Anda di halaman 1dari 82

PERDARAHAN SUBARACHNOID TRAUMATIKA,

EPIDURAL HEMATOM , FRAKTUR BASIS CRANII,


DAN CONTUSIO SEREBRI

I. Perdarahan Subarachnoid Traumatika

Definisi

Penyebab cedera kepala secara epidemiologi sangat bervariasi. Hampir setengahnya penyebab
cedera kepala yaitu kecelakaan kendaraan bermotor dan sekitar 20 hingga 35 % nya disebabkan
karena terjatuh. Kejadian tersebut dapat menyebabkan gejala klinis dari yang ringan hingga berat
tergantung seberapa besar dan berat kerusakan yang terjadi mulai dari luka di kulit hingga
kerusakan jaringan otak.

Terdapat berbagai klasifikasi dari cedera kepala. Berdasarkan patologi/patofisiologi, cedera


kepala dapat dibagi menjadi komosio, kontusio dan laserasi serebri. Berdasarkan lokasi lesi,
cedera kepala dapat dibagi menjadi lesi difus jaringan otak, kerusakan vaskular otak dan lesi
fokal. Sedangkan berdasarkan derajat kesadaran (SKG) dapat dibagi menjadi cedera kepala
ringan, sedang dan berat. Klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran ini lebih banyak dipakai di
klinik karena standarisasi dan penilaian prognosis pasien yang lebih jelas, juga untuk pemilahan
penatalaksanaan. Ditinjau dari sudut waktu, proses patofisiologi kerusakan otak akibat cedera
kepala terdiri dari 2 jenis, yaitu: 1) proses kerusakan primer yang terjadi langsung saat cedera
dan meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusio dan laserasi serebri, cedera
aksonal difus, perdarahan intrakranial dan jenis-jenis lain kerusakan otak, dan 2) proses
kerusakan sekunder, yang merupakan akibat dari proses komplikasi yang dimulai pada saat
cedera namun mungkin secara klinis tidak muncul dalam periode waktu tertentu sesudahnya
adalah tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, yang meliputi hipoksia, iskemia,
pembengkakan, infeksi dan kerusakan otak yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial.

Trauma kepala sering kita temukan suatu kerusakan primer berupa perdarahan intrakranial.
Perdarahan intrakranial akibat trauma dapat diklasifikasikan menjadi perdarahan ekstradural dan
intradural. Perdarahan intradural dibagi lagi menjadi perdarahan subdural, perdarahan
intraserebral/serebellar, dan perdarahan subarakhnoid.

Perdefinisi perdarahan subarakhnoid (SAH) adalah suatu keadaan terdapatnya darah pada rongga
subarakhnoid yang menyelimuti otak dan medula spinalis. Dalam keadaan normal rongga ini
terisi oleh cairan serebrospinal yang jernih dan tidak berwarna serta jaringan penunjang
berbentuk trabekula halus, selain itu juga terdapat bagian distal dari sinus kavernosus, arteri
carotis interna beserta percabangannya. Penyebab terbanyak dari SAH yaitu akibat trauma kepala
(SAHt).

Patofisiologi

Dari kepustakaan terdapat berbagai mekanisme terjadinya cedera pada pembuluh darah
intrakranial yang disebabkan oleh keadaan trauma kepala. Akselerasi angular yang merupakan
kombinasi akselerasi translasional dan rotasional adalah bentuk proses cedera akibat gaya
kelembaman (inertial forces) yang paling sering. Pada akselerasi angular, pusat gravitasi kepala
bergerak terhadap poros di pusat angulasi, yaitu vertebra servikal bawah atau tengah. Kekuatan
dan lamanya akselerasi angular menentukan parahnya kerusakan otak yang disebabkannya.
Akselerasi berkecepatan tinggi dalam durasi singkat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
superfisial seperti vena-vena jembatan dan pembuluh-pembuluh pial. Sedangkan akselerasi
berkecepatan tinggi dengan durasi yang lebih lama dapat menyebabkan kerusakan aksonal.
Perdarahan subarakhnoid traumatik ini dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah kecil
yang melintas dalam ruang subarakhnoid karena teregang saat fase akselerasi atau deselerasi.
Selain itu terkumpulnya darah di ruang subarakhnoid dapat disebabkan dari darah akibat
kontusio serebral dan perluasan perdarahan intra ventrikel ke ruang subarakhnoid.

Diagnosis

Dalam menentukan adanya perdarahan di ruang subarakhnoid secara klinis tidaklah mudah.
Pada kasus cedera kepala pasien datang dengan mengeluh sakit kepala dan riwayat penurunan
kesadaran. Hal tersebut semata dapat terjadi akibat cedera kepala yang dialaminya. Dan pada
pemeriksaan fisik neurologis tidak ditemukan suatu tanda iritasi meningeal (kaku kuduk) yang
tentunya pemeriksaan tersebut dilakukan setelah terbukti tidak adanya cedera pada leher atau
keadaan fraktur servikal.

Kaku kuduk terjadi karena meningismus, menunjukkan tahanan yang disertai nyeri terhadap
fleksi leher pasif maupun aktif yang disebabkan oleh iritasi meningen servikal oleh darah dalam
ruang subarakhnoid atau oleh inflamasi.Pergerakan fleksi kepala akan menjadi tegang dan kaku
pada struktur lokasi dari meningen, serabut saraf, atau medula spinalis yang mengalami inflamasi
dan ataupun edema. Iritasi pada meningen yang menimbulkan tanda klinis berupa kaku kuduk ini
biasanya timbul dalam 3 hingga 12 jam.

Pemeriksaan lain untuk memeriksa SAH adalah punksi lumbal. Punksi lumbal hanya dilakukan
pada pasien dengan riwayat penyakit yang sangat mengarah ke SAH, namun pada pemeriksaan
pencitraan tidak ditemukan gambaran SAH. Pemeriksaan funduskopi pada SAH hanya dapat
menemukan perdarahan subhialoid pada sekitar 17% pasien.

Terdapat dua pola penyebab terjadinya SAH paska cedera kepala, yang pertama disebabkan
akibat trauma atau SAHt (diakibatkan ruptur pembuluh darah kecil di ruang subarakhnoid) dan
yang kedua SAH aneurismal (aneurisma yang telah ada sebelumnya terjadi ruptur setelah trauma
kepala). SAH yang terjadi pada kasus cedera kepala, harus kita bedakan apakah hal ini akibat
aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan. Selain anamnesis keadaan tersebut dapat kita
bedakan berdasarkan hasil imajing. Dimana pada aneurismal SAH darah lebih banyak terdapat
pada cisterna basal, sedangkan perdarahan SAHt yang terjadi lebih sering terdapat pada sulkus
perifer dan fisura interhemisfer.
II. Epidural Hematoma

Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang tengkorak
dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater. Pada 85-95% kasus, jenis trauma ini
disebabkan oleh fraktur tengkorak di atasnya. Pembuluh darah arteri dan vena yang berdekatan
dengan fraktur merupakan sumber perdarahan dalam pembentukan hematoma epidural. Saluran
pembuluh darah yang terdapat di tulang tengkorak adalah saluran haversian dan saluran
Volkmann manakala vena yang bisa menjadi sumber perdarahan adalah vena emisaria dan
diploika. Karena otak yang mendasarinya biasanya mengalami luka ringan, prognosis sangat
baik jika ditangani secara agresif. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah
perietotemporal akibat robekan arteria meningea media.

Hematoma epidural terjadi pada 1-2% kasus trauma kepala dan sekitar 10% pasien yang
mengalami koma traumatis. Tingkat mortalitas yang dilaporkan berkisar 5-43%. Tingkat
mortalitas pada dasarnya nihil untuk pasien yang tidak koma sebelum operasi dan sekitar 10%
untuk pasien yang diobati dan 20% untuk pasien dalam keadaan koma dalam. Pasien di bawah 5
tahun dan lebih tua dari 55 tahun mengalami peningkatan angka kematian. Pasien berusia di
bawah 20 tahun menyumbang 60% E DH. EDH jarang terjadi pada pasien lanjut usia karena
dura sangat melekat pada tengkorak kepala bagian dalam.

Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah
kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tengkorak retak. Fraktur yang paling
ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa
bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam
ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada
pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang
kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak

Patomekanisme

Di bawah tulang tengkorak terletak duramater yang melapisi struktur leptomeningeal, arachnoid
dan piamater yang melapisi otak. Duramater terdiri dari 2 lapisan, dengan lapisan luar berfungsi
sebagai lapisan periosteal untuk permukaan bagian dalam tengkorak.
Seiring bertambahnya usia, duramater menjadi lebih lengket pada tengkorak, mengurangi
frekuensi pembentukan EDH. Pada masa kanak-kanak, tengkorak lebih lentur. EDH bisa
terbentuk saat duramater terlepas dari tengkorak saat terjadi benturan.

Daerah yang paling sering dilibatkan dengan EDH adalah daerah temporal (70-80%). Di daerah
temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningeal tengah mendekati meja dalam
tengkorak. Kejadian EDH di daerah temporal lebih rendah pada pasien anak-anak karena arteri
meningeal tengah belum membentuk alur di bagian dalam tengkorak. EDH terjadi di daerah
frontal, oksipital, dan posterior dengan frekuensi kira-kira sama. EDH terjadi lebih jarang di
daerah vertex atau parasagittal.

Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga
subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau
ke dalam substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang
tengkorak dan dura mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak
di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.

Gejala Klinis

Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara
progresif. Gejala khas bagi epidural hematoma adalah lucid interval yaitu adanya fase sadar di
antara dua fase tidak sadar. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar
mata dan dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan
telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak yaitu
penurunan kesadaran bisa sampai koma, bingung, penglihatan kabur, susah bicara, nyeri kepala
yang hebat, keluar cairan dari hidung dan telingah, mual, pusing, berkeringat.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi
yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika
Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebastidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

Diagnosis

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma. Dengan
proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk
mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial
lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada
kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang
akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

III. Fraktur Basis Cranii

Gambar 1.

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :

a. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya
tidak diperlukan intervensi.

b. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan
pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi
deformitas yang terjadi.

c. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi
yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.

d. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak
dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).

Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat
benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang
dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur
menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya,
cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa
fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup meningeal, dan
terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak mEnjadi
bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan
kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver
dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala.

Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis, kebocoran
cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim) otak. Angka
kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi
pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa
komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau
fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila
bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur
basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan
banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan dapat
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi
untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.

Patofisiologi

Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :

• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak

• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari
tulang tengkorak

• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini
dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya
melalui sinus-sinus.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya
disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis
cranii.

Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari
fraktur temporal yaitu tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os
temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat
berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di
fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.

c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan.
Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak
dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi
ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini
dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur
ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum
yakni :

a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur
kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.

b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi
fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih
utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.

c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya
menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis
paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai
dengan defisit n.VI dan n.VII.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon
eyes), ekimosis retroauricular (Battle’s sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat
diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis
(nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan
pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan
radiologi.

b. Pemeriksaan Radiologi

• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur
pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka
CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala. Diperlukan foto
posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami
benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto
polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan
lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur
pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm,
dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical
sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi
tiga dimensi tidak diperlukan.

• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang


tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera
pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

b. Pemeriksaan Penunjang Lain

Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu
“halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa
kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam
transport ion Fe.

IV. KONTUSIO SEREBRI

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus
dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian
kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :

1. Skin atau kulit


2. Connective tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau jaringan ikat yang terhubung langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikranium

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat
dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal.
Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan
vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita
dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan
betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau
tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebut tabula eksterna, dan
dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu
kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior, media, dan posterior.
Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri
ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang membungkus
medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.

Patofisiologi

CEDERA KEPALA
Trauma Kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak serta mengakibatkan gangguan
neurologis.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak
tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah
otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital
selain di tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada
jalan garis benturan. Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin
pula terjadi disepanjang garis gaya benturan ini. Pada pemeriksaan neurologik pada
kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran
yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung
berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Gejala defisit
neurologik bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat
terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera
sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut
interval lucid.

Gambaran Klinis

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari trauma
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala
yang sering tampak :
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan
adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Pemeriksaan Penunjang
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan.

ANATOMI MENINGEN OTAK

Secara konvensional, dura mater diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu periosteum yang menutupi
permukaan dalam tulang – tulang kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak
berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan
ligamentum sutura. Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar kranium.

Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya. Lapisan meningeal


merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui foramen magnum berlanjut
dengan duramater medulla spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung tubuler untuk
saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui lubang – lubang kranium. Kedalam lapisan
meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga kranium menjadi ruang – ruang yang
berhubungan dengan bebas dan merupakan tempat bagian – bagian otak.

Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit, terletak dalam garis
tengah antara dua hemispherium serebri. Ujung anteriornya melekat ke Krista frontalis interna
dan Krista galli. Bagian posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan permukaan atas
tentorium serebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian atas yang terfiksasi; sinus
sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian bawah yang konkaf, dan sinus rektus berjalan
disepanjang perlekatannya dengan tentorium serebelli.

Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit yang membentuk atap
diatas fossa kranialis posterior, menutupi permukaan atas serebellum dan menokong lobus
occipitalis hemisperium serebri. Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale, lapisan
bagian bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus petrosus superior,
membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan ganglion trigeminal.

Falx serebri dan falx serebelli masing – masing melekat ke permukaan atas dan bawah
tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus superior,
bersama perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses, disepanjang perlekatannya ke os
occipitalis. Falx serebelli merupakan suatu lipatan duramater berbentuk sabit, kecil melekat ke
krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan diantara diantara dua hemispherium serebelli.
Diaphragma Sella merupakan suatu lipatan duramater sirkuler, membentuk atap untuk sella
tursika.

Persarafan Duramater

Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian atas,
bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura mater diatas
tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi
dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan
leher.

Pendarahan Duramater

Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries, arteri
paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang paling penting
adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala.

Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki
rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan meningeal dan
endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal
duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu sulkus pada
permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam
berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os parietale, perjalanannya secara
kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior
melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater.
Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea media
mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus
pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.

Sinus Venosus Duramater

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena serebralis dan
cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam
sinus – sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam vena – vena jugularis interna dileher. Vena
emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena – vena diploika kranium dan
vena – vena kulit kepala.

Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di
anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan kranium,
dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus transverses.
Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis superior. Pada
protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini
biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus transverses yang
berlawanan dan menerima sinus occipitalis.

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan
kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli
membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx serebri dengan
tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna,
berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus.

Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia
occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian
kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium
serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka
menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena – vena serebellaris dan
vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus.

Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu
sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena – vena
vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa
kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis.
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui
sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus
endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas
superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus
kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus l;p . kedalam
vena jugularis interna.

Arachnoidea Mater

Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi otak dan
terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan
dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis
cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang terisi dengan cairan
serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel –sel mesothelial yang
gepeng.[=]

Pada daerah – daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk
membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan serebrospinal
berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke piamater oleh untaian jaringan
fibrosa halus yang menyilang ruang subarachnoidea yang berisi cairan.

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis,


ketiga dan keempat otak. Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian
bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium serebri dan kebawah disekeliling
medulla spinalis.

Piamater otak

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel – sel mesothelial
gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam.
Piamater meluas keluar pada saraf – saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri
serebralis yang memasuki substansi otak membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater
membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan
ependyma untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat
otak.

FISIOLOGI MENINGEN
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik.
Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan
halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat
vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal
sebagai piamater.

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum tulang
– tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk
melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf cranial dengan membentuk sarung yang
menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah
venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical antara
hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi
kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan
otak dalam kranium.

Arachnoidea mater merupakan membrane yang lebih tipis dari duramater dan membentuk
penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk
kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater
diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan
serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan
mekanis yang mengenai kepala.

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak dengan erat. Suatu
sarung pia mater menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka memasuki
substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater
disebut sebagai leptomeninges.

EDH (Epidural Hematom)

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-
tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial
ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak
mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski
positif.

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda
vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri
kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan
trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan
tidak pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :

 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )


 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama,
apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)

Epidural hematoma

Epidural hematom adalah Perdarahan yang terletak antara durameter dan tulang,
biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena
diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Pada
keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural Perdarahan biasanya terjadi dengan
fraktur tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau vena
meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek tanpa adanya fraktur.
Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara dura dengan kranium dan
menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut akan memaksa dura untuk terpisah lebih
lanjut, dan menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang

Gejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak
sadar karena bertambahnya volume darah. Gelaja paling menonjol yaitu penurunan kesadaran
secara progresif

Gejala lain yang sering tampak :

 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar

Pemeriksaan penunjang

 Foto polos : sulit untuk menentukan


 CT-Scan
 MRI

Penatalaksanaan

Penatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan
tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan

Prognosis

Prognosis tergantung pada :

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )


 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak
secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma
sebelum operasi.

SDH (SUBDURAL HEMATOMA )

Subdural hematoma adalah hematom yang terletak diantara lapisan duramater dan
arhacnoid dengan sumber perdarahan dapat berasal dari vena jembatan atau bridging vein (paling
sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis

subdural hematoma dibagi 3 :

1. Subdural hematom akut


2. Subdural hematom subakut
3. Subdural hematom kronis

SUBDURAL HEMATOMA AKUT

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan hari ke
tiga. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Secara klinis subdural
hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling
sering berupa hemiparese/plegi. pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit

SUBDURAL HEMATOMA SUBAKUT

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu ke 3 sesudah


trauma Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan
dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri.

SUBDURAL HEMATOMA KRONIS


Biasanya terjadi setelah minggu ketiga . SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua.
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang
terasa Cuma pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap
cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus
membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika
volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-
bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-
tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.

Terapi : Kraniotomi >> kapsul di pecah, darah dievakuasi

prognosis

Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:

 GCS awal saat operasi


 lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
 lesi penyerta di jaringan otak
 serta usia penderita

pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin
jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek
prognosenya.

ICH (INTRACEREBRAL HEMATOM)

Perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang
ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah
hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, diameter lebih dari 3 CM, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah. Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan
neurologis/lateralisasi Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama
dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural .

LAPISAN KULIT KEPALA – TENGKORAK - MENINGEN


KULIT KEPALA

Lapian Kulit Kepala jika diurut dari luar ke dalam biasa disingkat dengan SCALP, yang
merupakan singkatan dari :

Skin atau kulit

Connective Tissue atau jaringan penyambung

Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang berhubungan


langsung dengan tulang tengkorak

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, Merupakan tempat yang biasa
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada trauma/benturan kepala.

Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan berhubungan langsung dengan


permukaan luar tulang tengkorak.

TULANG TENGKORAK

Terdiri atas Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :

1. Fosa Anterior, yaitu tempat lobus frontalis


2. Fosa Media, yaitu tempat lobus temporalis
3. Fosa Posterior, yaitu tempat batang otak bawah dan serebelum.

MENINGEN

Meningen merupakan selaput yang berada di antara permukaan dalam tulang tengkorak
dan otak. Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak yang dari luar ke dalam biasa disingkat
DAP, terdiri dari 3 lapis:

1. Durameter

Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antar `a
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah
membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat
sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat
menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat
menimbulkan perdarahan epidural.

2. Arachnoid

Merupakan selaput yang tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring
laba-laba. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi
untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang
disebut sebagai leptomeninges. Lapisan arachnoid mempunyai 2 (dua) bagian, yaitu suatu
lapisan yang berhubungan dengan duramater dan suatu sistem trabekula yang
menghubungkan lapisan tersebut dengan piamater. Ruangan di antara trabekula
membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama sekali
dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid menembus duramater,
dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous
duramater. Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan
cairan serebrospinal ke darah sinus venous.

3. Piameter

Merupakan membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat pada
kortek serebri. Piamater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh
permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang menembus otak. Cairan serebro
spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan
di tempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama An ADP
Umur 16 tahun
Jenis kelamin Laki – Laki
Status perkawinan Belum menikah
Pekerjaan -
Alamat Jl benda dua bawah
Agama Islam
Dikirim oleh Sendiri
No CM 01339608
Dirawat di ruang Ruang Melati
Tanggal masuk 3 Desember 2017
Tanggal keluar -

PASIEN DATANG KE R.S.:


Tidak bisa jalan, dan dibawa oleh teman pasien

II. ANAMNESIS :
Dilakukan autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis pada keluarga pasien di ruang
Melati RSUD Tarakan pada tanggal 7 December 2017 pada pukul 13.00 WIB.

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran setelah jatuh motor 30 menit SMRS.

Keluhan Tambahan
Pasien mengeluh kepala pusing.
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki-laki datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan penurunan
kesadaran sehabis jatuh dari motor 30 menit SMRS. Pengendara menghindari lubang dan
menabrak pohon, pasien sebagai penumpang. Pasien mengaku kepala sempat terbentur dan
tidak sadarkan diri setelah kejadian beberapa menit setelah itu pasien sadar kembali waktu di
bawa ke IGD RS. Sebelum kejadian pasien mengaku meminum alkohol. Setelah dilakukan
pemeriksaan di IGD, pasien mengaku muntah darah. Keluarga pasien mengatakan keluar
cairan berupa darah pada kedua telinga dan hidung pasien, serta terdapat jejas luka pada kepala
bagian kanan pasien.
Hari pertama dirawat di RS, keluhan pusing dirasa masih ada. Keluhan mata kanan
bengkak masih dirasa, penglihatan pada mata kanan dirasa kabur. Keluhan mual disangkal,
muntah disangkal, nyeri menelan disangkal dan nyeri perut disangkal. Pasien mengatakan
BAK lancar, berwarna kuning jernih dan tidak berbau, dan belum BAB.
Pada hari ini, keluhan pusing dirasa berkurang, bengkak pada mata kanan berkurang
namun penglihatan pada mata kanan dirasa masih kabur. Keluhan lain disangkal, BAK dan
BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi makanan dan minuman disangkal, riwayat alergi obat disangkal. Riwayat
penyakit dahulu seperti asma, jantung dan paru disangkal

III. PEMERIKSAAN

A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5

Tanda Vital :

 Tekanan darah : 122/72 mmHg


 Nadi : 116 x/menit
 Suhu : 38 0C
 Pernapasan : 22 x/menit
Kepala

Bentuk : Normocephali

Wajah : Tampak luka lecet pada pipi kanan

Mata :

Mata kanan : Tampak gambaran raccoon eyes, konjungtiva tidak anemis, sklera
hematom

Mata kiri : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : Septum deviasi(-), sekret(-)

Telinga : Normotia

Mulut : Mukosa tidak hiperemis, pucat (-), sianosis (-),

Oral hygiene buruk.

Leher : KGB dan tiroid tidak tampak membesar

Thorax

 Jantung : BJ I-II murni reguler, mur - mur (-), gallop (-)


 Paru : Suara nafas vesikuler, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal, Ekstremitas
: Akral hangat, tidak ada oedem, hemiparesis dextra

B. STATUS NEUROLOGIK
 GCS : E4 M6 V5 = 15
 Tanda Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)

SARAF KRANIAL
1. N. I (Olfactorius)
Tidak dilakukan
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Sulit dinilai Sulit dinilai
Lapang pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
Pengenalan warna Tidak dilakukan

3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-) Normal
Pupil
Bentuk Bulat Bulat Normal
Ukuran 3 mm 3 mm Normal
Gerak bola mata (+) (+) Normal
Refleks pupil
Langsung (+) (+) Normal
Tidak langsung (+) (+) Normal

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata (+) (+) Normal

5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
Refleks kornea Tidak dilakukan
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata (+) (+) Normal
Strabismus (-) (-) Normal
Deviasi (-) (-) Normal

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri
Motorik:
- sudut mulut dbn dbn
- mengerutkan dahi dbn dbn
- menutup mata dbn dbn
-memperlihatkan gigi dbn dbn
- bersiul dbn dbn

8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran Tidak dilakukan

9. N. IX (Glossofaringeus)
Keterangan
Daya perasa Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan

10. N. X (Vagus)
Keterangan
Arkus farings Tidak dilakukan
Bicara dbn
Menelan dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Mengangkat bahu (+) (+) Normal
Memalingkan kepala (+) (+) Normal

12. N. XII (Hipoglossus)


Keterangan
Pergerakan lidah Normal
Artikulasi Normal

IV. SISTEM MOTORIK


Motorik

 Tonus normotoni
Kekuatan 5555 5555
5555 5555

V. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri
Raba Dbn dbn
Nyeri dbn dbn
Suhu dbn dbn
Propioseptif dbn dbn

VI. REFLEKS

Kanan Kiri
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
KPR (+) (+)
APR (+) (+)

Patologis (-) (-)


Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
HoffmanTromer (-) (-)
schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)

VII. FUNGSI KORDINASI

Kanan Kiri Keterangan


Test telunjuk hidung Tidak dapat dilakukan
Test tumit lutut Tidak dapat dilakukan
Gait Tidak dapat dilakukan
Tandem Tidak dapat dilakukan
Romberg Tidak dapat dilakukan

VIII. SISTEM OTONOM


Miksi
: Normal
Defekasi : Normal

IX. STATUS LOKALIS


Kepala : Jejas di daerah bagian temporal kanan ukuran 4cm x 2cm
Wajah : Tampak luka lecet di daerah pelipis kanan ukuran 5cm x 2cm
Tampak luka lecet di daerah pipi kanan ukuran 3cm x 2cm
Mata : Tampak hematom palpebra kanan seperti Racoons Eyes

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium
Laboratorium : Tanggal 3 Desember 2017
Darah Rutin
 Hb : 15,1 gr/dL
 Ht : 44,6 %
 Eritrosit : 5,13 juta/uL
 Leukosit : 17.140 /mm3
 Trombosit : 195.400 /mm3
Gula Darah
 GDS : 148 mg/dL
Pemeriksaan CT Scan Kepala
V. RESUME
Seorang anak laki-laki datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan penurunan kesadaran
sehabis jatuh dari motor 30 menit SMRS. Pasien mengaku kepala sempat terbentur dan tidak
sadarkan diri setelah kejadian namun, pada saat dibawa ke RS pasien sadar. Sebelum kejadian
pasien mengaku meminum alkohol. Pasien mengaku muntah darah setelah dilakukan
pemeriksaan CT Scan. Keluarga pasien mengatakan keluar cairan berupa darah pada kedua
telinga dan hidung pasien, serta terdapat jejas luka pada kepala bagian kanan pasien. Pada hari
ini, keluhan pusing berkurang, keluhan lain disangkal, BAK dan BAB normal. Pada
pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis dan tanda-
tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan generalis, pemeriksaan mata ditemukan
raccoon eyes pada mata kanan, lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan neurologis dalam
batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium hari keempat dalam batas normal,
pemeriksaan CT Scan kepala terlihat lesi hiperdens berbentuk bikonveks lobus temporal
dextra, lesi hiperdens memenuhi sulcus pada lobus frontal kanan.

VI. DIAGNOSA KERJA


i. Subarakhnoid hemoragik
ii. Epidural hematoma
iii. Kontusio serebri
iv. Fraktur basis cranii

VII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
 Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
 Posisi kepala ditinggikan 30-45 derajat
 Kontrol Vital Sign dan neurologis
Medikamentosa
 IUFD RA 500 cc / 24 jam
 Manitol 4 x 250 cc
 Vitamin K 3x1
 Ranitidine 2x1
Rencana Diagnostik
 CT scan

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : malam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : dubia
TEKANAN INTRA KRANIAL

Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang dilindungi dari tekanan luar.
Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi, dan perubahan
proses fisiologis tubuh; secara klinis bisa diukur dari tekanan intraventrikuler, intraparenkimal, ruang
subdural, dan epidural. Pengukuran kontinu pada satu kompartemen intrakranial akan memperlihatkan
perubahan fisiologis dan patologis ruang dalam tengkorak dari waktu ke waktu, yang diperlukan untuk
dasar pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.1,2

Alexander Monro dan George Kellie menyebutkan bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal
(CSS) merupakan komponen yang tidak dapat terkompresi, peningkatan salah satu komponen ataupun
ekspansi massa di dalam tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, teori ini
lebih lanjut disebut doktrin Monro-Kellie.1,3,4

TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial) dapat mengakibatkan kerusakan otak melalui beberapa
mekanisme. Yang utama adalah efek TTIK terhadap aliran darah otak. Mekanisme kedua adalah akibat
pergeseran garis tengah otak yang menyebabkan distorsi dan herniasi jaringan otak. 1,4

1. Sirkulasi Cairan Serebrospinalis

Sebagian besar cairan serebrospinalis dibentuk oleh ventrikel lateral otak dengan kecepatan 0,3 –
0,4 meningococcus/menit atau 500 meningococcus/hari. Dalam keadaan normal jumlah cairan
serebrospinalis adalah 100-150 meningococcus. Cairan kebanyakan keluar dari setiap ventrikel lateral,
melalui foramen Monro menuju ventrikel III, melalui akuaduktus Sylvi masuk ke ventrikel IV dan
mengalir ke ruang subrakhnoid melalui foramen Luschka dan Magendi. Ruang subarakhnoid mengelilingi
otak dan medula spinalis, dan cairan serebrospinalis bersirkulasi diseluruh ruang tersebut. Kebanyakan
absorpsi cairan serebrospinalis terjadi pada villi arakhnoid. Mekanisme yang pasti kenapa terutama
mengambil tempat tersebut tidak diketahui, tetapi perbedaan diantara tekanan hidrostatik cairan
serebrospinalis dan sinus-sinus venosus adalah sangat penting. Kapasitas absopsi adalah 2-4 kali lebih
besar dari kecepatan normal sirkulasi cairan serebrospinalis. Otak dan cairan serebrospinalis bersama-
sama dengan pembuluh darah otak diliputi oleh tulang yang kaku. Rongga kranium normal mengandung
berat otak ± 1400 gram, 75 ml darah dan 75 ml cairan serebrospinalis. Otak, volume darah dan cairan
serebrospinalis didlam kranium pada setiap saat harus relatif konstan (hipotesa Monro-Kellie). Yang
lebih penting adalah penekanan pada pembuluh darah otak bila terjadi peninggian tekanan intrakranial.

2. Prinsip-Prinsip Tekanan Intra Kranial

Kranium terdiri dari beberapa artikulasi tulang-tulang multipel yang didasari sutura kartilaginosa
dalam membentuk kalvaria. Ruang kranial dan spinal dihubungkan melalui foramen magnum. Kavitas
tengkorak dibagi dua kompartemen oleh tentorium serebeli, yaitu kompartemen supratentorial dan
infratentorial. Kedua ruang ini berhubungan melalui insisura tentorial atau tentorial notch. Daerah
supratentorial terdiri dari fosa anterior dan fosa media. Daerah infratentorial terdiri dari fosa posterior.
Falks serebri yang merupakan struktur sagital membagi kompartemen supratentorial menjadi dua
bagian.5

Tekanan intrakranial adalah tekanan yang terdapat pada otak dan cairan serebrospinal. Tubuh
memiliki berbagai mekanisme melalui pergeseran dalam produksi dan penyerapan CSS yang membuat
tekanan intrakranial stabil, bervariasi sekitar 1 mmHg pada orang dewasa normal. Tekanan CSS telah
terbukti dipengaruhi oleh perubahan mendadak tekanan intratoraks selama batuk (tekanan
intraabdominal), manuver Valsava, dan komunikasi dengan pembuluh darah (sistem vena dan arteri).
ICP diukur pada saat istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk dewasa terlentang.

Perubahan ICP dikaitkan dengan perubahan volume dalam satu atau lebih konstituen di dalam
tempurung kepala.5 Tengkorak dan kanal tulang belakang, bersama dengan dura relatif inelastis,
membentuk sebuah wadah yang kaku, sehingga peningkatan apapun dari otak, darah, atau CSS akan
cenderung meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Selain itu, setiap peningkatan salah satu komponen
harus dengan mengorbankan dua lainnya (doktrin Monro – Kellie). Peningkatan kecil volume otak tidak
menyebabkan peningkatan TIK langsung, karena CSS akan dipindahkan ke kanal tulang belakang, serta
sedikit meregangkan falks cerebri. Namun, setelah TIK sudah mencapai sekitar 25 mmHg, peningkatan
kecil volume otak sudah dapat menyebabkan peningkatan TIK.1,3,4,6

Sirkulasi serebro-vaskuler merupakan jaringan kompleks yang terdiri dari arteri dan vena. Perbedaan
tekanan yang mendorong darah memasuki sistem ini disebut dengan tekanan perfusi serebri
(CPP=Cerebral Perfusion Pressure).

CPP = tekanan masuk arteri – tekanan keluar vena

Nilai normal CPP adalah 80 mmHg. Cerebral Blood Flow (CBF) adalah aliran suplai darah ke otak.
Pada dewasa, normal CBF berkisar 15% dari curah jantung. Nilai CBF dapat dihitung dengan CPP dibagi
dengan Cerebrovascular Resistance (CVR). CPP dapat disederhanakan sebagai tekanan masuk yang kira-
kira sama dengan tekanan rata-rata arteri/ Mean arterial pressure (MAP) dikurangi tekanan keluar yang
kira-kira sama dengan tekanan intrakranial/ intracranial pressure (ICP), sehingga: CPP = MAP – ICP,1,2,6,7
berhubungan langsung dengan tekanan perfusi otak dan berhubungan tidak langsung dengan resistensi
serebrovaskuler (CVR=Cerebrovascular Resistence).

CBF = MAP – ICP

CVR

3. Etiologi
Penyebab terjadinya peningkatan ICP dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya,
yaitu :6

 Efek dari adanya massa seperti tumor otak, infark disertai edema, kontusio, perdarahan subdural
atau epidural, atau abses yang kesemuanya dapat menambah ukuran dari otak.
 Edema otak yang luas dapat muncul pada kondisi iskemik-anoksia, hipertensi ensefalopati,
pseudotumor cerebri,dan hiperkarbia. Kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya tekanan perfusi
otak tapi dengan pendorongan minimal terhadap jaringan.

 Peningkatan tekanan pada vena akibat dari trombosis sinus venosus, gagal jantung atau obstruksi
dari vena jugular superior dan vena mediastinalis superior.

 Obstruksi dari aliran CSF dan/atau gangguan pada absorpsi yang dapat muncul pada hidrosephalus,
penyakit pada meningen, atau bostruksi pada sinus sagitalis superior.

 Peningkatan produksi dari CSF yang bisa terjadi pada meningitis, perdarahan subarakhnoid, atau
tumor pleksus koroid.

 Idiopatik (idiopathic intracranial hypertension)

 Thrombosis sinus venosus otak

4. Patofisiologi

Tengkorak merupakan kotak kaku yang membatasi pergerakan bebas maupun pengembangan otak.
Jika salah satu komponen meningkat maka terjadi penurunan komponen lain (Hukum Monroe-Kelly).
Diantara ketiga komponen, otak memiliki volumenya konstan, yang bisa bergeser CSF + darah. Bila
massa otak meningkat, mula-mula CSF dan darah keluar dari rongga tengkorak. Bila massa otak semakin
meningkat maka mekanisme kompensasi tidak efektif dan TIK meningkat. Setelah itu sedikit saja
penambahan volume akan meningkatkan tekanan.Volume tambahan dalam rongga otak akan
dikompensasi dengan menggeser CSF ke kantung duralspinalis (70%) dan penurunan vena serebralis
(30%). Pada obstruksi foramen magnum tidak ada peran duralspinalis sehingga mekanisme kompensasi
menurun.

Gangguan aliran cairan otak-berdasarkan riset dari lembaga National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS), Amerika Serikat-ada tiga jenis, yakni
• Gangguan aliran adanya hambatan sirkulasi, contoh tumor otak yang terdapat di dalam ventrikel akan
menyumbat aliran cairan otak.
• Aliran cairan otak tidak tersumbat, sebaliknya cairan itu diproduksi berlebihan, akibatnya cairan otak
bertambah banyak, contoh: tumor ganas di sel-sel yang memproduksicairanotak.Kemudian,
• Bila cairan otak yang mengalir jumlahnya normal dan tidak ada sumbatan, tetapi ada gangguan dalam
proses penyerapan cairan ke pembuluh darah balik. Sehingga otomatis, jumlah cairan akan meningkat
pula. Misalnya, bila ada cairan nanah (meningitis atau infeksi selaput otak) atau darah (akibat trauma) di
sekitar tempat penyerapan.

Ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan, dapat perlahan atau progresif, menyebabkan
ventrikel-ventrikel tersebut melebar, kemudian menekan jaringan otak sekitarnya. Tulang tengkorak
bayi di bawah dua tahun yang belum menutup akan memungkinkan kepala bayi membesar. Pembesaran
kepala merupakan salah satu petunjuk klinis yang penting untuk mendeteksi hidrosefalus.

Kenaikan TIK ke tingkat tekanan arteri sistemik akan menghentikan aliran darah otak (CBF) yang
akan kembali hanya jika tekanan arteri meningkat. Jika gagal, akan menyebabkan kematian pada
jaringan otak. Banyak pasien dengan tumor intrakranial yang jinak atau hidrosefalus obstruktif
menunjukkan sedikit atau tidak ada efek yang buruk. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena otak itu
sendiri dalam kondisi normal dan autoregulasi berjalan dengan baik.

Pada trauma kepala, umumnya TIK akan meningkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema
sering terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan ICP hingga 33 mmHg
(45 mm H2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow, CBF). Iskemia
yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada
pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan
tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang
membantu menaikkan tekanan intrakranial. Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding
dengan peningkatan ICP, walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika ICP melebihi tekanan arteri dan
sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya, kejadian ini didahului oleh
tekanan darah arteri yang cepat menurun.(1,4,7-9)

5. Gejala dan Tanda Tekanan Tinggi Intrakranial(TTIK)

Gejala klinis TTIK antara lain:1,3,7

 Nyeri Kepala

Nyeri kepala terjadi karena dilatasi vena, sehingga terjadi traksi dan regangan struktur-sensitif-nyeri, dan
regangan arteri basalis otak. Nyeri kepala dirasakan berdenyut terutama pagi hari saat bangun tidur.
Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-
anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteril serebral
meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian
mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan intrakranium sejenak karena batuk,
mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri
kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah
yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian
belakang dan leher.Kadangkala penderita merasa ada rasa penuh di kepala. Nyeri kepala bertambah jika
penderita bersin, mengejan, dan batuk.

 Muntah

Muntah terjadi karena adanya distorsi batang otak saat tidur, sehingga biasanya muncul pada pagi hari
saat bangun tidur. Biasanya tidak disertai mual dan sering proyektil.

 Kejang

Kecurigaan tumor otak disertai TTIK adalah jika penderita mengalami kejang fokal menjadi kejang umum
dan pertama kali muncul pada usia lebih dari 25 tahun.

 Perubahan Status Mental dan Penurunan Kesadaran

Penderita sulit memusatkan pikiran, tampak lebih banyak mengantuk serta apatis.

Tanda TTIK

Tanda-tanda fisik yang dapat ditemukan adalah papil edema, bradikardi, peningkatan progresif
tekanan darah, perubahan tipe pernapasan, timbulnya kelainan neurologis, gangguan endokrin, dan
gangguan tingkat kesadaran. Pada anak-anak, dapat terjadi pembesaran lingkar kepala dengan
pelebaran sutura tengkorak. Kelainan neurologis yang sering adalah kelumpuhan nervus VI dan nervus III
serta tanda Babinski positif di kedua sisi.1,3,4,7,16

6. Gambaran Radiologi Tekanan Tinggi Intrakranial

Pada Anak:
1. Sutura melebar

Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal ini mungkin terlihat setelah umur 14
atau 15 tahun. Keadaan ini tidak terlihat setelah umur 25 atau 30 tahun. Sutura yang melebar ini
terutama jelas terlihat pada sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat pada sutura
lambdoidea

2. Ukuran kepala yang membesar

3. Craniolacunia

Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur yang berbentuk oval atau seperti jari
pada tabula interns dengan diantaranya terdapat bony ridge. Tanda ini terlihat pada neonatus sampai
bayi berumur 6 bulan. Keadaan ini berhubungan dengan myelomeningocele, ecephalecele, stenosis
aquaductus sylvii dan arnold chiari malformation.

4. Erosi dorsum sellae

Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda lanjut dari tekanan tinggi intrakranial.
Untuk terjadinya erosi dorsum sellae membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan ini hanya terlihat
pada 30% kasus dengan tekanan tinggi intrakranial. Jika erosi dorsum sellae tidak disertai dengan sutura
yang melebar, umumnya hal ini disebabkan oleh lesi fokal pada daerah sella.

Pada dewasa

1. Erosi dorsum sellae

Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae dan merupakan gambaran yang khas.
Pada tekanan tinggi intrakranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak jelas terlihat.
Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum sellae disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel
III dan pada umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada fossa posterior dan hidrosefalus.
Erosi sellae oleh karena tekanan tinggi intrakranial harus dibedakan dari lesi destruksi lokal. Selain
daripada adenoma pituitaria yang terdiri atas meningioma, chordoma, craniopharyngioma dan
aneurisma.
2. Pergeseran kelenjar pineal

Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik, kelenjar pineal terlihat terletak di garis
tengah. Jika terjadi pergeseran dari kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada satu sisi garis
tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial. Pada umumnya sebagai penyebabnya adalah tumor
intrakranial, tetapi lesi seperti subdural hematom dan massa non neoplastik dapat menyebabkan hal
yang sama.

3. Kalsifikasi Patologi

Pada space occupying lession dapat terlihat adanya kalsifikasi yang patologik. Keadaan ini
terlihat dengan gambaran radiologik kira-kira pada 5%-10% kasus.

CT Scan

CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta mempunyai ketepatan yang
tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau
hiperostosis, sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat
menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensiti. Setelah pemberian kontrast,
akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah hiperdensiti.
Kelemahan CT Scan adalah kurang mengetahui adanya tumor yang berpenampang kurang dri 1,5 cm
dan yang terletak pada basis kranii.

MRI

MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan antara tumor dan jaringan
sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.
7. Tatalaksana

Ditujukan untuk meningkatkan aliran darah serebral dan memulihkan herniasi yang terjadi. Dapat
berupa tindakan umum, terapi farmakologis, dan tindakan bedah. 1-4,10-15

Tindakan Umum1,10-15

Berupa tindakan darurat, sambil berusaha mencari penyebab dan tatalaksana sesuai dengan penyebab.

 Perbaiki jalan napas, pertahankan ventilasi

 Tenangkan pasien

 Naikkan kepala 300

Hal ini memperbaiki drainase vena, perfusi serebral, dan menurunkan tekanan intrakranial. Elevasi
kepala dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui beberapa cara, yaitu menurunkan tekanan
darah, perubahan komplians dada, perubahan ventilasi, meningkatkan aliran vena melalui vena jugular
yang tak berkatup, sehingga menurunkan volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan
intrakranial. Perpindahan CCS dari kompartemen intrakranial ke rongga subaraknoid spinal mungkin
dapat menurunkan tekanan intrakranial.

 Atasi syok

 Mengontrol tekanan rerata arterial

 Harus ada keseimbangan antara pengurangan tekanan perfusi otak dengan kebutuhan
mempertahankan aliran darah otak. Pada keadaan iskemi, sawar darah otak rusak sehingga
peningkatan MAP dapat menambah edema vasogenik karena meningkatkan tekanan hidrostatik
intravaskuler.

 Pengaturan cairan dan elektrolit

 Monitor tanda vital

 Monitor TTIK

 Pemeriksaan pencitraan menggunakan Computerized Tomography untuk mendapatkan gambaran


lesi dan pilihan pengobatan. Pada proses intrakranial luas (tumor, trauma) yang menyebabkan TTIK,
dilakukan pembedahan untuk mengurangi volume patogen yang menekan. Proses intrakranial
ekspansif yang menyumbat sirkulasi CSS berakibat hidrosefalus obstruktif yang pertama
membutuhkan drainase kemudian tindakan pembedahan sesuai karakteristik lesi. Jika terjadi
penyumbatan darah pada sistem ventrikel akibat perdarahan, diperlukan drainase ventrikel
kemudian eksplorasi dan tatalaksana perdarahan.

Terapi Farmakologi

 Cairan Hipertonis1,3,15

Cairan hipertonis biasa diberikan jika terjadi peninggian tekanan intrakranial akut tanpa kerusakan
sawar darah otak. Manitol 20% per infus dengan dosis 1-1,5 g/kgBB pada dewasa atau 1-3 g/kgBB pada
anak-anak diberikan dalam 30-60 menit.

 Diuretika1,15

Digunakan asetazolamid atau furosemid yang akan menekan produksi CSS. Asetazolamid
merupakan inhibitor karbonik anhidrase yang diketahui dapat mengurangi pembentukan cairan
serebrospinal di dalam ventrikel sampai 50%. Hasil lebih baik dengan asetazolamid 125-500 mg/hari
dikombinasikan dengan furosemid 0,5-1mg/kgBB/hari atau 20-40 mg intravena setiap 4-6 jam

 Steroid1,3,14,15

Mekanismenya masih belum jelas. Steroid dikatakan mengurangi produksi CSS dan mempunyai efek
langsung pada sel endotel. Deksametason dapat diberikan dengan dosis 10 mg intravena atau 4 mg per
oral 4 kali sehari. Prednison dan metilprednisolon bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg/hari.

Hiperventilasi

Merupakan salah satu cara efektif untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial dalam 24 jam
pertama. Target PaCO2 harus diturunkan menjadi 26-30 mmHg untuk menghasilkan dilatasi serebral
maksimal. Hal ini bermanfaat karena daerah-daerah iskemi akan berperfusi baik. Bila PaCO2 kurang dari
20 mmHg, aliran darah akan makin turun sehingga oksigen di otak tidak cukup tersedia. Iskemi serebral
akibat TTIK bisa pulih, namun diganti oleh iskemi serebral karena vasokontriksi pembuluh darah
serebri.1,15

Terapi Hipotermi

Penurunan suhu tubuh sampai 30-340C akan menurunkan tekanan darah dan metabolisme otak,
mencegah dan mengurangi edema otak, serta menurunkan tekanan intrakranial sampai hampir 50%.
Hipotermi berisiko aritmia dan fibrilasi ventrikel (bila suhu di bawah 300C), hiperviskositas, stress ulcer,
dan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun.1,17,18

Tindakan Bedah

Tergantung penyebabnya, perlu dipertimbangkan tindakan dekompresi berupa kraniotomi atau


shunting.1,15

SIMPULAN

Peninggian tekanan intrakranial dapat menurunkan aliran darah serebral dan/ atau herniasi otak
mengakibatkan kompresi dan iskemi batang otak. Gejala umum TTIK adalah nyeri kepala, muntah
proyektil, kejang, dan perubahan status mental. Tanda fisik yang terpercaya adalah papil edema.
Penanganan TTIK bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan untuk meningkatkan aliran
darah serebral, serta memulihkan herniasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee KR, Hooff JT. Intracranial pressure. In: Youmans JR, editor. Neurological surgery. 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co; 1996 (vol.1). p. 491-514

2. Ward JD, Mopulton RJ, Muizelaar JP, Marmaraou A. Cerebral homeostasis and protection. In: Wirth
FP, Ratcheson RA, editors. Neurological critical care. 7thed. Baltimore: Williams and Wilkins; 1991
(vol.1). p. 187-206

3. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rded. New York: Churchill
Livingstone; 1997: 72-80
4. Victor M, Ropper AH. Adam and Victor’s principles of neurology. 7thed. New York: Mc Graw –Hill
Medical Publisihing Division; 2001. p. 655-74

5. Snell RS. Cliniucal neuroanatomy for medical student. 3rded. Boston: Little Brown and Co.; 1982. p. 1-
9

6. Walter FJM. Intracranial pressure and cerebral blood flow. Physiology, update in anasthesia, Issue 8,
Article Frenchay Hospital: Bristol; 1998. p. 1-4

7. Rockoff MA, Ropper AH. Physiology and clinical aspect of raised intracranial pressure. In: Ropper AH,
editor. Neurological and neurosurgical intensive care. 3rded. New York: Raven Press; 1993. p. 11-66

8. Frontera J. Decision making in neurocritical care. London: Thieme; 2009.

9. Rosand J, Schwamm L.H. Management of brain edema complicating stroke. J Intensive Care Med.
2001;16: 128-41

10. Ahmad Ruslan, Bhardwaj A. Medical management of cerebral edema. Neurosurg Focus. 2007;
22(5):12

11. Mishra LD. Cerebral blood flow and anaesthesia: A review. Indian J. Anaesth. 2002; 46 (2) : 87-95

12. Olivot JM, Mlynash M, Kleinman JT, Straka M, Venkatasubramanian C, Bammer R, et al. MRI Profile
of the perihematomal region in acute intracerebral hemorraghe. Stroke. 2010; 41(11): 2681-3. doi:
10.1161/STROKEAHA.110.590638.

13. Tiex R, Tsirka SE. Brain edema after intracerebral hemorraghe: Mechanisme, treatment options,
management strategies and operative indication. Neurosurg Focus 2007;22(5): 6

14. Miller JD, Piper IR, Statham PFX. ICP monitoring: Indications and techniques. In: Narayan RK,
Wreberger JE, Poulishock Jt, editors. Neurotrauma. New York: Mc Graw Hill; 2002. p. 429-44

15. Fishman RA. Brain edema and disorder of intracranial pressure, In: Rowland LP, Merrit’s, editors.
Neurology. 10 thed. Phiadelphia: Lippincott William dan Wilkins; 2000. p. 284-93
TRAUMA KAPITIS

Anatomi
Definition

Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di
dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh
gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan
dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.2

Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun
dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana pada setiap
tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera.

Insiden trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40%
meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan.

GCS digunakan untuk menenntukan derajat keparahan dari trauma kepala selama 48 jam
setelah cedera kepala.

Tabel 1. GCS 2
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan GCS (Glassglow coma scale)3

1. Ringan

 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari1 jam
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
 CT Scan normal.

2. Sedang

 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 1 jam tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 CT Scan abnormal.

3. Berat

 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 7 hari.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Patofisiologi 1

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini
dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun
pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi
maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya ±
18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak
banyak berarti.

Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang
mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe
(keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan
herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada
meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih
utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan
temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.

Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis;
karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis.
Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan
kerusakan-kerusakan di batang otak.

Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak,
ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf otak I
kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari
trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.

Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf
otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada
anak-anak) , dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.

Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di
dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.

Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif
sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-
orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada
pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema.
Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak
didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun
keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya
meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari
trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau
tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi
aneurisma. Ini sering terjadi pada arteri karotis interna pada tempat masuknya di dasar tengkorak.
Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavern osa.

Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya
menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar
jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral.
Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging veins) akan
menyebabkan suatu subdural hematoma.

Klasifikasi 1

Cedera Primer dan Sekunder

1. Primer
Di induksi oleh kekuatan mekanik dan terjadi pada saat cedera; 2 mekanisme utama
yang menyebabkan cedera primer adalah kontak (misalnya, benda yang menyerang kepala atau
otak yang menabrak bagian dalam tengkorak) dan percepatan-pelambatan (acceleration-
deceleration).

2. Sekunder
Tidak diinduksi oleh proses mekanik dari trauma namun merupakan efek lambat yang tertunda
dari cedera mekanis sebelumnya.

Focal dan Diffuse


1. Focal
Termasuk cedera kulit kepala, fraktur tengkorak, dan kontraksi permukaan; umumnya
disebabkan oleh kontak.
2. Diffuse
Termasuk cedera aksonal difus (DAI), kerusakan hipoksia-iskemik, meningitis, dan
cedera vaskular; Biasanya disebabkan oleh akselerasi-deselerasi kekuatan.
Perdarahan4

1. Epidural
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura
mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea
media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.

Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal (70-
80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat dengan
skema bagian dalam kranium.

Epidural hematom merupakan akumulasi darah (hematoma) di antara duramater dan


tulang tengkorak/cranium. Cedera yang terjadi biasanya berupa laserasi dari arteri meningeal
media yang memiliki tekanan tinggi. Perdarahan dapat berkembang mencapai puncaknya dalam
6-8 jam pasca trauma mencapai 25-75 cc. Hematoma ini dapat memisahkan dura dari bagian
dalam tulang, sehingga menimbulkan sakit kepala yang hebat. Tekanan intrakranial yang
meninggi mengakibatkan otak mengalami pergeseran posisi, kehilangan suplai darah atau
terdesak menuju tulang. Penekanan pada batang otak menyebabkan pasien mengalami
kehilangan kesadaran, postur abnormal dan respons pupil yang abnormal. Pemeriksaan dengan
CT Scan/MRI memperlihatkan ekspansi hematom berbentuk konveks. Sebanyak 20% pasien
dengan gangguan kesadaran diketahui mengalami epidural hematom dengan bantuan CT Scan.

Gejala (trias klasik) :

 Interval lusid
Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya,
tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah
kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa perdarahan itu sendiri
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan kemungkinan
sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci untuk
menegakkan diagnosa perdarahan epidural.

Tanda khas dari epidural hematom adalah adanya periode lucid interval, yaitu periode
“perbaikan sesaat” setelah trauma yang diikuti oleh hilangnya kesadaran secara cepat. Periode ini
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam. Kehilangan kesadaran disebabkan oleh
akumulasi darah yang meningkatkan tekanan intrakranial dan merusak jaringan otak.

 Hemiparesis/plegia
 Pupil anisokor

2. Subdural

Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan duramater dan di atas lapisan
arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.
Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang
tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan
permukaan otak di bawah tekanan lebih besar.

Subdural hematom terjadi karena robekan bridging vein yang menghubungkan antara korteks
serebri (dilapisi arachnoid mater) dan dura mater. Biasanya dihubungkan dengan trauma korteks serebri
dan prognosis tidak lebih baik dari epidural hematom. Subdural hematom dapat dibagi menjadi akut dan
kronik. Subdural hematom akut umumnya terjadi akibat cedera kecepatan tinggi dan dihubungkan
dengan kontusio serebri.

Perdarahan ini memiliki prognosis lebih buruk dibanding epidural hematom, yaitu angka
kematian sekitar 60-80%. Sedangkan subdural hematom kroni terjadi akibat trauma minor kepala yang
sering tidak terindetifikasi. Perdarahan terjadi dalam waktu lambat (hitungan hari) dan dapat tidak
ditemukan hingga berbulan-bulan sampai terlihat gejala klinis. Perdarahan pada subdural hematom
kronis umumnya lebih lambat dibanding akut, dan dapat berhenti dengan sendirinya. Sering terjadi pada
orang tua.

Penekanan akibat akumulasi perdarahan menyebabkan kompresi jaringan otak. Pada


beberapa kasus dapat terjadi robekan arachnoid mater dan kebocoran cairan serebrospinal
sehingga lebih meningkatkan tekanan intrakranial. Iskemia menyebabkan terjadinya kematian sel
otak.

Onset gejala subdural hematom lebih lambat dibanding perdarahan epidural, karena
aliran vena memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding arteri. Gejala yang tumbul antara lain:
penurunan kesadaran, iritabel, kejang, sakit kepala, disorientasi, amnesia, lethargi, mual/muntah,
gangguan kepribadian, ataxia, pandangan kabur, dll.

Selain akibat cedera yang disebabkan oleh perubahan kecepatan (akselerasi/deselerasi),


juga dapat terjadi akibat rotasi, pada shaken baby syndrome, dan peminum alkohol (pada
alkoholik terjadi atrofi serebral sehingga meningkatkan panjang vena emisaria, yang
meningkatkan risiko terjadinya subdural hematom), dan pengguna antikoagulan (aspirin,
warfarin).

 Subdural hematoma akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik
dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat
dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang
otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan derajat kerusakan pa
renkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul ada
lah:

 Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran


 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema
 Subdural hematoma subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.

Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita


mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
 Subdural hematoma kronis
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu
menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap

• rasa mengantuk yang hilang-timbul

• linglung

• perubahan ingatan

• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

3. Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara


membrana arachnoid dan pia mater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara
spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala
yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan
kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset
perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi
otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi
neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta
tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan
perdarahan berasal dari a.communicating posterior.

Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan


darah dan aritmia.

Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral;


kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio
intraserebral.

Penegakan Diagnosis

1 . Anamnesis

 Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid


 Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
 Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
 Mekanisme Trauma

2 . Pemeriksaan neurologis:

 Kesadaran berdasarkan GCS


 Tanda-tanda vital
 Otorrhea/rhinorrhea
 Ecchymosis periorbital bilateral / eyes (raccoon eyes/bukan)
 Gangguan fokal neurologis
 Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
 Refleks patologis
 Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye phenomen
 Monitor pola pernafasan
 Gangguan fungsi otonom
 Funduskopi

3 . Pemeriksaan penunjang:

 Foto polos kepalaAP/lateral


 CT scan kepala untuk mendeteksi perdarahan intrakranial
 Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
Bagan 1. Algoritma CT Scan 5
Management 1
NEURORADIOLOGI

COMPUTED TOMOGRAPHY SCAN (CT SCAN)

Pendahuluan

Radiologi adalah cabang ilmu kesehatan yang berkaitan dengan zat-zat radioaktif dan energi
pancaran serta dengan diagnosis dan pengobatan penyakit dengan memakai radiasi pengion (e.g. sinar-
X) maupun bukan pengion (e.g. ultrasound). Neurology adalah cabang ilmu kedokteran yang
berhubungan dengan sistem saraf, baik normal maupun sakit. Neuroradiology adalah radiologi sistem
saraf.
Computed Tomography merupakan suatu metode pencitraan diagnosa yang memanfaatkan
komputer sebagai pengolah data sinar-X yang telah mengalami atenuasi dalam tubuh pasien yang
diperiksa. CT Scan mempunyai kemampuan untuk membedakan bagian-bagian yang kecil diantara
jaringan lunak dan ini lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi konvensional dengan
meningkatkan kontras enhancement, sehingga berbagai jaringan lunak dan jaringan tubuh cepat
dibedakan. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya dugaan yang kuat antara suatu
kelainan, yaitu:
a. Gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses
b. Perubahan vaskuler: malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark
c. Brain contusion
d. Brain atrofi
e. Hydrocephalus
f. Inflamasi.
CT Scan: Definisi

CT Scan adalah test diagnostik yang memiliki informasi yang sangat tinggi. Tujuan utama
penggunaan CT Scan adalah mendeteksi perdarahan intra cranial, lesi yang memenuhi rongga otak
(space occupying lesions/ SOL), edema serebral dan adanya perubahan struktur otak. Selain itu CT Scan
juga dapat digunakan dalam mengidentikasi infark , hidrosefalus dan atrofi otak. Bagian basilar dan
posterior tidak begitu baik diperlihatkan oleh CT Scan.

CT Scan mulai dipergunakan sejak tahun 1970 dalam alat bantu dalam proses diagnosa dan
pengobatan pada pasien neurologis. Gambaran CT Scan adalah hasil rekonstruksi komputer terhadap
gambar X-Ray. Gambaran dari berbagai lapisan secara multiple dilakukan dengan cara mengukur
densitas dari substansi yang dilalui oleh sinar X.

Prinsip kerja

Pada alat konvensional sinar X berputar secara fisik dalam bentuk sirkuler. Sedangkan pada alat
elektron beam tomography (EBT) yang berputar adalah aliran elektronnya saja.Data yang dihasilkan
akan memperlihatkan densitas dari berbagai lapisan. Pada saat sinar X melalui sebuah lapisan maka
lapisan tersebut akan mengabsorbsi sinar dan sisanya akan melalui lapisan tersebut yang akan ditangkap
oleh detektor yang sensitive terhadap elektron. Jumlah radiasi yang diabsorbsi akan tergantung pada
densitas jaringan yang dilaluinya. Pada tulang energi yang melalui (penterasi) jaringan itu lebih sedikit
maka akan muncul gambaran berwarna putih atau abu-abu yang terang.

Sedangkan pada cairan serebrospinal dan udara akan menghasilkan gambaran lebih gelap. CT
Scan dapat memberikan gambaran pada potongan 0,5 -11,3 cm danmemberikan gambaran akurat pada
abnormalitas yang sangat kecil. CT Scan digunakan di dalam kedokteran sebagai alat diagnostik dan
sebagai pemandu untuk prosedur intervensi. Kadang-kadang membandingkan material seperti kontras
yang diodinasi kedalam pembuluh darah. Ini berguna bagi menyoroti struktur seperti pembuluh darah
yang jika tidak akan sukar untuk menggambarkan jaringan sekitarnya. Penggunaan material kontras
dapat juga membantu ke arah memperoleh informasi fungsional tentang jaringan/tisu.

Ukuran gambar (piksel) yang didapat pada CT scan adalah radiodensitas. Ukuran tersebut
berkisar antara skala -1024 to +3071 pada skala Housfield Unit. Hounsfileds sendiri adalah pengukuran
densitas dari jaringan. Peningkatan teknologi CT Scan adalah menurunkan dosis radiasi yang diberikan,
menurunkan lamanya waktu dalam pelaksanaan scaning dan peningkatan kemampuan merekonstruksi
gambar sebagai contoh, untuk lihat di penempatan yang sama dari suatu penjuru/sudut berbeda) telah
meningkat dari waktu ke waktu. Meski demikian, dosis radiasi dari CT meneliti beberapa kali lebih tinggi
dibanding penyinaran konvensional meneliti. Sinar-X adalah suatu format radiasi pengion dan tentunya
berbahaya.

Gambar 1. Jaringan pada CT Scan

Pada cranial:

- Diagnosa dari cerebrovascular accidents dan intracranial hemorrhage

- Deteksi tumor; CT Scan dengan kontras lebih sensitif dari mri

- Deteksi peningkatan intracranial pressure sebelum dilakukan lumbar puncture

Atau evaluasi fungsi ventriculoperitoneal shunt.

- Evaluasi fraktur wajah atau kranial

- Pada kepala/leher/wajah/mulut ct scanning digunakan pada rencana operasi

Bagi deformitas kraniofasial dan dentofasial dan evaluasi tumor sinus, nasal, orbital, dan rencana
rekonstruksi implant dental.

Cara Membaca CT-Scan


Pertama yang harus diperhatikan adalah :

1. Pastikan foto yang akan dibaca adalah foto CT Scan kepala.


2. Menentukan CT Scan dengan atau tanpa kontras, biasanya kasus cedera kepala tanpa kontras.
3. Menentukan dengan tepat identitas pasien, diagnosa, jam dan tanggal pembuatan sesuai
dengan pasien yang ada.

Lanjutkan dengan membaca hasil CT Scan:

1. Membaca CT Scan dari lapisan luar kepala menuju ke lapisan dalam, Scalp→ Tulang →
parenkim.
2. Pada pembacaan Scalp, mencari adanya chephal hematom, dan tentukan dengan tepat bagian
mana yang terkena.
3. Pada pembacaan Tulang, mencari adanya tanda fraktur, impresi atau linier, bedakan dengan
garis sutura yang ada.
4. Pada pembacaan parenkim, mencari adanya perdarahan epidural, subdural, contusional,
intraserebral, intraventrikel, hidrochepalus. Pada pengukuran adanya perdarahan, yang
diperhatikan adalah ketebalan hematom pada slice yang paling tebal, pengukuran volume =
(jumlah slice x tebal x panjang) : 2 semua ukuran dalam cm, yang di foto CT Scan biasanya mm,
dikonversi menjadi cm. Pergeseran/midline Shift dapat dihitung dengan menarik garis lurus
dari crista galli ke Protuberansia oksipitalis interna, tegak lurus dengan septum pellucidum.
5. Mencari tanda patah tulang basis, terlihat dari adanya fraktur pada os.sphenoid, os.petrosa, os
paranasalis dan perdarahan sinus.
6. Menentukan tanda edema otak, dapat terlihat dari adanya 3 hal yaitu:
a. melihat sistem ventrikel yang ada
b. melihat sistem sisterna, terutama sisterna basalis
c. melihat adanya perbedaan lapisan white matter dan grey matter
7. Kesimpulan hasil pembacan, disebutkan dari yang paling memiliki arti klinis penting diikuti oleh
hal yang lain. Contoh: EDH pada Fronto Temporo Parietal D, tebal 2 cm, vol 50cc,
menyebabkan pergeseran/midline shift ke S sebesar 1cm, edema serebri, FBC.
A. TRAUMA KEPALA
1. Berdasarkan jenisnya:

 Terbuka, berhubungan dengan udara luar, misalnya vulnus penetrans, vulnus


sklopectom, ftactura depressive terbuka, prolapse, laserasi serebri, leakage liquour.

 Tertutup, tidak berhubungan dengan udara luar.

2. Berdasarkan tempatnya:

 Lokal: fractura depressive calvaria, prolap/ laserasi serebri, kontusio ringan/lokal,


hematoma intracranial (epidural, subdural, intraserebral, subarachnoid).

 Diffus: Kontusio sedang sampai berat/ luas, diffuse axonal injury.

3. Berdasarkan ada tidaknya perdarahan

 Perdarahan: Hematoma intracranial

 Epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura
mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri
meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan
ekstradural. Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio
temporal (70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media
dekat dengan skema bagian dalam kranium.

Gejala (trias klasik):

1. Interval lusid: Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan
epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala
mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural
terus meluas sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan kemungkinan sindroma
herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci
untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Subdural

Subdural hematoma adalah hematom yang terletak diantara lapisan duramater dan
arhacnoid dengan sumber perdarahan dapat berasal dari vena jembatan atau bridging vein
(paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Subdural hematoma dibagi 3:

1. Subdural hematom akut


2. Subdural hematom subakut
3. Subdural hematom kronis

SUBDURAL HEMATOMA AKUT

Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma sampai dengan hari ke tiga. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5
mm tebalnya tetapi melebar luas. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan
radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit

SUBDURAL HEMATOMA SUBAKUT

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3-minggu ke 3 sesudah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnyaadanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan
untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

SUBDURAL HEMATOMA KRONIS

Biasanya terjadi setelah minggu ketiga. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua. Trauma yang
menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang terasa Cuma
pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap cairan dan
mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah
ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika volume kecil akan
menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu
seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo
atau lumpuh tiba-tiba.

 Intraserebral

Perdarahan intra serebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam
parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak. Faktor etiologi yang lain adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia,
pemakaian anti koagulan dalam jangka lama, malformasi arteriovenosa dan malformasi mikro
angiomatosa dalam otak, tumor otak (primer dan metastase) yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskuler dan eklamsia (jarang). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena
robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom.
Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur
sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi
iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi
jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak
lainnya.

Gejala prodromal tidak jelas kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan sering terjadi di
siang hari, waktu beraktifitas atau emosi / marah. Sifat nyeri kepala yaitu nyeri yang hebat sekali,
mual muntah, sering terdapat pada permulaan serangan. Kesadaran biasanya cepat menurun dan
cepat masuk ke keadaan koma. Tanda-tanda neurologi fokal (paralisis, hilangnya sensorik dan defek
kemampuan bicara) sering dijumpai. Kaku kuduk atau rigiditas nuchae sering ditemukan pada
perdarahan subarachnoid atau intra serebri.
Paralisis ekstremitas pada fase lanjut biasanya memperlihatkan tanda-tanda penyakit upper motor
neuron yaitu kelemahan otot yang bersifat spastik dengan atropi otot, reflek dalam menjadi
hiperaktif, reflek superfisial menjadi berkurang atau hilang dan timbul reflek patologis seperti
babinsky yang positif.

 Subarachnoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan
subarachnoid merupakan penemuan yang sering pada trauma kepala
akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah
leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar
sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh
darah serebral major. Perdarahan subarachnoid secara spontan sering
berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri
pada otak.

Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya terbatas
pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya ruptur dari
aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan angiografi.
Aneurisma konsenital biasanya berlokasi pada ciculus willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada
pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya arteri cerebral anterior
dibawah falxcerebri.

 Non perdarahan:

 Fractura depressive calvaria


 Prolaps / laserasi serebri
 Kontusio ringan / lokal, sedang sampai berat / luas
 Diffus axonal injury

CONTUSIO CEREBRI

Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan


fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak
disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak
mengganggu jaringan. Contosio sendiri biasanya
menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah
motorik atau sensorik otak, secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih
dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak. Pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri
menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio
serebri yang gambaran pada CT Scan disebut “Pulp brain”
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan
meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering
terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika
memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi
membentuk perdarahan intra serebral.

Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan
kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingkat kesadaran pun akan berangsur kembali
tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti
biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral. Gejala lain
yang sering muncul:

 Gangguan kesadaran lebih lama


 Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi
 Gejala TIK meningkat
 Amnesia retrograd lebih nyata
 Pasien tidak sadarkan diri
 Pasien terbaring dan kehilangan gerakkan
 Denyut nadi lemah
 Pernafasan dangkal
 Kulit dingin dan pucat
 Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari
 Hemiparese/Plegi
 Aphasia disertai gejala mual-muntah
 Pusing sakit kepala
EDEMA CEREBRI
Edema serebri atau edema otak adalah keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di dalam
jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi peningkatan volume intraseluler (lebih
banyak di daerah substansia grisea) maupuri ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Edema otak dapat muncul pada kondisi neurologis dan non
neurologis:

1. Kondisi neurologis: Stroke iskemik dan perdarahan intraserebral, trauma kepala, tumor otak,
dan infeksi otak.

2. Kondisi non neurologis: Ketoasidosis diabetikum, koma asidosis laktat, hipertensi maligna,
ensefalopati, hiponatremia, ketergantungan pada opioid, gigitan reptil tertentu, atau high altitude
cerebral edema (HACE).

Edema serebri vasogenik


Edema serebri vasogenik terjadi jika terdapat robekan dari "blood brain barrier" (sawar darah
otak) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler)
dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra
selluler akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraselluler yang tekanan osmotiknya
lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel
sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengkosongan
("shringkage").

Edema serebri Sitostatik


Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia)
akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol
glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O) sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1
molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karean kekurangan ATP maka tidak ada
tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses pumpa Natrium Kalium untuk
pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut
memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipumpa keluar dari sel menjadi
masuk kedalam sel bersamaan masuknya natrium, maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel
sehingga terjadi edema intra seluler. Pada kondisi terjadi peningkatan tekanan intrakranial dapat
ditemukan tanda dan gejala berupa:
1. Nyeri kepala hebat.
2. Muntah; dapat proyektil maupun tidak.
3. Penglihatan kabur.
4. Bradikardi dan hipertensi; terjadi akibat iskemi dan terganggunya pusat vasomotor medular.
Hal ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan aliran darah otak tetap konstan pada
keadaan meningkatnya resistensi serebrovaskular akibat kompresi pembuluh darah kapiler
serebral oleh edema.
5. Penurunan frekuensi dan dalamnya pernapasan; respirasi menjadi lambat dan dangkal
secara progresif akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang menyebabkan herniasi
unkal. Saat terjadi kompresi batang otak, timbul perubahan pola pernapasan menjadi pola
Cheyne-Stokes, kemudian timbul hiperventilasi, diikuti dengan respirasi yang ireguler, apnea,
dan kematian.
6. Gambaran papiledema pada funduskopi; ditandai dengan batas papil yang tidak tegas, serta
cup and disc ratio lebih dari 0,2. Dapat dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI otak untuk
melihat etiologi dan luas edema serebri.

Gambaran CT Scan dari edema serebri:


• Ventrikel menyempit
• Cysterna basalis menghilang
• Sulcus menyempit sedangkan girus melebar

STROKE HEMORAGIK DAN NON HEMORAGIK


Stroke merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Pada kasus stroke iskemik hiperakut
(0-6 jam), CT scan biasanya tidak sensitif dalam mengidentifi kasi infark serebri; namun, cukup sensitif
dalam mengidentifi kasi berbagai bentuk perdarahan intrakranial akut dan lesi makroskopik lain yang
menjadi kontraindikasi penggunaan terapi trombolitik. Gambaran infark hiperakut pada CT scan berupa
pendangkalan sulkus disertai menghilangnya batas substansia alba dan grisea pada infark kortikal
superfi sial (mis, tanda insular ribbon), hipodensitas ganglia basalia (mis, hipodensitas nuklei
lentiformes), tanda hiperdensitas arteri serebri media (middle cerebral artery, MCA), dan tanda Sylvian
dot. Dalam periode akut (6-24 jam), perubahan gambaran CT scan non-kontras akibat iskemia menjadi
makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang mengalami infark juga makin jelas pada fase ini. Pada
periode subakut (1-7 hari), terjadi perluasan edema dan efek massa yang menyebabkan pergeseran
jaringan infark ke lateral dan vertikal (pada kasus infark yang mengenai daerah pembuluh darah besar).
Infark kronis ditandai dengan hipodensitas yang mencolok dan berkurangnya efek massa pada
gambaran CT scan; densitas daerah infark sama dengan cairan serebrospinal.

DEFINISI

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari
gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor
otak, dan stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan
otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan
berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak tertentu. Oklusi dapat berupa trombus,
embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia salah satu daerah
pendarahanotak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan
subarachnoid.
Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik, Infark Otak, Penyumbatan)

Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-kranial atau hipoperfusi
jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik.
Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala dan leher dan dapat juga mengenai
pembuluh arteri kecil atau percabangannya.Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan
pembuluh darah oleh plak aterosklerotiksehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari
lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah otak yang
terkena.

PERUBAHAN GAMBARAN CT SCAN PADA STROKE ISKEMIK

Infark Hiperakut

Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT


scan biasanya tidak sensitif mengidentifi kasi infark serebri karena
terlihat normal pada >50% pasien; tetapi cukup sensitif untuk
mengidentifi kasi perdarahan intrakranial akut dan/atau lesi lain
yang merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik.

• Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal eff acement)

Gambaran ini tampak akibat adanya edema difus di hemisfer


serebri. Infark serebral akut menyebabkan hipoperfusi dan edema
sitotoksik. Berkurangnya kadar oksigen dan glukosa seluler
dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa natrium-kalium,
yang menyebabkan berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke intraseluler dan edema sitotoksik yang
lebih lanjut. Edema serebri dapat dideteksi dalam 1-2 jam setelah gejala muncul. Pada CT scan
terdeteksi sebagai pembengkakan girus dan pendangkalansulcus serebri.

• Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri Substansia grisea merupakan area
yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan substansia alba, karena metabolismenya lebih aktif.
Karena itu, menghilangnya diferensiasi substansia alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT
scan yang paling awal didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada substansia grisea.
Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul pada 82% pasien dengan iskemia area
arteri serebri media.

• Tanda insular ribbon

Gambaran hipodensitas insula serebri cepat tampak pada oklusi arteri serebri media karena posisinya
pada daerah perbatasan yang jauh dari suplai kolateral arteri serebri anterior maupun posterior.

• Hipodensitas nukleus lentiformis

Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema sitotoksik dapat


terlihat dalam 2 jam setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung
mudah mengalami kerusakan ireversibel yang cepat pada oklusi
bagian proksimal arteri serebri media karena cabang lentikulostriata
arteri serebri media yang memvaskularisasinukleus lentiformis
merupakan end vessel.
• Tanda hiperdensitas arteri serebri media
Gambaran ekstraparenkimal dapat ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala timbul, yaitu
gambaran hiperdensitas pada pembuluh darah besar, yang biasanya terlihat pada cabang proksimal
(segmen M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa didapatkan pada semua arteri. Arteri
serebri media merupakan pembuluh darah yang paling banyak mensuplai darah ke otak.

Karena itu, oklusi arteri serebri media merupakan penyebab terbanyak stroke yang berat.
Peningkatan densitas ini diduga akibat melambatnya aliran pembuluh darah lokal karena adanya
trombus intravaskular atau menggambarkan secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri.
Gambaran ini disebut sebagai tanda hiperdensitas arteri
serebri media (Gambar 4).

Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri


serebri media (cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik
hiperdens pada fi sura Sylvii (Gambar 5)

Infark Akut

Pada periode akut (6-24 jam), perubahan gambaran CT


scan non-kontras akibat iskemia makin jelas. Hilangnya
batas substansia alba dan substansia grisea serebri,
pendangkalan sulkus serebri, hipodensitas ganglia
basalis, dan hipodensitas insula serebri makin jelas.
Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas
pada fase ini.

Infark Subakut dan Kronis


Selama periode subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek massa yang menyebabkan
pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi pada infark yang melibatkan pembuluh
darah besar. Edema dan efek massa memuncak pada hari ke-1 sampai ke-2, kemudian berkurang. Infark
kronis ditandai dengan gambaran hipodensitas dan berkurangnya efek massa. Densitas daerah infark
sama dengan cairan serebrospinal (Gambar 6).

Stroke Hemoragik

Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan


keluarnyadarah ke jaringan parenkim otak, ruang
cairan serebrospinalis disekitar otak atau
kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut
menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui
penekanan struktur otak dan juga oleh

hematom yang menyebabkan iskemia pada


jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan
intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan
herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.

Etiologi dari Stroke Hemoragik:

1) Perdarahan intraserebral: perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke,
terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.

Gejala klinis:

 Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodromal
berupa peningkatan tekanan
darah yaitu nyeri kepala, mual,
muntah, gangguan memori,
bingung, perdarhan retina dan
epistaksis.
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/ hemiparese dan dapat
disertai kejang fokal / umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata
menghilang dan deserebrasi
 Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan
 perdarahan subhialoid.

2) Perdarahan subarachnoid: Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi


perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.

Gejala klinis:

 Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak sepertimeledak, dramatis, berlangsung dalam 1 –
2 detik sampai 1 menit.
 Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
 Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai
beberapa jam.
 Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
 Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan
subarakhnoid.
 Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak
keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Anda mungkin juga menyukai