Anda di halaman 1dari 11

Wikipedia

Pemerolehan Bahasa Kedua (Bahasa Inggris: Second-language acquisition) atau disingkat


PB2, adalah studi yang membahas tentang bagaimana bahasa kedua dipelajari oleh individu,
dengan kata lain yaitu studi tentang akuisisi atau pemerolehan bahasa selain bahasa ibu.[1]
Bahasa non primer atau tambahan tersebut dinamakan bahasa kedua (B2), walaupun bahasa
tersebut adalah bahasa lain yang kedua,ketiga, keempat, ataupun kesepuluh yang sedang
dipelajari.[2] Bahasa ked

Warga Haiti belajar bahasa Inggris dari sukarelawan Kanada. Gambar ini menunjukkan proses
pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua.

ua yang dipelajari disebut bahasa target (BT).[2] Bahasa target tersebut tidak dibatasi atas bahasa
asing, daerah, ataupun nasional.[3]

Para ahli bahasa pertama kali melakukan penelitian PB2 melalui disiplin ilmu Linguistik lalu
berkembang ke bidang ilmu Psikologi.[2] Dari ilmu linguistik didapat beberapa metode analisis
kontrastif, analisis eror, interbahasa, dan urutan morfem.[4] Lalu, dari bidang psikologi didapat
teori mengenai hubungan otak dan bahasa, proses internal pembelajaran bahasa kedua, dan
motif-motif yang mempengaruhi penguasaan B2[5]. Teori-teori dari ilmu PB2 selanjutnya
dimanfaatkan untuk menemukan strategi dalam bidang pengajaran bahasa.[3]

Sejarah
Hingga saat ini masih belum diketahui kapan untuk pertama kalinya studi tentang PB2 dimulai.[6]
Beberapa sumber menyebutkan terdapat dua publikasi ilmiah yang mendorong studi ini: esei Pit
Corder yang berjudul The Significance of Learners’ Errors dan juga Larry Selinker yang
berjudul Interlanguage.[4] Keduanya berargumen bahwa para pelajar bahasa kedua menggunakan
sistem linguistik internal yang berbeda dari bahasa ibu dan bahasa keduanya.[4]

Selanjutnya, pada tahun 1970 para ilmuwan berlomba-lomba untuk mengeksplorasi lebih jauh
gagasan Corder dan Selinker.[4] Beberapa penelitian dilakukan dengan studi eror analisis, tahap
transisi kemampuan berbahasa kedua, dan “studi morfem” yang meneliti tahap penguasaan B2
berdasarkan pemahaman pelajar terhadap tata bahasa kedua. [4] Selang popularitas pendekatan
linguistik selama tiga dekade, jenis pendekatan secara psikologi pun dilanjutkan dengan teori
akuisisi bahasa melalui hubungan bahasa dengan otak, prosesi informasi, dan koneksionisme.[4]

Penelitian secara Linguistik


Penelitian secara linguistik adalah cara untuk mengetahui tingkat penguasaan B2 seseorang
melalui kompetensi berbahasanya secara teknis.[7] Kompetensi tersebut mencakup pembentukan
kata, dan kemampuan bercakap-cakap dengan menggunakan B2.[5] Berikut merupakan metode
para ahli di bidang linguistik:
Analisis Kontrastif (AK)

Adalah sebuah metode dengan membandingkan kemampuan antara bahasa pertama dan kedua.[5]
Asal mula metode ini bermula dari penelitian terhadap sekelompok pelajar yang melakukan
kesalahan yang sama berulang-ulang seperti kelompok sebelumnya.[8] Sehingga diasumsikan
bahwa kesalahan-kesalahan tersebut disebabkan karena adanya interferensi atau percampuran
antara bahasa pertama dan kedua.[8] Hal ini terjadi karena murid-murid menerapkan aturan-
aturan linguistik bahasa pertama ke bahasa kedua yang mereka pelajari. [8]

Analisis Error (AE)

AE adalah metode pendekatan linguistik yang melihat faktor internal kemampuan seseorang
dalam mempelajari bahasa kedua.[9] Gagasan ini menyatakan bahwa seseorang belajar dengan
mengeksplorasi fitur-fitur (misal: pengucapan, kosakata, dan struktur kalimat) bahasa asing yang
Ia pelajari.[9] Dalam proses pembelajarannya, pelajar bereksperimen dengan menggunakan fitur
B1 ke B2.[9] Gagasan AE pertama kali dicetuskan oleh Stephen Pit Corder pada tahun 1960.[9]

Interbahasa

Ilustrasi interbahasa

Interbahasa pertama kali diperkenalkan oleh Larry Selinker (1972).[1] Dalam teorinya ia
menjelaskan kondisi-kondisi yang dilalui oleh pelajar sebelum ia mencapai target bahasa kedua
yang dituju.[1] Dalam kondisi tersebut, pembelajar menggunakan taktik mencampur elemen
bahasa (misal: kosakata) dari bahasa ibu ke bahasa asing.[1]

 Contoh: I makan banana. -> (seharusnya) I am eating banana.

Menurut Selinker, proses ini disebut dengan proses kreatif di mana pembelajar terdorong untuk
berinteraksi dengan lingkungan menggunakan B2 yang dicampur dengan elemen bahasa B1.[1]
Sehingga interbahasa merupakan sistem bahasa tersendiri yang mewadahi perkembangan
berbahasa selama pembelajaran.[1] Terdapat fase atau tingkat di mana pelajar bahasa kedua
berhenti menggunakan interbahasa setelah target penguasaan B2 terpenuhi yang disebut dengan
fosilisasi.[1]

Urutan morfem

Studi ini bertujuan untuk menganalisis tahap-tahap pembelajaran bahasa kedua dilihat dari
penguasaan tata bahasanya.[10] Hal ini dimaksudkan untuk menemukan apakah terdapat proses
akuisisi yang sama antara B1 dan B2 pada proses pembelajaran.[10]Atas beberapa percobaan yang
dilakukan oleh Heidi Dulay dan Marina Burt, terbukti bahwa proses pemerolehan bahasa kedua
sama dengan bahasa pertama.[10] Penelitian ini dilakukan dengan objek dua orang anak berbahasa
Tionghoa dan Spanyol yang ketika diteliti ternyata mereka mengalami serangkaian tahap
penguasaan tata bahasa mulai dari infleksi kata, derivasi, bentuk kata kerja, dan seterusnya.[10]
Dari penelitian ini didapat "Hipotesis Identitas" yaitu proses pemerolehan bahasa pertama dan
kedua adalah sama, atau B1=B2.[10]

Penelitian secara Psikologis


Pendekatan pemerolehan bahasa dalam bidang psikologi digunakan untuk mengetahui hubungan
proses belajar B2 dengan dengan otak.[2] Studi pendekatan psikologis terfokus pada, bahasa dan
otak, proses pembelajaran, dan perbedaan antar pemeroleh B2.[2]

Lokasi proses bahasa dalam otak manusia.

a. Bahasa dan Otak

Terdapat beberapa fakta penting antara hubungan pemerolehan bahasa kedua dan otak:

 Bahasa pertama dan kedua tersimpan di area yang berbeda dalam otak manusia[11].
Sebagian besar memori dan fungsi bahasa tersimpan di bagian otak kiri, namun otak
kanan lebih banyak berperan besar dalam pemerolehan bahasa kedua.[11]
 Usia mempengaruhi fungsi pengorganisasian otak bagi pemeroleh bahasa kedua.[11]
Orang dengan usia antara usia 9 dan 12 tahun cenderung melibatkan otak sebelah kanan
dalam memperoleh bahasa kedua dibandingkan anak berusia dibawah 4 tahun.[11]

 Ketika terjadi kerusakan pada otak, bahasa yang pertama kali hilang adalah bahasa kedua
yang paling jarang digunakan berlanjut terakhir adalah bahasa ibu.[11] Dan proses
pengembalian bahasa yang paling pertama adalah bahasa yang lebih sering digunakan,
entah itu bahasa kedua atau bahasa pertama.[11]

b. Proses pembelajaran

 Prosesi Informasi

Ilustrasi prosesi informasi bahasa.

Teori ini mengungkapkan bahwa pelajar B2 melakukan serangkaian sirkulasi informasi antara
rangsangan bahasa kedua dari luar menuju ke otak dan selanjutnya diproduksi. [2] Rangkaian
tersebut pertama berasal dari input / masukkan: segala bentuk informasi atau stimulus dari B2
yang terekspos kepada pelajar.[2] Dari input selanjutnya masuk ke dalam pusat pengolahan dan
restrukturisasi informasi dalam otak[5]. Dalam fase ini pula proses pembelajaran yang terkontrol
menjadi otomatis, dan saat ini di mana restrukturisasi pengetahuan terjadi.[5] Terakhir adalah fase
produksi di mana pada fase ini pelajar B2 mencoba menguji kemampuannya ke bahasa target
melalui pembicaraan dan penulisan.[5]

 Pemetaan

Teori pemetaan menerangkan bahwa pelajar B2 cenderung membagi antara bentuk eksternal dan
fungsi internal sebuah kata.[6] Bentuk sebuah benda leksikal diwujudkan melalui suara yang
diperoleh dari pengucapan, sedangkan secara fungsi ia mengandung makna semantik.[6]
Kumpulan kata yang terbentuk dalam kalimat secara bentuk adalah rentetan tata bahasa
sedangkan secara fungsi kata-kata tersebut menduduki fungsi masing-masing.[6] Sebagai contoh,
Kata kuda merupakan bentuk leksikal yang terwujud melalui pelajafalan /ku-da/, fungsinya
memiliki arti hewan berkaki empat yang memakan rumput.[6] Dalam kalimat kuda memakan
rumput, struktur di mana kuda sebelum dan rumput sesudah kata kerja adalah bentuknya,
sedangkan fungsinya adalah hubungan sujek, predikat, dan objek[6].

 Koneksionisme

Koneksionisme artinya paham mengenai hubungan, yaitu hubungan menguatkan antara stimulus
dan respon yang mempengaruhi otak ketika proses belajar B2 berlangsung. [6]Dalam pandangan
ini, kegiatan pemrosesan berlangsung karena nodus di dalam otak terhubung satu sama lainnya
melalui saluran saraf.[6] Keterhubungan tersebut menguat apabila pelajar lebih sering terekspos
oleh masukan / stimulus-stimulus B2; pada saat ini mereka melakukan proses asosiasi berulang-
ulang sehingga kemungkinan besar proses pemahaman bahasa asing lebih kuat[6].

c. Perbedaan antar pemeroleh

Perbedaan antar pemeroleh dalam perspektif psikologi dilakukan untuk mengetahui faktor utama
mengapa pelajar yang satu lebih sukses dibandingkan lainnya dalam mempelajari bahasa
kedua.[6] Pembedaan di sini mencakup usia, jenis kelamin, motivasi, bakat, gaya kognitif,
kepribadian, dan strategi belajar.[6][5]

Warga pekerja Inggris yang belajar bahasa Turki.

 Usia

Faktor usia memberikan pengaruh berbeda pada fungsi otak dalam menyerap bahasa kedua.[6]
Sejumlah penelitian membuktikan anak-anak lebih mudah menyerap bahasa kedua karena
memiliki daya plastisitas otak yang baik; di mana mereka mampu menyesuaikan perbedaan
bahasa dengan cepat.[6] Namun, penelitian lainnya menyebutkan bahwa orang dewasa mampu
menyerap pelajaran bahasa asing lebih cepat dikarenakan kapasitas pembelajaran, termasuk daya
hafal kosakata yang lebih banyak.[7] Selain itu orang dewasa juga memiliki daya analisis yang
kuat terhadap tata bahasa asing.[2]

 Jenis Kelamin

Perbedaan dalam jenis kelamin berhubungan dengan kadar hormon pada masing-masing jenis
kelamin.[7] Kimura menemukan tingkat hormon androgen yang tinggi berhubungan dengan
kemampuan automasi yang lebih baik, dan hormon estrogen dengan kemampuan semantik/
interpretif yang lebih baik.[7] Selain itu, ia juga menemukan bahwa wanita pada masa menstruasi
cenderung memiliki kemampuan artikulasi dan motoris yang lebih baik.[7]

 Motivasi

Di dalam otak manusia terdapat area spesifik yang menerima stimulus dari dorongan diri atau
disebut motivasi.[2] Dan stimulus tersebut memberikan pesan kepada otak untuk menentukan
strategi belajar dan jumlah usaha yang dikeluarkan.[2] Jenis motivasi ada dua: motivasi integratif
dan instrumental.[2] Motivasi integratif adalah motivasi yang berdasarkan keinginan untuk
bersosialisasi atau berpartisipasi dengan komunitas yang menggunakan bahasa tersebut.[2]
Motivasi instrumental adalah motivasi yang didasari atas kepentingan praktis semata seperti
mendapatkan pekerjaan, mendapatkan beasiswa ke luar negeri, akses informasi, dan lain-lain.[2]

Tahapan Pemerolehan Bahasa Kedua


Tahap 1: Preproduksi

Dalam proses perkembangannya, pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi menjadi lima tahap:
preproduksi, produksi awal, bicara awal, fasih, dan mahir.[12] Tahap awal adalah preproduksi,
yang dikenal juga dengan periode diam, di mana pelajar tak banyak bicara karena mereka hanya
memiliki kosakata reseptif hingga 500 kata.[12]Tetapi, tidak semua pelajar melalui tahap periode
diam.[7] Beberapa pelajar langsung memasuki tahap berbicara, meskipun kata-kata yang mereka
gunakan hanya meniru, bukan kreativitas sendiri.[7] Bagi para pelajar yang melewati periode
diam, biasanya hal itu hanya berjalan selama tiga sampai enam bulan. [7]

Tahap 2: Produksi awal

Tahap kedua dari pemerolehan bahasa kedua adalah produksi awal, dimana dalam tahap ini
pelajar dapat berbicara dalam frasa pendek antara satu atau dua kata.[12] Mereka juga dapat
mengingat potongan-potongan kata dalam bahasa kedua, meskipun masih mengalami banyak
kesulitan dan kesalahan saat menggunakannya.[12] Pelajar bahasa kedua dalam tahap ini telah
memiliki baik kosakata aktif dan pasif sekitar 1000 kata.[7] Tahap ini normalnya berlangsung
selama enam bulan.[2]

Tahap 3: Awal bicara


Tahap ketiga adalah awal bicara.[7] Kosakata pelajar bahasa kedua pada tahap ini meningkat
hingga 3000 kata, dan mereka mampu berkomunikasi menggunakan kalimat tanya sederhana.[12]
Mereka juga masih mengalami kesalahan gramatika.[12]

Tahap 4&5: Fasih

Tahap setelah awal bicara adalah fasih menengah, yaitu tahap di mana pelajar telah memiliki
lebih dari 6000 kosakata, dan dapat menggunakan kalimat dengan struktur yang lebih
kompleks.[12] Pada tahap ini juga mereka mampu berbagi pikiran dan pendapat.[12] Namun, tetap
saja pelajar masih menemukan kesalahan selama membentuk kalimat-kalimat kompleks.[12]
Tahap terakhir adalah mahir, yang biasanya tercapai antara lima sampai sepuluh tahun belajar
bahasa kedua.[7] Pada tahap ini, kemampuan pelajar semakin dekat dengan penutur asli.[12]

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat mahir bervariasi tergantung objek bahasa yang
dipelajari.[13] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Foreign Service Institute di Amerika, dari
63 bahasa yang dianalisis, lima bahasa tersulit untuk mencapai tingkat mahir, terutama pada
kemampuan membaca dan berbicara, adalah Bahasa Arab, Mandarin, Jepang, dan Korea.[14]
Bahasa-bahasa tersebut membutuhkan sekitar 88 minggu atau 2200 jam kelas untuk dikuasai.[14]

Perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan


kedua
Proses pemerolehan bahasa pertama dan kedua adalah berbeda pada usia tertentu.[15] Perbedaan
tersebut lebih disebabkan tata bahasa gramatika universal sudah tidak bisa diakses lagi pada usia
tertentu.[15] Beberapa peneliti mengatakan, terdapat proses kritis di mana seorang pelajar mampu
menguasai bahasa kedua dengan cepat.[15] Periode tersebut adalah antara 6 sampai 13 tahun.[15]
Lalu, beberapa peneiliti lainnya mengungkapkan tata bahasa universal sudah tak bisa lagi diakses
pada usia remaja, namun bisa diakses lagi setelah menginjak usia dewasa.[15] Sehingga, orang
dewasa lebih mudah menguasai bahasa kedua.[15]

Manfaat studi pemerolehan bahasa kedua


Guru dari Tiongkok yang mengajar bahasa Inggris di negeri tersebut.

Studi Pemerolehan Bahasa Kedua digunakan sebagai teori fundamental bagi para guru bahasa.[3]
Teori yang terdapat dalam PB2 digunakan untuk menemukan efektifitas pembelajaran.[3] Dalam
hal ini pendidik dapat menciptakan inovasi strategi pengajaran.[3] Salah satu contohnya adalah
sebuah inovasi pembelajaran bahasa asing yang bernama Total Physical Response (TPR) yang
diciptakan oleh Asher (1996).[3] Teori ini menggunakan teknik penghubungan antara konsep kata
atau frasa ke dalam gerakan badan yang diperagakan oleh pelajar.[3] Atau dengan kata lain,
memanfaatkan teknik meniru gerakan sesuai dengan kosakata yang disebutkan.[3] Teknik ini
dipercaya mampu meningkatkan proses internalisasi kosakata ke dalam pikiran si pelajar.[3]
Metode TPR telah direkomendasikan ke seluruh belahan Indian Amerika dan Alaska untuk
memperkenalkan bahasa daerah pada anak-anak.[3] Hanya saja teknik ini efektif hanya untuk
penguasaan kosakata.[3]Selain itu, di California juga telah dikembangkan kurikulum
pembelajaran dengan mencantumkan prinsip teori pemerolehan bahasa kedua yang di antaranya
pemahaman budaya dalam belajar bahasa kedua, pengetahuan bahwa murid menguasai bahasa
kedua secara bertahap, dan pelajar harus menggunakan bahasa kedua tersebut agar lebih cepat
paham.[3]

Rujukan
1. ^ a b c d e f g Selinker, L. (1972). Interlanguage: International Review of Applied
Linguistics. 10:209-31.
2. ^ a b c d e f g h i j k l m n Saville-Troike, Muriel. 2009. Introducing Second Language
Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
3. ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Laurence N. Berlin (2000). "The Benefits of Second
Language Acquisition and Teaching for Indigenous Language Educators" (Portable
Document File). Journal of American Indian Education 39 (3): 14–16.
4. ^ a b c d e f VanPatten, Bill; Benati, Alessandro G. (2010). Key Terms in Second Language
Acquisition. London: Continuum.
5. ^ a b c d e f g Cook, Guy, Barbara Seidlhofer. 1995. Principle and Practice in Applied
Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
6. ^ a b c d e f g h i j k l m Gass, M. Susan, Larry Selinker. 2008. Second Language Acquisition:
An Introductory Course. Taylor and Francis Publisher.
7. ^ a b c d e f g h i j k Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition. Oxford
University Press
8. ^ a b c http://www.wisegeek.com/what-is-contrastive-analysis.htm
9. ^ a b c d Corder, S. P. (1967). "The significance of learners' errors". International Review
of Applied Linguistics 5: 160–170.
10. ^ a b c d e Dulay, H. & Burt, M. 1973. Should We Teach children Syntax? Language
Learning, 27:315-30.
11. ^ a b c d e f Obler, L.K. & Gjerlow, K. 1999. Language and the Brain. Cambridge:
Cambridge University Press.
12. ^ a b c d e f g h i j Haynes, Judie. 2007. Getting Started with English Language Learners:
How Educators Can Meet the Challenge.
13. ^ http://www.nvtc.gov/lotw/months/november/learningExpectations.html
14. ^ a b http://www.livescience.com/32644-what-is-the-hardest-language-to-learn.html
15. ^ a b c d e f Malmkjaer, Kirsten. 1991. The Linguistics Encyclopedia. New York:
Routledge Publisher.

Kategori:

 Linguistik terapan

Menu navigasi
 Belum masuk log
 Pembicaraan
 Kontribusi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

Pencarian

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir

Bagikan

 Facebook
 Twitter
 Google+

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Perkakas

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini
 Pranala menurut ID

Bahasa lain

 ‫العربية‬
 বাাংলা
 Deutsch
 English
 Français
 Italiano
 日本語
 Русский
 中文

Sunting interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 29 Januari 2017, pukul 10.31.

Anda mungkin juga menyukai