Anda di halaman 1dari 5

GARDEN IN TAMAN SEPUTEH

1990
Measurements: 36" x 48"

Oil painting

Sylvia lee goh

Flowers of the season, the red heliconeas with banana leaves, pagoda flowers, clematis, Japanese roses
-
the painting is vital. It is immediate and it is mingled with sadness of the temporary ... the state of loss.

Sylvia paints from the heart. Her main works portray he Peranakan ancestry.

Another aspect of Sylvia's paintings is the human form. Although she revels in the painting of Nyonyas, I
notice a clear absence of Babas.

Landscape, this is another one of Sylvia's favourite subject. However, rather than going out in search of
nature, Sylvia creates her own brand of nature within her own garden. According to Ooi Kok Chuen,
"Sylvia Lee Goh's garden in Taman Seputeh, is a paradise itself" (NST, May 11 1998). With a profusion of
Heliconias, Petunias, Lotuses, Keng Hua and Anthuriums, she has ready material from which draw
inspirations.

Sylvia uses colour passionately covering her forms with vibrant greens, and blues, yellows and reds. Red
predominates. In her abstract Energy series, she dispenses her red in all its beautiful tints and hues,
daubed with gentle strokes of yellow.
maksud kritik adalah orang yang menyampaikan pendapatnya dengan alasan tertentu terhadap berbagai
hal, terutama mengenai nilainya, kebenarannya, kebajikannya, kecantikannya atau tekniknya.

Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya
seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi
atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut
di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu
dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan
dengan gaya selera penulisan media massanya. Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk
menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari
kegiatan berbincang-bincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan
pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi
kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni. 1. Deskripsi Deskripsi dalam kritik seni adalah suatu
penggambaran atau pelukisan dengan kata-kata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang
ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan
diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi
tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu
sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang
ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai
karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan
dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan
interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya berhasil
dikumpulkan. Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya,
dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi
meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang,
warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian
deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus
memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran. 2. Analisis Formal
Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek
yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan
cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian
dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer
kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi
karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan
kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses
pewujudan karya beserta urutannya. Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai
diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan
maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena
semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai
gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam
bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandingan-perbandingan mulai dapat
dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses
pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian
yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau
ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang
berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif
mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan
bentuk. 3. Interpretasi Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan
menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-
hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta
karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan,
serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan,
makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses
intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan
penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479)
Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian
yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya,
dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian
pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang
dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta
seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana
penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman
dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah
interpretasi yang tepat. 4. Penilaian Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan
intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari
seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar
dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka
85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan
kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga
bukan dengan huruf A untuk hasil yang sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D
untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus. Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara
generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan
tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa
menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsur-unsur dalam
karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi,
perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masing-masing nilai dijumlahkan
kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non
generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap
karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah,
tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat. Pada sisi yang lain, ada
anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam
menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada
dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni
rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan
kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah
dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya,
kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh
karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari
karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut
pandang tertentu yang melatarbelakanginya. 5. Aspek yang Dikritik Sebuah karya seni dibuat atau
diciptakan bukan sekedar untuk ditampilkan untuk dilihat dan didengar saja, tetapi penuh dengan gagasan,
abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu yang hendak
dikomunikasikan penciptanya. Di samping itu, penciptaan karya seni juga diharapkan dapat merespon
ruang dan waktu di mana dia diciptakan. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material,
prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan
bentuk, gaya perseorangan, kreatifitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Para kritikus seni diharapkan
mampu mengkomunikasikan serbaneka aspek-aspek tersebut di atas beserta nilainya kepada masyarakat.
Suatu karya seni yang baik, bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau suatu manifestasi sembarangan,
dan mencipta asal jadi. Penciptaan karya seni yang baik membutuhkan pemikiran dan perenungan yang
dalam, serta adanya dorongan menyeluruh yang kuat dari berbagai aspek. Pada saat ide atau gagasan
muncul dan hendak diwujudkan dalam sebuah karya seni, seniman tentunya mulai mempertimbangkan
bahan dan teknik yang bagaimana yan sesuai untuk mewujudkan ide atau gagasan tersebut. Falsafah
hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik. Hal ini
bukan berarti seorang seniman harus menjadi filsuf seperti Emanuel Kant, Georg Wilhelm Friederich Hegel,
dan sebagainya terlebih dahulu sebelum menjadi seniman. Jika seorang seniman dituntut menguasai
filsafat seperti filsuf dengan melahirkan sistem filsafat baru yang lengkap, maka gagalah seniman tersebut
dalam berkarya seni, dan akhirnya justru menjadi filsuf baru serta batal menjadi seniman. Falsafah seorang
seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan pangkal artistiknya. Jika
dalam sejarah seni rupa moderen dikenal Piet Mondrian, Filippo Tornasso Marinetti, Ozenfant, Andre
Bretton yang berurutan dikenal sebagai pelopor neo plastisisme, futurisme, purisme dan surealisme,
karena mereka adalah seniman kreatif sekaligus pelopor yang selalu berfikir, merenung, menghakekati
fenomena dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, ke mana, sejauh mana, dan sebagainya.
Singkat kata Piet Mondrian berpendapat “We want to penetrate nature in such a way that the inner
construction of reality is revealed us”. Baginya, alam selalu berubah dapat disiasati sampai pengalaman
bentuk tertentu. Seni mempunyai pengertian yang intuitif dan matematis yang merupakan representasi
fundamental dari alam kosmos. Bentuk matematik ini sebagai sesuatu yang universal. Berdasarkan
pandangan filosofis tersebut diketahui siapa sesungguhnya Piet Pondrian. Pandangan semacam ini pada
masanya merupakan hal baru dan masih segar dalam perkembangan seni rupa, sehingga sangat berharga
karena kreatif. Landasan filosofis gerakan futurisme kutipannya sebagai berikut: “A new beauty … a rearing
motorcar, which runs like a machine gun is more beautyful than the winged victory of Samothrace … we
wish to glorifi, war …” (lihat Sudarmaji, 1979 : 26) Keseimbangan pada rangkaian bunga di Cina
menggunakan paradok Taoisme yang dikenal dengan istilah Yin Yang (Im Yang), yaitu mencari jalan
tengah antara unsur positif dan negatif. Jika kedua unsur yang tampaknya saling bertentangan itu dalam
keadaan imyang, maka dapat dikatakan dalam keadaan selaras dan produktif. Apabila rangkaian bunga
terdiri hanya salah satu unsur saja, positif atau negatif, maka dikatakan disharmonis atau berkeseimbangan
kuno yang simetris. Bangsa Cina melihat keseimbangan dan harmoni dengan belajar kepada alam.
Bukankah keseimbangan tampak pada sesuatu yang kelihatannya bertentangan seperti pria dan wanita
yang merupakan sepasang pengantin? Hal ini serupa dengan konsepsi seni dan sistem simbolisme Jawa
yang melihat keseimbangan atau keselarasan berdasarkan klasifikasi simbolis dua kategori. Sistem yang
didasarkan pada dua kategori, oleh orang Jawa dikaitkan pada hal-hal yang berlawanan, bertentangan,
bermusuhan, atau justru yang saling membutuhkan. Positif – negatif, baik – buruk, tinggi – rendah, panas
– dingin, halus – kasar, kanan – kiri, siang – malam, dan lain-lain merupakan perbedaan yang mendasari
sistem klasifikasi dua kategori. Konsep klasifikasi dua kategori ini seperti gula Jawa atau gula kelapa yang
wujudnya setengah lingkaran karena dicetak menggunakan bathok kelapa. Gula Jawa dalam wujud dan
ukurannya dikenal dengan istilah lirang dan tangkep. Meskipun lirang wujudnya setengah dari tangkep
(setengah lingkaran), lirang itu sendiri memiliki pengertian yang utuh. Ia tidak lazim disebut setengah
tangkep. Selirang ditambah selirang menjadi dua lirang, tetapi dua lirang yang disatukan menjadi
setangkep atau satu tangkep. (lihat Bahari, 2004) Keutuhan wujud itu memang setangkep, meskipun lirang
itu sendiri juga utuh sebagai kesatuan. Ringkasnya hal ini memberi pelajaran tentang prinsip satu ditambah
satu sama dengan satu, walaupun dua juga. Klasifikasi dua kategori ini sering juga disebut sebagai
dwitunggal atau dua menjadi satu. Dwitunggal ini juga merupakan simbol dari konsep jumbuhing kawulo-
Gusti, yaitu suatu tingkat pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual manusia. Pada tingkat mutakhir
terjadi manunggal Subyek – Obyek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan, kawruh
sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan. Simbolisasi dua kategori ini secara visual juga sering
diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni. Dalam alam pikiran orang Jawa ada kecenderungan kedudukan
yang tinggi sering dikaitkan dengan hal-hal yang asing, formal, kanan, suci, dan halus. Sebaliknya
kedudukan yang rendah dikaitkan dengan hal-hal yang dekat, informal, kiri, profan, dan kasar. Orang Jawa
berdasarkan kategori “kanan” dan “kiri” mewujudkannya dalam sopan santun dengan menganggap
melakukan sesuatu dengan tangan kanan lebih baik, halus, dan beradab; sebaliknya melakukan sesuatu
dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, kurang ajar, dan biadab. Sejak masih kecil, anak-anak orang
Jawa sudah diajarkan untuk makan menggunakan tangan kanan. Dalam pertunjukan wayang kulit, tokoh-
tokoh yang jahat disusun berjajar di sebelah kiri dalang; sedangkan tokoh-tokoh yang baik dan pihak yang
benar disusun di sebelah kanan dalang. Dalam legenda Jawa, setelah Allah SWT menciptakan dunia,
keturunan Nabi Adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu alur panengen atau keturunan kanan yang di
dalamnya termasuk Nabi Muhammad SAW, tokoh-tokoh suci agama Islam, dan para Wali di Jawa yang
menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan kiri atau alur pangiwa meliputi para
dewa Hindu, para pahlawan ceritera-ceritera Mahabharata dan Ramayana, yang menurunkan dinasti-
dinasti “kiri” raja-raja Jawa. (Pigeaud, 1967 : 151) Hal ini mungkin sengaja diciptakan oleh pujangga kraton
untuk mensyahkan proses integrasi unsur agama dan budaya Islam ke dalam krebudayaan kraton pada
paruh kedua abad ke 18 hingga awal berikutnya. (lihat Koentjaraningrat, 1994 : 431) Secara psikologis,
langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan. Ilmu jiwa fenomenologi memberikan pelajaran
kepada kita bahwa peristiwa mengamati itu sesungguhnya bukan peristiwa lepas yang berdiri sendiri
sebagaimana pandangan yang pernah dianut ilmu jiwa unsur. Terhadap stimulus yang datang, seseorang
akan menenangkap makna yang personal sesuai dengan pengalamannya. Arti stimulus jelas berbeda bagi
setiap individu karena dalam rangkaian pengalamannya yang disimpan dalam memorinya ketika menjalani
masa lalu. Sebaliknya bisa berbeda lagi lantaran endapan cita-citanya ke masa depan. Sebagai contoh
ketika seseorang mendapatkan stimulus bunga anyelir, orang tersebut seketika berseri wajahnya karena
teringat pengalaman masa lampau yang menggembirakan dan tak terlupakan ketika ketemu Si Manis
dengan anyelir yang mencuri hatinya, dan telah menjadi kekasihnya yang sangat dicintainya hingga
sekarang. Sebaliknya bagi orang lain ketika menerima stimulus bunga anyelir justru langsung jatuh
pingsan, karena dengan anyelir didekapan anaknya yang bungsu menjadi berkeping-keping digilas truk
gandengan sewaktu aanak tersebut tertatih-tatih menyeberang jalan raya. (lihat Sudarmaji, 1979 : 26)
Tanggapan orang terhadap bunga anyelir seperti contoh di atas berbeda-beda, dan terbentuk suatu
keadaan jiwa atau suasana hati (mood) yang berbeda. Seandainya harus mengungkapkan keluar ekspresi
ini, yang melihat akan mendapatkan manifestasi yang sangat lain. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa
manifestasi karya seni adalah manifestasi perseorangan, sehingga dalam mengevaluasi sebuah karya seni
tidak boleh terlalu kaku berpegang pada kriteria yang umum sifatnya atau justru apriori terlebih dahulu
karena sudah mempunyai atau mempersiapkan kriteria sebelumnya. Kondisi pribadi seseorang dan juga
latar belakangnya mempengaruhi persepsi yang diterimanya. Setiap orang memberikan respon atau
tanggapan kepada stimulus berdasarkan pengalaman atau cita-citanya. Sudah menjadi kodratnya bahwa
setiap manusia berbeda dengan watak serta temperamentalnya. Banyak ahli ilmu jiwa yang mempelajari
dan meneliti secara khusus watak manusia yang dinamakan karakterologi, seperti Ludwig Klages, Carl
Gustav Jung, Heymans, Kretchmer, dan sebagainya. Sebagai contoh, Carl Gustav Jung secara garis besar
membagi manusia menjadi dua tipe, yang pertama adalah seseorang yang jiwanya selalu menoleh keluar
atau exstrovert, dan tipe kedua justru kebalikannya yang jiwanya selalu menoleh ke dalam disebut introvert.
Tipe extrovert mempunyai kecenderungan dengan mudah menanggapi peristiwa di luar dirinya. Wataknya
riang gembira, terbuka dan tidak pendendam, suka meniru, dan suka bercanda atau tidak serius. Tipe
introvert kebalikannya, cenderung tafakur dan punya hati tertutup. Kuat imajinasi dan fantasinya daripada
mengamati dengan teliti. Teori watak Jung ini bersesuaian dengan hasil penelitian Viktor Lowenfeld,
seorang sarjana Amerika berasal dari Austria yang berulangkali meneliti dan menyelidiki seni rupa anak.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Lowenfeld menggolongkan gambar anak menjadi dua kelompok, pertama
yang menunjukkan adanya pengamatan yang kuat sehingga menghasilkan karya yang cenderung realistis
disebutnya dengan anak tipe visual; kedua adalah kelompok anak yang imajinasinya kuat, dan
menghasilkan karya yang cenderung non visual. Secara psikologi manusia menangkap gejala di
sekelilingnya secara pribadi atau personal terutamam dalam hubungan dengan penciptaan kesenian.
Selain itu secara psiko-analis diketahui bahwa di samping dikendalikan oleh kesadarannya, manusia juga
dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Bahkan pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud, antara
kesadaran dan ketidak sadaran manusia dapat diibaratkan berbanding sebagai gunung es di tengah lautan,
atau satu berbanding sembilan.

Anda mungkin juga menyukai