Anda di halaman 1dari 15

PSIKOTROPIKA (ANTIPSIKOTIK) YANG

MENGINDUKSI GANGGUAN METABOLIK

REFERAT

Oleh:
Abdurrozzaq 122011101086
Annafira Yuniar 132011101026
Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

KSM. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

1
PSIKOTROPIKA ( ANTIPSIKOTIK)
YANG MENGINDUKSI GANGGUAN METABOLIK

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Abdurrozzaq 122011101086
Annafira Yuniar 132011101026

Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

KSM. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara


selektif pada sistem saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatri yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.2
Psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan
pikiran yang biasa digunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran
jiwa.Sedangkan psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari kimiawi,
mekanisme kerja serta farmakologi klinik dari psikotropik. Psikofarmakologi
berkembang dengan pesat sejak ditemukannya reserpine dan klorpromazin yang
ternyata efektif untuk mengobatan kelainan psikiatrik. Psikotropik hanya
mengubah keadaan jiwa pasien sehinga lebih kooperatif dan dapat menerima
psikoterapi dengan baik. Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropi dapat
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis, antidepresan, antianxietas dan
antimania.
Pada pengobatan menggunakan psikotropika selain diperoleh efek primer
yaitu sesuai target sindrom (indikasi penyakit) ,efek sekunder yang biasanya
membantu memperbaiki keadaan sementera semisal karena efek sedatif, terdapat
juga efek samping yang mana bisa menimbulkan berbagai macam gangguan,
salah satunya gangguan metabolik. Berbagai efek metabolik yang merugikan
terkait dengan obat psikotropika, termasuk antipsikotik,stabilisator mood dan
antidepresan diantaranya adalah diabetes mellitus, dislipidemia, endokrin,
hiperkalsemia ,hiperglikemia, hiperprolaktinemia, hyperosmolar, hyponatremia,
ketoacidosis , metabolisme lipid dan penambahan berat badan. Selain itu
berdasarkan beberapa penelitian, disebutkan bahwa efek samping dari obat
psikotropika muncul juga karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jenis kelamin dan umur.
Sindrom metabolik adalah sekelompok faktor resiko yang muncul pada
individu dan dapat menginduksi terjadinya penyakit arteri koroner, stroke dan

3
diabetes tipe 2. Gejala pada sindrom metabolik meliputi kadar kolesterol tinggi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah dan obesitas. Terdapat dua
hubungan langsung antara gangguan psikiatri dan sindrom metabolik. Yang
pertama terkait kurangnya pengaturan pola makan dan olahraga pada pasien
dengan gangguan jiwa (psikiatrik), kedua penggunaan obat-obatan anti psikotik
yang beresiko tinggi terhadap timbulnya efek metabolik.
Sejak diperkenalkannya obat antipsikotik generasi kedua yang dimulai
dengan clozapine dan diikuti dengan risperidone, olanzapine, quetiapine,
ziprasidone, aripiprazole, asenapine, iloperidone, dan obat potensial lainnya,
seperti lurasidone terdapat perhatian yang lebih besar terhadap efek samping
penambahan berat badan dan gangguan metabolik. Meski efek metabolik pada
masing-masing obat anti psikotik tidak seragam, tetapi prevalensi terjadinya
gangguan metabolik pada penggunaan anti psikotik lebih besar dibandingkan
penggunaan obat-obatan golongan lainnya, terutama pada penggunaan jangka
panjang obat golongan olanzapine dan clozapine.
Berdasarkan terapi dengan regimen anti psikotik, pasien skizofrenia
memiliki resiko paling besar terhadap terjadinya efek metabolik, diikuti dengan
pasien dengan gangguan bipolar karena keduanya seringkali membutuhkan
pengobatan dengan anti psikotik yang dapat menimbulkan peningkatan gula darah
dan kolesterol pada level yang amat tinggi sehingga terjadi kenaikan berat badan
yang signifikan. Sebenarnya efek samping gangguan metabolik tersebut tidak
hanya ditimbulkan oleh obat golongan anti psikotik saja, namun juga dapat timbul
sebagai akibat penggunaan anti depresan seperti amitriptilin dan pengobatan
dengan agen anti mania misalnya valproat. Oleh karena itu, perlu dicari solusi
agar klinisi dapat mengontrol efek samping metabolik tersebut.

4
BAB 1 PSIKOTROPIKA (ANTIPSIKOSIS)

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara


selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik
yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Obat psikotropik
dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-depresi,
anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-
kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain:
transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.
Obat anti psikosis mempunyai beberapa sinonim antara lain; neuroleptik
dan tranquilizer mayor. Salah satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang
diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi dalam anastesi akibat
efeknya yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ segera
dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi dan
halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.

1. Antipsikosis Golongan Tipikal


A. Golongan Fenotiazin .
Indikasi utama fenotiazin adalah skizofrenia gangguan psikosis yang
sering ditemukan. Gangguan yang sering diatasi oleh fenotiazin dan golongan
antipsikosis lain adalah: ketegangan, hiperaktivitas, combativennes, hostality,
halusinasi, delusi akut, anoreksia, negativisme dan menarik diri.
Pengaruhnya terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi kurang.
Pemberian antipsikotik sangat memudahkan perawatan pasien. Domperidon
secara invitro merupakan antagonis dopamin, seperti CPZ. Obat ini diindikasikan
pada pasien mual dan muntah. Jadi efek obat ini mirip metoclopramid. Walaupun
antipsikosis ini sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun
penggunaan antipsikosi saja tidak mencukupi untuk merawat pasien psikotik.
Kontra indikasi untuk obat ini adalah penyakit hati, penyakit darah, epilepsi,
kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit susunan
saraf pusat dan gangguan kesadaran.

5
B. Golongan Butirofenon
Indikasi utama obat golongan ini , semisal haloperidol ,adalah untuk
psikosis. Haloperidol mampu menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal
timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol. Struktur haloperidol berbeda
dengan fenotiazin pada orang normal efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin.
Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia.
Pada beberapa organ ,golongan ini mempunyai efek yaitu menenangkan dan
menyebabkan tidur pada orang yang eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang
kuat dibanding CPZ namun keduanya sama-sama memperlambat gelombang teta
jika dilihat dengan EEG. Keduanya juga sama-sama kuat dalam menurunkan
ambang konvulsi. Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 27 jam
dan masih ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini
ditimbun dalam hati dan 1% obat diekskresikan lewat empedu. Ekskresinya
lambat melalui ginjal.

2. Antipsikosis Golongan Atypical


Risperidone dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal,
risperidone merupakan yang paling banyak diteliti. Hal tersebut disebabkan
efektifitas risperidone yang memberikan perbaikan yang nyata pada pasien
skizofrenia . Rainer et al meneliti , penggunaan Risperidone dalam rentang dosis
fleksibel 0,5-2mg/hari dapat mengatasi agresi, agitasi dan gangguan psikotik
Risperidone juga secara umum dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan efek
samping ekstra piramidial yang bermakna.
Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah dua
antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien usia
lanjut. Penelitian tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu terhadap 175
pasien rawat jalan, pasien rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke

6
atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari) atau olanzapine (5 mg to 20
mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan pada nilai skor PANSS pada kedua
kelompok. Efek samping ektrapiramidal terlihat pada 9,2% pasien kelompok
risperidone dan 15,9% pasien kelompok olanzapine. Secara umum skor total dari
Extrapyramidal Symptom Rating Scale menurun pada kedua kelompok di akhir
penelitian. Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua kelompok namun
lebih jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone1.

BAB II. SINDROM METABOLIT


Sindrom metabolik adalah istilah kedokteran untuk menggambarkan
kombinasi dari sejumlah kondisi, yaitu hipertensi (tekanan darah tinggi),
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol
tinggi), dan obesitas, yang dialami secara bersamaan. Karena itu, seseorang tidak
dianggap mengalami sindrom ini apabila hanya menderita salah satu kondisi
tersebut.
Kriteria diagnosis sindrom metabolik dikeluarkan oleh Third Report of
the National Cholesterol Education Program (NCEP) dan Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults adalah
yang paling umum dan secara luas digunakan, meski tidak diterima secara
universal. Keduanya mendeskripsikan sindrom metabolik dengan kriteria: obesitas
(lingkar pinggang yang besar; >40 inci pada laki-laki dan >35 inci pada
perempuan), BMI >30, dislipidemia (HDL<40 mg/dL dan trigliserida >150
mg/dL, hipertensi (>130/85 mmHg) dan glukosa darah puasa >110 mg/dL.
Adanya prothombotic dinyatakan dengan elevasi plasminogen
activator inhibitor 1 (PAI-1) dan sitokin proinflamasi ditunjukkan dengan
protein C-reaktif yang meningkat adalah tanda lain dari sindrom metabolik.
Sindrom metabolik semakin meningkat secara umum di Amerika Serikat dan
di negara berkembang lainnya karena diet dan olahraga yang terbatas.
Diperkirakan sekitar 20-25 persen orang dewasa AS memiliki sindrom
metabolik.

7
BAB III. EFEK METABOLIK PSIKOPTROPIKA (ANTIPSIKOTIK)
Pada pengobatan menggunakan psikotropika selain diperoleh efek primer
yaitu sesuai target sindrom (indikasi penyakit) ,efek sekunder yang biasanya
membantu memperbaiki keadaan sementera semisal karena efek sedatif, terdapat
juga efek samping yang mana bisa menimbulkan berbagai macam gangguan,
salah satunya gangguan metabolik. Berbagai efek metabolik yang merugikan
terkait dengan obat psikotropika, termasuk antipsikotik,stabilisator mood dan
antidepresan diantaranya adalah diabetes mellitus, dislipidemia, endokrin,
hiperkalsemia ,hiperglikemia, hiperprolaktinemia, hyperosmolar, hyponatremia,
ketoacidosis , metabolisme lipid dan penambahan berat badan. Selain itu
berdasarkan beberapa penelitian, disebutkan bahwa efek samping dari obat
psikotropika muncul juga karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jenis kelamin dan umur. Berikut efek metabolik terutama Sindrom metabolik
yang sering ditemukan pada penggunaan psikotropika golongan antipsikotik.

2.3.1 Antipsikotik dan Hiperglikemia

Prevalensi diabetes dan toleransi glukosa yang rendah relatif tinggi


pada pasien skizofrenia dan gangguan bipolar. Hubungan antara pengobatan
antipsikotik dan hiperglikemia sudah pernah dilaporkan sejak tahun 1950.
Terdapat banyak mekanisme kompleks yang terlibat pada diskontrol glikemik
termasuk keterlibatan reseptor insulin. Pasien skizofrenia mengalami
resistensi insulin sehingga memiliki lebih sedikit reseptor insulin
dibandingkan orang pada umumnya.
Hubungan antara peningkatan berat badan dengan penggunaan anti
depresan trisiklik sangat mungkin berkaitan dengan H1 antagonis, anti
depresan trisiklik tertiary amine sangat poten untuk memblokade H1 dan
menimbulkan peningkatan berat badan. Pasien dengan pengobatan
menggunakan SSRI dapat mengalami penurunan berat badan diawal
pengobatan namun diikuti oleh kenaikan berat badan. Pengaturan reseptor
5HT2c mungkin merupakan penyebab dari peningkatan berat badan yang
berhubungan dengan terapi SSRI. Beberapa anti depresan trisiklik yang

8
menyebabkan peningkatan berat badan adalah amitriptilin, doxepin,
paroxetin, sedangkan obat-obatan yang memperbaiki mood dan menyebabkan
peningkatan berat badan adalah valproate, lithium karbonat, carbamazepin.
Pengobatan Clozapine dan Olanzapine secara klinis terkait dengan
risiko penambahan berat badan yang signifikan, dengan agen lain yang
memiliki tingkat risiko yang relatif lebih rendah. Peningkatan berat badan
bisa jadi karena perbaikan setelah penurunan berat badan yang mungkin
terjadi karena sakit atau diet. Perubahan signifikan dalam gaya hidup dan efek
samping yang disebabkan obat juga dapat menyebabkan penambahan berat
badan. Penelusuran riwayat yang cermat dapat membantu dalam
mengidentifikasi penyebab kenaikan berat badan. Pasien mungkin tidak
menyadari penyebab kenaikan berat badannya seperti halnya pasien tidak
menyadari adanya peningkatan nafsu makan. Pasien cenderung menyalahkan
diri sendiri ketika makan berlebihan bahkan ketika kenaikan berat badan dan
nafsu makan akibat diinduksi obat.

Antipsikotik atipikal dianggap terobosan signifikan dalam pengobatan


gangguan psikotik, dengan frekuensi rendah atau tidak adanya efek samping
ekstrapiramidal. Secara bertahap muncul laporan kasus yang menunjuk ke
peningkatan kadar hiperglikemia dan diabetes melitus terkait dengan penggunaan
atypicals. Pada tahun 1999, Lindenmayer & Patel melaporkan kasus olanzapine-
induced diabetes ketoasidosis (DKA), yang memutuskan penghentian pengobatan
dengan olanzapine. Para penulis membahas peran olanzapine dalam menekan
pengeluaran insulin dan dalam menghasilkan respon hiperglikemia. Tovey et al.
(2005) membahas dua pasien yang dirawat dengan clozapine, yang kemudian
menderita diabetes melitus, saat tes darah rutin. Tingkat gula darah kembali ke
dalam kisaran normal setelah penghentian clozapine di salah satu pasien, tapi
tidak di yang lain. Para penulis membahas mekanisme clozapine yang mungkin
berkontribusi terhadap resistensi insulin melalui penurunan uptake glukosa dalam
otak dan jaringan perifer maupun gangguan fungsi sel β. Mereka menekankan
perlunya monitoring sebelum dan setelah memulai pengobatan dengan clozapine

9
Penelitian Preklinis telah menunjukkan perbedaan antara antipsikotik
dalam respon terhadap pelepasan insulin. Best et al. (2005) mempelajari efek
clozapine dan haloperidol pada sel β pankreas tikus in-vitro. Para penulis
menunjukkan efek kontras clozapine dan haloperidol pada fungsi sel β pankreas.
Clozapine tidak berpengaruh pada membran potensial sel β saatkadar glukosa
darah puasa tapi hyperpolarizedmembran potensial ketika konsentrasi glukosa
tinggi. Sebaliknya haloperidol depolarized membran pada keadaan puasa dan saat
kadar glukosa terstimulasi. Efek dari dua obat pada aktivitas listrik hanya
sebagian menjelaskan efeknya pada pelepasan insulin. Clozapine menghambat
sekresi insulin dalam respon terhadap glukosa, yang dapat menjelaskan
hiperglikemia dan diabetes yang terkait dengannya, namun tidak mempengaruhi
'pelepasan insulin basal'. Menariknya, haloperidol tidak berpengaruh pada
pelepasan insulin.

2.3.2 Antipsikotik dan Penambahan Berat Badan

Secara singkat setelah dikenalkannya obat chlorpromazine, klinisi


menyimpulkan bahwa penggunaan anti psikotik berdampak pada
penambahan berat badan. Lebih jauh lagi telah dibuktikan bahwa agen
dengan potensi yang lebih rendah (chlorpromazine dan thioridazine)
menginduksi peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan obat
dengan potensi lebih tinggi (fluphenazine dan haloperidol).
Atipikal anti psikotik menyebabkan peningkatan berat badan, diabetes
akibat resistensi insulin, profil lipid yang memburuk yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya sindrom metabolik. Obesitas merupakan faktor resiko
penggunaan anti psikotik yang mutlak, karena semakin besar BMI pasien
maka resiko metabolik pada penggunaan anti psikotik semakin besar pula.
Mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan peningkatan berat
badan akibat penggunaan Olanzapine diantaranya adalah olanzapine dapat
memperbaiki kebiasaan makan karena menurunkan fungsi pengabaian diri,
meningkatkan nafsu makan terutama makanan yang mengandung
karbohidrat, memiliki efek sedasi dan menurunkan aktivitas motorik.

10
Kemudian olanzapine juga mengubah metabolisme jaringan adiposa,
komposisi lemak dan distribusi lemak. Clozapine juga memberi efek pada
neurotransmitter – 5HT, H1, DA dan blokade alfa 1 yang berperan dalam
peningkatan nafsu makan pasien serta kenaikan kadar leptin dan prolaktin.
Berbagai reseptor telah ditemukan memiliki peranan penting terhadap
nafsu makan dan peningkatan berat badan pada pasien yang mengkonsumsi
anti psikotik. Reseptor-reseptor tersebut antara lain penurunan 5 HT dapat
meningkatkan nafsu makan, begitu pula dengan penurunan H1, adrenergik
beta 3 mengatur metabolisme energi dan termogenesis.
Leptin yang disekresikan oleh sel adiposa putih memiliki korelasi
yang kuat dengan massa lemak tubuh. Leptin juga mengatur sekresi insulin
dan metabolisme energi. Hubungan mengenai peningkatan berat badan dan
ambang batas BMI, beberapa studi menunjukkan hubungan yang sejalan
diantara keduanya, sedangkan penelitian lain menunjukkan sebaliknya.
Komorbiditas medis pada pasien dengan gangguan bipolar antara lain
penyakit kardiovaskular, obesitas, diabetes dan penyakit neurologis. Berikut
ini merupakan beberapa efek anti psikotik pada metabolisme glukosa dan
lemak yaitu clozapine dan olanzapine meningkatkan faktor resiko diabetes,
ketoasidosis diabetikum dan kadar lipid plasma. Pada penggunaan risperidone
dan Quetiapine, faktor resiko dislipidemia adalah sedang. Obat anti psikotik
golongan lain juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, efeknya pada
gangguan metabolik hampir sama. Korelasi obesitas pada pasien dengan
gangguan bipolar, faktor resiko meningkat apabila pasien berjenis kelamin
laki-laki, hipertensi, arthritis, mempunyai riwayat DM, mengalami >4 episode
mania, >1 usaha bunuh diri, paparan lenih dari 1 jenis psikotropika dan
terbatasnya fungsi pekerjaan serta keluhan gangguan makan.

Peningkatan berat badan, terutama adipositas viseral, yang diukur dengan


lingkar pinggang, merupakan salah satu komponen kunci dari sindrom metabolik
dan pada kenyataannya adalah kriteria utama dalam definisi IDF. Kraepelin dan
Bleuler menjelaskan terdapat hunbungan perubahan berat badan pada pasien jiwa

11
selama perjalanan penyakit psikotik (Alison & Casey 2001), dengan penggunaan
obat antipsikotik atipikal. Penelitian obat psikiatri di Cina dari pasien yang
memenuhi kriteria DSM-IV untuk skizofrenia, empat puluh enam pasien
dibandingkan dengan 38 kontrol sehat, menariknya tidak ada perbedaan yang
signifikan antara risperidone dan chlorpromazine dan tidak ada korelasi yang
nyata antara perubahan di Indeks Masa Tubuh dan perbaikan klinis.

Allison et al. (1999) melakukan review komprehensif tentang literatur


penelitian untuk memperkirakan dan membandingkan efek antipsikotik
konvensional dan atipikal pada berat badan, menggunakan metodologi pencarian
yang sangat teliti. Hal ini diikuti oleh meta-analisis, dengan berat rata-rata
estimasi perubahan dihitung menggunakan kedua efek tetap dan model acak.
Terhadap pasien dengan dosis standar selama 10 minggu, para penulis
menghitung perkiraan titik berat badan untuk setiap obat. Berat badan yang
berhubungan dengan lima antipsikotik atipikal diperiksa dalam penelitian ini -
ziprasidone (0,04 kg), risperidone (2,10 kg), sertindole (2,92 kg), olanzapine (4,15
kg) dan clozapine (4,45 kg). Subjek yang menerima plasebo kehilangan berat
badan dalam kisaran 0,74 kg. Walaupun kedua antipsikotik konvensional
molindone dan pimozide berhubungan dengan berat badan, efek tidak signifikan
pada 10 minggu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien bisa
mendapatkan peningkatan lebih dari 5% dari berat badan awal, dengan berat
badan menjadi lebih jelas dengan waktu, dan berdampak untuk kesehatan fisik
umum pasien. Almeras et al. (2004) mempelajari indeks antropometri dan
metabolik yang berhubungan dengan pengobatan antipsikotik atipikal, dalam
open-label, cross sectional, penelitian multi-center. Pasien diobati dengan
risperidone (n = 45) atau olanzapine (n = 42) sebagai pertama mereka 'dan
antipsikotik hanya' dipelajari. Dibandingkan dengan kelompok referensi, pasien
yang diobati dengan antipsikotik atipikal memiliki gula darah puasa yang tinggi,
kadar insulin dan resistensi insulin.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara


olanzapine dan risperidone. Pasien diobati dengan olanzapine memiliki profil

12
metabolik secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang
dirawat dengan risperidone, dengan lebih dari sepertiga dari kelompok
menunjukan adanya pinggang yanghypertriglyceridemic (lingkar pinggang ≥ 90
cm, trigliserida ≥ 2,0 mmol / L).

2.3.3 Antipsikotik dan Dislipidemia

Dyslipidaemia merupakan komponen penting dari sindrom metabolik,


yang terjadi bersama dengan disregulasi glukosa dan peningkatan berat badan
pada pasien yang diobati dengan antipsikotik atipikal. Terdapat korelasi bukti
empiris dan perhatian klinis bahwa beberapa atipikal antipsikotik dapat
meningkatkan resiko hiperlipidemia. Studi kasus pernah membuktikan bahwa
penggunaan clozapine dan olanzapine dapat menyebabkan hiperlipidemia
dengan mempengaruhi serum lipid. Anti psikotik yang berpotensi tinggi
menyebabkan hiperlipidemia dan hipertrigliseridemia adalah olanzapine,
clozapin diikuti oeh risperidone, ziprasidone dan aripiprazole. Mekanisme
terjadinya dislipidemia pada penggunaan anti psikotik terkait dengan efek
yang besar pada trigliserida sehingga timbul trigliseridemia, terjadi obesitas
dan kelebihan intake kalori, terjadi resistensi insulin yang menyebabkan
diabetes, antagonis H1 (meningkatkan nafsu makan) berhubungan dengan
afinitas yang tinggi terhadap H1 reseptor dan peningkatan berat badan.

Pengobatan dengan antipsikotik, baik konvensional maupun atipikal, telah


ditemukan terjadi peningkatan tingkat lipid ,dalam subjek yang dipilih dari Kohort
Finlandia Utara Kelahiran 1966. Dari 5.654% (67) dari 8.463 subjek dari kohort
asli yang berpartisipasi dalam studi ini, 45 subyek menerima pengobatan
antipsikotik. 32 (71%) digunakan tipikal, 6 (13%) digunakan atipikal dan 7 (16%)
kedua jenis antipsikotik. Studi ini menemukan prevalensi tinggi kolesterol total
dan trigliserida dalam 45 subyek ditangani dengan antipsikotik dibandingkan
dengan 5609 yang tidak, bahkan setelah disesuaikan untuk faktor resiko untuk
hiperlipidemia. (Saari et al 2004).

13
Peneliti menyakini bahwa patogenesis hiperlipidemia berhubungan
dengan berat badan, adanya akumulasi lemak perut meningkatkan pelepasan asam
lemak bebas dalam hati dan mempercepat sintesis trigliserida hati (VLDL).
Mereka lebih lanjut menunjukkan bahwa lipid meningkat mengganggu
metabolisme glukosa, menyebabkan hiperglikemia dan DM tipe 2.

2.3.4 Antipsikotik dan Hipertensi

Sebagaimana disebutkan di atas, Gupta et al. (2003) melaporkan terdapat


prevalensi 29% untuk hipertensi diantara 208 pasien yang diobati dengan obat
antipsikotik. Meskipun demikian, hipertensi yang merupakan salah satu
komponen dari sindrom metabolik umumnya tidak terkait dengan pengobatan
dengan antipsikotik atipikal, berdasarkan iidentifikasi oleh literatur secara umum.

BAB III

14
PENUTUP
Kesimpulan
Seseorang dengan gangguan jiwa berat memiliki prevalensi perilaku
berisiko kesehatan yang tinggi pula. Mereka mungkin tidak mendapatkan
perawatan yang optimal untuk kondisi kesehatan mereka. Beban kondisi medis
mereka harus menghalangi pemulihan sepenuhnya dari kondisi kesehatan mereka.
Pengobatan menggunakan anti psikotik seringkali digunakan oleh klinisi dan
penggunaan atipikal anti psikotik terus meningkat seiring waktu. Antipsikotik
membuka dunia baru bagi penderita gangguan jiwa. Membuat penderita gangguan
jiwa dapat berpikir jernih, meningkatkan kemampuan kerja, keterampilan
interaksi sosial yang lebih baik dan sangat efektif bagi mereka dengan gangguan
pikiran yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi dalam
masyarakat.

Meskipun pengobatan menggunakan anti psikotik tersebut memiliki


lebih banyak manfaat dibandingkan generasi sebelumnya, namun telah
dibuktikan juga bahwa ternyata obat tersebut juga memiliki efek samping
yang berhubungan dengan resiko tinggi peningkatan berat badan, diabetes
dan hipertrigliseridemia. Oleh karena itu, skrining untuk resiko metabolik dan
kardiovaskular sebaiknya dilakukan sebelum klinisi memberi anti psikotik
pada pasien.
Skrining dasar ini harus meliputi pertanyaan mengenai riwayat
individu maupun keluarga dengan faktor resiko diabetes, pengukuran tekanan
darah, glukosa darah dan serum lipid. Pengurangan resiko diabetes termasuk
peningkatan aktivitas fisik, pengaturan pola makan, kontrol tekanan darah dan
penurunan berat badan dapat memberi dampak positif pada pasien dengan
diabetes dan gangguan jiwa, sehingga pasien dengan skizofrenia pun dapat
diobati dengan tuntas.

15

Anda mungkin juga menyukai