MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh
Prof. Dr. Hj. Mimien Henie Irawati, M.S, Dr. H. Ibrohim, M.Si, dan
Dr. Fatchur Rohman, M.Si
Oleh:
Kelompok 2 / kelas A
1. Dyah Afiat Mardikaningtyas (140341807051)
2. Tri Andri Setiawan (140341807000 )
KATA PENGANTAR
Kami selaku penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Anda demi perbaikan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
siapa saja yang mencintai ilmu pengetahuan dan pendidikan. Amin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
ii
3
DAFTAR ISI
iii
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu kondisi
lingkungannya.............................................................................................. 5
2.2 Diagram kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan yang lebar (euri-
) dan yang sempit (steno-) baik pada intensitas rendah (oligo-) atau tinggi
(poli-) ........................................................................................................... 6
2.3 Kemungkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas ................................ 10
2.4 Kondisi kandang dan penerangan bibit itik ................................................. 12
2.5 Ikan salmon (1) Salmon Coklat dan (2) Salmon Pelangi ............................ 13
2.6 Badak Jawa .................................................................................................. 15
2.7 Orangutan Sumatera .................................................................................... 18
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah berdasarkan rumusan masalah diatas adalah :
1. Mendeskripsikan konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi.
2. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia peternakan.
3. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia konservasi hewan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
B. Kisaran Toleransi
Setiap makhluk hidup terdedah pada berbagai faktor lingkungan abiotik
yang selalu dinamis atau berubah-ubah baik dalam skala ruang (bervariasi di
setiap tempat) maupun skala waktu (berfluktuasi). Oleh karena itu setiap
organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi faktor lingkungan
3
4
abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik yang seluas-
luasnya. Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi
tertentu terhadap semua semua faktor lingkungan. Organisme hanya dapat hidup
dalam kondisi lingkungan yang dapat ditoleransinya. Menurut hukum toleransi
Shelford, “setiap organisme mempunyai kisaran minimum dan maksimum
toleransi ekologi terdapat suatu faktor lingkungannya. Kisaran maksimum ini
yang disebut batas atas sedangkan kisaran minimum ini yang disebut batas bawah
(Dharmawan, dkk, 2004).
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkunan yang
mendekati batas kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan
stress fisiologis. Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim
rendah akan menunjukkan kondisi kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu
ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertemia. Apabila kondisi lingkungan
suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama
dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan itu akan mati. Setiap kondisi
faktor lingkungan yang besarannya atau intensitasnya mendekati batas kisaran
toleransi organisme, akan beroperasi faktor pembatas yang. berperan sngat
menentukan kelulusan hidup organism. Pada gambar 2.1 berikut akan dijelaskan
tentang gambaran diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu
kondisi lingkungannya. (Dharmawan, 2004)
5
Gambar 2.1. Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu kondisi
lingkungannya. sumber: (Ibkar-Kramadibrata, 1992, dalam Dharmawan, 2004 )
Pada gambar diatas dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal,
b-c = batas-batas kondisi sekitar kisaran optimumyang diperlukan untuk
berkembang biak, d-e = batas-batas kondisi untuk pertumbuhan, f-g = batas
kelulusan hidup. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan
kondisi lingkungan untuk terjadinya perkembangbiakan harus lebih baik dari pada
untuk pertumbuhan dan persyaratan kondisi untuk pertumbuhan masih lwbih baik
dari pada untuk kelulu-hidupan semata.
Dalam menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah
mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan,
oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah
efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merasakan
dampak efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara yang relatif
rendah. Dengan demikian hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila
udara kering dibanding dengan pada kondisi udara yang lembab (Odum, 1993).
Dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas
kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah
sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang
biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual. Batas-
batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari
6
jumlah individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama
rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50–24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Themperature). Untuk konsentrasi suatu zat
dalam lingkungan biasanya ditentukan dengan LC50 – X jam ( LC= Lethal
Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis
ditentukan LD50 – X Jam (Dharmawan, 2004).
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai
jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada
hewan yang sempit (steno). (Dharmawan, 2004). Demikian pula halnya suatu
jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbada-beda. kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbeda-beda. Misalnya hewan tersebut bersifat
stenohidris dan oligohidris (kisaran toleransi terhadap kadar air sempit dan pada
rentangan rendah, tetapi euritermal (kisaran toleransi terhadap rentangan suhu
lebar). Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar,
biasanya mempunyai daerah penyebaran yang relative luas. (Dharmawan, 2004)
Gambar 2.2 Diagramkisaran toleransi Terhadap suatu faktor lingkungan yang lebar (euri-)
dan yang sempit (steno-) baik pada intensitas rendah (oligo-) atau tinggi (poli-)
kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang
dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium.
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan
lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan
dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan
kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya. Setiap hewan memiliki
kisaran toleransi yang bervariasi maka kehadiran di suatu habitat sangat
ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut. Kehadiran dan
kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan tentang kondisi faktor-
faktor lingkungan di tempat tersebut.
penting dari kondisi cuaca dan iklim. karena itu kedua fakor lingkungan itu
hampir selalu diukur. Efek membatasi dari faktor suhu biasanya mencolok bila
kondisi kelembaban ekstrim tinggi atau ekstrim rendah. Demikian pula sebalikny,
efek dari faktor kelembaban akan mencolok bila kondisi suhu ekstrim tinggi atau
ekstrim rendah.
3. Cahaya Matahari
Cahaya matahari akan memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan
hewan. Aspek yang berpengaruh secara ekologis dari cahaya matahari adalah
aspek intensitas, kualitas, kuantitas, dan lamanya penyinaran.
4. Gas - Gas Atmosfer
Dalam lingkungan aquatik, gas-gas atmosfer konsentrasinya lebih variabel
sehingga penting peranannya bagi faktor pembatas. Atmosfir sangat penting
peranannya bagi kehidupan di bumi karena dapat menapis energy panas yang
tinggi atau berbagai sinar dengan gelombang yang membahayakan tubuh makhluk
hidup seperti sinar ultraviolet.
5. Arus dan Tekanan
Dalam lingkungan perairan, arus dan tekanan sangat berperan secara
langsung sebagai salah satu faktor pembatas bagi jenis-jenis hewan yang tidak
teradaptasi untuk menghadapi faktor arus. Selain itu, arus juga dapat
mempengaruhi kelarutan gas-gas dan garam dalam air.
6. Garam - Garam Mineral
Pengaruh garam-garam mineral yang terdapat di lingkungan hewan pada
umumnya terjadi secara langsung karena fungsinya sebagai bagian dari makanan
yang dimakan hewan-hewan itu.
7. Zat - Zat Pencemar
Pencemar sebagai hasil sampingan aktivitas manusia sering bersifat toksik
bagi hewan dan mengganggu proses kehidupan hewan.
9
2.2 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia
Peternakan
Menurut Dharmawan, ddk. (2004), kisaran toleransi ditentukan secara
herediter, tetapi dapat mengalami perubahan akibat usaha yang dilakukan
manusia untuk menyesuaiakn hewan terhadap lingkungan di alam
(aklimatisasi) atau di laboratorium (aklimasi). Oleh karena itu sebelum
perlakuan atau penelitian dilakukan terhadap suatu hewan sampel maka harus
dilakukan aklimatisasi agar hewan sampel terbiasa dengan kondisi barunya
sehingga tidak mempengaruhi varibel penelitian.
Peternakan adalah salah satu kegiatan untuk mengembangbiakkan dan
membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari
kegiatan tersebut.Berternak dapat dilakukan disuatu lokasi yang sebenarnya
bukan sebagai habitat dari hewan ternak tersebut, sehingga untuk menjaga
agar hewan ternak dapat hidup dengan baik maka peternak harus mampu
mengkodisikan lingkungan ternaknya agar sesuai dengan kebutuhan hewan
ternak (kondisi preferendumnya).
Untuk membuat hewan ternak berada pada kondisi preferendumnya, maka
peternak harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi komponen
kondisi preferendum hewan ternak tersebut. Hal ini dikarenakan jika faktor-
faktor yang menjadi komponen penentu kondisi preferendum ternak tidak
memenuhi kebutuhan ternak maka akan menyebabkan kematian. Dalam
ekologi faktor-faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembatas.Pada
setiap faktor pembatas yang berperngaruh terhadap kelangsungan hidup hewan
ternak terdapat kisaran toleransi, dimana hewan ternak masih dapat hidup pada
kisaran toleransi tersebut.Kisaran toleransi itu memiliki rentangan ekstrim
maksimum dan ekstrim minimum seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Sehingga peternak harus mampu mengatur sedemikian
rupasehingga situasi dan kondisi lingkungan hewan ternak masih berada dalam
batas-batas kisaran toleransinya. Berikut ini contoh alikasi konsep faktor
pembatas dan kisaran toleransi dalam peternakan itik petelur dan peternakan
ikan salmon.
10
Gambar 2.3 kemungkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas; (A) suhu terlalu dingin,
(B) suhu terlalu panas, (C) suhu ideal
2. Kelembapan
Dalam dunia peternakan kelembapan juga memegang peranan
penting.Dalam peternakan itik, kelembapan yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan itik rentan terserang penyakit karena dalam kondisi lembab jamur
dan bakteri sangat mudah untuk tumbuh dan berkembangbiak.Itik pada masa
pertumbuhan (5-22 minggu) tidak dipelihara dalam pelingkar (inkubator) tapi
sudah menyebar ke seluruh ruangan kandang yang sudah diberi alas litter (kulit
padi, jerami kering, serbuk gergaji, dll). Penggunan pasir dan kapur sebagai
campuran alas lantai kandang sangat dianjurkan karena pasir tidak mudah
11
sedang banyak dibudidayakan dan memiliki permintaan pasar yang sangat tinggi
adalah ikan salmon/trout.
(1) (2)
Gambar 2.5: (1) Salmon Coklat dan (2) Salmon Pelangi
Salah satu spesies salmon yang sering diternakkan adalah salmon coklat
(Salmo trutta) dan Salmon Pelangi (Ochorynchus mykiss). Pada jurnal Molony
(2001) yang berjudul “Environmental requirements and tolerances of Rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) and Brown trout (Salmo trutta) with special
reference to Western Australia” Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menternakkan ikan salmon, diantaranya:
1. Aliran sungai: aliran sungai pada akhir musim panas merupakan aliran sungai
yang cukup deras yang kurang baik untuk pertumbuhan ikan salmon. Aliran
sungai yang baik untuk pertumbuhan ikan salmon adalah 55% per rata-rata
aliran sungai pertahun.
2. Variasi laju aliran sungai: perkembangan salmon yang baik adalah dengan
menggunakan laju air sungai yang tetap, variasi laju air sungai yang berubah-
rubah akan menyebabkan tidak maksimalnya pertumbuhan salmon
3. Kecepatan air: kepadatan populasi salmon tertinggi adalah pada kecepatan
aliran air sebesar 45,6 – 76,0 cm/detik walaupun salmon masih bisa
mentoleransi kecepatan air hingga 156-321 cm/detik
4. Adanya penutup (cover): penutup yang dimaksud merupakan daerah
berlindung untuk salmon beristirahat atau melindungi diri dari predator.
Daerah yang ideal untuk salmon adalah daerah dengan jumlah penutup 55%
dari lebar sungai. Salmon masih bisa toleran terhadap sungai yang masih
memiliki 10% penutup.
14
5. Lebar sungai: lebar sungai akan mempengaruhi laju air sungai, salmon
mampu mentoleransi lebar minimal sungai 0,6 m sampai lebar maksimal 46
m. Salmon akan hidup dan berkembang biak secara maksimal pada kisaran
lebar maksimum dan minimum tersebut.
6. Tingkat erosi sungai: salmon dapat hidup pada tingkatan erosi sungai sebesar
0 – 9% lebih dari itu salmon tidak mampu berkembang dengan maksimal.
7. Substrat dalam sungai: substrat disini adalah adanya vegetasi air (makro alga
dan lumut), semakin berlimpah makro alga maupun lumut semakin banyak
jumlah salmon.
8. Konsentrasi Nitrat – Nitrogen (NO – N): salmon mampu hidup pada
konsentrasi nitrat 0,15-0,25 mg/L. Kisaran minimum konsentrasi Nitrat-
Nitrogen adalah 0,001 mg/L dan kisaran maksimum 2,0 mg/L.
9. Suhu: suhu terbaik untuk salmon adalah 12,6-18,6 oC. Kisaran minimum
adalah 6 oC dan maksimum adalah 26,4 oC.
2.3 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia
Konservasi Hewan
2. Kelerengan Tempat
Sebagian besar lokasi unit contoh penelitian di wilayah Semenanjung
Ujung Kulon mempunyai kelerengan yang rendah yaitu 0-8% kecuali pada unit
contoh yang berada di lereng Gunung Payung yang mempunyai kelerengan 25-
45%. Semua jejak badak yang ditemukan berada pada daerah yang mempunyai
kelerengan 0-8% sedangkan pada lereng Gunung Payung tidak ditemukan.
Dengan demikian, badak jawa cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah yang
relatif landai dengan kemiringan berkisar 0-8%.
3. Tanah
Badak jawa cenderung mendatangi daerah-daerah yang memiliki pH tanah
yang rendah. Hal ini diduga karena tanah-tanah yang memiliki pH rendah lebih
banyak ditumbuhi dengan tumbuhan bawah, semak belukar, dan arealnya
cenderung terbuka. Daerah yang relatif terbuka akan mendapat peluang terjadinya
pencucian tanah akibat hujan lebih tinggi sehingga akan mengandung pH tanah
yang lebih rendah.
4. Jenis Vegetasi Pakan
Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat
badak jawa yang sangat penting bagi kehidupan badak jawa. Hal ini menyebabkan
tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan
populasi badak jawa. Terdapat 150 jenis tumbuhan pakan badak jawa di TNUK.
Jenis-jenis hijauan pakan yang disukai oleh badak jawa, yaitu Cente, Sulungkar,
Lampeni, Areuy kawao, Bangban, Kedondong, Waru, Kiendog, Kukuheulang,
Rotan steel, Jeunjung Kulit, Segel, dan Sirih hutan.
5. Garam Mineral
Badak jawa sangat membutuhkan garam mineral dalam kehidupannya.
Badak jawa juga membutuhkan garam mineral khususnya sodium, unsur yang
langka terdapat dalam tanaman. Pada umumnya satwa liar mempunyai pola
tertentu untuk memenuhi kekurangan mineral. Selain itu, pada musim kemarau
kebutuhan sodium (Na) semakin meningkat (banyak diperlukan dalam proses
pencernaan makanan) sehingga banyak satwa liar yang pergi ke wilayah-wilayah
yang mudah untuk mendapatkan sodium.
18
Kehadiran badak jawa pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor
fisik dan biotik habitat itu sendiri. Komponen habitat yang paling dominan
mempengaruhi frekuensi kehadiran badak jawa pada suatu habitat yang disukai
adalah kandungan garam mineral (salinitas) dan pH tanah. Karakteristik areal di
TNUK yang disukai oleh badak jawa mempunyai ciri nilai kandungan garam
mineral sumber-sumber air berkisar 0,25-0,35%, nilai pH tanah berkisar 4,3-5,45,
jarak dari pantai berkisar 0-600 m, daerah datar rendah dengan ketinggian berkisar
0-25 m dpl, daerah yang relatif landai dengan kemiringan berkisar 0-8%, suhu
udara berkisar 26,5- 30oC, dan kelembapan udara 86,5-95% (Rahmat, 2008).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan dari
makalah ini sebagai berikut.
1. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi
dinamakan sebagai faktor pembatas. Pada prinsipnya masing-masing hewan
memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua faktor lingkungan.
Organisme hanya dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang dapat
ditoleransinya. Kisaran toleransi merupakan kemampuan hewan mentoleransi
atau beradaptasi dengan kisaran minimum dan maksimun suatu keadaan
lingkungan.
2. Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi lingkungan yang mendekati
bataskisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan tekanan
(stress) fisiologis.Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim
rendah akan menunjukkan kondisikritis berupa hipotermia, sedang pada suhu
ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejalahipertemia. Apabila kondisi
lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu
berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan akan
mati. Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme/ kelompok organisme
tergantung kepadakomples keadaan. Kadaan yang mendekati atau melampaui
batas-batas toleransi dinamakansebagai yang membatasi (faktor pembatas).
3. Salah satu aplikasi dari konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dapat
diterapkan pada peternakan itik petelur dan ikan salmon. Dimana peternak
harus mengkondisikan segala faktor yang dapat berperan sebagai faktor
pembatas dalam kisaran toleransi hewan ternak sehingga tersedia kondisi
preferendum untuk hewan ternak tersebut.
4. Konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi juga dapat diterapkan dalam
bidang konservasi misalnya konservasi badak jawa dan orangutan Sumatera.
20
21
3.2 Saran
Sebagai ahli atau seseorang yang ingin mengembangkan usaha di bidang
peternakan sebaiknya mengetahui dan memahami faktor pembatas dan kisaran
toleransi hewan yang akan dikembangbiakan, harapannya hasil produksi dari
peternakan tersebut dapat tercapai maksimal, dan sebagai ahli konservasi hewan
langka atau pengelola taman satwa sebaiknya mengetahui dan memahami faktor
pembatas dan kisaran toleransi hewan yang akan dikonservasi, harapannya tujuan
dari konservasi benar-benar dapat menyelamatkan hewan tersebut dan mampu
memberikan kenyamanan bagi hewan sesuai dengan karakteristik masing-masing.
22
DAFTAR RUJUKAN
Permenhut. 2013. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus
bertelsi) Tahun 2013-2022. Jakarta: Menhut.