Anda di halaman 1dari 8

JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Konsep Belajar
menurut az-Zarnuji

Siswadi *

*)
Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dan menjadi dosen tetap di Jurusan Pendidikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto.

Abstract: Learning concept which afforded by az-Zarnuji is complete with normative values, though there’s a lot
expression about learning concept which having practical character. Therefore, az-Zarnuji concepts is exactly easy to
understand and able to actualize in all different place and time. In modern day, when science and technology thrive so fast,
moral value start to attenuate and replaced by immoral culture value. Learning concept that afforded by az-Zarnuji actually
have very instituted and applied in almost every education institutes in Indonesia. This understanable, considering this learning
concept have logical character, easy to apply, and also accepted by all student in education institute environment, especially
Islamic education. Keywords: learning concept, az-Zarnuji.

Pendahuluan

M
anusia lahir tidak dalam keadaan kosong, tetapi dibekali dengan fitrah Islam. Ia juga mempunyai
jasmani, akal, qalb (hati nurani), dan nafsu. Oleh karena itu, kurang tepat apabila dalam belajar
hanya ditekankan pada pengembangan aspek kognitif, yang hanya mencapai kebenaran sensual
dan logik, sementara kebenaran etik dan transendental terabaikan. Namun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa proses belajar-mengajar pada umumnya terlalu dititikberatkan pada aspek kognitif
dengan melupakan dua aspek lainnya (afektif dan psikomotorik), padahal aspek afektif sangat penting
artinya dalam pembentukan sikap.1 Pendidikan (belajar) ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan,
kecerdasan, dan keterampilan. Pendidikan selalu mengacu pada ketiga aspek tersebut.
Begitu besar penekanan pada aspek kognitif sehingga hampir setiap hari peserta didik tidak terlepas
dari berbagai tugas akademis yang sifatnya mengarah kepada pengembangan kemampuan akal, baik
melalui ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial atau humaniora.
Dalam hal ini perlu dipertanyakan, mampukah gerakan kognitif-intelektif melestarikan nilai-nilai
tradisional, etik, dan transendental? Dr. Ali Asraf menilai bahwa pendidikan (inklusif belajar) yang
mendasarkan pada penalaran (rasionalitas) itu bertanggungjawab pada tumbuhnya semangat
individualisme, lahirnya skeptisisme, keengganan menerima hal-hal yang tak dapat ditampilkan secara
observasional, sikap menjauhi hal-hal yang tak dapat ditampilkan secara observasional, dan sikap
menjauhi hal-hal yang ilahiah dan cenderung pada hal-hal yang bersifat inderawi.2
Sementara itu, pendidikan dalam Islam tidaklah demikian, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Atiyyah al-
Abrasyi dalam bukunya at-Tarbiyah al-Islamiyah bahwa pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa
dari pendidikan Islam. Dengan demikian, terbentuknya akhlak yang sempurna merupakan tujuan yang
sebenarnya dari pendidikan. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak mementingkan pendidikan jasmani

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 1 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

atau pengembangan akal, artinya bahwa kita memperhatikan aspek pendidikan akhlak seperti halnya
aspek-aspek yang lain.3
Dengan demikian, peserta didik sudah saatnya menyeimbangkan dan mengharmoniskan
pengembangan potensi akal-pikiran dengan moral, zikir, dan keterampilan. Untuk hal itu, maka
diperlukan adanya pedoman, meskipun sederhana, tetapi bisa dijadikan pegangan.
Oleh karena itu, tepatlah pada kesempatan ini kita mencoba memahami ide-ide tentang metode
pembelajaran Islam, sebagaimana diilustrasikan oleh Burhan ad-Din az-Zarnuji dalam risalahnya yang
berjudul “Ta’lim al-Muta’aalim Tariqatu at-Ta’allum”. Metode pembelajaran tersebut diarahkan pada
suatu yang sangat esensial dalam ruang lingkup problematika yang membawa murid ke dalam situasi,
di mana ia harus menegakkan komitmen ketuhanannya (komitmen transendental), hormat kepada guru,
dan penuh kesungguhan (jidd) dalam mengkaji ilmu pengetahuan.

Az-Zarnuji dan Latar Belakang Pemikirannya


Mengenai siapa az-Zarnuji, sedikit literatur yang mengungkap riwayat hidupnya. Sebagai
gambaran, dari beberapa referensi4 dapat diketahui namanya adalah Burhan al-Islam az-Zarnuji atau
Burhan ad-Din az-Zarnuji. Dia lebih dikenal dengan sebutan az-Zarnuji, berasal dari kata Zarnuj, yaitu
suatu negeri (daerah) yang menurut al-Qarasyi berada di Turki dan menurut Yaqut terletak di Turkistan,
di seberang sungai Tigris.5 Ia hidup pada masa-masa akhir kekhalifahan Abbasiyah II dan meninggal
sekitar tahun 620H. Dari sini dapat diketahui bahwa az-Zarnuji hidup pada masa kejayaan ilmu
pengetahuan, di mana banyak didapati pusat studi, baik di Timur, maupun di Barat. Pendidikan pada
masa itu pun berkembang pesat.
Dimulai sejak awal Daulah Abbasiyah, gerakan intelektual telah digalakkan, yaitu dengan
menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan Yunani, seperti filsafat, logika, sejarah, kedokteran,
dan sebagainya. Kemudian dengan mendirikan pusat-pusat studi (lembaga pendidikan), baik madrasah
maupun lembaga pendidikan tinggi, seperti “Bait al-Hikmah” yang didirikan oleh Harun ar-Rasyid,
tidak hanya sebagai lembaga penerjemahan, tetapi telah berkembang menjadi pusat studi Islam terbesar
saat itu.6
Namun demikian, pada perkembangan selanjutnya, az-Zarnuji melihat banyak di antara mereka
yang tekun menuntut ilmu, tetapi tidak dapat memetik manfaatnya, yaitu mengamalkan dan
menyiarkan ilmu tersebut. Hal ini menurut az-Zarnuji disebabkan karena mereka salah jalan dan tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana mestinya. Oleh karena alasan inilah az-Zarnuji berusaha
menjabarkan tatacara dalam menuntut ilmu agar dapat meraih kesuksesan.

Konsep Belajar Menurut az-Zarnuji


Makna Belajar

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 2 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Az-Zarnuji menggunakan istilah “ta’allum” dalam diskursus “belajar”, yang memiliki makna lebih
dari makna belajar secara denotatif.7 Sejauh pemahaman penulis, ketika az-Zarnuji memberikan
pemaknaan belajar (ta’allum) mencakup beberapa aspek.
Berdasarkan atas kandungan kitab ta’alim al-Muta’allim: Tariq at-Ta’allum, dapat dipahami bahwa
belajar menurut az-Zarnuji adalah mengembangkan semua potensi diri seefektif mungkin, baik jasmani
maupun ruhani untuk mempelajari, menguasai secara baik, menghayati, serta mengamalkan ilmu-ilmu
yang dituntutnya.
Di samping itu, menurut az-Zarnuji, belajar harus mempunyai nilai transendental ilahiah sebagai
suatu yang bernilai ibadah. Oleh karena itu, belajar menuntut kesungguhan, keikhlasan, dan pengamalan
dalam kehidupan, untuk semata-mata mengharapkan ridla Allah dan memperoleh kebahagiaan dunia
akhirat.
Oleh karena sebagai ibadah, sebagaimana dalam pengajaran agama Islam az-Zarnuji juga
mencantumkan aspek hukum dari belajar itu sendiri. Ia mengatakan bahwa belajar sebagai suatu
kewajiban,8 dengan menunjukkan Hadis Nabi SAW, yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”.
Di samping itu juga merujuk firman Allah yang pertama kali turun, yaitu kata “Iqra” yang berarti
“bacalah” dapat dipahami sebagai perintah untuk belajar karena membaca merupakan salah satu bentuk
belajar.
Diperintahkannya membaca —dalam arti luas belajar— paling awal dari perintah-perintah lain tentu
bukan tanpa maksud. Secara rasional kita tahu bahwa membaca memberikan peran yang sangat besar
dalam kehidupan manusia. Dengan membaca kita akan memperoleh banyak pengetahuan sehingga
mampu beribadah dengan baik dan mampu melestarikan alam semesta ini. Hal ini berkaitan dengan
tugas manusia sebagai Khalifah fi al-ard, yang mempunyai peran dan tanggungjawab besar pada
dirinya, masyarakat, dan alam semesta, dan untuk pemenuhannya tidaklah mungkin tercapai tanpa ilmu.
Dengan demikian, tepatlah apabila az-Zarnuji menyatakan bahwa belajar adalah wajib bagi setiap insan
(khususnya muslim).
Setelah menguraikan tentang hukum belajar (menuntut ilmu), az-Zarnuji mengemukakan tentang
ilmu-ilmu yang harus dipelajari. Menurutnya, tidak semua ilmu dipelajari, tetapi hanya ‘ilmu hal, yaitu
ilmu atau pengetahuan-pengatahuan yang selalu diperlukan dalam menunjang kehidupannya.
Lebih lanjut az-Zarnuji mengklasifikasikan ilmu berdasarkan atas nilai manfaat bagi kehidupan
seseorang menjadi; (1) ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang; (2) ilmu yang bersifat fadlu kifayah;
dan (3) ilmu yang haram dipelajari. Hal ini terlihat dari ungkapan yang ditulisnya, “Mengetahui ilmu
yang diperlukan oleh setiap orang di setiap waktu ibarat makanan (pokok) yang diperlukan setiap
individu”. Adapun ilmu yang diperlukan pada waktu-waktu tertentu diidentikkan dengan obat yang
diperlukan ketika sakit.9 Ibarat itu dapat menunaikan kewajiban agama dan duniawi tanpa makan. Oleh
karenanya, mempelajari ilmu-ilmu tersebut mutlak adanya, seperti ilmu “hal”, ilmu ahwal al-qalb
(akhlak). Adapun ilmu yang digunakannya hanya dalam waktu-waktu tertentu atau cukup dipelajari
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 3 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

oleh beberapa orang dari suatu masyarakat, hukumnya fardlu kifayah, seperti ilmu kedokteran, ilmu
teknik, dan sejenisnya. Di samping itu, ada pula ilmu yang tidak boleh dipelajari, yaitu ilmu-ilmu yang
kemungkinan membawa madlarat lebih besar, seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang arahnya
negatif).
Untuk itu, az-Zarnuji menganjurkan kepada penuntut ilmu untuk mempelajari dan menekuni ilmu-
ilmu yang terbaik bagi dirinya, bagi urusan agamanya, dan bagi kehidupannya sekarang dan masa yang
akan datang. Adapun ilmu itu sendiri didefinisikan sebagai suatu sifat (kualitas) yang dimiliki seseorang
dan mengandung nilai-nilai kebenaran sensual, logik, etik, dan atau transendental, yang harus dihayati
dan diamalkan demi kebahagiaan hakiki.10
Prinsip-prinsip Belajar
1. Niat (an-niyah)
Dalam Islam, segala sesuatu itu ditentukan oleh niat yang mendasarinya. Suatu awal perbuatan besar
ataupun kecil di bidang apapun, dinilai sesuai dengan niatnya.11 Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Innamâ al-a’mâlu bi an-niyâh ”, artinya, “Tiap amal (perbuatan) itu dinilai atau dihargai menurut
niatnya”.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, berangkat dari pemikiran bahwa belajar mempunyai nilai ibadah,
maka az-Zarnuji menyatakan dalam belajar hendaknya dengan niat mencari ridla Allah SWT,
kebahagiaan akhirat, mengembangkan, dan melestarikan Islam memerangi kebodohan. Hal ini berarti
bahwa belajar harus berorientasi transendental Ilahi dengan diimplementasikan pada niat semata-mata
karena Allah, sebagai rasa pengabdian dan rasa syukur atas karunia-Nya.
2. Sungguh-sungguh (al-jidd)
Menurut az-Zarnuji, untuk mencapai kesuksesan diperlukan kesungguhan dalam belajar, berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu yang diinginkan. Terbukti pada ulama terdahulu,
mereka dapat mencapai sukses gemilang karena mereka mempunyai semangat belajar yang luar biasa
dan penuh kesungguhan.12
Lebih lanjut, az-Zarnuji mengaitkan “kesungguh-sungguhan” (jidd) tersebut dengan hal-hal praktis,
seperti kontinuitas dalam belajar, artinya dalam pencapaian suatu ilmu diperlukan usaha terus-menerus.
Dengan demikian, pengulangan pada telaah suatu ilmu membutuhkan potensi fisik maupun nonfisik,
sehingga az-Zarnuji mengingatkan, bahan dalam sikap bersungguh-sungguh tersebut harus disertai
sikap menyantuni (memelihara) diri.13 Oleh karena tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan aktivitas
belajar juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ataupun kualitas fisik maupun nonfisik.
Demi terjaganya kesungguh-sungguhan dalam berupaya, az-Zarnuji juga berpesan agar para peserta
didik memiliki motivasi dan cita-cita luhur (himmah al-âliyah) dan menanamkannya pada keyakinan
mereka. Dengan demikian, kesungguhan tersebut akan bermuara pada satu titik tertentu, yaitu cita-cita

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 4 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

yang telah dicanangkan. Hal inilah yang dimaksud dengan pernyataan, “Pangkat kesuksesan adalah
kesungguhan (al-jidd) dan cita-cita yang luhur (himmah al-âliyah).14
3. Berserah Diri (at-tawakkal)
Tawakkal merupakan suatu sikap untuk berserah diri sepenuhnya kepada Yang Mahakuasa setelah
melakukan usaha secara maksimal sesuai kemampuan (potensi) yang dimiliki. Imam Ja’far ash-Shidiq
mengibaratkan tawakal sebuah cangkir (berisi air minum) yang disegel oleh Allah, tak seorang pun
dapat minum darinya atau membuka kecuali orang yang dapat dipercaya.15
Dengan demikian, tawakal erat kaitannya dengan kepercayaan (keimanan) karena tidak mungkin
sikap berserah diri dilakukan seseorang kepada sesuatu tanpa adanya suatu “kepercayaan”. Sikap yang
demikian, menurut az-Zarnuji juga harus dimiliki (peserta didik).16
Tidak jarang, ketika proses belajar berlangsung, pelajar terantuk kerikil-kerikil yang menganggu
perjalanannya dalam menuntut ilmu sehingga terkadang akan menggoyahkan langkah yang
sebelumnya telah tegap dan mantap; atau juga dapat mengganggu motivasi dan konsentrasi belajarnya;
atau bahkan akan mematahkan niat dan semangat belajar karena terbentur pada suatu problem yang
mempengaruhi proses belajarnya. Di sinilah letak sikap tawakal diperlukan seorang pelajar yang
menuntut ilmu dalam rangka mencapai ridla Allah. Dengan demikian, hati dan pikirannya akan tetap
terjaga dalam proses belajar, karena adanya “keyakinan” kepada Allah Yang Mahakuasa, bahwa ketika
telah dilakukan sikap tawakal, maka dengan ridla Allah masalah-masalah yang muncul dapat
diselesaikan dengan inayah Allah.
4. Sikap Hormat Pada Guru
Di samping ketiga prinsip di atas, menurut az-Zarnuji, menghormati guru dan ahli ilmu juga
merupakan sikap yang harus dimiliki oleh pelajar. Guru merupakan wakil orangtua dalam
melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran sehingga dalam istilah Arab disebut dengan Abu
Ra’id.17 Oleh karena dengan ilmu dan pendidikan yang diberikan guru itu dapat menghantarkan
seseorang mencapai kebahagiaan. Az-Zarnuji mengatakan bahwa orang yang mengajarimu satu huruf
ilmu yang diperlukan dalam urusan agama adalah bapak dalam kehidupan agamamu.
Adapun implementasinya, az-Zarnuji mengilustrasikan dengan tindakan-tindakan yang membuat
sang guru rela (ridla) seperti itulah yang dilakukan ulama terdahulu (di zaman klasik), termasuk guru-
gurunya seperti al-Khulwany, sehingga mereka benar-benar memperoleh ilmu dan dapat memetik
manfaatnya.
Strategi Belajar
1. Memilih Ilmu
Dalam menuntut ilmu, az-Zarnuji menyarankan seorang pelajar hendaknya memilih mana yang
terbaik dan dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu dan waktu yang akan datang.

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 5 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Az-Zarnuji menegaskan bahwa pertama yang harus dipelajari adalah Tauhid, mengenal Allah
dengan disertai dalil-dalilnya, kemudian ilmu fiqh. Sebaiknya juga memilih ilmu-ilmu kuno (‘âtiq).18
Untuk menentukan ilmu-ilmu yang akan dipelajari seyogyanya pelajar membicarakannya
(bermusyawarah) dengan gurunya. Oleh karena seorang guru lebih tahu ilmu-ilmu mana yang tepat
dipelajari sesuai dengan bakat (potensi) seorang pelajar.

2. Memilih Guru
Pendidikan Islam bukan sekadar pengajaran atau penyampaian ilmu pengetahuan (ta’alîm), tetapi
juga pelatihan jiwa dan kepribadian (tarbiyah). Oleh karena itu, guru bukan sekadar mu’allim,
penyampai pengetahuan, tetapi juga murabbi.
Untuk itu, az-Zarnuji menyarankan bahwa dalam hal memilih guru hendaknya yang lebih ‘âlim,
wara’, dan lebih tua usianya. Seperti yang dilakukan Abu Hanifah, setelah dipertimbangkan lebih lanjut,
akhirnya menentukan pilihannya kepada Syeh Hommad bin Sulaiman karena baliau adalah seorang
yang berbudi luhur, berdada lebar, dan penyabar. Di samping itu, usianya juga sudah lanjut.
3. Memilih Teman
Strategi belajar selanjutnya, menurut az-Zarnuji adalah memilih teman. Menurut dia teman belajar
juga mempengaruhi proses belajar. Dengan bergaul atau berteman dengan pelajar yang tekun, tentu
akan punya pengaruh yang baik, sedangkan bergaul dengan pelajar yang pemalas akan membawa
kepada kondisi yang sama. Az-Zarnuji menghimbau secara rinci tipe-tipe pelajar yang layak untuk
dijadikan teman, yaitu tekun, wara’ dan jujur, serta mudah memahami masalah. Begitu pula sebaliknya,
beliau menghimbau untuk menghindari tipe-tipe teman yang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka
mengancam, dan gemar memfitnah.
Ketiga strategi belajar tersebut dapat dipahami sebagai strategi yang masih terbatas dan cenderung
merupakan strategi yang hanya berpengaruh secara tidak langsung dalam proses dan keberhasilan
belajar. Namun dalam bagian lain, az-Zarnuji mengungkapkan strategi secara praktis dan dapat
berpengaruh secara langsung terhadap proses dan keberhasilan belajar.
Strategi belajar yang memiliki pengaruh secara langsung dalam proses dan keberhasilan belajar,
menurut az-Zarnuji, meliputi sabar dan tabah menghadapi kesulitan-kesulitan dalam belajar, sadar
bahwa belajar membutuhkan waktu yang panjang, bertingkah-laku baik (akhlak karimah) dan
menghindari akhlak tercela, dan senantiasa berdo’a dan bersyukur kepada Allah SWT.

Aktualisasi Konsep Belajar Az-Zarnuji dalam Dunia Pendidikan Dewasa Ini


Konsep belajar yang diungkapkan az-Zarnuji sebagaimana diuraikan di atas merupakan konsep
belajar yang sarat dengan nilai-nilai baik yang bersifat normatif, meskipun tidak sedikit ungkapan-
ungkapan tentang konsep belajar yang bersifat praktis. Oleh karena itu, konsep az-Zarnuji justru mudah
dipahami dan dapat diaktualisasikan dalam ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 6 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Pada jaman modern, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju pesat ini menyebabkan
nilai-nilai moral tampak mulai menipis sejalan dengan nilai-nilai budaya luhur yang secara perlahan
mulai bergeser dan digantikan oleh nilai budaya yang buruk.

Kesimpulan
Konsep belajar yang seperti ditawarkan oleh az-Zarnuji tersebut di atas pada umumnya memang
sudah sangat melembaga dan dipakai dalam (hampir keseluruhan) lembaga-lembaga pendidikan yang
ada di Indonesia. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwa konsep belajar tersebut memang
logis dan mudah diaplikasikan serta diterima oleh para peserta didik di lingkungan lembaga pendidikan,
terutama pendidikan Islam.

Endnote
1
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 209.
2
Suyata, “Upaya Pembenahan Pendidikan Islam Lewat Penataan Kembali Pemikiran dan Penerapannya”, dalam
Makalah Seminar di Univ. Muhammadiyah (Yogyakarta: TP, 1989), hal. 3.
3
Muhammad Atiyyah Al-Abrasy, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa falasifatuhu, Cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, TT), hal. 22.
4
Antara lain; Dairah al-Ma’arif, karya Ibrahim Zakki Khusyid; al-Mausi’ah al-Arabiyah Al-Muyassanah, oleh Muhammad
Syafiq Gorbal (Ed).
5
Muhammad Abdul Qair Ahmad, Ta’alim Muta’allim: al-Mursyid Al-Amin fi al-Tarbiyah al-Banat wa al-Banin (Kairo:
Maktabah al-Qur’an, 1986), hal. 10-11.
6
Lihat Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 20.
7
Belajar adalah berusaha mendapatkan ilmu. Lihat, Satrapradja, M., Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), hal. 2.
8
Ibrahim Bin Isma’il, Syarh Ta’alim al-Muta’allim Tariq at-Ta’allum (TTP: TP, TT), hal. 4, lihat juga Aliy As’ad, Bimbingan
Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan (Kudus: Menara Kudus, TT), dalam pendahuluan, hal. x-xi.
9
Ibrahim Bin Isma’il, Syarh, hal. 8.
10
Disarikan dari kitab Ta’alim Muta’allim Tariq at-Ta’allum, fasal I Tentang Pengertian Ilmu.
11
Tisna Amidjaja, Iman, Ilmu dan Amal (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 34-35.
12
Ahmad Syalabi, Tarikh at-Tarbiyah al-Islamiyah (TTP: Dar al-Kasysyaf, 1954), hal. 303-4.
13
Aly As’ad, Bimibingan, hal. 34-5.
14
Rachmat Djadmika, Sistem Ethika Islam (Akhlaq Mulia) (Surabaya: Penerbit Pustaka Islam, 1985), hal. 217.
15
Ibrahim bin Isma’il, Syarh, hal. 13.
16
Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (Diterjemahkan Oleh Luqman Hakim dengan Judul Islam
Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Cet. I (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 125.
17
Ibrahim bin Isma’il, Syarh, hal. 13.
18
Ibrahim bin Isma’il, Syarh, hal. 15-16.

Daftar Pustaka
Al-Abrasy, Muhammad ‘Atiyyah. TT. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuhu. Cet. II. Beirut: Dar al-Fikr.

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 7 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Afandi, Mochtar. 1993. “The Method of Moslem Learning, As Illustrated in Al-Zarnuji’s Ta’alim al-Muta’allim Tariq
at-Ta’allum”, dalam Thesis. Institute of Islamic Studies: McGill University Montreal.
Amidjaja, Tisna. 1983. Iman, Ilmu, dan Amal. Cet. 2. Bandung: Pustaka.
As’ad, Aliy. TT. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Kudus: Menara Kudus.
Ash-Shadiq, Ja’far. 1993. Lentera Hati (Terj. Rahmani Astuti). Cet. 3. Bandung: Mizan.
Djadmika, Rachmat. 1985. Sistem Ethika Islam (Akhlaq Mulia). Surabaya: Penerbit Pustaka Islam.
Ibrahim Bin Isma’il. TT. Syarh Ta’alim al-Muta’allim Tariq at-Ta’allum. TTP: TP.
Khursyd, Ibrahim Zakki. 1933. Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. TTP: TP.
Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asas Pendidikan Islam. Cet. 2. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21. Cet. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Mahalli, Mudjab. 1993. Kode Etik Kaum Santri. Cet. 4. Bandung: Al-Bayan.
Nasr, Sayyed Hossein. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Terj. Luqman Hakim. Bandung:
Pustaka.
Satrapradja, M. 1981. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional.
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia.
Suyata. 1989. “Upaya Pembenahan Pendidikan Islam Lewat Penataan Kembali Pemikiran dan Penerapannya”,
dalam Makalah Seminar. Univ. Muhammadiyah Yogyakarta: TP.
Syalabi, Ahmad. 1954. Tarikh at-Tarbiyah al-Islamiyah. TTP: Dar al-Kasysyaf.

INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|76-86 8 P3M STAIN Purwokerto | Siswadi

Anda mungkin juga menyukai