Anda di halaman 1dari 9

Tuberkulosis Nasofaring: Epidemiologi,

Mekanisme Infeksi, Manifestasi klinis,


dan Penatalaksanaan

Abstrak
Tuberkulosis nasofaring (NPTB) adalah penyakit yang patut diperhatikan terutama
terhadap penyebaran dari infeksi Mycobacterium itu sendiri di seluruh dunia. Meskipun
NPTB telah diidentifikasi kurang dari 1 persen kasus TB, beberapa laporan kasus terbaru
mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran atau kejadian penyakit ini. Alat
diagnostik yang paling bermanfaat adalah biopsi nasofaring tanpa komplikasi. Namun,
NPTB biasanya diabaikan karena memiliki beragam manifestasi klinis dan presentasi
serupa dengan penyakit umum lainnya pada kepala dan leher. Selanjutnya, gejala yang
paling umum yang sering didapatkan adalah limfadenopati servikal yang meniru
nasofaring karsinoma, penyakit yang lebih umum dan serius. Hasil pengobatan NPTB baik
pada pasien dengan HIV-positif atau HIV-negatif. Selain itu, asosiasi tuberkulosis paru
dilaporkan berkisar antara 8.3% dan 82% yang seharusnya dipertimbangkan dalam
program pengobatan. Kesimpulannya, diagnosis awal dan penatalaksanaan dini pada
NPTB dapat dicapai dengan (1) meningkat kesadaran akan penyakit ini, (2) peningkatan
pengetahuan tentang manifestasi klinis, dan (3) peningkatan teknik diagnostik.

1. Kata Pengantar
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu penyakit menular yang paling
mematikan di dunia [1]. Hal ini dapat mempengaruhi paru-paru (pulmonary TB)
dan bagian lainnya juga (TB ekstrapulmoner). Menurut WHO 2014, 6.1 juta kasus
TB dilaporkan dengan 5,7 juta terdiagnosa kasus baru dan 0.4 juta kasus
sebelumnya [1]. Dalam kasus baru, 0.8 juta pasien memiliki TB ekstrapulmoner
[1]. Daerah kepala dan leher dapat ditunjukkan sampai 10% dari semua kasus TB
servikal lymp node yang paling banyak umumnya terlibat [2]. Pada tahun 1974,
Rohwedder [3] melaporkan 16 (1,8%) kasus TB saluran pernafasan atas diantara
843 pasien TB. Tuberkulosis nasofaring (NPTB) diidentifikasi kurang dari 1%
pada kategori TB kepala dan leher [2, 3]. Literatur sebelumnya biasanya
menunjukkan laporan kasus NPTB tunggal; namun, kasus- kasus yang lebih besar
baru-baru ini telah diamati. Tinjauan ini merangkum epidemiologi, mekanisme
infeksi, manifestasi klinis, teknik diagnostik, dan penatalaksanaan dan juga
menekankan hubungan antara NPTB dan TB paru.

2. Epidemiologi
Sebelum diperkenalkan kemoterapi, 1,4% adenoid [4] dan 6,5% tonsil [5]
diangkat dari pasien asimtomatik yang terinfeksi oleh tuberkel bacillus. Mahindra
et Al. [6] menemukan TB adenoid pada 18 dari 67 pasien dengan TB adenitis
servikal yang menjalani adenotonsilektomi. Dengan munculnya terapi
antituberkulosis yang efektif dan pasteurisasi pada susu sapi, prevalensi
fenomomena ini di seluruh dunia tampak berkurang [7, 8]. Literatur itu didapatkan
dari database PubMed dengan memanfaatkan kata kunci "Tuberkulosis
nasofaring." Diantara bulan Agustus 1947, dan April 2015, laporan kasus NPTB
tercatat pada lebih dari 60 kasus dari artikel bahasa Inggris dan non-Inggris.
Penelitian kasus serial yang besar sering dilaporkan dari Asia (Tabel 1) [9-18]. Ada
sedikit keunggulan pada wanita dalam semua seri studi [10, 11, 13-15, 18]. NPTB
biasanya terjadi pada orang dewasa dengan usia rata-rata bervariasi dalam setiap
laporan. Empat seri studi penelitian besar menunjukkan usia rata-rata antara 30 dan
40 tahun [10, 11, 13, 14] sementara dua puncak frekuensi diperkirakan, antara 15
dan 30 tahun dan 50 dan 60 tahun [19, 20]. Namun menurut Markham [21],
dilaporkan tiga dari pasien termuda dengan 11, 13, 15 bulan dari spesimen
adenotonsilektomi.

Tabel 1. Ringkasan Kasus Seri Besar NPTB


Pengarang Negara Tahun Jenis Usia Berasosiasi Jumlah
Kelamin (Tahun) dengan TB Kasus
(L:P) (Rata-rata) Paru (n PTB/
n Total)
Jian et al. [9]∗ China 2012 NA NA NA 50
Cai et al. [10] China 2013 15 : 2117–68 31%(11/36) 36
(30.5)
Srirompotong et al. [11] Thailand 2004 9 : 14 20–71 (38) 44.4% (8/18) 23
Wang and Zhu [12]∗ China 2013 NA NA NA 19
Tse et al. [13] Hongkong 2003 4 : 13 20–74 (39) 55.6% (5/9) 17
Chongkolwatana et al. [14] Thailand 1998 7:8 7–65 (31.7) 36.4% (4/11) 15
Eng et al. [15]∗ Taiwan 1996 2 : 12 17–61 (NA) NA 14
Su et al. [16]∗ China 2002 NA NA 8.3% (1/12) 12
Waldron et al. [17] Hongkong 1992 5:5 25–76 10% (1/10) 10
(40.5)
Oudidi et al. [18]∗ Morocco 2007 2:4 NA (41) NA 6
[Nomor Referensi*] = artikel non- bahasa inggris dan hanya tersedia abstrak
NA= Not Available

Menurut laporan TB secara global dari WHO, kondisi yang paling banyak
berdampingan untuk semua pasien TB adalah infeksi HIV yang memiliki pengaruh
pada hasil pengobatan [1]. Tapi pada NPTB, hanya beberapa artikel yang
menyebutkan hubungan ini dengan hasil pengobatan yang bagus pada semua
artikel baik dengan HIV-positif atau HIV-negatif [11, 14, 22-24]. Sebagai
tambahan, NPTB dapat meniru karsinoma nasofaring (NPC) [17, 25] atau hidup
berdampingan dengan kondisi lain seperti TB pada kepala dan leher, TB
oropharyngeal, dan postradiasi NPC [22, 23, 25, 26].

3. Mekanisme Infeksi
Pada tahun 1981, Innes [27] mengemukakan enam mekanisme dimana TB
ekstrapulmoner mungkin timbul: (1) infeksi primer nonpulmonary, (2) penyebaran
limfatik dari kompleks primer pulmonal, (3) penyebaran hematogen dari kompleks
primer, (4) penyebaran hematogen dari lesi postprimer, (5) penyebaran
berkelanjutan dari organ ke organ, dan (6) implantasi epitel. Namun, untuk NPTB,
keduanya merupakan infeksi primer nasofaring yang didefinisikan sebagai infeksi
tuberkulus terisolasi pada nasofaring dengan tidak adanya penyakit pulmonary dan
sistemik [11, 24] dan penyebaran sekunder melalui sistem hematogen atau limfatik
dijelaskan [11, 13, 14, 20, 28]. Jaringan sistem limfatik yang subur dari cincin
Waldeyer menjelaskan kontaminasi nasofaring limfatik [6, 11, 19, 20]. Swart dkk.
[29] menunjukkan infeksi nasofaring primer secara droplet berhubungan dengan
area ini menjadi area dampak untuk udara yang dihirup yang mirip dengan artikel
lainnya yang diterbitkan [10, 13, 17]. Sementara tiga penelitian berskala besar
didukung teori infeksi sekunder dari sistem limfatik dengan persentase yang tinggi
dari asosiasi TB paru [11, 13, 14], asosiasi TB paru diamati secara luas berkisar
antara 8.3% dan 55,.6% [10, 11, 13, 14, 16, 17]. Selanjutnya, Graft [28]
melaporkan bahwa prevalensi tertinggi TB paru yang terkait dengan NPTB dalam
studinya adalah 82%. Singkatnya, kedua mekanisme infeksi itu mungkin terjadi
tergantung pada persentase hubungan antara NPTB dan TB paru pada masing-
masing penelitian.
Selain itu, Chan et al. [25] menggambarkan mekanisme NPTB berkembang
dalam postradioterapi NPC. Ini mungkin hanya sebagian akibat kerusakan lokal
pada nasofaring yang dimana mencapai radioterapi dosis tinggi (60 sampai 74 Gy),
menghasilkan dalam penghancuaran dinding mukosa dan imunodefisiensi lokal
atau kerentanan.

4. Manifestasi Klinis
NPTB dapat berkembang pada pasien yang sehat tanpa penyakit yang
mendasari dan tidak ada riwayat kontak dengan tuberkulosis atau tidak host yang
immunocompromise [6, 24]. Gejala klinis yang timbul bisa berupa gejala sistemik
atau nasofaring. Keluhan umum adalah malaise, demam rendah, meningkat suhu di
malam hari, yang berulang, keringat malam, penurunan berat badan, dan batuk
produktif [6, 13, 14, 17, 19, 20]. Gejala yang paling umum adalah pembesaran
kelenjar getah bening servikal yang diamati lebih dari 70% dalam banyak
penelitian [10, 11, 13, 14, 17, 25]. Pola pembesaran kelenjar pada NPTB berbeda
dengan limfadenitis tuberkulosis servikal primer; yang berakhir biasanya
melibatkan supraklavikularis dan kelompok posterior juga timbul secara unilateral,
multiple, atau limfadenopati bergerombol [30-33], sedangkan yang pertama
bersamaan mempengaruhi drainase limfatik nasofaring [10, 11, 14]. Kelenjar getah
bening retropharyngeal adalah formasi kelenjar pertama dan paling sering terkena
dampak pertama kali dan diidentifikasi dari pencitraan [10]. Namun jugular bagian
atas, jugular tengah, dan kelompok kelenjar getah bening servikal posterior lebih
banyak umumnya ditemukan pada pemeriksaan fisik [10, 11, 14]. Ciri nodal
biasanya dimanifestasikan sebagai keterlibatan multiple dan bilateral (Tabel 2) [10,
11, 13, 14, 17].
Gejala nasofaring yang bisa timbul sendiri atau dengan pembesaran nodal
termasuk (1) Masalah telinga: kepenuhan aural, gangguan pendengaran, otorrhea,
otalgia, tinnitus, dan efusi telinga tengah [34-36], (2) masalah hidung hidung,
postnasal drip, sumbatan hidung, dan epistaksis [25, 37, 38], (3) lainnya:
mendengkur, sakit kepala, dan diplopia [10, 24, 39-41].
Pada pemeriksaan nasofaringoskop,perbedaan tampak pada temuan
nasopharyngeal dapat dideteksi terdiri dari penampilan normal, mukosa tidak
beraturan, lesi ulseratif, massa, menonjol atau bengkak, patch putih menutupi area
nasofaring (Gambar 1), dan hiperplasia limfoid (Tabel 3) [11, 13, 14, 17].

Tabel 2. Karakteristik Klinikal dari Limfadenopati Servikal pada NPTB


Pengarang % dari Limfadenopati (n Bilateral (%) : Multipel (%) :
pembesaran LN: n total) unilateral (%) Solitari (%)

Cai et al. [10] 80.6% (29 : 36) 65.5 : 34.5 79.3 : 20.7

Srirompotong et al. [11] 91.3% (21 : 23) 71.4 : 28.6 90.5 : 9.5

Tse et al. [13] 58.8% (10 : 17) 20 : 80 NA

Chongkolwatana et al. [14] 93.3% (14 : 15) 42.9 : 57.1 64.3 : 35.7

Waldron et al. [17] 70% (7 : 10) 57.1 : 42.9 71.4 : 28.6

Tabel 3. Hasil Temuan Nasofaring dari 4 Skala Besar


Hasil Temuan Srirompotong et Tse et al. [13] Chongkolwatana Waldron et al.
al. [11] (n = 17) et al. [14] [17]
(n = 23) (n = 15)
(n = 10)

Normal 7 (30%) 1 (6%) 2 (13.3%) 2 (20%)


Mukosa 5 (22%) 6 (35%) 7 (46.6%) NA
Iregular
Ulseratif 2 (9%) 1 (6%) 1 (6.7%) NA
Massa 9 (39%) 6 (35%) 3 (20%) 4 (40%)
Menonjol dan NA 1 (6%) 1 (6.7%) NA
bengkak
White patch NA 1 (6%) NA NA
pada mukosa
Pembesaran NA NA 1 (6.7%) 4 (40%)
limfoid
Tidak ada data NA 1 (6%) NA NA
NA= Not Available
Gambar 1: Perempuan berusia 32 tahun, pemeriksaan nasofaring menunjukkan kemerahan
yang irregular pada mukosa dan white patch yang menutupi area nasofaring

5. NPTB Berhubungan dengan Infeksi HIV


Infeksi TB dan HIV telah dilaporkan sebagai kondisi yang berdampingan
dan koepidemik. Tiga belas persen orang yang tekena TB adalah HIV-positif. Hasil
pengobatan lebih buruk untuk pasien HIV-positif dengan TB (74%) dibandingkan
dengan pasien HIV- negatif (88%) dan mortalitas lebih dari tiga kali lebih tinggi
tiga kali lipat di antara pasien TB dengan HIV positif [1]. Meskipun hubungan
antara NPTB dan infeksi HIV belum diklarifikasi, beberapa artikel menyebutkan
bahwa hasil pengobatan bagus pada pasien NPTB dengan HIV-positif dan HIV-
negatif [11, 14, 22-24]. Namun, seharusnya tes HIV dilakukan pada setiap kasus
TB untuk mengurangi beban dari pasien TB terkait HIV.

6. Teknik Diagnosik
6.1 Imaging.
Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
dilaporkan sebagai alat yang berguna untuk TB kepala dan leher TB,
menunjukkan lokasi, pola, dan perpanjangan penyakit [42, 43]. Selain itu,
detail lebih halus dari lesi yang terdeteksi dari pencitraan MRI sangat
membantu dalam membedakan penyakit nasofaring [42]. Baik nasofaring dan
kelenjar getah bening menunjukkan karakteristiknya yang mencurigakan
(Tabel 4) [10, 44]. Massa polipoid nasofaring adalah temuan umum pada CT /
MRI diikuti oleh penebalan mukosa yang difus [10, 44]. Lesi biasanya terbatas
pada daerah nasofaring tanpa invasi ke struktur sekitarnya seperti tengkorak,
otot prevertebral, rongga nasal, dan daerah orofaringeal (Gambar 2). Cai dkk.
[10] menyarankan bahwa nekrosis kecil di lesi nasofaring yang merupakan
nekrosis kaseus pada patologi mungkin sangat berguna sebagai petunjuk untuk
mendiagnosis NPTB (Gambar 3), walaupun luasnya nekrosis mungkin
memiliki penampilan serupa pada NPC tapi lebih sering terjadi pada tumor
besar atau setelah pengobatan [10]. King dkk. [44] menyebutkan bahwa TB
yang melibatkan jaringan limfoid kadang menyebabkan kerusakan arsitektur
limfoid normal. Dengan demikian fitur bergaris yang dikenali ciri pembesaran
jinak dari adenoid nasofaring bisa menyebabkan kerusakan. Poin ini mungkin
bisa membantu membedakan antara NPTB dan adenoid [10, 44]. Cervical
Limfadenopati juga terdeteksi dari imaging dengan ciri khas tersendiri sesuai
tahap penyakit sentral (Tabel 4) [10, 44].
Baru-baru ini, PET / CT 18F-FDG telah menjadi alat pencitraan yang
terancang dalam onkologi dan sekarang diterapkan pada bidang infeksi dan
penyakit inflamasi [42, 45, 46]. Kelebihan dalam NPTB meliputi (1) lokasi
yang ditandai jelas dengan lesi TB [42]; (2) identifikasi TB ekstrapulmoner
[42, 45]; (3) kelainan metabolik yang dipandu letak biopsi [42]; (4) penilaian
respon pengobatan [45, 46]. Selain itu, PET 18F-FDG memiliki kemampuan
tersendiri untuk membedakan penyakit aktif dari inaktif pada TB paru dengan
titik pencitraan dual time [45]. Namun, pengukuran nilai standar yang
digunakan tinggi baik pada TB dan lesi ganas, dengan signifikasi yang
tumpang tindih yang membatasi kegunaannya [42, 45].
6.2 Diagnosis Jaringan.
Gold standart untuk diagnostik TB adalah kultur bakteri Mycobacterium
spp positif dari jaringan atau dari sputum yang juga mencapai kepekaan obat
[2, 32, 33, 44]. Tetapi tes ini membutuhkan waktu empat sampai enam minggu
[20, 32, 33]. Histopatologi disarankan menjadi alat diagnostik yang
bermanfaat. Lesi kotor NPTB bisa menirukan penyakit nasofaring lain yang
dapat diobati termasuk NPC, limfoma, karsinoma kelenjar saliva minor,
Wegener's granulomatosis, angiofibroma, infeksi jamur, sarkoidosis,
periarteritis nodosa, lepra, sifilis, dan penyakit Castleman [22, 25, 26, 34, 38,
44, 47]. Laporan patologis yang khas untuk mendiagnosis NPTB adalah
peradangan granulomatosa yang mengkhawatirkan dengan multinukleat giant
cell tipe Langhans dan body giant cell asing, dengan atau tanpa nekrosis [25,
32, 33], Meskipun NPC sendiri dapat menimbulkan reaksi granulomatous,
mirip dengan TB, pada jaringan peritumoral [25, 44]. Selanjutnya peradangan
granulomatosa kronis dengan pewarnaan Ziehl Neelsen positif untuk basil
tahan asam atau kultur bakteri bisa juga ditunjukkan [11, 14, 33, 44]. Selain itu,
kasusnya yang sangat curiga untuk terjadi TB namun kultur bakteri negatif,
pewarnaan bakteri, dan analisa polymerase chain reaction (PCR) untuk DNA
M. tuberculosis sangat membantu [2, 22, 24, 25, 32]. Banyak penulis
menyarankan pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk basil tahan asam di bagian
histologis dapat diandalkan dan sensitif lebih cepat dan lebih murah dibanding
kultur bakteri dan analisis PCR. Metode yang terakhir harus dicadangkan untuk
kasus dengan stain negatif untuk menghindari terjadinya miss terhadap peyakit
infeksi yang dapat diobati[13, 20, 22, 24, 25].

Tabel 4. Ringkasan dari hasil temuan pada CT/MRI


Letak Hasil temuan CT/MRI
Nasofaring Massa Polypoid
Penebalan difus dinding mukosa pada nasofaring
Ekstensi yang kurang diluar nasofaring
Invasi ke struktur sekitar yang kurang seperti otot prevertebral, rongga
hidung, dan orofaring
Lesi necrosis terutama dalam lesi nasofaring yang kecil
Kerusakan dari ciri yang bergaris
Kelenjar Limfa Pemikatan kontras yang homogeny (fase awal)
Pemikatan rim peripheral dengan sentral nekrosis (fase progresif)
Fibrosis dan kalsifikasi bisa tampak homogeny tanpa pemikatan (fase
lambat)
Diameter axial terpendek >= 5mm untuk LN retrofaring dan >= 10 mm
untuk LN pada leher

Gambar 2: Perempuan 32 tahun, pemikatan kontras aksial pada CT menunjukkan


penebalan mukosa difus tanpa invasi ke struktur sekitar
Gambar 2: Perempuan 32 tahun, pemikatan kontras sagital pada CT menunjukkan nekrosis
area sentral yang kecil pada lesi nasofaring

7. Penatalaksanaan
Jangka minimal pengobatan TB ekstrapulmoner adalah enam bulan [11, 14, 19,
20]. Regimen pengobatan adalah antara tripel kombinasi termasuk isoniazid (INH),
rifampisin (RFP), dan etambutol (EB) selama 9-18 bulan atau quadritherapy yang
menambahkan pyrazinamide (PZA) selama sembilan bulan [19, 20]. Selain itu,
Waldron dkk. [17] memilih regimen standar INH, RFP, dan PZA untuk jangka
waktu minimum enam bulan dan menambahkan streptomisin selama dua sampai
tiga bulan pertama. Beberapa penulis memilih dua bulan INH, RFP, EB, dan PZA
diikuti oleh INH dan RFP selama empat sampai tujuh bulan [11, 14, 22, 40].
Dengan pengobatan yang adekuat, TB nasofaring membawa prognosis yang baik
dan tidak ada kasus resistensi terhadap obat antituberkulosis atau kegagalan
terapeutik telah diperhatikan [9, 11, 14, 17-20, 22, 40].

8. Kesimpulan
Meskipun NPTB jarang terjadi dalam literatur sebelumnya, baru-baru ini
terjadi peningkatan jumlah kasus dalam skala besar telah dilaporkan. Alasan yang
dicurigai meliputi (1) kesadaran akan penyakit; (2) peningkatan pengetahuan
tentang manifestasi klinis; (3) perbaikan teknik diagnostik; dan (4) peningkatan
angka kejadian penyakit. Menurut variabilitas dari manifestasi klinis, kesadaran
akan penyakit ini dan evaluasi yang tepat pada pasien merupakan pertimbangan
utama untuk menghindari salah diagnosa Terutama membedakan antara NPC dan
NPTB, yang pertama memiliki presentasi klinis serupa yang termasuk pembesaran
kelenjar getah bening servikal dan lesi di nasofaring Diagnosis jaringan harus
menjadi pertimbangan dalam semua kasus. Histopatologi khas dengan peradangan
granulomatosa biasanya harus diidentifikasi. Juga diagnosis harus dikonfirmasi
dengan pewarnaan cepat basil tahan asam. Namun dalam kasus yang sangat
mencurigakan, kultur bakteri dan analisis PRC harus dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai