Materi Narkoba
Materi Narkoba
I. PENDAHULUAN
Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant behavior)
yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap bentuk masyarakat, seperti mahari
yang setiap bagi terbit dari ufuk timur, atau bak musim yang selalu berganti seiring
dengan irama dalam semesta (Schur, 1965; Goode, 1984). Karena itu kejahatan
merupakan fenomena sosial yang bersifat universal (a univerted social phenomenon)
dalam kehidupan manusia, dan bahkan dikatan telah menjadi the oldest social problem of
human kind (Sutherland & Cressey, 1960; Taft & England, 1964).
Selain memiliki demensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi
masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi
dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang
singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless
countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional
(transnational criminality).
Salah satu wujud dari kejahatan trasnasional yang krusial karena mengangkut masa
depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi muda negeri ini adalah
kejahatan dibidang penyalahgunaan narkotika (Atmasasmita, 1997). Modus operandi
sindikat peredaran narkotika dengan mudah dapat menembus batas-batas negara di dunia
melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi yang canggih dan masuk ke
Indonesia sebagai negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan
perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state).
Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini Indonesia telah menjadi salah satu
negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang
berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial.3 Untuk jaringan peredaran
narkotika di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungakan sebagai pasar (market-state)
yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasioanl yang beroperasi di
negara-negara sedang berkembang.
Secara etimologis istilah narkotika berasal dari kata marke (Bahasa Yunani) yang
berarti terbius sehingga menjadi patirasa atau tidak merasakan apa-apa lagi. Yang
dimaksud dengan narcotic adalah a drug that dulls the sense, relieves pain, induces
sleep, and can produce addiction in varying degrees (Sudarg0, 1981). Karena itu,
penggunaan karkotika di luar tujuan-tujuan pengobatan dapat menimbulkan
ketergantungan (addiction/craving) karena menimbulkan kaidah-kaidah ilmu kedokteran.
Yang termasuk ke dalam jenis-jenis narkotika adalah : (a) tanaman Papaver yaitu
tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan jeraminya; (b) Opium mentah,
yaitu getah yang membeku sendirim, yang diperoleh dari buah tanaman papaver
somniferum L, yang mengalami pengolahan sekedar untuk bungkusan dan pengangkutan
tanpa memeprhatikan kadar morfinnya; (c) Opium masak yang terdiri dari Candu, Jicing,
dan Jicingko; (d) Opium obat, yaitu mentah yang telah mengalami pengolahan sehingga
sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk lain, atau dicampur
denganzat-zat netral sesuai dengan syarat farmakops; (e) Morfina, yaitu alkloida utama
dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3; (f) Tanaman Koka, yaitu tanaman dari
semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceace; (g). Daun Koka, yaitu daun
yang beklum belum atau sudah kering atau yang sudah bentuk serbuk dari semua genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceacea, yang menghasilkan kokain secara
langsung atau melalui perubahan kimia; (h) Kokain mentah, yaitu semua hasil yang
diperoleh dari daun Koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkanKokaina;
(i) Kokaina, yaitu mentil ester 1 bensoil ekgonina dengan rumus kimia C9 H15 NO3 H12
NO4; (j) Ekgonina, yaitu lekgonina demgan rumus kima C9 H15 NO3 H2O dan ester
serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan Kokaina; (k)
Tanaman Ganja, yaitu semua bagian dari dari semua tanaman genus cannabis termasuk
bibji dan buahnya seperti : (1) Damar Ganja, yaitu damar yang diambil dari tanaman
ganja termasuk hasil pengolahnya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar; (2)
Garam-garam dab turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina; (3) Bahan lain yang
bersifat alamiah maupun sintetis dan semi sintetis yang belum disebutkan, yang dapat
dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya menimbulkan akibat ketergantungan yang
merugikan seperti Morfinan dan Kokaina; dan (4) Campuran-campuran san sediaan-
sediaan yang mengaqndung bahan yang tersebut dalam angka 1,2, dan 3.
Untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna
untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 84) dan pengguna narkotika untuk dirinya
sendiri (Pasal 85). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah
penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter.
Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia
harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan
serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.
Sedangkan, pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukua pengguna
diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 78 dan 79), pengolah (Pasal
80), pembawa dan/atau pengantar (Pasal 81), dan pengedar (Pasal 82). Yang dimaksud
sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,
memiliki, menpimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang
dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi,
mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan
hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai
pembawa/pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau
secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor,
pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak
dan melawan hukum secxara individual maupun secara terorganisasi.
Subyek hukum yang dapat dipidana kasus penyalahgunaan narkotika adalah orang
perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum). Sedangkan, jenis pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku detik penyalahgunaan narkotika adalah pidana penjara, pidana
seumur hidup, sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda.
Tindak pidana narkotika dalam sistem hukum Indonesia dikualifikasi sebagai kejahatan.
Hal ini karena tindak pidana narkotika dipandang sebagai bentuk kejahatan yang
menimbulkan akibat serius bagi masa depan bangsa ini, merusak kehidupan dan masa
depan terutama generasi muda serta pada gilirannya kemudian dapat mengancam
eksistenti bangsa dan negara ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan
kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya.
Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan
narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9
Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo
No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.
Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts
Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme
(UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua
kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara
anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat
transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the
Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi
ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan
narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan
masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan
mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan
bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan
memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan
pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun
pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu
Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara
lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN.
Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan
membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi
preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992
dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali
peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika
dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun
internasional.
Sedangkan, kelemahan dari kenerja aparat penegak hukum (polisi), jaksa maupun
hakim) dalam penanaggulangan tindak pidana narkotika dapat ditinjau dari aspek-
aspek seperti berikut : (a) personalitas dan moralitas aparat penegak hukum
(personality and morality), manajemen dan sarana penegakan hukum
(management and equipment/facilities), sistem rekruitmen dan promosi
(recruitment and promotion system), serta sistem penghargaan dan penghukuman
(reward and punisment system). Integritas moral menjadi fundamental ketika
seseorang memilih profesi sebagai aparat penegak hukum dan keadilan; integritas
moral dan personalitas seorang akan diuji dalam pelaksanaan wewenang dan
swadharma penegakan hukum, karena profesi penegak hukum merupakan profesi
(swadharma) yang mulai dan terhormat (honorable and respectable profession).
Agar aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efesien, efektif,
dan profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan
fasilitas yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar
(basic need) penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem
rekruitmen dan promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem
rewart bagi yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berwanprestasi
dalam kinerja penegakan hukum.
IV. PENUTUP
Dari prespektif sosiologi hukum, selain karena faktor perundang-undangan dan aparat
penegak hukum seperti diuraikan di atas, maka faktor kultur hukum (legal culture)
masyarakat juga mempunyai peran yang signifikan dan menentukan apakah kinerja
penegak hukum akan menjadi efektif atau tidak dalam penanggulangan tindak pidana
narkotika. Hal ini karena faktor perundang-undangan (substance), aparat penegak hukum
(structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) merupakan tiga komponen
pokok dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi dan
mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam nasyarakat (Friedman, 1984).
Jika faktor hukumnya lemah tetapi aparat penegak hukum konsisten dan tegas serta
ditunjang dengan manajemen dan sarana yang memadai, kemudian ditunjang dengan
kultur hukum masyarakat yang kondusif, maka kinerja oenegakan hukum akan
berlangsung secara efektif. Tetapi, jika alemen hukumnya sudah baik tetapi faktor aparat
penegak hukumnya tidak tegas dan inkonsisten, sarana dan manajemen tidak
proporsional, titambah lagi dengan kultur masyarakat yang tidak kondusif, maka kinerja
penegakan hukum menjadi tidak efektif, dan demikian seterusnya.
Karena itu, untuk mengkaji kinerja penanggulangan kejahatan narkotika secara utuh
dan komprehensif, maka elemen substansi (perundang-undangan), struktur (institusi
penegak hukum), dan kultur hukum masyarakat harus menjadi variabel penting dalam
analisa kinerja penegakan hukum.
Apakah aparat penegak hukum (role occupants) sudah memainkan perannya secara
konsisten, efesian, dan profesioanl (role playing) sesuai dengan harapan yang di harapkan
mkasyarakat (role expectation) ? Jawaban itu semua dapat dicermati dari kinerja aparat
penegak hukum yang cenderung semakin tidak berdaya dan tidak profesional
menghadapi perkembangan dan peningkatan kuantitas maupun kualitas kasus-kasus
penyalahgunaan narkotika di negeri ini.
Selain itu, terdapat kecenderungan yang menarik bahwa kasus-kasus kejahatan
narkotika dalam kurun waktu satu dasa warsa ini bukan hanya melibatkan kalangan
generasi muda, tetapi telah menembah dan melibatkan kalangan generasi tua dalam
berbagai profesinya, seperti kalangan pengusaha, pegawai negeri, pimpinan/anggota
dewan perwakilan rakyat )daerah), dan juga oknum polisi maupun tentara nasional
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, Lawrence M. (1984), American Law, W.W. Norton & Company, New
York.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (1998), Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung
Schur, Edwin M. (1965), Crimes Without Victims, Deviant Behavior and Public
Policy, Prentice-Hall Inc. New Jersey.
Taft, Donald R. dan Ralp W. England, Jr. (1964), Criminology, The Macmillan
Company, New York.