang terlokalisir
dan jelas pada region cervical atau adanya “distractyng injuris” besar yang lainnya ( masih
kontroversi). Untuk membantu klinisi lapangan menentukan dilakukannya pemeriksaan
radiologis pada pasien-pasien dengan resiko rendah terjadinya trauma cervical maka dibentuk 2
kriteria. Yaitu kriteria Nesus dan Canadian C spine role (table 1). Modalitas radiologi yang dapat
digunakan adalah x-ray cervical, computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI). Pemeriksaan foto polos merupakan pemeriksaan yang efisien dan ekonomis, dilakukan
dengan posisi anterior posterior, lateral, dan odontoid dengan mulut terbuka. Agar evaluasi
adekuat maka foto harus mencakup mulai dari occipital sampai cervical 7/ thoracal 1. CT scan
diindikasikan untuk evaluasi cepat dan efisien pada trauma besar (sensitifitas dan spesifisitas
>99,9%), evaluasi lebih lanjut fraktur yang terdeteksi dengan x-ray, atau fraktur yang sulit dinilai
dengan foto polos. MRI digunakan pada pasien-pasien dengan deficit neurologis dan juga dapat
digunakan untuk menyingkirkan kerusakan ligament atau mendeteksi fraktur yang tidak
terdeteksi oleh CT.

Pengelolaan jalan nafas

Untuk memilih teknik yang terbaik untuk mengamankan jalan nafas, pertama-tama seseorang
harus memulai dengan penilaian jalan nafas. Terdapat beberapa kontroversi pada literature-
literatur tentang kegunaan penilaian ini pada situasi gawat darurat dan untuk pasien dengan
trauma cervical. Status fisiologis pasien secara keseluruhan dpat tidak memungkinkan untuk
melakukan pemeriksaan detail (pasien dapat tidak sadar, tidak kooperatif, tidak dapat dinilai
karena adanya trauma atau sedang terimobilisasi). Karea keterbatasan itu maka penilaiaan
terhadap pasien (tanda vital, adanya trauma lain, urgensi mengamankan jalan nafas, dll) penting
dilakukan untuk merencanakan pengelolaan jalan nafas dan harus pula dipersiapkan teknik-
teknik alternative jika teknik awal gagal. Pilihan-pilihan yang tersedia untuk mengelolah jalan
nafas dikelompokkan sebagai berikut.

1. Ventilasi sungkup
Obstruksi jalan nafas dapat disebabkan oleh jatuhnya atau menghambatnya palatum
molle, lidah, dan/atau epigglotis keruang faringeal akibat hilangnya tonus otot. Obstruksi
dapat diperburuk dengan trauma-trauma lainatau adanya benda asing. Untuk pasien-
pasien tanpa cedera medulla spinalis cervical treple airway maneuver sederhana seprti
head till, chin lift, dan jau trusth dapat mengatasi obstruksi dan bila dikombinasikan
dengan ventilasi kantong dan sungkup (Bag and mask) akan mematenkan jalan nafas
untuk sementara waktu. Alat-alat imobilisasi seperti collar nneck dan halo dapat
menyulitkan kita untuk memperoleh akses ke wajah dan mungkinharus dilonggarkan atau
dilepaskan untuk melakukan ventilasi sungkup. Pada penelitian terhadap kadafer di
buktikan bahwa melakukan manuver-manuver ini dapat menyebabkan gerakan dari
vertebra cervical yang berpotensi menyebabkan cedera neurologis sekunder. Untuk
pasien-pasien cedera cervical yang membutuhkan ventilasi sungkup, maneuver jalan
nafas sebaiknya dihindari dan digunakan penggunaan alat bantu jalan nafas lainnya. Alat-
alat seperti oral atau nasal faringeal airways (OPA dan NPA) dapat membantu membuka
jalan nafas yang mengalami obstruksi tapi hal ini tidak selalu berhasil. Penting juag untuk
menilai pasien-pasien yang kemungkinan beresiko sulit diventilasi misalnya IMT ≥ 30
kg/m2 , adanya jenggot, ompong, jenis kelamin pria, umur >57 tahun dan mallampati 3
atau 4.
2. Laryngoscopy direk
Pada psien-pasien non trauma yang menjalani intubasi dengan laringoskopi direk,
mayoritas gerakan vertebra cervical dibuktikan secara radiografi terjadi pada
craniocervical junction setinggi C4 ke atas. Pada penelitian cadaver terhadap gerakan
vertebra cervical disertai segmen C1-C2 yang tidak stabil intubasi oral menyebabkan 1,66
mm reduksi dari ruang medulla spinalis disertai 1-2 mm distraksi dan 4-5 derajat
angulasi. MILI adalah sebuah manuver penting yang menjaga posisi kepala dan leher
tetap sejajar pada saat pengelolaan jalan nafas. Efektifitas dari MILI dalam mengurangi
cedera medulla spinalis sekunder selama laringaskopi belum cukup jelas dan beberapa
orang mempertanyakan penerapannya. MILI juga menghalang visualisasi dan dapat
menyebabkan intubasi trakea lebih sulit. Namun berdasarkan penelitian penerapan MILI
masih di rekomendasikan selama pemasangan laringaskopi dengan melepaskan collar
neck anterior untuk mencegah pergerakan medulla spinalis yang berlebihan.
3. Laryngoscopy indirek
Teknik intubasi yang tidak harus membutuhkan banyak maneuver untuk melihat glottis
sangat bermanfaat terhadap pasien-pasien trauma cervical yang terimmobilisasi. Kita
tidak perlu lagi melepas collar neck dn immobilisasi cervical tetap dapat dilanjutkan
selama intubasi. Alat-alat yang termasuk kategori ini adalah FFD dan fideolaringoskop.
Penggunaan FFD pada cadaver telah menunjukkan berkurangnya maneuver kepala leher
yang diperlukan, tapi manfaat klinik yang jelas belum dibuktikan dan beberapa ahli
berpendapat bahwa di tangan yang tidak berpengalaman penggunaannya dapat
membahayakan. Penggunaan fideolaringoskop untuk pasien-pasien cedera cervical
semakin meningkat. Karena kurangnya gaya yang diperlukan dan kurangnya perpindahan
jaringan lunak dengan penggunaan alat ini sehingga gerakan vertebra cervical juga sangat
minimal. Langingoscopy indirek, yang terdiri dari FFD dan Fideolaringoskop terus
menerus menjadi pilihan yang aman dan terbaik untuk intubasi pada pasien-pasien
dengan cedera cervical baik elefkif atau emergensi.
4. Extraglottic airway
Merupaka alat yang memventilasi diatas plica vokalis seperti laryngeal mask airway
(LMA). Kelebihan dari alat-alat ini bahwa alat-alat ini dapat dimasukkan secara cepat
tanpa pengukuran teliti dan bekeja dengan membuka jalan nafas. Alat-alat ini berfungsi
sangat baik ketika digunakan pada pasien-pasien yang bernafas spontan dan dapat
digunakan dengan baik bahkan dengan orang-orang yang tidak berpengalaman sebagai
pertolongan pertama mengamankan jalan nafas.
5. Teknik operatif
Sepanjang sejarah, teknik operatif atau cricothyrotomy merupakan rute terpilih untuk
mengamankan jalan nafas dibandingkan intubasi orotracheal. Teknik ini digunakan
sebagai teknik pertolongan ketika seluruh teknikmpengelolaan jalan nafas lainnya telah
gagal, meskipun dapat juga digunakan sebagai pilihan utama pada trauma wajah berat.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 13 kadaver yang dilakukan cricothyrotomy
terhadapnya, didapatka 1-2 mm perpindahan anterior posterior cervical dan <1 mm
kompessi axial. Namun, jika pasien dengan cedera cervical membutuhkan pertolongan
operatif jagna ada keraguan untuk melakukannya.

Kesimpulan

Cedera pada vertebra cervical terdiri dari fraktur minor yang membutuhkan sedikit immobilisasi
sampai kepada trauma yang berbahaya dan berpotensi fatal yang dihubungkan dengan kerusakan
neurologis. Perhatian khusus pada pemosisian kepala dan stabilisasi selama penilaian awal dan
pengelolaan jalan nafas sangat penting pada pasien-pasien ini untuk meminimalisir terjadinya
kerusakan neurologis sekunder. Selain itu penting pula untuk menyadari bahwa pasien-pasien
dengan trauma cervical beresiko mengalami obstruksi jalan nafas. Pendekatan sistemik dan
pengembangan rencana pengelolaan jalan nafas yang terarah sangat perlu agar terciptanya
penanganan yang optimal terhadap pasien-pasien dengan cedera pada vertebra cervical.

Anda mungkin juga menyukai