Anda di halaman 1dari 5

BEGINILAH SEHARUSNYA KITA BERSAUDARA

Rosululloh saw bersabda: Tidak beriman salah seorang dari kalian


sehingga cintanya kepada saudaranya bagaikan cintanya pada dirinya
sendiri.(Muttafaq ‘Alaih) Seorang muslim seyogyanya mencintai
saudara muslimnya seperti ia mencintai dirinya sendiri.Merealisasikan
hadis tersebut secara tersurat terasa berat sekali (ash sho’bul
mumtani’),seolah-olah tak sanggup.Hal ini dikarenakan sifat egoisme
individu selalu dominan,bahkan dibakar oleh masyarakat dan media-
media elektronik.Tak heran apabila kehidupan sesama muslim masih
seperti kehidupan orang-orang dalam kereta.Mereka seolah-olah berjalan
dalam satu gerakan,namun setelah kereta berhenti masing-masing
menetukan nasibnya sendiri-sendiri.Kadang-kadang mereka saling
sikat,saling copet dan lainnya. Walau demikian,seorang muslim harus
menerapkan hadis di atas.Penerapannya dengan mengikuti makna hadis
sebagai berikut: 1. Makna dari lafadz “Laa Yu’minu” adalah
meniadakan kamalul iman (kesempurnaan Iman),bukan nafyul iman
(meniadakan iman) sama sekali. 2. Adanya riwyat dari Imam An Nasa’I
yang menyebutkan “Minal Khoir” sebagai tambahan “Maa yuhibbu li
nafsihi”.Dengan riwayat itu realisasi hadis tersebut terasa lebih
mudah,lebih-lebih bagi yang berhati salim,sebab dimensi al khoir luas
dan tidak terbatas serta bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan
kondisi.Karena itu Alloh Subhanahu Wata’aala berfirman: “Berlomba-
lombalah dalam kebaikan” (QS Al Baqoroh: 148) Sebelum kita
merealisasikan kepada sesama muslim secara terbuka,alangkah baiknya
jika kita terlebih dahulu merealisasikan secara intern antar jamah
(sebagai upaya tajribah) yang telah mengikat pada Robithoh Al
Ukhuwwah Al Imaniyah,dengan istilah murofaqoh atau iltizam.Dimana
ikatan itu sejak semula kita arahkan menuju tahaabub (saling mencintai)
untuk mencapai mahabbatulloh.Sebab tanpa tahaabub itu kita tidak akan
mencapai derajat kesempurnaan iman (mahabbatulloh).Upaya ini sesuai
dengan hadis Nabi : Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian
beriman.Dan kalian tidak beriman sehingga kalian tahaabub.
(HR.Muslim) Konsekuensi tahaabub dalam hidup berjamaah adalah
sebagai berikut: 1.Wala’ (loyalitas) dan Shuhbah. Sikap wala’ ini
pertama kali ditunjukkan kepada Rois Jamaah,sebagaimana seorang
makmum harus loyal kepada imam sholatnya.Sikap wala’ ini bukan
sekedar figuritas (karismatik tokoh),sekedar melepaskan dosa,atau
sekedar ketaatan kepada seorang guru ngaji.Tetapi lebih dari itu kita
relakan wala’ untuk meningkatkan aktifitas guna mencapai ridlo Alloh
Subhanahu wata’ala: “Orang mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian
mereka harus menampakkan wala’ kepada sebagian yang lain”. (QS At
Taubah 71) Shuhbah dalam arti ingin meniti kehidupan para sahabat
bersama Rosululloh saw.Dalam praktek tersebut para sahabat selalu
kintil,memperhatikan semua kepentingan Rosululloh dan aktifitas
dakwahnya. Untuk menuju sikap wala’ dan shuhbah seperti di atas,kita
membiasakan praktek ta’rif dan ta’aruf.Semua anggota harus memahami
aktifitas dan tugasnya masing-masing,termasuk aktifitas yang menjadi
prioritas jamaah yang kita ekspos ke luar secara formal dalam bentuk
Yayasan dan Majelis Ta’lim.Sehingga saat ini keduanya harus mulai
difungsikan secara aktif,efektif dan optimal.Garapan-garapan jangka
pendek dan jangka panjang harus terprogram secara rapi sehingga tidak
berjalan karena reaksi keadaan.Semisal program dalam menghadapi
perubahan politik dan kebijaksanaan orde baru kurun 90-an
ini,bagaimana program menghadapi anggota jamaah yang telah memiliki
putra-putri baru ini,dll. Tidak kalah perlunya dalam hal ta’rif dan ta’aruf
ini adalah kepeduliaan masing-masing Naib Manthiqy dan Naqib untuk
tafaqqud (meneliti) keberadaan anggota-anggotanya.Sedapat mungkin
meminimalkan pengangguran aktifitas.Tidak sampai dijumpai anggota
kerja keras sementara yang lain bermalas-malasan .Dalam hal ini kita
membutuhkan orang yang ringan tangan dalam melaksanankan setiap
tugas. Selain itu antar sesama jamaah seyogyanya bersikap terbuka
(open action) dan komunikatif.Praktek wala’ dan shuhbah ini perlu
untuk menggalang nushroh demi mensukseskan program-program
kejamaahan. 2.Wafa’ Tugas kita setelah memasuki jamah adalah
wafa’,yaitu kesiapan memenuhi beberapa konsekuensi yang telah kita
ikrarkan dahulu.Bila konsekuensi berjamaah tidak dipedulikan,berarti
sama dengan memilih diantara tiga pilihan,yaitu taqshir,mukholafah atau
khianat.Dan ketiga pilihan itu bukanlah sifat seorang
mukmin.Rosululloh saw adalah tipe manusia yang paling wafa’,baik
dalam kondisi syiddah (sulit) maupun Rokho’ (mudah). Murofaqoh dan
iltizam jamaah memerlukan wafa’.Karena itu menghadiri majelis
taushiyah misalnya,tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya selain
udzur syar’iy.Jauhnya tempat dan kondisi diri semisal tiada
bekal,kesibukan rutin bukan termasuk udzur.Pehatikan perilaku
shohabat dalam menerima konsekuensi atas keimanannya.Mereka
mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk mewujudkan
konsekuensi tersebut. 3.Memahami milik bersama Hidup berjamaah
adalah hidup bersama.Karena itu masing-masing anggota harus
mengetahui milik jamaah.Jika jamaah mempunyai program,baik rutin
maupun insidentil,maka harus didukung dan diupayakan
keberhasilannya.Program tersebut berarti harus diangkat sebagai
kepemilikan bersama,semua merasa memiliki dan seterusnya.Contoh
progam: penyebaran ide dakwah lewat majalah Al Mu’tashim dan
buletin Shuhuf,penggalangan dana lewat toko Buurika
(Surabaya),Tabriika (Malang),Mabruka (pujon) serta BMT
Pujon.Pengumpulan calon generasi lewat lembaga terpadu TK/SD Plus
(dalam program di Pujon),sentralisasi aktifitas Markazy dengan
membangun gedung di Nambangan Surabaya.Penanganan daerah minus
dengan menyebar pesantren cabang (Wates-Kediri,Bendo Rejo-
Ngantang,Al Ma’wa Sebaluh,Tahfidzul Quran Putri Mantung-
Pujon,Pesantren Putri Pujon Kidul,Pesantren Putra Pujon Kidul dan lain
sebagainya),penggalangan kader kecil dengan TPA/TPQ sebanyak 12
lembaga di daerah Pujon,Batu dan Ngantang.Ternyata kita bersama
memiliki asset yang kalau sekiranya diuangkan akan bernilai jutaan
rupiah,sekalipun Yayasannya mengkas-mengkis,hidup segan matipun
tak mau.Hal ini dapat terwujud,mungkin dikarenakan sisi barokah
perjuangan secara jamaah disertai niat ikhlas menjauhkan diri dari
ightiror bil jamaah. Dengan demikian setiap anggota harus mempunyai
aktifitas dan garapan dakwah yang jelas.Diupayakan dirinya harus selalu
tasyghil (menyibukkan diri) dalam kancah dakwah.Jika belum,maka
harus punya azzam yang untuk itu menurut kemampuannya masing-
masing.Ini baru salah satu mengangkat program dakwah sebagai amal
jama’I dai jamaah kita. 4.Sentralisasi Sebagaimana yang paling dominan
dalam tubuh manusia adalah kepala sebagai tempat merujuk ide dan
konsep gerak dan langkah anggota badan yang lain,maka Ro’is,Naib dan
Naqib juga demikian.Oleh karena itu,agar tercipta gerak dan langkah
yang sama,baik pikir maupun jiwa,maka anggota harus merujuk kepada
sentral jamaah,yaitu Rois dalam arti memahami penentuan sikap yang
harus dilakukan sehingga adanya kesenjangan selama ini seperti ikhtilaf
fil fikroh,ke-eksklusifan,kekakuan,pementahan program,pemaksaan
keanggotaan (padahal ini praktek yang tidak boleh),dan lain-lain tidak
dijumpai.Oleh Karen itu agar tidak dijumai kesenjangan ,maka anggota
diharapkan mengikuti ta’lim ‘aam dan sering berkonsultasi dengan Rois
secara pribadi.Juga perlu kesadaran,bahwa produk yang dikeluarkan
oleh Rois,Naib,dan Naqib telah melalui pemikiran dan ….. yang
matang.Bahkan perlu dipahami prodruk tersebut bukan untuk
kepentingan individu mereka.Karena itu anggota jamaah harus taslim
dengan produk yang telah dikeluarkan daripada produk luar sebagai
konsekuensi as sam’u wat tho’ah fiima ahabba au kariha (mendengar
dan taat,baik suka atau tidak).Sikap ini tidak didasarkan pada ta’ashshub
(fanatisme),namun untuk keselamatan jamaah. Konsekuensi sebagai
muslim yang dapat tahaabub dalam berjamaah,sebagai mana tersebut di
atas terasa amat berat.Namun hal itu akan terasa ringan jika disadari
bahwa berjamaah termasuk bagian dari perjuangan.Dan perjuangan pasti
membutuhkan pengorbanan.Sebagaimana rahasia yang terungkap dari
firman Alloh ta’aala: 1. Surat Al A’rof 199 “Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah untuk mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-
orang yang bodoh” 2. Surat Al ‘Ashr ayat 3 “Dan saling nasehat –
menasehatilah engkau dengan kebenaran dan kesabaran” Dua ayat
tersebut menunjukkan bagaimana bersikap dalam amar bil ‘urfi dan
wishoyah bil haq.Sikap beramar ma’ruf akan berhadapan dengan celaan
orang-orang bodoh.Sedangkan Wishoyah akan berhadapan dengan
tantangan sehingga dituntut sabar dalam menghadapinya. Meningkatkan
aktifitas diri dalam kehidupan berjamaah dengan saling
tahaabub,insyaAlloh akan menjadikan jamaah ada ruhnya.Program-
program akan terselesaikan sesuai target,karena tidak terjadi
keteledoran-keteledoran baik dari pemimpin atau anggota.Hasilnya
adalah jamaah yang solid,bagaikan satu tubuh yang sempurna,sehat dan
kuat.Semua anggota tubuh dapat difungsikan sesuai keahlian dan
tugasnya masing-masing.Allohu A’lam (Disampaikan pada Taushiyah
ke-06,19 Robi’ul Awaal 1417 H / 1 Sepetmber 1996)

Anda mungkin juga menyukai