oleh
1.2 Tujuan------------------------------------------------------------------------- 2
BAB 2. PEMBAHASAN-------------------------------------------------------- 3
BAB 3. PENUTUP--------------------------------------------------------------- 19
3.1 Kesimpulan------------------------------------------------------------------- 19
3.2 Saran--------------------------------------------------------------------------- 19
BAB 1. PENDAHULUAN
2
1.1 Latar Belakang
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.
Penyakit AIDS yaitu suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak
berkembangbiaknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh
manusia, yang mana virus ini menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga
mengakibatkan rusaknya system kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya
daya tahan tubuh membuat si penderita mudah sekali terjangkit berbagai macam
penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan
menjadikannya tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya
sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah
putih sangat diperlukan uintuk system kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika tubuh kita diserang penyakit. Tubuh kita lemah dan tidak berupaya
melawan juangkitan penyakit dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski
terkena influenza atau pilek biasa. Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka
tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan
diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk
menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan.
Kondisi HIV di Indonesia berkebalikan dengan kondisi global. Saat
pertumbuhan kasus baru HIV di sejumlah negara menurun, di Indonesia
bertambah naik. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat
meningkat secara significan. Total penderita sejak ditemukan HIV/AIDS di
Indoenesia pertama kali pada 1987 hingga Juni 2012 adalah 86.762 untuk
penderita HIV dan 32.103 jiwa untuk penderita AIDS dengan jumlah kematian
sebanyak 5.623 jiwa. Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia, telah
banyak kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan dilaksanakan, baik yang
menyangkut program pencegahan, pengobatan maupun hal-hal lain yang terkait
dengan program penanggulangan HIVdan AIDS di Indonesia.
Pemerintah Indonesia Setidaknya telah melakukan berbagai kegiatan juga
dengan kerjasama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah
epidemi HIV/AIDS diIndonesia. Namun, terlihat jumlah pengidap HIV/AIDS
3
semakin bertambah dari tahun ke tahun yang menjadi masalah utamanya adalah
kurang tegasnya semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab, kemudian
ditambah lagi kepedulian masyarakat yang masih kurang terbangun. keberlanjutan
program penanganan yang dalam hal ini merupakan permasalahan yang perlu
mendapatkan perhatian baik dalam konteks pencegahan, perawatan maupun
rehabilitas.Selain itu, juga diperlukan langkah-langkah mandiri dari masyarakat
yang kiranya juga akan lebih efektif dalam mencegah penyebaran epidemi
HIV/AIDS.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui perkembangan HIV/AIDS yang terjadi di Indonesia.
2. Mengetahui Tindakan pemerintah Indonesia mengenai HIV/AIDS.
3. Memberikan solusi terbaik untuk masalah HIV/AIDS di Indonesia.
BAB 2. PEMBAHASAN
4
2.1 Peran Pemerintah dalam Mengatasi dan Mencegah HIV/AIDS di
Indonesia tahun 2007-2010
Salah satu masalah kesehatan yang kerap kali menjadi problem
kemasyarakatan yang serius adalah penyakit HIV (Human Immuno Deficiency
Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Masalah mengenai
HIV dan AIDS merupakan masalah yang menyangkut kesehatan masyarakat
secara epidemik. PBB melalui program Millennium Development Goals
menyantumkan HIV/AIDS sebagai fokus bagi negara-negara untuk ditangani
secara serius. Jumlah pengidap HIV/AIDS didominasi oleh kelompok usia
produktif .
Hal tesebut akan berdampak sangat besar pada perekonomian suatu negara
untuk jangka panjang.Beberapa hal yang menjadi tantangan pemerintah dicoba
untuk atasi melalui upaya domestik dan internasional banyak terjadi di
masyarakat. Seperti diskriminasi dan stigma negatif yang berkembang pada
ODHA (orang dengan HIV dan AIDS) menimbulkan lingkungan yang tidak
kondusif dan dapat memperburuk kondisi ODHA itu sendiri. upaya pemerintah
masih terlalu normatif sehingga implementasi program belum tepat sasaran,
luasnya wilayah Indonesia, serta kompleksnya masalah pembangunan yang diatasi
dan korupsi. Namun usaha terus dilakukan mengingat strategi tersebut responsif
dan terus menumbuhkan pengetahuan masyarakat akan bahaya virus HIV/AIDS
bukan ODHA.
5
inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh penghisap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita
tersebut. HIV termasuk dalam famili retrovirus dan subfamily lentivirus. Virus ini
berbentuk lonjong, diameter 100 um, terdiri dari inti dan kapsul, inaktif dengan
alcohol, pemutih klorine, aldehida, desinfectan, pelarut lemak, detergen, dan pada
pemanasan 500C selama 30 menit, resisten dengan radiasi sinarX dan sinar
ultraviolet. Sampai saat ini telah ditemukan 2 subtipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2.
kedua virus tersebut dapat menyebabkan AIDS, namun perjalanan penyakit yang
disebabkan oleh HIV-2 berlangsung lebih lama.
HIV dapat menular dari satu manusia ke manusia lainnya melalui kontak
cairan pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi darah, kontak luka,
dll), penggunaan jarum suntik secara bergantian dan kehamilan. Penularan melalui
produk darah secara teori dapat saja terjadi, namun pada kenyataannya
prosesntasinya sangat kecil. Pada fase ini orang tersebut tidak memperlihatkan
gejala-gejala walaupun jumlah HIV semakin banyak dan semakin menggerogoti
kekebalan tubuhnya. Fase ini berlangsung selama lebih kurang lima sampai
sepuluh tahun. Jika dilakukan tes antibody untuk mengetahui keberadaan HIV,
hasilnya akan negatif.
2. Fase Presimtomatis
Pada fase ini didalam tubuh terdapat HIV namun penderita tidak
menunjukkan gejala apapun, tetapi jika dilakukan tes antibody hasilnya sudah
menunjukkan positif. Fase ini berlangsung selama 1 sampai 6 bulan. Pada fase ini
penderita mengalami perubahan patologi seperti sindrom retroviral akut berupa
pembesaran kelenjar, pembesaran hati atau ginjal, nyeri otot, nyeri tenggorokan
dan sebagainya seeprti pada infeksi virus lain.
3. Fase Klinis
Pada fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atai keseluruhan
system immune penerita dan penderita dapa dinyatakan positif mengidap AIDS.
Gejala klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama
dan satu dari lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam
berkepanjangan, penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga
6
bulan, dan diare kronis selama lebih dari satu bulan secara berulang-ul;ang
maupun terus menerus. Gejala minornya yaitu batuk krois selama lebih dari 1
bulan, munculnya Herpes zoster secara berulang-ulang, infeksi pad amulut dan
tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans, bercak-bercak gatal di
seluruh tubuh, serta pembengkakan kelenjar getah bening secara menetap di
seluruh tubuh. Akibat rusaknya system kekebalan, penderita menjadi mudah
terserang penyuakit-penyakit yang disebut penyakit oportunitis. Penyakit yang
biasa menyerang orang normal seperti flu, diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bias
menjadi penyakit yang mematikan di tubuh seorang penderita AIDS.
a. Tahap Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang
dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan
semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.
Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini
terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan
masa window periode.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan
virus HIV kepad aorang lain dengan berbagai caa sesuai pola transmisi virus HIV.
Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan
terjadi pada fase inkubasi ini.
b. Tahap penyakit dini
Penderita mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya
tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik,
orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan
kekebalan tubuhnya menurun/ lemah hingga jatuh sakit Karena serangan demam
yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji
antibody HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang
berisiko terkena virus HIV.
7
c. Tahap penyakit lanjut
Pada tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas apa-apa.
Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri
dada.penderita mengalami jamur pad arongga mulut dan kerongkongan.
Terjadinya gangguan pad apersyarafan central mengakibatkan kurang ingatan,
sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon
anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (peripheral) akan
menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon
yang kurang selalu mengalami tensi darah rendah dan impotent. Penderita
mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes zoster)
dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan
kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pad akulit (folliculities),
kulit kering berbeca-bercak.
4. Fase Terminal
Fase ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada
tubuh penderita. Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.
8
terkait dengan isu HIV/AIDS yang diantaranya adalah SK Menkes No.
339/IV/1988 mengenai Pembentukan Panitia Penanggulangan HIV AIDS,
kemudian disusul dengan SK Menkes No. 301/IV/1989 mengenai Penyempurnaan
Panitia Penanggulangan HIV AIDS, kewajiban melaporkan penderita gejala
AIDS, kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS.
Sebagai langkah lanjutan, pada 1994 pemerintah Indonesia
mengeluarkan Keputusan Presiden No.26 thn.1994 dan melalui kebijakan tersebut
dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat nasional yang
kemudian disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi beserta fungsi
dan tugas dari setiap anggota.
2.1.3 Periode 1997-2006
Jumlah kasus AIDS pada tahun 2002 adalah 1.016 kasus dan HIV positif
2.553 kasus. Jumlah kasus AIDS masih jauh sangat rendah bila dibandingkan
dengan estimasi Departemen Kesehatan, bahwa pada tahun 2002 akan ada 90.000-
130.000 kasus. Estimasi ini didominasi oleh peningkatan tajam penularan melalui
penggunaan jarum suntik tidak steril di sub-populasi pengguna napza suntik
(penasun), yaitu bulan Maret dilaporkan 116 kasus AIDS di 6 propinsi, sementara
penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap sama.
Penasun memiliki faktor risiko yang semakin besar melalui perilaku seks.
Berdasarkan hasil survei perilaku (SSP) tahun 2002, diketahui bahwa sebagian
penasun juga berperilaku membeli jasa seks pada penjaja seks dengan cara yang
tidak aman, atau tidak menggunakan kondom.
Respon pemerintah pada saat ini adalah di tanggal 28 Maret 2002 dan
November, mengadakan Sidang Kabinet khusus HIV dan AIDS yang memutuskan
beberapa hal penting, yaitu: departemen/lembaga harus memberikan komitmen
dan respns yang kuat untuk menghambat lajunya epidemic HIV/AIDS; Ada
gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS; Menetapkan penanggulangan
HIV/AIDS sebagai prioritas pembangunan nasional dan dicantumkan dalam
Perencanaan Strategis Pembangunan masing-masing Departemen/Lembaga
terkait; menetapkan ketersediaan dana nasional Gerakan Nasional Stop HIV/AIDS
setiap tahun; Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk mengkoordinasi
9
upaya penanggulangan HIV/AIDS. Inilah yang menjadi cikal bakal dari
STRANAS 2003-2007. Selain itu, Kementerian Kesehatan
mengeluarkan Kepmenkes No.1285/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedoman
Penaggulangan AIDS dan Penyakit Menular Seksual.
Sebagai tanggapan atas komitmen yang dibuat pada Sesi Khusus Majelis
Umum PBB pada tahun 2001, maka pada tahun 2003, KPA Indonesia
meluncurkan Strategi HIV/AIDS Nasional 2003-2007. Strategi HIV/AIDS ini
memilik 7 prioritas, dan setiap program memiliki tujuan yang ingin dicapai serta
kegiatan yang harus diakukan. Strategi HIV/AIDS Nasional (2003-2007)
menegaskan tujuh prioritas, setiap program memiliki tujuan yang ingin dicapai
serta kegiatan yang harus dilakukan. Ketujuh program prioritas tersebut meliputi
surveilans, pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan untuk Odha, riset
tentang HIV/AIDS dan dampaknya, hak asasi para Odha serta koordinasi
pemerintah pada semua tingkatan. Harm reduction, pengurangan dampak buruk,
diikut sertakan sebagai bagian dari rencana strategis yang baru ini.
Riset dan studi Melaksanakan riset dan studi operasional untuk memperoleh
operasional informasi yang dapat membantu peningkatan kualitas pencegahan
HIV?AIDS sekaligus untuk memperbaiki sejumlah dampak negatif
10
Program Prioritas Tujuan
11
68,95% dari ODHA baru yang dilaporkan ii adalah akibat penggunaan napza
suntik.iv
Pada kurun waktu 1995-2005, proporsi penularan melalui jarum suntik tidak
steril meningkat lebih dari 50 kali lipat, dari 0,65% menjadi 35,8%. Bulan
Oktober 2005, Kementerian Kesehatan merasa perlu membuat sebuah rencana
kerja jangka menengah perawatan, dukungan dan pengobatan untuk ODHA serta
pencegahan HIV/AIDS yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 1508/MENKES/SK/X/2005. Rencana jangka menengah ini dibuat agar dapat
mendukung Rencana Strategis Penanggulangan HIV/AIDS Nasional terutama
rencana kerja selama tahun 2005-2009.
Ditemukan sumber utama penularan HIV di Indonesia adalah penggunaan
napza suntik. Maka, sebagai bentuk respon cepat dan tepat penanggulangan
HIV/AIDS di kelompok penasun maka Kementerian Kesehatan mengeluarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 567/MENKES/SK/VIII/2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Napza. Pengurangan dampak
buruk napza menekankan tujuan jangka pendek, karena pencegahan infeksi harus
dilaksanakan sesegera mungkin, yang mengacu pada prinsip: (1) penasun
didorong untuk berhenti memakai napza; (2) jika bersikeras menggunakan napza
maka didorong untuk berhenti menggunakan jarum suntik; (3) jika tetap
bersikeras menggunakan cara suntik, maka didorong dan dipastikan menggunakan
peralatan suntik sekali pakai atau baru; (4) jika tetap terjadi penggunaan bersama
peralatan jarum suntuk, maka didorong dan dilatih untuk menyucihamakan
peralatan suntik.
Pada tanggal 13 Juni 2006, Presiden Bambang Susilo Yudoyono
mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No.75 tahun 2006 tentang Komisi
Penanggulanan AIDS Nasional. Perpres memberi amanat kepada KPAN yang baru
untuk meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS,
serta melakukan langkah-langkah strategis sebagai respon yang ditujukan untuk
mengurangi peningkatan kasus baru dan kematian. KPAN tidak lagi bekerja
sendirian, tetapi melibatkan berbagai pihak yang terkait, yaitu instansi pemerintah
sipil dan militer, akademisi, organisasi profesi, organisasi ODHA nasional,
12
lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk komunitas LSM AIDS, sektor
swasta, serta pihak lainnya yang dianggap perlu. Fungsi LSM dan masyarakat
sipil adalah meningkatkan peran sebagai mitra pemerintah sampai ke tingkat
pemerintahan yang paling kecil, yaitu tingkat desa. Perpres ini juga mengatur
pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan KPA Nasional, propinsi dan kabupaten,
yaitu dibebankan pada APBN/APBD I/APBD II.
Sejak 2006 ini, dimulailah penguatan Sekretariat KPA di 100
kabupaten/kota prioritas. Sementara itu, pada bulan September 2006, sudah terjadi
6.871 kasus yang dilaporkan oleh 32 dari 33 propinsi yang ada. Menarik,
distribusi umur ODHA sangat tinggi pada golongan umur 20-29 tahun mencapai
54,77%, dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun, maka angka
mencapai 89,37%. Sementara persentase anak 5 tahun kebawah mencapai 1,22%.
Diperkirakan pada tahun ini, sebanyak 4.360 anak tertular HIV dan separuhnya
telah meninggal.
2.1.4 Periode 2007 – 2013
Ditahun 2007 KPAN kembali menyusun Strategi dan Rencana Aksi
Nasional (SRAN) untuk menanggulangi epidemi HIV dan AIDS di Indonesia.
Melalui SRAN 2007-2010 ini diharapkan adanya kerangka kerja sama, tujuan
umum dan tujuan khusus untuk penanggulangan yang komprehensif, namun
memberikan peluang untuk penyusunan rencana aksi daerah dan mobilisasi
sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah.
Strategi yang dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan
menguji coba cara-cara baru
2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan
akses perawatan dan pengobatan
3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di
daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan.
13
4. Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi
pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS
5. Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV
dilingkungannya
6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan
evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS
7. Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya
disemua tingkatvii.
Di tahun 2010, KPAN mengeluarkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional
(SRAN) 2010-2014 memberikan kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan
khusus untuk penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang
untuk penyusunan rencana aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah.
Pada level Kabupaten dapat dilihat laporan Isna (2005) yang menyatakan
bahwa kebijakan Program HIV/AIDS di Banyumas yang menunjukkan
inkonsistensi Propeda, renstra dinkes, rencana penanggulangan HIV/AIDS.
Renstra dinkes lebih merupakan dokumen administratif, penyusunan elitis dan
kurang matang Beberapa kegiatan dalam rencana penanggulangan tidak
dilaksanakan Dinkes lebih mementingkan menjaga citra daerah. Hal yang menarik
perlu dicatat bahwa Panduan Penyusunan Peraturan Daerah Penanggulangan
HIV/AIDS diterbitkan oleh KPAN tahun 2009. Sementara untuk modul Kebijakan
Penanggulangan IMS, HIV/AIDS dikeluarkan Kementerian Kesehatan tahun
2009.
2.1.5 Penanggulangan HIV 2016
Hingga saat ini program-program penanganan HIV dan AIDS masih
bersifat vertikal dimana peran mitra pembangunan internasional sebagai bagian
dari GHI, baik yang bekerja melalui pemerintah maupun LSM, masih
mendominasi arah dan strategi penanganan HIV dan AIDS di tingkat nasional dan
daerah. Selain itu dengan keterbatasan kapasitas baik pada pemerintah maupun
LSM di tingkat pusat dan daerah berakibat pada terbatasnya kemampuan dalam
14
penanganan HIV dan AIDS. Beberapa temuan kunci dari ketujuh bab dalam
laporan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengapa Integrasi dilakukan? – Isu persaingan dalam penanganan HIV dan
AIDS di Indonesia
Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan arena persaingan antar
pelaku yang membawa prioritas, kepentingan dan pendekatan yang berbeda-
beda. Di dalam arena tersebut terdapat dua isu persaingan yang teridentifkasi
yaitu: (1) Isu antara pendekatan vertikal yang bertumpu pada pengendalian
teknis dari pusat, dengan pendekatan horizontal yang bertumpu pada cara
pikir multi sektoral dan terdesentralisasi; dan (2) isu yang terkait dengan
pelaksanaan program dimana pihak-pihak yang memiliki sumberdaya besar
bekerja berdasarkan pendekatan masing-masing. Kedua isu tersebut
merupakan tantangan tersendiri terhadap integrasi penanganan HIV dan AIDS
kedalam sistem kesehatan karena pihak-pihak tersebut memiliki
pendekatannya masing-masing yang mungkin tidak sejalan dengan hasil dari
integrasi.
b. Apa yang diintegrasikan? – Integrasi pada tingkat pelayanan.
Pelaksanaan program penanganan HIV dan AIDS berjalan paralel
dengan pelaksanaan ketujuh fungsi sistem kesehatan secara umum. Terkait
dengan program ARV, integrasi yang lebih tinggi terjadi pada tingkat layanan
seperti di Puskesmas, dan Dinas Kesehatan Kabupaten karena dalam sistem
kesehatan kedua institusi ini adalah ujung tombak layanan kesehatan. Namun
integrasi layanan pengobatan ARV tidak mengindikasikan bahwa kedua
insititusi tersebut memiliki kewenangan untuk mengelola program baik dari
segi teknis maupun administrasi. Hal ini terjadi karena perencanaan dan
manajemen program ARV telah ditentukan dari pusat, sedangkan Puskesmas
dan Dinkes hanya melaksanakan layanannya.
c. Sejauh mana integrasi sudah dilakukan? – Mengidentifikasi
Pencegahan HIV melalui program Pencegahan Melalui Transmisi
Seksual (PMTS) untuk pekerja seks perempuan dan laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (MSM), serta program Layanan Alat
15
Suntik Steril (LASS) memperlihatkan bahwa program ini tidak mencapai
target capaian 80%. Penelitian ini menemukan beberapa faktor yang
mempengaruhi, yaitu: (1) Karakteristik intervensi yang berfokus pada
perubahan perilaku dan norma sosial menjadi faktor penghambat pelaksanaan
program di lapangan; (2) Sejumlah peraturan atau kesepakatan di tingkat
daerah yang tidak kondusif terhadap penjangkauan kelompok populasi kunci;
(3) Seperti halnya tantangan pada layanan kesehatan umumnya, terdapat
ketidak-seimbangan antara pencegahan dan pengobatan, dimana komponen
pengobatan biasanya mendapat perhatian serta pendanaan terbesar; (4)
Stigma terhadap perilaku populasi kunci sering menjadi hambatan untuk
menemukenali dan meningkatkan cakupan program. Namun perlu dicatat
bahwa gerakan-gerakan politik yang menentang program HIV dan AIDS telah
menyulitkan pelaksanaan program PMTS. Contohnya, kebijakan dan
pelaksanaan penutupan lokalisasi di Surabaya sebagai salah satu lokasi
penelitian ini telah merugikan program PMTS didaerah tersebut.
d. Keberhasilan pelaksanaan integrasi: Program ARV
Program ARV memperlihatkan hasil yang menarik dimana cakupan
programnya mencapai 80%, walau tidak sepenuhnya terintegrasi kedalam
sistem kesehatan. Namun integrasi yang parsial dan hanya terjadi di layanan
kesehatan ini secara relatif lebih baik dibandingkan dengan program
pencegahan HIV lainnya. Hal ini dapat dipahami karena lebih banyak unsur
yang memudahkan integrasi ditemukan pada layanan Puskesmas dan RSUD.
Puskesmas dan Fasilitas dan Layanan Kesehatan (fasyankes) lainnya telah
diarahkan unutk menjadi pusat layanan pengobatan dan perawatan. Namun
dalam konteks pendanaan dan penyediaan obat dan peralatan medis, serta
pengelolaan/manajemen informasi strategis terkait program ARV tetap
dibawah kendali pemerintah pusat dan dilaksanakan secara paralel dengan
sistem kesehatan.
e. keberhasilan capaian 80% cakupan pengobatan ARV adalah karena: (1)
perawatan dan pengobatan adalah fokus sektor kesehatan saat ini; (2) pasien
yang memperoleh pengobatan ARV adalah mereka yang telah mengikuti tes
16
HIV di fasyankes tersebut sehingga lebih mudah untuk didorong untuk
memperoleh perawatan dan pengobatan; (3) dilain pihak, target perawatan
dan pengobatan ARV sebenarnya cukup rendah karena penghitungannya
hanya berdasarkan pada jumlah Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang
mengikuti tes HIV bukan pada jumlah ODHA yang sebenarnya (fenomena
gunung es).
2.1.5 Belajar dari pelaksanaan PMTS
Model layanan terintegrasi seperti yang terlihat pada program Pencegahan
Melalui Transmisi Seksual (PMTS) di Puskesmas dan RSUD direkomendasikan
sebagai bentuk ideal dari integrasi. Model PMTS tersebut mencakup (1)
pengadaan dan distribusi kondom; (2) manajemen IMS termasuk sirkumsisi/sunat;
(3) pencegahan berbasis pengobatan ARV termasuk perluasan tes HIV; (4)
penguatan peran lintas sektor di tingkat layanan primer; (5) pendidikan kesehatan
dan pemberdayaan komunitas. Setiap komponen tersebut diperlengkapi dengan
skenario tingkat integrasi tertentu (coordinated, co-located, integrated) yang
disesuaikan dengan konteks dimana intervensi ini dilaksanakan. Model yang
direkomendasikan pada dasarnya tidak memandang integrasi sebagai sebuah
tujuan, melainkan sebagai metode untuk menghasilkan layanan yang mudah
diakses, berkeadilan, dan juga memenuhi kebutuhan dasar semua pihak, serta
berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pengguna layanan,
kebutuhan organisasi penyedia layanan, situasi epidemi, dan sistem kesehatan
yang ada.
17
efisiensi, dan keberlanjutan program HIV dan AIDS. Namun, hal penting yang
perlu dipertimbangkan adalah tingkat integrasi pada setiap level
layanan/intervensi serta memastikan bentuk integrasi yang tepat.
Hambatan dan tantangan utama biasanya terletak pada pendekatan solusi
yang bersifat institusional, misalnya pembentukan institusi baru seperti KPAD dan
aturan-aturan pemerintah terkait. Pada pelaksanaannya solusi yang bersifat
institusional tersebut terbentur oleh persaingan antar pelaku HIV dan AIDS serta
kebijakan yang cenderung berdiri sendiri-sendiri dan beberapa diantaranya justru
bertentangan. Rekomedari 2 yaitu pendanaan yang lebih baik melalui sistem
desentralisasi pemerintahan daerah serta dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sebagai sumber pendanaan utama untuk mengurangi ketergantungan pada
dukungan donor. Untuk itu, memperbesar porsi peran pemerintah daerah dalam
penyediaan layanan (pada program-program pencegahan, PDP, dan mitigasi
dampak), penentuan program dan evaluasi pelaksanaannya serta pengembangan
SDM menjadi penekanan utamanya. Memanfaatkan alokasi dana dari berbagai
kegiatan pembangunan terkait di daerah serta mensinkronkannya dengan dana-
dana pusat. Proses ini akan memberikan solusi terpadu bagi pembiayaan program
HIV dan AIDS di Indonesia. Selain itu, perlu diciptakan lingkungan yang lebih
kondusif di daerah agar penanganan HIV dan AIDS dapat terintegrasi dengan
penanganan penyakit menular lainnya.
Terkait dengan solusi langsung untuk pendanaan lokal, yang tentunya perlu
mendapat dukungan pemerintah pusat misalnya penghasilan dari pajak makanan
dan minuman mengandung alkohol dan mengandung unsur aditif dapat diterapkan
dan pemanfaatannya langsung dikhususkan untuk penanganan HIV dan AIDS.
Dana sosial perusahaan (CSR) dari industri terkait juga direkomendasikan untuk
dapat digunakan sebagai dana alternatif penanganan HIV dan AIDS jika dikelola
dengan baik dan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat. Namun
semua itu membutuhkan pendanaan silang antar sektor yang baik dan perencanaan
perkuatan SDM yang terkoordinasi dan tepat sasaran.
Keterbatasan kapasitas LSM, dengan keterbatasan pada inovasi dan
kreatifitas, kebanyakan LSM ini kurang menyadari kebutuhan perkuatan apa yang
18
mereka perlukan. Selain itu mereka juga sangat tergantung pada dana
pembangunan luar negeri sehingga kegiatannya mengabaikan keberlanjutan
program. Untuk itu direkomendasikan agar kegiatan LSM jangan hanya berfokus
pada atau mengandalkan satu komunitas saja. Dengan demikian para LSM ini
akan mendapatkan peluang pendanaan yang lebih luas dengan posisi tawar yang
lebih besar juga. Untuk memperlancar hal tersebut pemerintah daerah perlu
menyediakan lingkungan kerja yang lebih kondusif bagi para LSM untuk
berkontribusi pada keberhasilan penanganan HIV dan AIDS didaerahnya. Selain
itu pemerintah daerah juga dapat memberikan kontrak kerja kepada para LSM
sesuai dengan bidangnya dan menumbuhkan kreatifitas LSM terkait untuk
menjangkau komunitas yang lebih tepat sasaran serta komunitas yang
termarginalisasi.
Pada akhirnya diperlukan kerjasama lintas sektoral dan penguatan lembaga
pemerintah maupun non-pemerintah yang ada untuk menentukan keberlanjutan
program – program penanganan HIV dan AIDS di Indonesia. Semua keterbatasan
dan solusi yang telah dianalisa dan ditawarkan dalam laporan ini dapat bermanfaat
jika kemauan antara satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan
lainnya dapat berkolaboraasi dan seluruh kegiatannya terfokus pada penanganan
HIV dan AIDS yang lebih baik lagi setiap saat.
[i] Lihat Kent Buse, Nicholas Mays and Gill Walt.2005. Making Health Poliy.
Open University Press
[ii] Lihat Dokumen WHO dan Stranas 1994
[iii] Kementerian Kesehatan RI, 2004. Laporan Situasi Perkembangan HIV dan
AIDS di Indonesia, 30 Desember 2004. Jakarta
[iv] Dalam paparan sejarah AIDS ini, catatan epidemiologi dikutip dari laporan
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2011 yang berjudul Rangkuman
Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2006-2011: Laporan
5 tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. Data dalam laporan KPAN ini –infeksi baru,
infeksi kumulatif, persentase infeksi, cara penularan, dll- kecuali ada
19
penjelasan lain, bersumber dari Laporan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS
di Indonesia oleh Kemkes.
[v] Kementerian Kesehatan RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV
dan Infeksi Oportunistik. Jakarta
[vi] Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2011. Rangkuman Eksekutif
Upaya Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun
Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta.
[vii] Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan
HIV dan AIDS 2007-2010.
[viii] Lihat Peraturan Presiden no 75 tahun 2006
[ix] Slamaer Riyadi Sabrawi, 2005. Perda Penanggunlangan HIV/AIDS di Era
Otonomi Daerah. Dalam; Health Decentralization Bulletin. Vo. II/04/2005. Pp 2-6
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peran pemerintah sangat besar terhadap penanganan HIV/AIDS sebab
pemerintah adalah pemegang kendali terhadap stabilitas dalam kelompok
masyarakat, selain itu pemerintah memiliki kekuatan melalui Kebijakan yang
20
dibuat sebagai upaya pencapaian tatanan sosial yang sehat dan dinamis. Dalam
mengoptimalkan upaya integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan
AIDS kedalam sistem kesehatan. Beberapa hal yang direkomendasikan dibuat
dengan latar belakang situasi program yang masih bergantung pada dukungan
finansial dan teknis dari GHI. Rekomendasi utama menyarankan integrasi sebagai
strategi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan
program HIV dan AIDS. Namun, hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah
tingkat integrasi pada setiap level layanan/intervensi serta memastikan bentuk
integrasi yang tepat.
3.2 Saran
1. Melalui hak yang dimiliki oleh pemerintah untuk membuat kebijakan, agar
sekiranya dapat menyentuh kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga
dalam penerapan kebijakan yang di buat oleh pemerintah mudah dilaksanakan
dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
2. Pemerintah bersama jajarannya selalu sigap dalam menangani masalah
HIV/AIDS sehingga penularannya dapat di cegah sehingga tidak banyak jatuh
korban yang berujung kepada kematian.
3. Pemerintah bisa menjadi tauladan bagi masyarakat sehingga perilaku yang
berisiko HIV/AIDS dapat dicegah. Selain itu agar kiranya pemerintah selalu
memperhatikan alokasi dana dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
terhadap penderita HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
21
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Informasi Pengendalian
Penyakit Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
22