PRESENTASI REFERAT
Pembimbing:
Kolonel .CKM. dr. Ahmad Rusli Sp. B
Disusun Oleh:
Maulana Chasan
30101206785
PRESENTASI REFERAT
Disusun Oleh:
Maulana Chasan
30101206785
Tanggal :
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak
pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc
dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi
menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah
pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk
duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.
Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan skema aliran saluran bilier.
2.2. Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk memproduksi cairan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari. Kandung empedu (vesica fellea) berperan sebagai reservoir empedu dan
mampu menyimpan sekitar 45-50 ml cairan empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan
untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini akan mengalami proses pemekatan.
Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung
dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%. Untuk membantu proses
pemekatan cairan empedu ini, mukosa vesica fellea mempunyai lipatan-lipatan permanen yang
satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel-
sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Cairan ini
kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian
keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum
terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan
partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim
lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin,
dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.
3.1. Definisi
Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu. Kolelitiasis
disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu empedu merupakan
gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat
ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu empedu
keluar dari kandung empedu dan masuk ke duktus biliaris komunis.
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling
sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
3.2. Etiologi
Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda
menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).
Batu kolesterol
Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain adalah:
Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol
oleh kandung empedu.
Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu empedu
bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di Amerika
Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih
sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain AS, Chile dan Swedia.17
Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah
40-50 tahun.
Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar dan
merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu kolesterol.
Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih dari satu
kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada risiko ini adalah
tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron dapat mengurangi kontraktilitas
kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan
pembentukan cairan empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.
Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan peningkatan risiko
batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka panjang dengan pemberian
nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat badan cepat akibat restriksi kalori dan
lemak yang berat (seperti diet, operasi gastric bypass).
Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol. Estrogen
yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat meningkatkan risiko batu
kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Clofibrate dan obat
hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui
sekresi biliaris dan nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol.
Analog somatostatin nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan
mengurangi proses pengosongan batu empedu.
Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25% kasus batu
kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu lusin gen yang
berperan dalam menimbulkan risiko ini. Dapat terjadi suatu sindroma kolelitiasis terkait
kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan defisiensi protein transport bilier
herediter yang diperlukan untuk sekresi lecithin.
Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut jenisnya. Faktor
risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa dengan kolelitiasis dan meliputi
jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu, obesitas atau penurunan berat badan yang cepat,
obat-obatan (terutama terapi hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu,
kolesistitis akalkulosa berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan
empedu, seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian
nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit jantung
(termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella, diabetes mellitus, pasien
AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau microsporidiosis. Pasien
dengan imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai
sumber infeksi lain. Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.
3.3. Epidemiologi
Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana
batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas
batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran empedu
ini nampak semaking meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20%
pasien dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun
menunjukkan adanya pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita
dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka kejadian
hampir sama pada kedua jenis kelamin.
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus
(kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa. Dari
semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita
kolesistitis akut.
3.4. Patogenesis
3.4.1. Patogenesis Kolelitiasis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai
kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan
oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah
satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet
tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu
empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik
empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.
B. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua
bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen
murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam.
Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin,
asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain.
Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua
batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam. Bilirubin pigmen
kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktif disekresikan ke empedu oleh sel liver.
Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan
stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan
kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi
pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap
dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.
Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim
membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat
bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi
parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B- glukoronidase
yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi
bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut.
Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia
Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang
menghambat kerja glukuronidase.
Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri,
bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen
dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari
Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.
C. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna
coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama
dengan batu kolesterol.
3.4.2. Patogenesis Kolesistitis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus.
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan
terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan
limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu.
Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan
kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen
pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien
ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan
spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya
menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.
B. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris.
Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.
C. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus
atau dalam infundibulum. Massa yang dapat dipalpasi hanya ditemukan pada 20% kasus.
Kebanyakan pasien akhirnya akan memerlukan terapi berupa kolesistektomi terbuka atau
laparoskopik.
3.6. Diagnosis
3.6.1. Diagnosis Kolelitiasis
A. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
B. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis
akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung
empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan
sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala
ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Gambar 4. Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos abdomen.
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena
pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Gambar 5. Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada kolesistitis (kanan).
Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu empedu dan penebalan
dinding kandung empedu.
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah.
Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam
30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.
Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit; Kanan: pada pasien
kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk
melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris
komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi.
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi.
A. Penatalaksanaan konservatif
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan sintesis
dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus. Ursodiol merupakan jenis
obat yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu
empedu radiolusens yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat
menjalani kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi
asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekrresi
fosfolipid ke dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai
kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10
mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan
umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta
memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini hanya
digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya
yang mahal. Supaya efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.
B. Penatalaksanaan Operatif
Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko pada
penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan mengalami
gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani
pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi.
Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu asimpomatik,
antara lain adalah:
Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm
Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami kalsifikasi
(porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma kandung empedu
Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi abdomen
Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis yang
menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu yang
dapat menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif pada pasien, meskipun masih
asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:
Sirosis
Hipertensi porta
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif, terdapat
beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:
Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien
yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu, kecuali usia atau
kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus
empiema kandung empedu, dapat dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu
(kolesistostomi) sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya
dilanjutkan dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di saluran empedu,
dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat operasi kolesistektomi.
Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan
adanya batu duktus biliaris komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif.
Alternatif lain yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara
bagian distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an. Pendekatan operasi
terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih menjadi teknik standar sampai akhir
tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif, yang telah
mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka hanya
dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan kolesistektomi terbuka dilakukan
menggunakan sebuah insisi subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi
laparoskopik menggunakan 4 insisi yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri
paskaoperasi nampak jauh lebih rendah pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat jalan. Dengan
mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama pasien tidak dapat bekerja,
pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi biaya kolesistektomi.
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
(SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis simptomatik dianggap memenuhi
syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik
tanpa komplikasi dapat dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi
sudah terkendali dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menunjukkan
risiko yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah harus
mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada kandung empedu.
Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan perubahan menjadi operasi terbuka.
Pada pasien dengan batu empedu yang masuk dan hilang di cavum peritoneum,
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan.
Sebagian besar kejadian komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi
dalam jangka waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada duktus
biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin meningkat sejak
dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun kejadian dari komplikasi ini
sudah mulai berkurang seiring bertambahnya pengalaman dan pelatihan yang dilakukan
oleh para dokter bedah dalam bidang operasi minimal invasif.
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah terjadinya
cedera duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa teknik ini dapat
membantu mendeteksi cedera semacam ini pada masa intraoperasi.
Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema kandung empedu
dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada kondisi ini, dokter bedah dapat
memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu prosedur minimal invasif yang dilakukan
dengan memasang pipa drainase di kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat
memperbaiki kondisi klinis pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi
definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis radiologi
invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak memerlukan anestesi dan
nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis yang tidak stabil.
Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus biliaris
komunis, maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik. Pada prosedur ini,
dokter akan melakukan kanulasi duktus biliaris melalui papilla Vater. Menggunakan
spincterotome elektrokauter, dokter akan membuat insisi dengan ukuran sekitar 1 cm
melalui sphincter Oddi dan bagian intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga
menghasilkan suatu lubang yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan kondisi
sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat tersumbatnya ampulla Vater oleh
batu empedu. Indikasi lain untuk melakukan prosedur ini adalah sebagai berikut:
o Mengambil batu duktus biliaris komunis yang tertinggal selama dilakukannya prosedur
kolesistektomi sebelumnya
o Melakukan pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk
mengeliminasi kebutuhan akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif, terutama pada
kondisi dimana keahlian seorang dokter bedah dalam bidang eksplorasi laparoskopik
duktus biliaris masih terbatas atau pasien menunjukkan risiko tinggi untuk menggunakan
anestesia
o Mencegah rekurensi pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi lain dari
koledokolitiasis pada pasien dengan keadaan umum yang terlalu buruk untuk menjalani
kolesistektomi elektif atua pada pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk
Spincterotomi endoskopik intraoperatif (IOES) selama dilakukannya kolesistektomi
laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi endoskopik preoperatif
(POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES
memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang sama dengan POES serta dapat mengurangi
lamanya perawatan di rumah sakit.
C. Komplikasi Kolesistektomi
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik
dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber
intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu,
bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini
tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi.
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang
menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen
pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya
gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum,
sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian
kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan
gejala persisten.
B. Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah
sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif
dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan
bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi
kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi
lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini
akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit
karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada
pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30
% pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi
dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila
dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi
darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini
mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi
meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien
kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan
drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan
pada lain waktu.
BAB IV
KESIMPULAN
Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan
patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu
kolesterol dan batu pigmen). Faktor yang berhubungan dengan kejadian kolelitiasis adalah
jenis kelamin, suku bangsa, usia, obesitas, kehamilan, stasis cairan empedu, obat-obatan dan
faktor keturunan.
Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling sering
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Faktor risiko kolesistitis umumnya
serupa dengan kolelitiasis.
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Sementara keluhan yang agak khas untuk
serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan,
takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.
Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara
operatif. Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan
intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat
dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Untuk
kolesistitis, dapat diberikan terapi simptomatik, terapi untuk kelainan yang mendasari serta
antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th edition. 2007. US
: McGraw-Hill Companies.826-42.
Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long Term Eff
Med Implants. 2005;15(3):329-38.
Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts, dari
Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736, Editor Fauci
dkk. Mc Graw Hill, 1998
Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro- enterology,
Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678, Appleton & Lange
, 1996
Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary Diseases, Edisi II, hal
673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996
Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol
Hepatol. Sep 9 2009
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.
Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition. 2010.
US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
Poupon R, Rosmorduc O, Boëlle PY, Chrétien Y, Corpechot C, Chazouillères O, et al.
Genotype- phenotype relationships in the low-phospholipid associated cholelithiasis
syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar 26 2013
Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery,
edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China: Elseiver, 2007.
23.
Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
Portincasa P, Moschetta A, Palasciano G. Cholesterol gallstone disease. Lancet. Jul 15
2006;368(9531):230-9.
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin
North Am. 2009;28(1):75-97.
Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. 2009;232(2):202-7.
Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral nutrition
induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. 2008;170(1):25-31.
Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild forms
or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. 2009;33(4):274-80.
Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic cholecystectomy:
a decision analysis to assess the roles of intraoperative cholangiography, EUS, and
ERCP. Gastrointest Endosc. 2009;49(3 Pt1):334-43.
Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J, Kim GJ, et al. Single-
incision laparoscopic cholecystectomy using a flexible endoscope. Arch Surg.
2009;144(8):734-8.
Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step treatment of gall bladder
and bile duct stones: a combined endoscopic-laparoscopic technique. Int J Surg. Aug
2009;7(4):338-46.
Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis.
Br J Surg. 2010;97(2):210-9.
Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. 2009;41(6):539-46.