Anda di halaman 1dari 26

i

APLIKASI KONSEP FAKTOR PEMBATAS DAN KISARAN TOLERANSI


DALAM DUNIA PETERNAKAN DAN KONSERVASI HEWAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh
Prof. Dr. Hj. Mimien Henie Irawati, M.S, Dr. H. Ibrohim, M.Si, dan
Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Oleh:
Kelompok 2 / kelas A
1. Dyah Afiat Mardikaningtyas (140341807051)
2. Tri Andri Setiawan (140341807000 )

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI
Februari 2015
2

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha


Esa karena atas rahmad dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas
penyusunan makalah yang berjudul “Aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran
toleransi dalam dalam dunia peternakan dan konservasi hewan” ini dengan lancar
dan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya
kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Mimien Henie Irawati, M.S, Dr. H. Ibrohim, M.Si, dan Dr.
Fatchur Rohman, M.Si. beliau-beliau ini sebagai pembimbing sekaligus
sebagai pengampu mata kuliah ekologi yang telah banyak memberikan
wawasan kepada kami dan membimbing kami dalam menyelesaikan makalah
2. Teman-teman offering A yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini

Kami selaku penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Anda demi perbaikan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
siapa saja yang mencintai ilmu pengetahuan dan pendidikan. Amin Ya Robbal
Alamin.

Malang, 17 Februari 2015

Penulis

ii
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi ............................................ 3
A. Faktor Pembatas ........................................................................................ 3
B. Kisaran Toleransi ...................................................................................... 3
C. Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Hewan ............... 7
2.2 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi
dalam Dunia Peternakan ................................................................................ 9
A. Peternakan Itik Petelur .............................................................................. 10
B. Aplikasi Dalam Peternakan Ikan Salmon/Trout ........................................ 12
2.3 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi
dalam Dunia Konservasi Hewan .................................................................... 14
A. Konservasi Badak Jawa ............................................................................ 15
B. Konservasi Orangutan Sumatera ............................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................ 21
DAFTAR RUJUKAN

iii
4

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu kondisi
lingkungannya.............................................................................................. 5
2.2 Diagram kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan yang lebar (euri-
) dan yang sempit (steno-) baik pada intensitas rendah (oligo-) atau tinggi
(poli-) ........................................................................................................... 6
2.3 Kemungkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas ................................ 10
2.4 Kondisi kandang dan penerangan bibit itik ................................................. 12
2.5 Ikan salmon (1) Salmon Coklat dan (2) Salmon Pelangi ............................ 13
2.6 Badak Jawa .................................................................................................. 15
2.7 Orangutan Sumatera .................................................................................... 18

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan adalah sistem kompleks yang dapat berpengaruh terhadap


pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup dan merupakan ruang tiga
dimensi, dimana makhluk hidupnya sendiri merupakan salah satu bagiannya.
Lingkungan bersifat dinamis yang berubah setiap saat. Perubahan yang terjadi
dari faktor lingkungan akan mempengaruhi makhluk hidup dan respon
makhluk hidup terhadap faktor tersebut yang akan berbeda-beda menurut
skala ruang dan waktu, serta kondisi makhluk hidup tersebut.
Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja
berperan sebagai faktor pembatas minimum tetapi terdapat pula faktor
pembatas maksimum. Bagi hewan tertentu misalnya faktor lingkungan seperti
suhu udara atau kadar garam (salinitas) yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu
tinggi/banyak dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologinya. Faktor-faktor
lingkungan tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan minimum,
maksimum atau optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan
hewan menurut batas-batas toleransi tumbuhannya.
Pengaruh faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk hewan yang
satu dan yang lain berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan.
Tetapi pada dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan
variabilitas unsur-unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor
fisik, misalnya suhu udara) sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi
tumbuhan terhadap faktor atau sejumlah faktor lingkungan tersebut. Aplikasi
faktor pembatas dan kisaran toleransi salah satunya dapat diterapkan dalam
bidang peternakan dan konservasi hewan. Faktanya sekarang, pengelola
bidang peternakan belum memahami pentingnya faktor pembatas dan kisaran
toleransi hewan yang diternakkan, padahal ini mempengaruhi hasil produksi.
Selain itu pengelola konservasi hewan langka banyak yang belum memahami

1
2

konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dari hewan yang


dikonservasinya. Faktanya di lapangan seringkali pengelola buka ahli di
bidang ekologi hewan, contoh di KBS, akhirnya tujuan dari konservasi itu
tidak tercapai dan mengarahkan hewan ke arah kepunahan karena salah
pengelolaan.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dipaparkan tersebut maka penting
disusun makalah yang berjudul “Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan
Kisaran Toleransi dalam Dunia Peternakan dan Konservasi Hewan”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan beberapa masalah berikut :
1. Apakah yang dimaksud konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi?
2. Bagaimana aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam dunia
peternakan?
3. Bagaimana aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam dunia
konservasi hewan?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah berdasarkan rumusan masalah diatas adalah :
1. Mendeskripsikan konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi.
2. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia peternakan.
3. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia konservasi hewan.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi


A. Faktor Pembatas
Pada keadaan yang kritis, bahan pendukung kehidupan suatu organisme
yang tersedia dalam jumlah minimum bertindak sebagai faktor pembatas.
Kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme-organisme
tergantung pada keadaan yang kompleks. Keadaan manapun yang mendekati atau
melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai faktor pembatas. Hukum
minimum Leibig memaparkan bahwa untuk dapat bertahan di dalam keadaan
tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan yang penting yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan ini bervariasi
antara jenis dengan keadaan. Di bawah keadaan mantab, bahan penting yang
tersedia dalam jumlah paling dekat mendekati minimum yang diperlukan akan
cenderung merupakan pembatas (Odum, 1996).
Organisme-organisme dikendalikan alam, oleh (1) jumlah dan keragaman
material dimana terdapat suatu kebutuhan minimum dan faktor-faktor fisik yang
gawat dan (2) batas-batas toleransi organismenya sendiri terhadap keadaan
tersebut dan komponen-komponen lingkungan lainnya. Jika suatu organisme
mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan
dalam jumlah yang sedang dalam lingkungannya, faktor itu tidak mungkin
membatasi. Sebaliknya apabila suatu organisme diketahui mempunyai batas-batas
toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam dalam lingkungan maka faktor
itu pantas mendapat pengkajian yang cermat karena mungkin membatasi (Odum,
1996).

B. Kisaran Toleransi
Setiap makhluk hidup terdedah pada berbagai faktor lingkungan abiotik
yang selalu dinamis atau berubah-ubah baik dalam skala ruang (bervariasi di
setiap tempat) maupun skala waktu (berfluktuasi). Oleh karena itu setiap
organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi faktor lingkungan

3
4

abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik yang seluas-
luasnya. Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi
tertentu terhadap semua semua faktor lingkungan. Organisme hanya dapat hidup
dalam kondisi lingkungan yang dapat ditoleransinya. Menurut hukum toleransi
Shelford, “setiap organisme mempunyai kisaran minimum dan maksimum
toleransi ekologi terdapat suatu faktor lingkungannya. Kisaran maksimum ini
yang disebut batas atas sedangkan kisaran minimum ini yang disebut batas bawah
(Dharmawan, dkk, 2004).
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkunan yang
mendekati batas kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan
stress fisiologis. Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim
rendah akan menunjukkan kondisi kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu
ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertemia. Apabila kondisi lingkungan
suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama
dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan itu akan mati. Setiap kondisi
faktor lingkungan yang besarannya atau intensitasnya mendekati batas kisaran
toleransi organisme, akan beroperasi faktor pembatas yang. berperan sngat
menentukan kelulusan hidup organism. Pada gambar 2.1 berikut akan dijelaskan
tentang gambaran diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu
kondisi lingkungannya. (Dharmawan, 2004)
5

Gambar 2.1. Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu kondisi
lingkungannya. sumber: (Ibkar-Kramadibrata, 1992, dalam Dharmawan, 2004 )

Pada gambar diatas dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal,
b-c = batas-batas kondisi sekitar kisaran optimumyang diperlukan untuk
berkembang biak, d-e = batas-batas kondisi untuk pertumbuhan, f-g = batas
kelulusan hidup. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan
kondisi lingkungan untuk terjadinya perkembangbiakan harus lebih baik dari pada
untuk pertumbuhan dan persyaratan kondisi untuk pertumbuhan masih lwbih baik
dari pada untuk kelulu-hidupan semata.
Dalam menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah
mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan,
oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah
efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merasakan
dampak efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara yang relatif
rendah. Dengan demikian hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila
udara kering dibanding dengan pada kondisi udara yang lembab (Odum, 1993).
Dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas
kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah
sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang
biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual. Batas-
batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari
6

jumlah individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama
rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50–24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Themperature). Untuk konsentrasi suatu zat
dalam lingkungan biasanya ditentukan dengan LC50 – X jam ( LC= Lethal
Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis
ditentukan LD50 – X Jam (Dharmawan, 2004).
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai
jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada
hewan yang sempit (steno). (Dharmawan, 2004). Demikian pula halnya suatu
jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbada-beda. kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbeda-beda. Misalnya hewan tersebut bersifat
stenohidris dan oligohidris (kisaran toleransi terhadap kadar air sempit dan pada
rentangan rendah, tetapi euritermal (kisaran toleransi terhadap rentangan suhu
lebar). Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar,
biasanya mempunyai daerah penyebaran yang relative luas. (Dharmawan, 2004)

Gambar 2.2 Diagramkisaran toleransi Terhadap suatu faktor lingkungan yang lebar (euri-)
dan yang sempit (steno-) baik pada intensitas rendah (oligo-) atau tinggi (poli-)

Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat


mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi
(di lab). Aklimatisasi adalah usaha manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap
7

kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang
dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium.
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan
lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan
dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan
kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya. Setiap hewan memiliki
kisaran toleransi yang bervariasi maka kehadiran di suatu habitat sangat
ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut. Kehadiran dan
kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan tentang kondisi faktor-
faktor lingkungan di tempat tersebut.

C. Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Hewan


Sangat banyak macam dari faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh,
baik secara aktual maupun secara potensial, mempengaruhi kehidupan hewan.
Beberapa faktor lingkungan tersebut antara lain suhu, air dan kelembaban, cahaya
matahari, gas-gas atmosfer, arus dan tekanan, garam-garam mineral, dan
pencemar.
1. Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diukur dan sering
kali beroperasi sebagai faktor pembatas yang segera dapat direspon. Variabilitas
suhu mempunyai arti ekologis. Fluktuasi suhu 10-200C dengan rata-rata 150C
tidak sama pengaruhnya terhadap hewan dibandingkan dengan lingkungan yang
bersuhu konstan 150C.
2. Air dan Kelembaban
Bagi hewan di lingkungan daratan air dapat menjadi faktor pembatas
penting. Bagi daerah tropika, kedudukan air dan kelembaban sama pentingnya
seperti cahaya, fotoperiodisme, dan ritme suhu beriklim sedang dan daerah-daerah
dingin. Kelembaban mempunyai peranan penting dalam mengubah efek dari suhu.
Dalam lingkungan daratan terjadi interaksi antara suhu dan kelembaban yang
sangat erat, sehingga suhu-kelembaban dianggap sebagaibagian yang sangat
8

penting dari kondisi cuaca dan iklim. karena itu kedua fakor lingkungan itu
hampir selalu diukur. Efek membatasi dari faktor suhu biasanya mencolok bila
kondisi kelembaban ekstrim tinggi atau ekstrim rendah. Demikian pula sebalikny,
efek dari faktor kelembaban akan mencolok bila kondisi suhu ekstrim tinggi atau
ekstrim rendah.
3. Cahaya Matahari
Cahaya matahari akan memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan
hewan. Aspek yang berpengaruh secara ekologis dari cahaya matahari adalah
aspek intensitas, kualitas, kuantitas, dan lamanya penyinaran.
4. Gas - Gas Atmosfer
Dalam lingkungan aquatik, gas-gas atmosfer konsentrasinya lebih variabel
sehingga penting peranannya bagi faktor pembatas. Atmosfir sangat penting
peranannya bagi kehidupan di bumi karena dapat menapis energy panas yang
tinggi atau berbagai sinar dengan gelombang yang membahayakan tubuh makhluk
hidup seperti sinar ultraviolet.
5. Arus dan Tekanan
Dalam lingkungan perairan, arus dan tekanan sangat berperan secara
langsung sebagai salah satu faktor pembatas bagi jenis-jenis hewan yang tidak
teradaptasi untuk menghadapi faktor arus. Selain itu, arus juga dapat
mempengaruhi kelarutan gas-gas dan garam dalam air.
6. Garam - Garam Mineral
Pengaruh garam-garam mineral yang terdapat di lingkungan hewan pada
umumnya terjadi secara langsung karena fungsinya sebagai bagian dari makanan
yang dimakan hewan-hewan itu.
7. Zat - Zat Pencemar
Pencemar sebagai hasil sampingan aktivitas manusia sering bersifat toksik
bagi hewan dan mengganggu proses kehidupan hewan.
9

2.2 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia
Peternakan
Menurut Dharmawan, ddk. (2004), kisaran toleransi ditentukan secara
herediter, tetapi dapat mengalami perubahan akibat usaha yang dilakukan
manusia untuk menyesuaiakn hewan terhadap lingkungan di alam
(aklimatisasi) atau di laboratorium (aklimasi). Oleh karena itu sebelum
perlakuan atau penelitian dilakukan terhadap suatu hewan sampel maka harus
dilakukan aklimatisasi agar hewan sampel terbiasa dengan kondisi barunya
sehingga tidak mempengaruhi varibel penelitian.
Peternakan adalah salah satu kegiatan untuk mengembangbiakkan dan
membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari
kegiatan tersebut.Berternak dapat dilakukan disuatu lokasi yang sebenarnya
bukan sebagai habitat dari hewan ternak tersebut, sehingga untuk menjaga
agar hewan ternak dapat hidup dengan baik maka peternak harus mampu
mengkodisikan lingkungan ternaknya agar sesuai dengan kebutuhan hewan
ternak (kondisi preferendumnya).
Untuk membuat hewan ternak berada pada kondisi preferendumnya, maka
peternak harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi komponen
kondisi preferendum hewan ternak tersebut. Hal ini dikarenakan jika faktor-
faktor yang menjadi komponen penentu kondisi preferendum ternak tidak
memenuhi kebutuhan ternak maka akan menyebabkan kematian. Dalam
ekologi faktor-faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembatas.Pada
setiap faktor pembatas yang berperngaruh terhadap kelangsungan hidup hewan
ternak terdapat kisaran toleransi, dimana hewan ternak masih dapat hidup pada
kisaran toleransi tersebut.Kisaran toleransi itu memiliki rentangan ekstrim
maksimum dan ekstrim minimum seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Sehingga peternak harus mampu mengatur sedemikian
rupasehingga situasi dan kondisi lingkungan hewan ternak masih berada dalam
batas-batas kisaran toleransinya. Berikut ini contoh alikasi konsep faktor
pembatas dan kisaran toleransi dalam peternakan itik petelur dan peternakan
ikan salmon.
10

A. Peternakan Itik Petelur


Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan itik petelur
antara lain sebagai berikut.
1. Suhu
Dalam dunia peternakan suhu memegang peranan sangat penting
sebagai faktor pembatas. Misalnya pada peternakan itik, untuk itik usia 1
minggu kondisi suhu kandang ±32oC, itik usia 2 minggu ±27oC, dan itik usia 3
minggu ±21oC. Jika suhu dalam kandang itik tidak sesuai dengan
kebutuhannya maka akan terjadi pola tingkah laku yang terkadang bisa
membahayakan, misalnya jika suhu terlalu dingin maka anak itik akan
bergerombol dan salingtumpang tindih sehingga itik yang tertindih dapat mati.
Untuk melihat suhu (panas) yang baik untuk anak itik dapat dilihat dari
penyebaran anak itik di bawah alat pemanas dalam lingkaran triplek
(pelingkar), seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.3 kemungkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas; (A) suhu terlalu dingin,
(B) suhu terlalu panas, (C) suhu ideal

2. Kelembapan
Dalam dunia peternakan kelembapan juga memegang peranan
penting.Dalam peternakan itik, kelembapan yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan itik rentan terserang penyakit karena dalam kondisi lembab jamur
dan bakteri sangat mudah untuk tumbuh dan berkembangbiak.Itik pada masa
pertumbuhan (5-22 minggu) tidak dipelihara dalam pelingkar (inkubator) tapi
sudah menyebar ke seluruh ruangan kandang yang sudah diberi alas litter (kulit
padi, jerami kering, serbuk gergaji, dll). Penggunan pasir dan kapur sebagai
campuran alas lantai kandang sangat dianjurkan karena pasir tidak mudah
11

menggumpal dan mampu menyerap air (basah) sehingga dapat mengurangi


kelembapan, kelembapan yang dibutuhkan 60-65%. Kapur juga berfungsi
meredakan kadar amoniak yang disebabkan oleh kotoran itik. Campuran pasir,
kapur, kulit padi, atau yang lainnya dengan perbandingan 1:2:5 dan tebal ±20 cm.
3. Pakan
Energi yang diperlukan oleh hewan ternak untuk tumbuh dan berkembang
berasal dari nutrisi makanan.Pada ternak itik, pemberian grit yang mengandung
Calsium dan Fosfor sangat penting, apalagi untuk itik yang sedang giat
berproduksi telur.Itik membutukkan Calsium dan Fosfor untuk pembentukan kulit
telur. Apabila itik mengalami kekurangan Calsium dan Fosfor dari makanannya,
itik akan mengalami kelumpuhan.
Kandungan protein dan kalsium dengan jumlah cukup mampu
dimanfatkan sebagai campuran upun itik petelur untuk menghasilkan telur yang
berkualitas.Kualitas itu diantaranya cangkang telur yang terlihat kokoh, dan keras,
warna kuning telur yang semakin kuning, rasa yang nikmat, dan kandungan gizi
yang bagus. Selain bertambahnya kualitas, dan kuantitas, penggunaan kepiting
sawah ataupun ekstraksinya mampu membuat unggas semakin sehat, dan masa
bertelurnya menjadi lebih lama.
4. Cahaya
Kandang itik mendapatkan sinar matahari yang cukup, kandang sebaiknya
menghadap ke timur.Penerangan cahaya lampu untuk itik yang sedang produksi
sangat penting artinya terutama pada malam hari untuk meningkatkan
keseimbangan penyerapan vitamin D. cahaya matahari dapat dikondisikan dengan
cara menggantinya dengan lampu penerangan. Dengan penerangan yang
mencukupi, kedewasaan kelamin dan kantong telur, kandungan telur dan
pembentukan kulit telur bisa berlangsung sempurna dan keseimbangan kebutuhan
akan calsium dan vitamin D terpenuhi.
12

Gambar 2.4. Kondisi kandang dan penerangan bibit itik

Menurut zakariya (2010), syarat–syarat untuk penggunaan lampu penerang untuk


itik :
 Intensitas cahaya penerangan lampu paling sedikit 15 Watt untuk 10 meter
persegi, bagi itik menjelang produksi.
 Untuk itik pada masa produksi (bertelur) intensitas cahaya penerangan lampu
paling sedikit 30 watt untuk 10 meter persegi.
 Pada umur 20–23 minggu, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00 sampai
dengan pukul 19.00 WIB.
 Pada umur 24-27 minggu, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00 sampai
dengan pukul 21.00 WIB.
 Pada umur 28 minggu ke atas, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00
sampai dengan 23.00 WIB.

B. Aplikasi Dalam Peternakan Ikan Salmon/Trout


Pisces (Ikan) merupakan superkelas dari subfilum Vertebrata yang
memiliki keanekaragaman sangat besar (Sukiya. 2005). Ikan adalah anggota
vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan
insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan
jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia (Fujaya,1999 dalam Dhamadi.
2009).
Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, seperti
vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh
sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005). Salah satu ikan yang
13

sedang banyak dibudidayakan dan memiliki permintaan pasar yang sangat tinggi
adalah ikan salmon/trout.

(1) (2)
Gambar 2.5: (1) Salmon Coklat dan (2) Salmon Pelangi

Salah satu spesies salmon yang sering diternakkan adalah salmon coklat
(Salmo trutta) dan Salmon Pelangi (Ochorynchus mykiss). Pada jurnal Molony
(2001) yang berjudul “Environmental requirements and tolerances of Rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) and Brown trout (Salmo trutta) with special
reference to Western Australia” Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menternakkan ikan salmon, diantaranya:
1. Aliran sungai: aliran sungai pada akhir musim panas merupakan aliran sungai
yang cukup deras yang kurang baik untuk pertumbuhan ikan salmon. Aliran
sungai yang baik untuk pertumbuhan ikan salmon adalah 55% per rata-rata
aliran sungai pertahun.
2. Variasi laju aliran sungai: perkembangan salmon yang baik adalah dengan
menggunakan laju air sungai yang tetap, variasi laju air sungai yang berubah-
rubah akan menyebabkan tidak maksimalnya pertumbuhan salmon
3. Kecepatan air: kepadatan populasi salmon tertinggi adalah pada kecepatan
aliran air sebesar 45,6 – 76,0 cm/detik walaupun salmon masih bisa
mentoleransi kecepatan air hingga 156-321 cm/detik
4. Adanya penutup (cover): penutup yang dimaksud merupakan daerah
berlindung untuk salmon beristirahat atau melindungi diri dari predator.
Daerah yang ideal untuk salmon adalah daerah dengan jumlah penutup 55%
dari lebar sungai. Salmon masih bisa toleran terhadap sungai yang masih
memiliki 10% penutup.
14

5. Lebar sungai: lebar sungai akan mempengaruhi laju air sungai, salmon
mampu mentoleransi lebar minimal sungai 0,6 m sampai lebar maksimal 46
m. Salmon akan hidup dan berkembang biak secara maksimal pada kisaran
lebar maksimum dan minimum tersebut.
6. Tingkat erosi sungai: salmon dapat hidup pada tingkatan erosi sungai sebesar
0 – 9% lebih dari itu salmon tidak mampu berkembang dengan maksimal.
7. Substrat dalam sungai: substrat disini adalah adanya vegetasi air (makro alga
dan lumut), semakin berlimpah makro alga maupun lumut semakin banyak
jumlah salmon.
8. Konsentrasi Nitrat – Nitrogen (NO – N): salmon mampu hidup pada
konsentrasi nitrat 0,15-0,25 mg/L. Kisaran minimum konsentrasi Nitrat-
Nitrogen adalah 0,001 mg/L dan kisaran maksimum 2,0 mg/L.
9. Suhu: suhu terbaik untuk salmon adalah 12,6-18,6 oC. Kisaran minimum
adalah 6 oC dan maksimum adalah 26,4 oC.

2.3 Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia
Konservasi Hewan

Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran


di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat
tersebut.Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan
tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Ketika faktor-faktor
lingkungan tidak lagi mendukung/sesuai dengan kebutuhan hewan, maka
memungkinkan hewan bermigrasi untuk mencari tempat hidup lain yang sesuai.
Tetapi jika tidak menemukan tempat hidup lain maka kemungkinan terburuk
adalah hewan tersebut akan mati. Jika hal ini terus berkelanjurtan maka
kepunahan akan mengancam keberadaan hewan terse but, sehingga perlu
diadakan upaya konservasi untuk melestarikan hewan tersebut.
Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Penetapan kawasan konservasi merupakan implementasi
15

strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan


sebagai fungsi pokok perlindungan dan pelestarian alam. Taman Nasional
merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Adapun kawasan pelestarian alam didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa liar (Permenhut, 2013).
Berikut ini adalah contoh aplikasi faktor pembatas dan kisaran toleransi
pada konservasi beberapa hewan langka di Indonesia, yaitu badak jawa dan orang
utan Sumatera.

A. Konservasi Badak Jawa


Badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) merupakan spesies
paling langka di antara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga
dikategorikan sebagai endangered atau terancam dalam daftar Red List Data Book
yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN) pada tahun 1978. Badak jawa mendapat prioritas
utama untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, badak jawa juga
terdaftar dalam Apendiks I Convention on International Trade in Endangered
Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1978 sebagai jenis yang
jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan akan punah.

Gambar 2.6: Badak Jawa


16

Penyebaran badak jawa di dunia terbatas, seperti di Indonesia, Vietnam


dan kemungkinan terdapat juga di Laos dan Kamboja. Di Indonesia, badak jawa
hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan populasi relatif
kecil, yaitu sekitar 59-69 ekor (TNUK 2007). Di Vietnam, populasi badak jawa
hanya terdapat di Taman Nasional Cat Tien dan diperkirakan tersisa 2-8 ekor yang
bertahan hidup. Jumlah populasi badak jawa yang sedikit dan hanya terdapat di
satu areal memiliki resiko kepunahan yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk
menjamin kelestarian populasi badak jawa dalam jangka panjang merupakan salah
satu prioritas program konservasi badak jawa di Indonesia.
Keberadaan badak jawa di TNUK cenderung terkonsentrasi di
Semenanjung Ujung Kulon. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua bagian
ruang di TNUK menjadi habitat terpilih bagi badak jawa. Penyebaran badak jawa
di TNUK pada umumnya berada di daerah bagian selatan Semenanjung Ujung
Kulon, yaitu daerah Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan, dan Cibunar. Pada bagian
utara semenanjung, penyebaran badak jawa terdapat di daerah Cigenter, Cikarang,
Tanjung Balagadigi, Nyiur, Citelanca, dan Citerjun.
Habitat terpilih mampu menyediakan seluruh kebutuhan hidup badak jawa untuk
menjamin kelestarian populasi serta memiliki frekuensi penggunaan yang tinggi.
Kebutuhan hidup bagi badak jawa terdiri atas makanan, air, udara bersih, garam
mineral, tempat berlindung, berkembang biak, berkubang, dan mengasuh anak.
Untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa maka habitat terpilih harus
memiliki kualitas tinggi dan kuantitas yang mencukupi.
Menurut Rahmat (2008) dalam penelitiannya, beberapa hal yang menjadi
faktor pembatas kehidupan badak jawa, yaitu.
1. Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat pada lokasi blok pengamatan Citadahan, Cikeusik,
Cibandawoh, Cigenter, Tanjung Tereleng, Karang Ranjang, Cijungkulon,
Citelang, dan Lereng Gunung Payung berkisar 0-225 m dpl. Ketinggian tempat
merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi
kehidupan badak jawa karena badak jawa cenderung menempati daerah yang
relatif datar.
17

2. Kelerengan Tempat
Sebagian besar lokasi unit contoh penelitian di wilayah Semenanjung
Ujung Kulon mempunyai kelerengan yang rendah yaitu 0-8% kecuali pada unit
contoh yang berada di lereng Gunung Payung yang mempunyai kelerengan 25-
45%. Semua jejak badak yang ditemukan berada pada daerah yang mempunyai
kelerengan 0-8% sedangkan pada lereng Gunung Payung tidak ditemukan.
Dengan demikian, badak jawa cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah yang
relatif landai dengan kemiringan berkisar 0-8%.
3. Tanah
Badak jawa cenderung mendatangi daerah-daerah yang memiliki pH tanah
yang rendah. Hal ini diduga karena tanah-tanah yang memiliki pH rendah lebih
banyak ditumbuhi dengan tumbuhan bawah, semak belukar, dan arealnya
cenderung terbuka. Daerah yang relatif terbuka akan mendapat peluang terjadinya
pencucian tanah akibat hujan lebih tinggi sehingga akan mengandung pH tanah
yang lebih rendah.
4. Jenis Vegetasi Pakan
Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat
badak jawa yang sangat penting bagi kehidupan badak jawa. Hal ini menyebabkan
tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan
populasi badak jawa. Terdapat 150 jenis tumbuhan pakan badak jawa di TNUK.
Jenis-jenis hijauan pakan yang disukai oleh badak jawa, yaitu Cente, Sulungkar,
Lampeni, Areuy kawao, Bangban, Kedondong, Waru, Kiendog, Kukuheulang,
Rotan steel, Jeunjung Kulit, Segel, dan Sirih hutan.
5. Garam Mineral
Badak jawa sangat membutuhkan garam mineral dalam kehidupannya.
Badak jawa juga membutuhkan garam mineral khususnya sodium, unsur yang
langka terdapat dalam tanaman. Pada umumnya satwa liar mempunyai pola
tertentu untuk memenuhi kekurangan mineral. Selain itu, pada musim kemarau
kebutuhan sodium (Na) semakin meningkat (banyak diperlukan dalam proses
pencernaan makanan) sehingga banyak satwa liar yang pergi ke wilayah-wilayah
yang mudah untuk mendapatkan sodium.
18

Kehadiran badak jawa pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor
fisik dan biotik habitat itu sendiri. Komponen habitat yang paling dominan
mempengaruhi frekuensi kehadiran badak jawa pada suatu habitat yang disukai
adalah kandungan garam mineral (salinitas) dan pH tanah. Karakteristik areal di
TNUK yang disukai oleh badak jawa mempunyai ciri nilai kandungan garam
mineral sumber-sumber air berkisar 0,25-0,35%, nilai pH tanah berkisar 4,3-5,45,
jarak dari pantai berkisar 0-600 m, daerah datar rendah dengan ketinggian berkisar
0-25 m dpl, daerah yang relatif landai dengan kemiringan berkisar 0-8%, suhu
udara berkisar 26,5- 30oC, dan kelembapan udara 86,5-95% (Rahmat, 2008).

B. Konservasi Orangutan Sumatera

Gambar 2.7 Orangutan Sumatera

Orangutan sumatera dan orangutan kalimantan adalah dua jenis satwa


primata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati kita,
dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga
kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan
dianggap sebagai suatu ‘flagship species’ yang menjadi suatu simbol untuk
meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak
dalam aksi konservasi.Kelestarian orangutan di habitatnya juga menjamin
kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya.Dari sisi ilmu
pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu
cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar
Afrika.
19

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau


Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak
dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran.Selain itu
penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan
orangutan.Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan,
serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan
dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia
Konservasi dapat dilakukan di dalam habitat asli (insitu) atau diluar habitat
asli (eksitu).Untuk konservasi eksitu, makalingkungan perlu disesuaikan dengan
habitas asli si hewan sehingga hewan terse but tetap dapat hidup sebagaimana
mestinya.Salah satu contoh aplikasi faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
konservasi eksitu orangutan yang dilakukan di kebun binatang Surabaya.
Kondisi preferendum orangutan yang dipengaruhi oleh faktor fisik
lingkungan sebenarnya tidahlah jauh berbeda dengan manusia.Seperti factor suhu,
kelembapan, cahaya matahari, makanan, dan kebutuhan air.Tetapi habitat
orangutan adalah di hutan, dimana banyak tumbuhan dan pohon-pohon dimana
orang utan bisa aktif bergerak, bergelantungan, berinteraksi dengan orangutan
lain, dan mencari makan.
Pada konservasi eksitu kebersihan kandang harus tetap terjaga, agar
kenyamanan dan kesehatan hewan tetap terjaga.Pada kandang terbuka, ditanam
pohon buah sehingga melatih orangutan untuk mengambil makanan dari atas
pohon, sehingga perilaku orangutan bisa lebih aktif.
20

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan dari
makalah ini sebagai berikut.
1. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi
dinamakan sebagai faktor pembatas. Pada prinsipnya masing-masing hewan
memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua faktor lingkungan.
Organisme hanya dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang dapat
ditoleransinya. Kisaran toleransi merupakan kemampuan hewan mentoleransi
atau beradaptasi dengan kisaran minimum dan maksimun suatu keadaan
lingkungan.
2. Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi lingkungan yang mendekati
bataskisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan tekanan
(stress) fisiologis.Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim
rendah akan menunjukkan kondisikritis berupa hipotermia, sedang pada suhu
ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejalahipertemia. Apabila kondisi
lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu
berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan akan
mati. Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme/ kelompok organisme
tergantung kepadakomples keadaan. Kadaan yang mendekati atau melampaui
batas-batas toleransi dinamakansebagai yang membatasi (faktor pembatas).
3. Salah satu aplikasi dari konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dapat
diterapkan pada peternakan itik petelur dan ikan salmon. Dimana peternak
harus mengkondisikan segala faktor yang dapat berperan sebagai faktor
pembatas dalam kisaran toleransi hewan ternak sehingga tersedia kondisi
preferendum untuk hewan ternak tersebut.
4. Konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi juga dapat diterapkan dalam
bidang konservasi misalnya konservasi badak jawa dan orangutan Sumatera.

20
21

3.2 Saran
Sebagai ahli atau seseorang yang ingin mengembangkan usaha di bidang
peternakan sebaiknya mengetahui dan memahami faktor pembatas dan kisaran
toleransi hewan yang akan dikembangbiakan, harapannya hasil produksi dari
peternakan tersebut dapat tercapai maksimal, dan sebagai ahli konservasi hewan
langka atau pengelola taman satwa sebaiknya mengetahui dan memahami faktor
pembatas dan kisaran toleransi hewan yang akan dikonservasi, harapannya tujuan
dari konservasi benar-benar dapat menyelamatkan hewan tersebut dan mampu
memberikan kenyamanan bagi hewan sesuai dengan karakteristik masing-masing.
22

DAFTAR RUJUKAN

Dharmawan, dkk, 2004.Ekologi Hewan. Jurusan Biologi FMIPA Universitas


Negeri Malang.

Molony. B. 2001. Environmental requirements and tolerances of Rainbow trout


(Oncorhynchus mykiss) and Brown trout (Salmo trutta) with special
reference to Western Australia. Fisheries Research Division.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas.


Gajah Mada Press.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada Press.

Permenhut. 2013. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus
bertelsi) Tahun 2013-2022. Jakarta: Menhut.

Prasetyo, Redi Joko. 2011. Faktor Pembatas Ekosistem. (Online),


http://www.inforedia.com/2010/03/faktor-pembatas-ekosistem.html. diakses
tanggal 14 Februari 2015).

Rahmat, U. M. 2008. Analisis Preferensi Habitat Badak jawa (Rhinoceros


sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Artikel
Ilmiah JMHT Vol. XIV (3): 115-124.

Zakariya, Abu Zaenal dan M. A. Yusran. 2010. Pengkajian Penggunaan


Fermented Mother Liquors (FML) pada Ransum Itik Petelur. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karang Ploso Km. 4,
Kotak Pos 188 Malang 65101.

Anda mungkin juga menyukai