Anda di halaman 1dari 13

PARADIGMA BARU PENYULUHAN PERTANIAN

DI ERA OTONOMI DAERAH *)

Oleh
Margono Slamet **)
Institut Pertanian Bogor

JAMAN TELAH BERUBAH

Dibandingkan dengan keadaan 20 ~ 30 tahun yang lalu, keadaan dan suasana


Indonesia pada dewasa ini sudah sangat berbeda. Artinya Indonesia telah banyak menga-
lami perubahan. Mungkin secara sekilas kondisi fisiknya terlihat sama saja, tetapi suasa-
na batin kita, termasuk para petani, sudah sangat berbeda. Perubahan ini tidak hanya
karena dampak reformasi nasional yang terjadi dalam 3 tahun terakhir, tetapi juga karena
dampak pembangunan nasional sejak jaman orde baru. Reformasi telah mengubah
suasana otokrasi menjadi demokrasi, yang dalam prakteknya menampakkan kebebasan
berfikir, berbicara dan bertindak. Kebebasan semacam itu tidak hanya terjadi di DPR dan
DPRD, tetapi juga di berbagai media massa dan masyarakat umumnya. Kalau dalam era
orde baru kita terbiasa dengan keseragaman dalam berpendapat, berfikir, bertindak dan
berpenampilan, maka kini banyak orang yang dalam banyak hal ingin menonjolkan
perbedaan dengan orang lain. Keseragaman telah banyak berubah menjadi keragaman.
Dampaknya orang melihat kurang rasional-nya keseragaman, dan rasionalnya atau
perlunya keragaman dalam beberapa hal tertentu.
Lahirnya otonomi daerah juga memunculkan perubahan-perubahan yang tidak
sedikit. Dulu keseragaman dalam urusan pemerintahan, kelembagaan dinas-dinas dan
peraturan-peraturan yang berlaku, sekarang yang terjadi adalah keragaman dalam
kelembagaan dan peraturan-peraturan yang berlaku. Dulu struktur dan kebijaksanaan
dinas-dinas ditentukan oleh Pusat dan seragam untuk semua daerah, sekarang struktur
dan kebijaksanaan ditentukan sendiri oleh masing-masing daerah, sehingga melahirkan
keragaman tadi. Kita boleh senang atau tidak senang dengan perubahan-perubahan itu,
tetapi itulah yang terjadi dan ”pertunjukan harus terus berjalan”.
Pembangunan nasional yang telah berjalan lebih dari 30 tahun telah banyak
mengubah wajah pertanian Indonesia. Bila dahulu sektor pertanian menjadi tumpuan
utama perekonomian negara, maka sekarang tidak lagi. Dahulu pertanian Indonesia tidak
mampu memproduksi beras untuk mencukupi kebutuhan penduduk, bahkan pernah
menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, maka berkat pembangunan Indonesia
pernah menyatakan diri telah mampu berswa-sembada dalam memproduksi beras.
Meskipun sekarang telah kembali menjadi negara pengimpor beras dalam jumlah yang
besar. Di bidang komoditas lainnyapun Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup
berarti, misalnya dalam produksi daging dan telur ayam. Namun dalam komoditas
tertentu lainnya kebutuhan Indonesia terus meningkat, seperti jagung dan kedelai,
sehingga sangat tergantung pada negara lain.
Keberhasilan pembangunan perekonomian Indonesia secara keseluruhan ternyata
mendorong meningkatnya permintaan dan konsumsi komoditas-komoditas pertanian
tertentu, seperti hortikultura, produk peternakan, produk perikanan dan produk perkebun-

*) Disajikan dalam Pelatihan Penyuluhan Pertanian di Univedrsitas Andalas, Juli 2006 .


**) Gurubesar (Emeritus) dalam Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Institut Pertanian Bogor.

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 1
an. Tidak saja meningkat dalam kuantitasnya, tetapi juga meningkat tuntutan
kualitasnya. Sistem perdagangan dunia yang berubah (pasar bebas, globalisasi) membuat
pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru untuk dapat bersaing dalam mutu,
produktivitas dan harga dengan dunia-pertanian negara-negara lain. Jelasnya pertanian
Indonesia menghadapi tantangan baru, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan dan tidak bisa diingkari oleh siapapun, ialah
bahwa para petani Indonesia juga telah berubah secara nyata. Profil populasi petani
Indonesia telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi lebih
kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang ditandai oleh lebih
baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih tinggi usia harapan hidupnya, lebih mengenal
kemajuan, kebutuhannya meningkat, harapan-harapannya juga meningkat, dan
pengetahuan dan keterampilan bertaninya juga telah jauh lebih baik. Berkat penyuluhan-
penyuluhan pembangunan di segala sektor selama ini, termasuk penyuluhan pertanian,
para petani telah memiliki pola komunikasi yang terbuka. Mereka telah lebih mampu
berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sistem sosialnya, dan telah lebih mampu
berkomunikasi secara non-personal melalui berbagai media massa. Petani dalam
melakukan usaha tani bahkan telah mampu berorientasi pada pasar.
Kondisi prasarana fisik pertanian seperti irigasi dan jaringan jalan juga sudah jauh
lebih baik kondisinya dibandingkan pada awal orde baru. Demikian pula prasarana dan
sarana telekomunikasi, serta tenaga listrik telah dapat menjangkau sebagian ”besar”
daerah-daerah pertanian. Semua prasarana dan sarana itu dapat dimanfaatkan oleh siapa
saja termasuk para petani, dan memang telah secara nyata menyumbang pada
pertumbuhan pertanian dan perkembangan petani. Dengan prasarana-prasarana tadi
diiringi kemajuan yang pesat di bidang elektronika, komunikasi massa melalui media
elektronik juga telah menjangkau daerah-daerah pertanian. Fasilitas telepon, radio dan
televisi bukan lagi merupakan barang mewah dan langka bagi masyarakat petani di
pedesaan, tetapi sudah merupakan barang biasa yang merupakan bagian dari
kebutuhannya.
Meskipun perubahan-perubahan itu pada umumnya terjadi di semua daerah,
namun haruslah diakui bahwa tingkat perubahan dan kemajuan yang dialami tidak merata
disemua daerah. Ada daerah-daerah yang sudah lebih maju dari daerah lainnya, demikian
pula ada daerah-daerah yang belum begitu maju dibandingkan dengan daerah lainnya.
Yunus Jarmi dalam disertasinya (1994) mengidentifikasi adanya 3 kategori wilayah
pertanian yang berbeda nyata tingkat kemajuannya. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut
prasarana fisik, produktifitas pertaniannya serta tingkat kemajuan petani-petaninya. Tiga
kategori wilayah pertanian itu adalah : (1) Wilayah yang prasarananya relatif memadai
(karena telah dibangun sejak jaman penjajahan), teknologi yang diterapkan sudah maju
secara mantap, produktivitas tinggi, berorientasi pada pasar, dan (karenanya) para
petaninya telah membutuhkan dan mencari secara aktif informasi-informasi pertanian. (2)
Wilayah yang prasarananya baru dibangun tetapi belum memadai, mulai mengenal dan
menerapkan teknologi maju tetapi belum mantap, produktivitas sedang, belum
berorientasi ke pasar, dan belum aktif mencari informasi pertanian. (3) Wilayah yang
relatif belum memiliki prasarana-prasarana pertanian, teknologi tradisional masih
mendominasi, produktivitas rendah, petaninya masih tradisional dan pertaniannya masih
bersifat subsisten, belum merasa memerlukan informasi pertanian.
Perubahan lain yang tak kalah penting artinya ialah perubahan kebijaksanaan
pemerintah tentang pembangunan pertanian dan tentang Penyuluhan Pertanian itu sendiri.

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 2
”Demokrasi pertanian” pelaksanaannya sudah semakin diperluas, dalam arti masyarakat
petani semakin berperan dalam pengambilan keputusan usaha taninya dan semakin
diperhatikan kebutuhan serta harapan-harapannya. Kebijaksanaan desentralisasi semakin
luas pula diterapkan di bidang pemerintahan, sampai pada bentuk otonomi daerah.
Termasuk dalam hal ini adalah pengalihan tanggung-jawab penyelenggaraan penyuluhan
pertanian dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan-kebijakan
pertanian dan program-program pertanian yang bersifat ”seragam nasional” di masa
lalu, telah akan diubah menjadi yang bersifat spesifik lokal. Ini terbukti dengan telah
dibentuknya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di daerah, dimana fungsi penelitian
dan penyuluhan akan diintegrasikan.
Semua perubahan yang sudah terjadi dan akan segera terjadi di dunia-pertanian
itu perlu disimak dan diantisipasi secara dini dan tepat. Struktur dan mekanisme
kelembagaan penyuluhan dan penelitian pertanian perlu disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan baru yang ada di masyarakat pertanian. Fungsi dan peranan penyuluhan dan
penelitian pertanian perlu dirumuskan kembali secara tepat; dan program-program
penelitian dan penyuluhan pertanian perlu disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan
dan pengembangan di dunia-pertanian. Bagaimanapun juga pertanian akan tetap menjadi
fondasi perekonomian setiap negara. Bila pertaniannya tidak kuat, pastilah pereko-
nomian negara itu rapuh.

PASANG SURUTNYA PENYULUHAN PERTANIAN

Sejak awal kemerdekaan negara Penyuluhan Pertanian dibangun dengan susah


payah dalam kondisi penuh dengan keterbatasan, seperti sumberdaya manusia dan materi
yang menunjangnya. Pada tahun 1948 dibangun Balai Pendidikan Masyarakat Desa
sebagai sarana untuk mendidik masyarakat desa yang sebagian besar adalah petani guna
mempercepat proses kemajuan di kalangan mereka agar tingkat kesejahteraannya
meningkat. Melalui program-program penyuluhan (pendidikan) diharapkan kesejahteraan
rakyat akan meningkat dengan lebih cepat, dan memang tujuan dari penyuluhan adalah
meningkatnya kesejahteraan rakyat yang menjadi sasaran penyuluhan. Sementara itu
jumlah penduduk Indonesia tumbuh dengan cepat dan meningkatnya permintaan akan
bahan pangan yang sangat besar. Melalui dibentuknya Padi Sentra pada tahun 1958
diharapkan produksi padi nasional dapat meningkat dengan pesat. Namun keterbatasan
sarana produksi dan teknologi, kebutuhan pangan nasional masih sulit dipenuhi.
Dengan ditemukannya teknologi produksi padi (panca usaha) pada awal tahun
1960-an yang kemudian diperkenalkan kepada para petani oleh para dosen dan
mahasiswa IPB di daerah Karawang – Jawa Barat, ternyata produksi padi berhasil
ditingkatkan secara mencolok. Keberhasilan proyek di Karawang ini kemudian diikuti di
daerah-daerah lain melalui apa yang kemudian terkenal dengan sebutan Proyek Bimas
(Bimbingan Massal). Komponen yang terpenting dari Bimas Padi itu adalah tersedianya
teknologi budidaya padi, penyuluhan yang intensif, dan tersedianya sarana produksi
seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida. Proyek ini terus berlanjut sampai puncaknya
pada tahun 1984, yaitu pada saat Indonesia berhasil berswa-sembada beras. Keberhasilan
dalam memproduksi beras ini membawa malapetaka bagi penyuluhan pertanian, karena
secara tidak disadari banyak orang mempersepsikan bahwa penyuluhan pertanian itu
adalah alat untuk meningkatkan produksi seperti halnya pupuk dan insektisida. Dengan
kata lain penyuluhan pertanian dipersepsikan sebagai usaha yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi, dan bukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 3
Ini terbukti bahwa meskipun selama beberapa tahun berturut-turut produksi padi petani
meningkat terus, tetapi tingkat kesejahteraan petani relatif tidak meningkat. Kejadian itu
tidak hanya tidak menguntungkan petani, tetapi juga merugikan makna penyuluhan
pertanian itu sendiri, karena penyuluhan pertanian lalu terus disalah artikan. Kesalahan
itu harus dikoreksi dan fihak-fihak yang menggunakan atau melaksanakan penyuluhan
pertanian harus menyadari akan kesalahan itu.

Kesalahan dalam mempersepsikan konsep penyuluhan pertanian itu, yaitu


penyuluhan yang tidak secara nyata-nyata bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani,
tidak akan tahan lama (sustainable), dan itu terbukti dalam beberapa tahun terakhir ini.
Tanggapan petani terhadap usaha-usaha penyuluhan terus merosot. Apalagi kalau
penyuluhan itu juga tidak memperkenalkan teknologi baru. Teknologi yang tidak
berdampak menguntungkan petani juga tidak akan laku.

Menurunnya tanggapan petani terhadap penyuluhan pertanian diperjelas lagi pada


saat petani tidak lagi diharuskan mengikuti program-program pemerintah, dan petani di-
perbolehkan memutuskan sendiri komoditas apa yang akan diusahakan. Kebijaksanaan
pemerintah semacam itu sebenarnya membawa konsekuensi yang cukup berat bagi
penyuluhan pertanian, karena harus mampu menyiapkan materi bimbingan (penyuluhan)
yang menyangkut berbagai komoditas yang akan diusahakan oleh petani, yang secara
teoritis setiap petani bisa memilih komoditas yang berbeda dari petani lainnya.

Sementara itu di kalangan penyuluhan pertanian sendiri mengalami masa-masa


sulit yang tidak menentu. Selain tidak memadainya faktor-faktor pendukung seperti biaya
dan fasilitas operasional, insentif dan lain-lain, masalah kelembagaan penyuluhan
pertanian juga sangat membingungkan mereka. Karir dan masa depan para penyuluh
pertanian menjadi tidak jelas. Faktor terakhir itu mencapai puncaknya dalam tahun ini
yaitu pada saat daerah-daerah (propinsi, kabupaten dan kota madya) menerima otonomi
dari pemerintah pusat. Dalam situasi yang tidak menguntungkan itu motivasi kerja para
penyuluh turun secara deras, sampai banyak yang terbukti tidak menjalankan tugasnya
lagi. Hal ini makin dimungkinkan karena tidak adanya program-program penyuluhan
yang wajib mereka lakukan di lapangan. Sebagian penyuluh mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan tambahan penghasilan, ada yang tetap
melayani kebutuhan-kebutuhan petani ”binaannya” dengan dukungan ”biaya” dari para
petani, dan ada pula yang ”lari” dari wilayah kerjanya. Dari penelitian ditemukan adanya
kelompok-kelompok tani yang mengaku telah 1-2 tahun ini tidak pernah bertemu dengan
penyuluh yang bertugas di wilayahnya, tanpa mengetahui ke mana perginya penyuluh itu.

Tanpa menyinggung masalah kelembagaan penyuluhan pertanian yang sedang


mengalami ”disorganisasi” saat ini, barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
penyuluhan pertanian saat ini sedang merosot sampai pada titik yang terrendah selama 30
tahun terakhir ini. Hal ini tentu saja tidak seharusnya dibiarkan berlalu begitu saja, sebab
korps penyuluhan pertanian adalah aset yang sangat berharga dari dunia pertanian
Indonesia sesudah petani, karena itu harus diselamatkan sebelum mereka cerai berai tak
terkendali lagi.

Otonomi daerah yang sudah menjadi kenyataan pada saat ini ternyata membuat
nasib penyuluhan pertanian lebih centang merentang lagi. Struktur kelembagaan

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 4
penyuluhan pertanian di tingkat Kabupaten yang bernama Balai Informasi Penyuluhan
Pertanian (BIPP) yang dengan susah payah dibangun dalam kurun waktu panjang,
mendadak sontak diubah di sebagian besar daerah tingkat II, sehingga rumah para
penyuluh pertanian saat ini menjadi tidak sama di tiap daerah. Perubahan kelembagaan
penyuluhan pertanian sampai Mei 2001 itu dapat dilihat pada tabel berikut ini.

BIPP berubah menjadi Jumlah

1. Badan Informasi Pertanian 4

2. Unit Pelaksana Teknis Daerah 17

3. Bagian Unit Kerja (?) 15

4. Kantor Informasi Penyuluhan 53

5. Sub-Dinas 22

6. Seksi (?) 22

7. Tetap sebagai BIPP 87

8. Dibubarkan (?) 16

9. Status belum jelas 108

JUMLAH 334

Yang pada saat ini patut dipertanyakan ialah apakah fungsi penyuluhan
pertanian masih tetap ada, dan kalau ada apakah akan dapat berfungsi dengan (lebih)
baik daripada masa-masa sebelumnya. Pertanyaan itu muncul atas dasar keyakinan
bahwa penyuluhan pertanian itu sangat penting dan sangat diperlukan untuk
memberdayakan masyarakat petani agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka sendiri.

Status dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian barangkali bisa berbeda-


beda antara satu daerah dan daerah lain sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, te-
tapi fungsi dasar penyuluhan pertanian seharusnya sama. Sungguh sangat diharapkan
bahwa masing-masing pemerintah daerah tidak akan menganggap bahwa penyuluhan
pertanian itu tidak penting dan karenanya dapat diabaikan; tetapi sebaliknya sangat
diharapkan masing-masing pemerintah daerah justru mengedepankan pentingnya
penyuluhan pertanian sebagai wujud konkrit komitmennya membangun daerah bersama
dengan penduduknya. Tidak ada pemerintah daerah yang mampu membangun daerahnya
bila rakyatnya hanya menjadi penonton dan hanya berharap saja agar semuanya
dilakukan sendiri oleh pemerintahnya. Pembangunan daerah harus dimulai dengan
mengembangkan kualitas rakyatnya, dan dengan kualitas yang lebih baik itu tersedialah

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 5
sumberdaya manusia yang akan melakukan pembangunan daerah lebih lanjut. Disinilah
hakikat dan makna penyuluhan pertanian, yaitu sebagai sistem pendidikan nonformal
yang memberdayakan rakyat-petani agar mampu membangun diri dan lingkungannya
dalam arti luas. Penyuluhan pertanian bersama dengan sistem pendidikan lainnya adalah
bentuk investasi daerah dan negara untuk mengembang-tumbuhkan kualitas sumberdaya
manusia di daerah dan negara yang bersangkutan. Tanpa kualitas sumberdaya manusia
yang memadai, pembangunan tidak akan sampai pada tujuan yang diharapkan.

PARADIGMA BARU PENYULUHAN PERTANIAN

Mengingat adanya begitu banyak perubahan yang telah dan sedang terjadi di ling-
kungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, tingkat lokal, tingkat daerah,
nasional, regional maupun internasional, maka pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu
dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang situasi baru dan tantangan
masa depan yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian. Paradigma baru ini memang
perlu, bukan untuk mengubah prinsip-prinsip penyuluhan tetapi untuk mampu
merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru itu. Paradigma
baru itu adalah sebagai berikut.

1. Jasa informasi.

Bertani adalah profesi para petani, dalam keadaan bagaimanapun petani akan
tetap bertani (kecuali dia pindah profesi) dan selalu berusaha dapat bertani dengan
lebih baik dari sebelumnya. Untuk itu yang mereka perlukan adalah informasi
baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya. Apakah itu informasi
baru tentang teknologi budidaya pertanian, tentang sarana-sarana produksi,
permintaan pasar, harga pasar, cuaca, serangan dan ancaman hama dan penyakit,
berbagai alternatif usahatani lain, dan lain sebagainya.

Dengan mendapatkan informasi-informasi yang relevan dengan usahataninya


itu para petani akan meningkat kemampuan dan kemungkinannya untuk membuat
keputusan-keputusan yang lebih baik dan yang lebih menguntungkan bagi dirinya
sendiri dan tidak tergantung pada keputusan orang atau fihak lain. Informasi
adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan itu sangat
diperlukan untuk bisa mempertahankan hidupnya, apalagi untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Dunia petani tidak lagi sebatas desanya, tetapi sudah meluas ke
semua daerah di negaranya bahkan ke manca negara. Oleh karena itu para petani
juga semakin memerlukan informasi tentang dunianya yang semakin luas itu.
Kalau kebutuhannya akan berbagai macam informasi itu tidak terpenuhi maka itu
berarti para petani itu terkendala untuk maju. Penyuluhan pertanian seyogyanya
dapat berfungsi melayani kebutuhan informasi para petani itu.

Konsekuensi : Konsekuensinya bagi penyuluhan pertanian ialah harus mam-


pu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan segala informasi yang diperlukan
oleh para petani itu. Informasi-informasi tentang berbagai komoditas pertanian
dan informasi lain yang berhubungan dengan pengolahan dan pemasarnya perlu

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 6
dipersiapkan dan dikemas dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti oleh
para petani.

2. Lokalitas.

Akibat dari adanya desentralisasi dan kemudian otonomi daerah,


penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan
pertanian dan petani di daerah kerjanya masing-masing. Ekosistem daerah
kerjanya harus dikuasai dengan baik secara rinci, ciri-ciri lahan dan iklim di
daerahnya harus dikuasai dengan baik, informasi-informasi yang disediakan
haruslah yang sesuai dengan kondisi daerahnya, teknologi yang dianjurkan
haruslah teknologi yang sudah dicoba dan berhasil baik di daerah yang bersang-
kutan, pokoknya semua informasi dan anjuran harus yang benar-benar sesuai
dengan kondisi daerah dan ini diketahui karena sudah melalui ujicoba setempat.
Sebenarnya prinsip lokalitas ini dalam penyuluhan bukanlah prinsip baru, tetapi di
masa lalu tak dapat dilaksanakan dengan baik karena prasarananya tidak
mendukung. Mudah-mudahan dalam era otoda ini kondisinya lebih memungkin-
kan.

Konsekuensi : Untuk dapat memenuhi prinsip lokalitas ini Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian dan lembaga sejenisnya harus lebih difungsi-aktifkan, bah-
kan diperluas penyebarannya sampai ke daerah tingkat II dalam bentuk stasion-
stasion percobaan dan penelitian. Kegiatannya juga diperluas, bukan terbatas pada
aspek teknologi budidaya saja tetapi juga menyangkut aspek-aspek sosial-
ekonomi-budaya pertanian setempat. Informasi pasar dan bisnis setempat dan
daerah yang lebih luas juga perlu dihimpun dan disajikan. Materi yang diteliti
haruslah materi yang berasal dari permasalah riil yang sedang dihadapi para
petani setempat. Penelitian yang dilakukan di BPTP bukanlah asal penelitian,
tetapi haruslah penelitian yang bertujuan memecahkan masalah atau kebutuan
petani setempat.

3. Berorientasi agribisnis.

Usahatani adalah bisnis, karena semua petani melakukan usahatani dengan


motif mendapatkan keuntungan. Kebutuhan keluarga petani pada saat ini telah
sangat berkembang dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Hampir semua
kebutuhan perlu dibeli ataupun dibayar dengan uang. Kebutuhan keluarga ini akan
terus berkembang seiring dengan meningkatnya taraf kehidupan mereka, se-
hingga para petani memerlukan pendapatan yang semakin banyak dari usaha-
taninya. Untuk mendapatkan itu para petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip
agribisnis agar mereka memperoleh pendapatan yang lebih besar dari hasil
usahataninya. Penyuluhan dimasa lalu lebih menekankan perlunya meningkatkan
produksi usahatani, dan kurang memperhatikan pendapatan atau keuntungan .
Oleh karena itu di masa depan penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis,
memperhatikan dan memperhitungkan dengan baik masalah pendapatan dan
keuntungan itu.

Penggunaan inputs produksi seperti bibit dan pupuk harus diperhitungkan


dengan baik dibandingkan dengan tingkat produksi yang akan diperoleh sehingga
Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 7
dapat diperhitungkan dan diketahui tingkat keuntungan yang bakal diperoleh.
Kalau sebelumnya petani biasa menjual hasil panennya sebagai bahan mentah
yang berharga rendah, di masa depan diusahakan agar para petani bisa menjual
hasil panen yang sudah diolah yang memiliki nilai tambah.

Konsekuesi : Konsekuensinya para penyuluh pertanian harus mereorientasi


dirinya ke arah agribisnis karena selama ini kurang sekali mereka berorientasi ke
arah itu. Prinsip-prinsip dan teknologi-teknologi yang berkaitan dengan agribisnis
harus lebih banyak dikembangkan dan dipelajari oleh para penyuluh. Penyuluhan
pertanian di masa depan tidak terbatas pada aspek teknologi produksi pertanian
saja, tetapi jauh lebih luas meliputi aspek ekonomi, teknologi pasca panen,
teknologi pengolahan, pengemasan, pengawetan, pengangkutan dan pemasaran.
Kerjasama dan koordinasi dengan badan-badan yang menangani pengolahan dan
menangani produk-produk olahan itu juga sangat perlu dilakukan oleh lembaga
penyuluhan pertanian.

4. Pendekatan Kelompok .

Materi-materi penyuluhan pertanian seperti dibahas pada butir-butir di atas


disajikan kepada para petani tidak dengan pendekatan individual, tetapi melalui
pendekatan kelompok, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang memer-
lukan pendekatan individual. Pendekatan kelompok ini disarankan bukan hanya
karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan itu mempunyai
konsekuensi dibentuknya kelompok-kelompok tani, dan terjadinya interaksi antar
petani dalam wadah kelompok-kelompok itu.

Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok-kelompok itu sangat


penting sebab itu merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar
rumput (grass root). Forum kelompok itu merupakan forum belajar sekaligus
forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui
forum-forum semacam itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut
pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian rakyat petani, dan tidak
menggantungkan nasib dirinya pada orang lain, yaitu penyuluh sebagai aparat
pemerintah. Melalui kelompok-kelompok itu kepemimpinan di kalangan petani
juga akan tumbuh dan berkembang dengan baik melalui pembinaan penyuluh per-
tanian.

Konsekuensi : Konsekuensinya para penyuluh pertanian perlu disiapkan dengan


baik bagaimana cara membina kelompok dan mengembangkan kepemimpinan
kelompok agar kelompok itu tumbuh menjadi kelompok tani yang dinamis.
Kelompok-kelompok dengan anggota-anggotanya yang sudah menjadi dinamis
itu nantinya akan menjadi kader dan pimpinan untuk melancarkan pembangunan
masyarakat desa yang benar-benar berasal dari bawah (bottom up).

5. Fokus pada kepentingan petani.

Kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluh-


an pertanian. Kalaupun ada kepentingan-kepentingan lainnya, tetap kepentingan
petani adalah yang pertama, yang kedua juga kepentingan petani, juga yang
Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 8
ketiga. Baru sesudah itu difikirkan kepentingan fihak lain. Di masa-masa lalu
kepentingan petani selalu dikalahkan oleh kepentingan nasional, yang berakhir
dengan kurang diperhatikannya kepentingan petani. Menjadikan petani sebagai
”tumbal” pembangunan nasional itu perlu dihentikan. Eksploitasi petani sebagai
fihak yang lemah untuk kepentingan fihak lain harus dihentikan antara lain
dengan memberdayakan mereka menjadi fihak yang lebih kuat. Penyuluhan
pertanian di masa depan harus jelas-jelas berfihak kepada petani, dan bukan
kepada lainnya. Dalam agribisnis penyuluh harus berfihak pada petani, bukan
pada pengusaha.

Kepentingan petani itu sederhana saja yaitu mendapatkan imbalan yang


wajar dan adil dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusaha tani, dan
mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu me-
nyejajarkan dirinya dengan unsur masyarakat lainnya.

Konsekuensinya : Para penyuluh baik yang ada di lapangan maupun yang ada di
kantoran harus lebih mendekatkan dirinya dengan petani dan lebih menghayati
kepentingan-kepentingannya, serta mengubah pola loyalitasnya kepada atasan dan
instansi tempatnya bekerja. Prinsip ini juga hanya akan dapat dilaksanakan bila
penyuluhan pertanian di tingkat lapangan diberi otonomi untuk menentukan
sendiri bersama kelompok tani program-program yang akan dilaksanakan.
Dengan demikian kepentingan petani dalam setiap kelompok dapat diperhatikan.
Konsekuensi lainnya ialah bahwa penyuluh pertanian harus benar-benar mampu
mengidentifikasi kepentingan petani dan menuangkannya dalam program-
program penyuluhan melalui kerjasama sejati dengan para petani.

6. Pendekatan humanistik-egaliter.

Agar berhasil baik penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani


dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya,
dan diperlakukan secara humanistik dalam arti mereka dihadapi sebagai manusia
yang memiliki kepentingan, kebutuhan, pendapat, pengalaman, kemampuan,
harga diri, dan martabat. Mereka harus dihargai sebagaimana layaknya orang lain
yang sejajar dengan diri penyuluh, atau bahkan yang berkedudukan lebih tinggi
dari penyuluh yang bersangkutan. Kalau para petani tidak diperlakukan semacam
itu, kecenderungannya mereka tidak akan memberi respon yang positif terhadap
materi penyuluhan yang dibawakan oleh para penyuluh. Dengan pendekatan yang
humanistik-egaliter semacam itu akan tumbuh sikap saling menghargai antara
penyuluh dan petani, dan akibat selanjutnya ialah kepentingan-kepentingan petani
akan mendapatkan perhatian utama dari para penyuluh dan petani akan menghar-
gai usaha-usaha penyuluh..

Hal itu perlu dijadikan salah satu unsur paradigma baru penyuluhan karena
di masa lalu pendekatan semacam itu masih kurang mendapatkan perhatian.
Petani cenderung kurang dihargai, cenderung dianggap lebih ”bodoh” dari
penyuluhanya, kepentingannya kurang diperhatikan, dan keluhannya kurang
didengarkan.

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 9
Konsekuensi : Para penyuluh pertanian perlu dibekali dengan seperangkat penge-
tahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan masalah komunikasi sosial,
psikologi sosial, stratifikasi sosial, dll. agar mereka mampu memerankan
penyuluhan yang humanistk-egaliter itu.

7. Profesionalisme

Penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesional


dalam arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik
serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga
ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan
pertanian yang baik pula. Penyuluhan yang profesional itu juga didukung oleh
faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai, seperti peralatan dan fasilitas
lainnya, informasi, data, dan tenaga-tenaga ahli yang relevan.

Ketepatan materi penyuluhan terhadap kebutuhan petani akan menjamin


tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama dengan para petani, dan
ini menjamin adanya partisipasi para petani. Kegagalan karena kurangnya respon
dan partisipasi petani dapat dihindarkan. Programa-programa penyuluhan
dirancang pula secara profesional sehingga terjamin kelancaran dan
keefektifannya bila dilaksanakan. Bila penyuluhan pertanian dapat dilakukan
secara profesional dan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga profesional dan sub-
profesional pula, maka otonomi penyuluhan dalam arti melaksanakan secara
mandiri dan tidak selalu tergantung pada arahan dan petunjuk dari ”atas” akan
benar-benar dapat diwujudkan. Dan penyuluhan yang otonom seperti telah
dikemukakan di atas menjamin diperhatikannya kepentingan petani setempat.

Konsekuensi : Bila prinsip ini diterima konsekuensinya ialah perlu dipersiapkan


generasi penyuluh yang profesional dan yang sub-profesional, dan penyuluh yang
telah ada (yang belum termasuk profesional atau sub-profesional) perlu ditatar
agar meningkat menjadi profesional/sub-profesional. Untuk keperluan semua itu
perlu dilakukan penataan dan peningkatan dari lembaga-lembaga pendidikan dan
pelatihan yang menangani tenaga-tenaga penyuluh itu. Lembaga pendidikan yang
dimaksud harus cukup tersebar di nusantara ini, selain agar dapat lebih baik
melayani kebutuhan tenaga penyuluh pertanian di daerah, juga agar kespesifikan
lokal dapat diangkat secara semestinya. Lembaga-lembaga pelatihan bagi para
penyuluh harus dibangun di setiap daerah tingkat II agar para penyuluh yang
bekerja di daerah itu dapat dilatih dan berlatih secara berkala. Materi pelatihannya
haruslah yang relevan dengan kebutuhan tugas-tugasnya di lapangan, tidak hanya
mengenai teknologi budidaya produksi pertanian, tetapi mengenai semua aspek
agribisnis, analisa dan perencananaa usahatani, metoda-metoda dan teknik-teknik
penyuluhan, kepemimpinan dan pembinaan kelompok, dan lain sebagainya.
Kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar dapat
memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada di dalamnya.

8. Akuntabilitas

Akuntabilitas atau pertanggung-jawaban, maksudnya setiap hal yang dila-


kukan dalam rangka penyuluhan pertanian harus difikirkan, direncanakan, dan
Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 10
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar proses dan hasilnya dapat dipertang-
gung-jawabkan. Sistem pertanggung-jawaban itu harus ada dan mengandung
konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi penyuluh-penyuluh yang bersangkutan,
apakah itu berupa konsekuensi positif (penghargaan) ataupun negatif (hukuman).
Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk menjadi penyeimbang prinsip otonomi
penyuluhan yang sudah disarankan sebelumnya. Akuntabilitas ini jaga merupakan
unsur yang tak terpisahkan dari profesionalisme, dan merupakan kelanjutan dari
evaluasi. Akuntabilitas ini tidak hanya diperlukan dalam rangka tertib administrasi
penyuluhan saja, tetapi lebih dari itu sebab kegiatan penyuluhan yang
menggunakan dana masyarakat melalui anggaran pemerintah daerah harus
dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat termasuk kepada petani. Anggaran
penyuluhan yang dialokasikan untuk tahun berikutnya sangat tergantung pada
efektifitas dan hasil nyata dari penyuluhan sebelumnya.

Konsekuensi : Harus diciptakan sistem evaluasi dan akuntabilitas yang dapat


dioperasikan secara tepat dan akurat. Setiap jenis kegiatan penyuluhan harus jelas
dan terukur tujuannya, biaya penyuluhan harus dipertimbangkan dengan hasil dan
dampak dari penyuluhan itu. Hanya harus dimengerti bahwa hasil penyuluhan
tidak selalu terjadi secara langsung, tetapi penyuluhan sering merupakan investasi
berjangka yang hasilnya baru akan terlihat beberapa waktu setelah penyuluhan
dilakukan. Namun demikian tetap diperlukan adanya indikator keberhasilan
penyuluhan dalam jangka pendek yang akan dapat digunakan sebagai pertang-
gung-jawaban kegiatan penyuluhan yang dilakukan. Yang penting harus ada
mekanisme pertanggung-jawaban itu, kalau berhasil seperti apa hasilnya, sesuai
dengan tujuan atau tidak; kalau tidak atau kurang berhasil harus bisa dijelaskan
mengapa demikian.

9. Memuaskan Petani

Apapun yang dilakukan dalam penyuluhan pertanian haruslah membuah-


kan rasa puas pada para petani yang bersangkutan dan bukan sebaliknya kekece-
waan. Petani akan merasa puas bila penyuluhan itu memenuhi sebagian ataupun
semua kebutuhan dan harapan petani. Ini berarti kegiatan penyuluhan haruslah di-
rencanakan untuk memenuhi salah satu atau beberapa kebutuhan dan harapan
petani. Sebagian besar prinsip yang telah dikemukakan di atas sebenarnya bisa
diartikan untuk memuaskan petani juga, tetapi rangkuman dari semua prinsip itu
haruslah tetap bernuansa memuaskan petani. Karena itulah prinsip memuaskan
petani itu dikemukakan di sini sebagai prinsip tersendiri.

Kepuasan petani dari penyuluhan tidak hanya kalau materi penyuluhan itu
sesuai dengan apa yang dibutuhkan, tetapi cara penyajian juga akan berpengaruh
pada kepuasannya itu. Oleh karena itu materi penyuluhan yang tepat haruslah di-
sajikan dengan sikap kepelayanan sepenuh hati. Maksudnya kalau menyuluh itu
jangan tanggung-tanggung, lakukanlah sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya
sesuai dengan yang benar-benar dibutuhkan oleh para petani sampai mereka
merasa puas. Mungkin usahataninya belum berhasil ditingkatkan oleh mereka,
tetapi penyuluhan yang diterima telah menimbulkan kepuasan tersendiri. Kalau

Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 11
usahataninya belum berhasil maka penyuluh masih berkewajiban ”melayani” de-
ngan memberi bantuan lebih lanjut sampai usahataninya benar-benar berhasil.

Penyuluh pertanian memang bukan manusia sempurna, tetapi sebagai


penyuluh mereka harus selalu berusaha lebih baik dan lebih mampu dari
sebelumnya. Kalau pada suatu waktu penyuluh tidak dapat menjawab pertanyaan
petani, dia mengaku belum bisa tetapi menjajikan akan mencarikan informasi ten-
tang itu. Kemudian penyuluh itu benar-benar berhubungan dengan sumber-
sumber informasi yang diketahui untuk minta informasi yang diperlukan petani
itu, dan kalau sudah didapat akan diteruskan kepada petani yang bersangkutan. Itu
namanya pelayanan penyuluhan sepenuh hati, bukan penyuluhan setengah hati
ataupun penyuluhan semaunya dan sebisanya.

Konsekuensi : Pendidikan, pelatihan dan keteladanan yang tepat dapat mengha-


silkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepenuh hati.
Untuk itu lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan untuk para penyuluh harus
disiapkan untuk dapat mengemban misi semacam itu. Selain itu fasilitas yang
memadai di lembaga-lembaga penyuluhan pertanian seperti perpustakaan, internet
dan jaringan kerjasama dengan instansi-instansi terkait juga akan sangat
membantu para penyuluh untuk dapat memberi pelayanan penyuluhan sepenuh
hati itu.

Kesembilan prinsip tersebut di atas membentuk paradigma (pola pikir, pola


pandang, pola pelaksanaan) penyuluhan pertanian di era mendatang, dalam situasi baru
yang sudah serba berubah dan yang mengandung tantangan-tantangan baru yang lebih
komplek. Tidak semua prinsip tersebut merupakan prinsip baru dalam penyuluhan
pertanian, tetapi karena di masa lalu belum sempat dilaksanakan dengan semestinya,
maka di masa depan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sebaliknya banyak
prinsip-prinsip lain yang tidak disarankan di sini karena prinsip-prinsip itu telah
diadopsi secara baik di masa lalu sampai sekarang.

PENUTUP

Dalam awal pelaksanaan tidak perlu semua prinsip itu secara simultan dilakukan, tetapi
bisa dimulai dengan prinsip-prinsip yang sudah bisa dilakukan, sementara itu bisa
dipelajari dan dikembangkan prinsip-prinsip yang lain. Dengan lain kata paradigma
baru itu dapat dilaksanakan secara bertahap.

Yang sekarang perlu dikaji adalah seberapa jauh pengertian dan kemampuan
pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan pertanian semacam itu. Perlu
pula dikaji seberapa besar kemungkinannya para petani melalui organisasi-organisasi
petani ikut patungan menopang sistem itu. Yang jelas kiranya tidak mungkin memba-
ngun daerah tanpa memberdayakan masyarakat petani yang merupakan mayoritas
penduduk daerah. Penyuluhan pertanian adalah bertujuan untuk memberdayakan
petani.
Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 12
Margono Slamet : Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah (2001) 13

Anda mungkin juga menyukai