Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia
merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan
yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik
atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah)
(al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik
Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan
untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan
artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang
dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak
dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-
Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau
serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-
‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya
menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah:
6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang
disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab yaitu Waqf yang berarti menahan,
Menurut literatur yang lain mendefinisikan bahwa Wakaf ialah menyerahkan suatu benda yang
kekal zatnya untuk diambil manfaatnya baik oleh umum maupun oleh perorangan. ( Syamsuri:
2006 ) Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama, al-Qur’an surat al-
hajj : 77 Artinya: Berbuatlah kamu akan kebaikan agar kamu dapat kemenangan Dalam salah
satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhori dan Ibnu Majah dari Abi
Hurairah RA. Sesungguhnya nabi SAW bersabda: “apabila mati seorang manusia, maka
terputuslah ( terhenti ) pahala perbuatannya, kecuali tiga perkara: a. Shadaqah Zariah (wakaf), b.
ilmu yang dimanfaatkan baik dengan cara mengajar maupun dengan cara karangan, c. anak yang
Tanah wakaf, adalah suatu hak atas tanah yang diperoleh dari seseorang atau badan
(masyarakat banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, sesuai dengan peruntukkannya atau
tujuan wakaf.
Sedangkan tanah yang dapat di wakafkan, adalah tanah yang berstatus tanah milik,
karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpenuh bagi si empunya tanah. Oleh karena itu apabila
tanah tersebut diwakafkan, maka tidak menimbulkan akibat yang dapat menggangu sifat
tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam mazhab Syafi’i. Namun dalam keadaan darurat
dan prinsip maslahat, di kalangan pada ahli hukum (fikih) Islam mazhab lain, perubahan itu
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata alih, berarti pindah, ganti, tukar. Sedangkan
fungsi, berarti kegunaan suatu hal. Selanjutnya status, berarti keadaan atau kedudukan itu tetap
terus berlangsung sebagai shadaqah jariyah, tidak mubazir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan
sebagainya. Semua perubahan itu dimungkinkan berdasarkan pertimbangan agar tanah atau harta
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 1977 : Bahwa pada dasarnya terhadap
tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan pemanfaatan atas
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Akan tetapi ada beberapa
kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Agama, yaitu : karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf seperti yang telah diikrarkan wakif dan
Menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) No 1 Tahun 1978 : bahwa prosedur untuk
mengubah status dan penggunaan tanah wakaf adalah :Nazhir berkewajiban mengajukan
permohonan tentang perubahan fungsi tanah wakaf itu kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama Cq Kepala Bidang Urusan Agama Islam Provinsi melalui KUA Kecamatan
perubahan penggunaan tanah wakaf tersebut. Sedangkan untuk perubahan status tanah wakaf,
Kepala Kanwil Depag meneruskan kepada Menteri Agama Cq Dirjend Bimas Islam dengan
permohonan itu secara tertulis. Perubahan ini diizinkan apabila diberikan penggantian yang
sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.
2. Rukun Wakaf
b) Wakif ( orang yang berwakaf ), pemilik harta yang mewakafkan hartanya dengan syarat
c) Mauquf (harta yang diwakafkan ), pada permulaan wakaf diisyaratkan pada zaman
rasulullah maka sifat-sifat harta yang diwakafkan haruslah yang tahan lama dan
bermanfaat seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapaty bahwa
harta selain tanah dan kebunpun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama,
seperti binatang ternak, alat-alat pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan bangunan.
Akan tetapi dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat adapun kesimpulan
dari berbagai pendapat tersebut pada asasnya semua harta yang bermanfaat dapat
diwakafkan, hanya saja harta yang tahan lama lebih lama pula mengalir pahalanya
diterima oleh waqif dibanding dengan harta yang tidak tahan lama.
d) Mauquuf’alaih ( tujuan wakaf ), antara lain untuk mencari keridhaan Allah Swt dan untuk
kepentingan masyarakat.
e) Shighat wakaf, ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh
3. Syarat-Syarat Wakaf
a) Untuk selama-lamanya, merupakan syarat sahnya amalan wakaf tidak sah bila dibatasi
b) Tidak boleh dicabut, bila dalam melakukan wakaf telah sah maka pernyataan itu tidak
boleh dicabut.
c) Pemilikan wakaf tidak boleh dipindah tangankan, dengan terjadinya wakaf maka sejak itu
harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT dan tidak boleh dipindah tangankan kepada
d) Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya, tidak sah wakaf bila
tujuannya tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran agama islam. ( Asymuni
4. Macam-Macam Wakaf
ada dua macam wakaf yang terkenal dikalangan kaum muslimin, yaitu:
a) Wakaf ahli, atau wakaf keluarga yang diperuntukan hanya khusus kepada orang-orang
tanah untuk mendirikan masjid dan lain sebagainya. (Asymuni A.Rahman, Dkk: 1986 )
5. Manfaat Wakaf
Adapun manfaat wakaf bagi yang menerima wakaf atau masyarakat antara lain:
Pelaksanaan wakaf diindonesia diatur oleh undang-undang republik Indonesia No. 41 tahun 2004
tentang wakaf yang disahkan oleh presiden RI Dr. H. Sosilo Bambang Yudhoyono pada tanggal
27 Oktober 2004, dan diundangkan di Jakarta pada tanggal pengesahannya oleh sekretaris
Selain itu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah perwakafan tanah
a) Undang-undang No.5 tahun 1960, tanggal 24 September 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok agrarian, pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwa perwakafan tanah milik
Kemudian pasal 9 ayat 5 PP No.28 tahun 1997 menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar,
fihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan surat-surat berikut:
b) Surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang
d) Izin dari bupati/walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala sub Direktorat Agrarian
setempat.(Adijani al-alabij:1992)
Teori Receptio a Contrario yang dikemukakan oleh Hazairin (1906-1975) dan kemudian
diikuti Sayuti Thalib (1924-1990) merupakan teori yang mendasari pembahasan tesis ini. Selain
itu teori hukum dan perubahan sosial juga ada relevansinya dengan penulisan ini, karena
Disamping itu teori kesadaran hukum juga ikut mendukung dalam pembahasan ini.
Receptio a Contrario merupakan teori yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukum adat baru berlaku apabila hukum agama
telah menerimanya. Teori ini merupakan kebalikan dari teori resepsi, yaitu hukum adat yang
tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam harus dikeluarkan dan ditolak. Berdasarkan teori
Receptio a Contrario tersebut dikaitkan dengan alih fungsi tanah wakaf, dapat dipahami bahwa
Nazhir dalam melakukan alihfungsi tanah wakaf tersebut haruslah dengan memperhatikan
maksud- maksud syarak (Maqasid Syari’ah). Artinya sepanjang pelaksanaan alihfungsi yang
dilakukan oleh Nazhir tersebut sesuai dengan maksud- maksud syarak, maka sepanjang itu pula
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa terhadap benda wakaf tidak boleh dijual,
dihibahkan ataupun diwariskan. Atau dengan kata lain, bahwa pada dasarnya terhadap tanah
wakaf tidak dapat dilakukan alih fungsi atau perubahan peruntukan/penggunaan ataupun
statusnya selain dari yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Namun dengan adanya perkembangan