Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia merupakan sebuah permasalahan kesehatan global yang
mempengaruhi baik negara berkembang maupun negara maju dengan
konsekuensi terhadap kesehatan dan perkembangan sosio-ekonomik(Benoist,
et al., 2008).Anemia dapat ditemukan dalam setiap kelompok umur, namun
mayoritas ditemukan pada wanita hamil dan anak-anak (Benoist, et al.,
2008).Efek klinis anemia bergantung pada durasi dan tingkat keparahannya.
Anemia yang timbul secara akut dapat menyebabkan kegagalan fungsi
kardiovaskular yang akan berlanjut pada hipoksemia dan hipovolemia yang
apabila tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan otak, kegagalan
multiorgan (multiorgan failure), dan kematian(Means & Glader, 2009).
Anemia yang terjadi secara perlahan (kronik) akan memberikan waktu bagi
tubuh untuk melakukan kompensasi sehingga memperlambat komplikasi
yang mungkin terjadi, namun anemia berkepanjangan dapat menyebabkan
gagal tumbuh kembang pada anak (failure to thrive)(Zimbelman, 2011).
Anemia merupakan kelainan nilai laboratorium yang paling umum
ditemukan dalam praktik dokter anak (Recht, Mahoney, & Hoppin,
2012).Penyebab utama anemia pada anak di seluruh negara adalah anemia
defisiensi besi, namun anemia hemolitik merupakan anemia yang
berhubungan dengan mortalitas yang tinggi (Recht, Mahoney, & Hoppin,
2012). Anemia hemolitik memiliki beragam etiologi dan prevalensi yang
berbeda satu dengan yang lainnya, defisiensiGlucose-6-Phosphate
Dehydrogenase(G6PD) memiliki prevalensi yang tinggi dengan estimasi
lebih dari 500 juta orang di dunia (mayoritas asimtomatik) dan merupakan
penyebab paling umum dari anemia hemolitik akut (Luzzatto & Poggi,
2009).Hereditary spherocytosis adalah anemia hemolitik defek membran
yang ditemukan di seluruh kelompok ras dan etnis, namun paling umum
ditemukan pada di Eropa utara dengan estimasi sekitar 1 dari 5000
orang(Segel, 2007a; Grace & Lux, 2009). Kelainan hemoglobin seperti sickle
1
cell disease merupakan penyakit genetik yang paling umum terdeteksi dalam
program skrining neonatus di Amerika Serikat yaitu 1 dari 2647
kelahiran(DeBaun & Vichinsky, 2007). Sekitar 3% dari populasi dunia
membawa gen β-thalassemia dan 5-10% dari seluruh populasi di Asia
Tenggara membawa gen α-thalassemia.Autoimmune Hemolytic Anemia
(AIHA) primer tidak jarang terjadi, estimasi 1 dari 80.000 populasi per
tahun(Ware, 2009).

1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami tentang kasus Anemia
Hemolitik pada Anak.

2
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi penurunan
massa sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin di dalam darah(Brugnara, Oski, & Nathan,
2009). Kadar hemoglobin yang didefinisikan sebagai anemia pada bayi dan anak berbeda dengan
dewasa. Batas bawah konsentrasi hemoglobin normal ketika lahir adalah 14 g/dL dan akan
mengalami penurunan sampai 11 g/dL pada umur 1 tahun (Tabel 3.1)(Means & Glader, 2009).

Tabel 3.1 Karakteristik Sel Darah Merah pada Anak (Means & Glader, 2009)

A
nemia
dapat
diklasi
fikasik
an
berdas
arkan
patofis
iologin
ya,
antara lain penurunan produksi sel darah merah merah, baik yang dikarenakan
ineffectiveerythropoiesis maupun aplasia sumsum tulang, peningkatan destruksi sel darah merah
(hemolisis), dan perdarahan(Lissauer & Clayden, 2012). Anemia hemolitik didefinisikan sebagai
destruksi prematur sel darah merah(Segel, 2007b). Patofisiologi terjadinya anemia hemolitik
akan dibahas secara detil pada bagian berikutnya.

PATOFISIOLOGI

4
Pengetahuan mengenai eritropoiesis, hemoglobin, metabolisme, usia dan destruksi sel
darah merah, serta etiologi dan patogenesis terjadinya anemia hemolitik pada anak mutlak harus
dimengerti terlebih dahulu agar dapat menggunakan sarana pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis secara efisien dan memberikan terapi yang sesuai.

 Hematopoiesis
Hematopoiesis sudah terjadi sejak fetus, namun terdapat lokasi anatomis
hematopoiesis yang berbeda pada orang dewasa. Hematopoiesis fetus terjadi pada tiga lokasi
anatomis: mesoblastik, hepatik, dan myeloid(Ohls & Christensen, 2007).Hematopoiesis
mesoblastik terjadi pada struktur ekstraembrionik, secara prinsip di yolk sac, dan mulai
terjadi antara hari ke-10 dan hari ke-14 masa kehamilan.Pada masa kehamilan antara
minggu ke-6 dan ke-8, liver menggantikan yolk sac sebagai lokasi primer hematopoiesis dan
antara minggu ke- 10 dan ke-12 hematopoiesis ekstraembrionik sudah tidak terjadi.
Hematopoiesis hepatik terjadi sepanjang masa gestasi, namun pada trimester kedua
mulai mengalami penurunan seiring dengan peningkatan hematopoiesis pada sumsum tulang
(myeloid).Liver tetap menjadi organ hematopoietik yang dominan sampai masa gestasi 20-
24 minggu(Ohls & Christensen, 2007).Pada bulan akhir masa kehamilan dan setelah
kelahiran, sel darah merah secara eksklusif diproduksi oleh sumsum tulang(Guyton & Hall,
2006).
Pluripotential Hematopoietic Stem Cell (PHSC) merupakan sel tunggal dari sumsum
tulang yang merupakan induk dari seluruh sel darah dan mampu untuk melakukan self-
renewal(Guyton & Hall, 2006; Ohls & Christensen, 2007). Adanya kemampuan self-
renewalmenyebabkan kemampuan sumsum tulang untuk terus memproduksi sel-sel darah,
walaupun jumlahnya akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia(Guyton &
Hall, 2006). Pertumbuhan dan diferensiasi dari stem cellsampai sel darah dewasa yang
spesifik membutuhkan keberadaan dari hematopoietic growth factor(Ohls & Christensen,
2007).
Gambar 1 menunjukan diferensiasi dari PHSC sampai menjadi sel-sel darah yang
dikenal, seperti eritrosit, leukosit (eosinofil, neutrofil, basofil, monosit, dan limfosit), dan
trombosit.

5
Gambar 3.1 Hematopoiesis dan eritropoiesis fisiologis yang terjadi dalam tubuh manusia (Guyton &
Hall, 2006)

 Eritropoiesis
Colony Forming Unit-Erythrocyte (CFU-E) stem cellsakan berdiferensiasi menjadi
proerythroblast yang kemudian membelah beberapa kali sampai menjadieritrosit
dewasa(Guyton & Hall, 2006). Maturasi dari eritrosit mencakup sintesis hemoglobin dan
pembentukan badan eritrosit yang kecil, tanpa inti, dan bentuk bikonkaf(Mescher,
2010).Beberapa perubahan tingkat seluler terjadi ketika maturasi eritrosit.Volume sel dan
nukleus berkurang, dan nukleolus semakin mengecil sampai menghilang (Mescher,
2010).Kromatin akan berkondensasi dan mengecil sampai dikeluarkan dari sel(Guyton &
Hall, 2006; Mescher, 2010). Terdapat penurunan gradual dariribosom (penurunan
basophilia) yang diikuti dengan peningkatan jumlah dari hemoglobin dalam
sitoplasma.Mitokondria dan organel lain secara gradual akan menghilang(Mescher, 2010).
Sintesis hemoglobin dimulai sejak dalam proerythroblastdan terus berlanjut hingga fase
retikulosit dari eritrosit (Gambar 3.2).(Guyton & Hall, 2006)

6
Gambar 3.2 Sintesis dari Hemoglobin (Guyton & Hall, 2006)

Jumlah sel darah merah di dalam sistem sirkulasi harus diregulasi karena dua alasan
penting, antara lain supaya jumlah sel darah merah yang adekuat selalu tersedia untuk
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, namun juga agar sel darah merah tidak berlebihan
hingga menghambat aliran darah (Guyton & Hall, 2006).Regulasi dari produksi sel darah
merah secara utama dipengaruhi oleh hormon eritropoietin (EPO) yang produksinya sangat
tergantung dari oksigenasijaringan (Gambar 3.3)(Guyton & Hall, 2006; Sieff & Zon,
2009).Pada orang dewasa normal, hormon EPO 90% diproduksi di ginjal dan 10% sisanya
secara utama oleh liver(Guyton & Hall, 2006).Sebaliknya pada fetus, liver berperan lebih
dominan daripada ginjal dalam memproduksi EPO, namun mekanisme perpindahan
dominasi produksi EPO dari liver ke ginjal masih belum diketahui sampai sekarang(Sieff &
Zon, 2009).

7
Gambar 3.3 Pengaruh oksigenasi jaringan dan eritropoietin terhadap eritropoiesis (Guyton &
Hall, 2006)

 Metabolisme, Usia, dan Destruksi eritrosit


Eritrosit tidak memiliki nukleus sehingga tidak mampu untuk melakukan sintesis
protein (Ohls & Christensen, 2007). Hal ini menyebabkan usia dari eritrosit yang terbatas
karena ketidakmampuan untuk mengganti atau memperbaiki protein-protein vital yang
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, walaupun sebenarnya mekanisme definit penyebab
terjadinya destruksi pada eritrosit tua belum diketahui secara jelas (Glader, 2009). Usia
eritrosit normal sekitar 120 hari(Segel, 2007b; Zimbelman, 2011). Selain nukleus, sel darah
merah dewasa juga tidak memiliki mitokondria sehingga adenosine triphosphate (ATP) tidak
dapat dihasilkan melalui siklus Krebs, melainkan melalui glikolisis anaerobik (Embden-
Meyerhof pathway); sekitar 10% dari glukosa dimetabolisme melalui pentose phosphate
pathway(Ohls & Christensen, 2007).
Destruksi eritrosit terjadi melalui dua mekanisme, antara lain secara
intravascularmaupun ekstravaskular(Zimbelman, 2011). Secara fisiologis, destruksi eritrosit
intravaskular hanya terjadi secara minimal (sekitar 10-20%), sedangkan 80-90% terjadi di
8
ekstravaskular yaitu melalui makrofag yang terdapat di limpa(Glader, 2009).Limpa atau
spleen berfungsi sebagai filter yang efisien untuk eritrosit yaitu tidak hanya menghancurkan
eritrosit tua, namun juga membersihkan permukaan dan materi intraselular eritrosit(Ware,
2009). Makrofag (terutama di dalam limpa) mendeteksi perbedaan eritrosit muda dan
eritrosit tua melalui deformabilitas dan atau perubahan permukaan eritrosit(Zimbelman,
2011).Kemampuan deformabilitas harus dimiliki oleh eritrosit untuk melewati celah-celah
sempit dari splenic pulp.Bentuk bikonkaf, komposisi membran, dan viskositas hemoglobin
dalam eritrosit menentukan deformabilitasnya.Perubahan permukaan eritrosit dapat terjadi
karena penempelan antibodi pada antigen permukaan eritrosit, komplemen, atau perubahan
kimiawi (Zimbelman, 2011).

Anemia Hemolitik
A. DEFINISI
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang terjadi ketika kecepatan
destruksi prematur sel darah merah melampaui kapasitas sumsum tulang dalam
memproduksi eritrosit(Segel, 2007b). Anemia hemolitik dapat diklasifikasikan berdasarkan
lokasi defeknya, antara lain defek selular dan ekstraselular (Gambar 3.4). Pada anemia
hemolitik, usia eritrosit memendek, jumlah eritrosit menurun, EPO meningkat, dan terjadi
peningkatan aktivitas sumsum tulang(Segel, 2007b). Peningkatan eritropoiesis direfleksikan
dengan ditemukannya peningkatan retikulosit di dalam darah. Sumsum tulang dapat
meningkatkan produksinya sebanyak 2-3 kali lipat dari normal dalam keadaan akut dengan
kapasitas maksimum sampai 6-8 kali pada hemolisis kronik(Segel, 2007b;Means & Glader,
2009).

9
Gambar 3.4 Etiopatogenesis dari Anemia Hemolitik (Segel, 2007b)

B. ETIOLOGI
Menurut etiologinya, anemia hemolitik pada anak diklasifikasikan menjadi, antara
lain anemia hemolitik dengan defek selular (intrinsik) yaitu defek membran (hereditary
spherocytosis, hereditary elliptocytosis, hereditary pyropikilocytosis, hereditary
stomatocytosis, dan paroxysmal nocturnal hemoglobinuria), defisiensi enzim (defisiensi
piruvat kinase (PK) dan defisiensi glucose- 6-phosphate dehydrogenase), dan
hemoglobinopati (sickle cell diseasedan thalassemia), dan anemia dengan defek ekstraselular

10
(ekstrinsik) yaitu autoimun (“Warm” dan “Cold” antibody), faktor mekanik, dan faktor
plasma(Segel, 2007b; Means & Glader, 2009). Mayoritas defek intrinsik adalah penyakit
yang diturunkan (inherited), sedangkan ekstrinsik umumnya didapat (acquired) (Means &
Glader, 2009).

11

Anda mungkin juga menyukai