Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan suatu peradangan akut parenkim paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, parasit ). Pneumonia
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam kategori
penyakit pneumonia11,19. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
karena nonmikroorganisme seperti bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan, dan lain-lain disebut dengan pneumonitis10. Berdasarkan klinis dan
epidemiologis, pneumonia dibedakan menjadi pneumonia komunitas
(Community-Acquired Pneumonia / CAP ), pneumonia didapat di rumah sakit (
Hospital-Acquired Pneumonia / HAP ), Health Care Associated Pneumonia /
HCAP, dan pneumonia akibat pemakaian ventilator ( Ventilator Associated
Pneumonia = VAP )9.
Asma merupakan penyakit saluran napas karena inflamasi kronik yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Infalamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, seak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan
tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian.
Bronkiektasis adalah dilatasi kronis yang abnormal serta destruksi dinding
bronkus, dan dapat terjadi di seluruh percabangan trakeobronkial . Bronkiektasis
merupakan penyebab utama kematian pada negara yang kurang
berkembang8.Terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika
terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39
tahun, terbanyak pada usia 60 – 80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada
bronkiektasis adalah karena gagal napas.Lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki, dan yang bukan perokok15.

1
2

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Ny. J
2. Umur : 65 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Kriwen, Sukoharjo
5. Pekerjaan : Pedagang
6. Agama : Islam
7. Suku : Jawa
8. Tanggal Masuk RD : 04 Juni 2016
9. Tanggal Pemeriksaan : 06 Juni 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
3 hari sebelum datang ke Rumah Sakit pasien mengeluhkan sesak napas.
Pada saat masuk rumah sakit pasien masih mampu berjalan tetapi susah untuk
mengucapkan kalimat. Pasien lebih suka duduk dibanding tidur. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan, perut
kembung ,mual, dan sakit kepala. Sesak nafas dan batuk tidak bergantung
waktu. Pada saat sudah dirawat pasien sudah mampu berbicara beberapa
kalimat. Pasien demam, menggigil maupun berkeringat pada malam hari.
Buang air besar dan buang air kecil lancar seperti biasa. Nafsu makan dan
minum baik, berat badan tidak menurun. Pasien pernah mengalami TB dengan
pengobatan telah selesai.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat pengobatan dengan OAT : diakui
b. Riwayat TB Paru : diakui
c. Riwayat asma : diakui
3

d. Riwayat alergi : diakui


e. Riwayat mondok di rumah sakit : diakui
f. Riwayat DM : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat trauma : disangkal
4. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat minum alkohol : disangkal
c. Riwayat konsumsi jamu : diakui
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat DM : disangkal
b. Riwayat TB Paru : diakui (Ibu Pasien)
c. Riwayat asma : diakui (Ibu Pasien)
d. Riwayat pengobatan TB Paru : diakui
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan
a. Adanya penderita batuk lama, sesak napas, dan batuk darah di sekitar
rumah pasien (+).
b. Adanya anggota keluarga dengan keluhan serupa (+).

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum: sedang, compos mentis
2. Tanda-Tanda Vital
a. Tekanan darah : 120/60 mmHg
b. Nadi : 72 x/menit
c. Respirasi : 28 x/menit
d. Suhu : 36,2 0C
e. Bb : 45 Kg
3. Kepala
a. Konjungtiva anemis (-/-)
b. Sklera ikterik (-/-)
4

4. Leher
a. Pembesaran kelenjar limfe regional tidak ditemukan.
b. JVP dalam batas normal.
5. Thorax
a. Cor
1) Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak, tidak terlihat massa dan
tanda jejas.
2) Palpasi : Ictus Cordis teraba dan kuat angkat di SIC V linea
midclavicularis sinistra
3) Perkusi :
a) Kanan Atas : SIC II parasternalis dextra
b) Kanan Bawah : SIC IV parasternalis dextra
c) Kiri Atas : SIC II parasternalis sinistra
d) Kiri Bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
4) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II dalam batas normal, reguler,
tidak terdapat bising.
b. Pulmo
1) Inspeksi : pengembangan dada kiri dan kanan simetris,
ketinggalan gerak dada tidak ditemukan.
2) Palpasi :
a) Ketinggalan gerak (-/-)
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -
5

b) Fremitus
Depan Belakang
N N N N
N N N N
N N N N

3) Perkusi :
Depan Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Redup Redup Redup Redup

4) Auskultasi :
Depan Belakang
SDV dbn SDV dbn SDV dbn SDV dbn
SDV dbn SDV dbn SDV dbn SDV dbn
SDV dbn SDV dbn SDV dbn SDV dbn

Suara tambahan :
Ronkhi Wheezing
- - + +
- - + +
- - + +

6. Abdomen
a. Inspeksi : bentuk abdomen simetris, ukuran normal, sikatriks (-).
b. Auskultasi : peristaltik usus dalam batas normal.
c. Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
d. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen.
6

7. Extremitas
a. Clubbing finger tidak ditemukan.
b. Edema tidak ditemukan.
c. Akral hangat pada keempat anggota gerak
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi ( 5 Juni 2016)
Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Leukosit 11.5 3.6-11.0 H
Eritrosit 3.64 3.80-5.20 N
Hemoglobin 10.0 11.7-15.5 L
Hematokrit 30.8 35-47 L
Indeks eritrosit
MCV 84.6 80-100 N
MCH 27.5 26-34 N
MCHC 32.5 RMF
Trombosit 461 150-450 H
RDW-CV 13.0 11.5-14.5 N
PDW 9.8
MPV 9.7
P-LCR 20.9
PCT 0.45
Diff Count
NRBC 0.00 0-1 N
Neutrofil 95.2 53-75 H
Limfosit 3.9 25-40 L
Monosit 0.70 2-8 L
Eusinofil 0.00 2.00-4.00 L
Basofil 0.20 0-1 N
Ig 0.30
Golongan Darah A
7

* Ket : H = High
L = Low
N = Normal

2. Pemeriksaan Kimia Darah


Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Gula Darah Sewaktu 183 70-120 H
Ureum 22.6 0-31 N
Kreatinin 0.63 0.50-0.90 N
SGOT 14.96 0-35 N
SGPT 7.6 0-35 N
Sero Imunologi
Hbs Ag Non Reaktif Non reaktif N
Ket : H = High
N = Normal
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorak : Gambaran bronkopneumonia bilateral terdapat honey comb
appearance, air bronchogram (+)
8

4. EKG

5 Spirometri
Hasil : (----)

E. DIAGNOSIS
Penumonia dengan Asma Akut Sedang dan Bronkiektasis

F. TINDAKAN/PENATALAKSANAAN
- Ringer Asetat
- Aminophilin 20 tpm
- Ceftazidin 3 x 1
- Ofloxacin infuse 1x 400 mg
- Metil prednisolon injeksi 3 x 62,5 mg
- Omeprazole injeksi 2 x 1
- Combivent nebu/8 jam
- Pulmicort nebu/8 jam
- Codein 3 x 10 mg
- Ambroxol 3 x1
- Salbutamol 3x 1 gr
9

- Ulsafat syr 3x CI
- Betahistin 3x 1
- Alprazolam 0-0-0,25 mg
- Spironolakton 1x 25 mg

G. FOLLOW UP
Sabtu, 4 Juni 2016
S: A:
Sesak (+) Batuk (+) Dahak (+) Dypsneu
kehijauan Pusing (+) Status Asmatikus
O: P:
TD : 130/80 mmHg O2
HR : 120 x/menit Ventolin nebu
RR : 34 x/menit Pulmicort nebu
S : 38,20C GG 100 mg
KU/KS : sedang / CM Aminophilin 7 mg
KL : CA -/- SI -/- PKGB (-) Salbutamol 2 g
TH : wheezing +/+ rh +/+ BJ I-II CTM
reguler
ABD : Peristaltik (+) supel
EKS : akral hangat, udem tangan -/-
udem kaki -/-
10

Minggu, 5 Juni 2016


S: A:
Sesak (+) riwayat asma (+), keringat Pneumonia
dingin (+) riwayat pengobatan OAT (+) TB
O: P:
TD : 120/80 mmHg O2
HR : 86 x/menit Ventolin nebu
RR : 24 x/menit Pulmicort nebu
S : 36,00C GG 100 mg
Thorak : Wheezing +/+ Rhonki +/+ Aminophilin 7 mg
Salbutamol 2 mg
CTM

Senin, 6 Juni 2016


S: A:
Sesak (+) batuk (+) pusing (+) mual (+) Bronkiektasis, Pneumonia, Asma akut
muntah (-) BAB BAK pagi hari belum, sedang
nyeri bawah lidah (+), riwayat OAT (+)
O: P:
TD : 100/60 mmHg Ra
HR : 68 x/menit Aminophilin 20 tpm
RR : 28 x/menit Ceftazidin 3 x 1
S : 35,30C Ofloxacin drip 1x 400 mg
KU/KS : baik / CM Metil prednisolon injeksi 3 x 62,5 mg
KL : CA -/- SI -/- PKBG (-) Omeprazole injeksi 2 x 1
TH : Ronkhi -/- Wheezing -/- BJ I-II Combivent nebu/8 jam
reguler Pulmicort nebu/8 jam
ABD : supel, peristaltik (+) Codein 3 x 10 mg
EKS : oedem tangan -/- oedem kaki -/-, Ambroxol 3 x 1
11

akral hangat Salbutamol 3 x 1 mg


Ulsafat syr 3 x CI
Betahistin 3 x 1
Alprazolam 0-0-0,25 mg
Spironolakton 1x 25 mg

Selasa, 7 Juni 2016


S: A:
Sesak (+) Batuk (+) Dahak(+) Pusing Asma akut sedang,
(+) Mual (+) Muntah (-) Riwayat OAT Pneumonia,Bronkiektasis
(+) selesai, Perut kembung (+) Nyeri
perut (+)
O: P:
TD : 120/70 mmHg Ra + 1 ampul Aminophilin 20 tpm
HR : 80 x/menit Ceftazidin 3 x 1
RR : 24 x/menit Ofloxacin drip 1x 400 mg
S : 35,40C Metil prednisolon injeksi 3 x 62,5 mg
KU/KS : baik, CM Omeprazole injeksi 2 x 1
KL : CA -/-, SI-/-, PKGB-/- Combivent nebu/8 jam
TH : Wheezing +/+ Ronki +/+ BJ I-II Pulmicort nebu/8 jam
regular Codein 3 x 10 mg
ABD : Supel, peristaltic (+) Ambroxol 3 x1
EKS : Udem tangan -/- Udem kaki -/- Salbutamol 3x 2 mg
Akral hangat Ulsafat syr 3x CI
Betahistin 3x 1
Alprazolam 0-0-0,25 mg
Spironolakton 1x 25 mg
Furosemid tab 1-0-0
Alinamin f injeksi 2x1
Dulcolax supp I
12

Bricasma 3 x 1 tab
Sangobion 1x 1

Rabu, 8 Juni 2016


Sesak (+) Batuk (++) Pusing (+) BAB A :
tidak lancar, BAK lancar, Sakit perut Asma akut sedang,
(+) di region epigastrika Pneumonia,bronkiektasis
O: P:
TD : 110/80 mmHg Ra+Aminophilin 20 tpm
HR : 92 x/menit Ceftazidin 3 x 1
RR : 24 x/menit Ofloxacin infuse 1x 400 mg
S : 360C Metil prednisolon injeksi 3 x 62,5 mg
KL : CA -/-, SI-/-, PKGB-/- Omz injeksi 2 x 1
Thoraks : Wheezing +/+ Rongki +/+ Combivent nebu/8 jam
BJ I-II regular Pulmicort nebu/8 jam
Abdomen : Supel, peristaltic (+) Codein 3 x 10 mg
Ekstremitas : Udem tangan -/- Udem Ambroxol 3 x1
kaki -/- Akral hangat Salbutamol 3 x 3 mg
Ulsafat syr 3 x CI
Betahistin 3 x 1
Alprazolam 0-0-0,25 mg
Spironolakton 1 x 25 mg
Furosemid tab 1-0-0
Alinamin f injeksi 2 x 1
Dulcolax supp II
Bricasma 3 x 1 tab
neurobion IV 1 x 1

Kamis, 9 Juni 2016


S: A:
13

Sesak (+) Batuk (+) Pusing (+) BAB Pneumonia


tidak lancar sejak 3 hari Mual (-) Bronkiektasis
Muntah (-)
O: P:
TD : 130/90 mmHg Ofloxacin
HR : 80 x/menit Spironolakton
RR : 24 x/menit Simbicort
S : 36,30C Curcuma
KL : CA -/-, SI-/-, PKGB (-) Amtriptilin
Thoraks : SDV -/- Wheezing +/+ Cefixime
Rongki -/- BJ I-II regular
Abdomen : Supel, peristaltic (+)
Ekstremitas : Udem tangan -/- Udem
kaki -/- Akral hangat
14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri
dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi
nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan
nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk
untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan
atau kurang. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai
jaringan paru (alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan
merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang sering menyebabkan
kematian. Penyebab Pneumonia adalah infeksi bakteri, virus maupun
jamur. Pneumonia mengakibatkan jaringan paru mengalami peradangan.
Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen menjadi
berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel sel tidak bisa bekerja..
Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi,
dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai
senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua
dan penderita penyakit kronis.
2. Etiologi
Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2006 dalam “Pneumonia:
The Forgotten Killer of Children”, Indonesia menduduki peringkat ke-6
dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita
mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus
kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh
bakteri pneumokokus.
Pneumonia (radang paru), salah satu penyakit akibat bakteri
pneumokokus yang menyebabkan lebih dari 2 juta anak balita meninggal.

14
15

Pneumonia menjadi penyebab 1 dari 5 kematian pada anak balita.


Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang sering menyerang bayi
dan anak-anak di bawah usia 2 tahun. Sejauh ini, pneumonia merupakan
penyebab utama kematian pada anak usia di bawah lima tahun (balita).
3. Patogenesis
Patogenesis pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bakteri dari
udara dan masuk ke tenggorokan terisap masuk ke paru-paru. Penyebaran
bisa juga melalui darah dari luka di tempat lain, misalnya di kulit. Bakteri
pneumokokus secara normal berada di tenggorokan dan rongga hidung
(saluran napas bagian atas) pada anak dan dewasa sehat, sehingga infeksi
pneumokokus dapat menyerang siapa saja dan dimana saja, tanpa
memandang status sosial. Percikan ludah sewaktu bicara, bersin dan batuk
dapat memindahkan bakteri ke orang lain melalui udara. Terlebih dari
orang yang berdekatan misalnya tinggal serumah, tempat bermain, dan
sekolah. Jadi, siapa pun dapat menularkan kuman pneumokokus.
Bakteri masuk ke dalam paru-paru melalui udara, akan tetapi
kadang kala juga masuk melalui sistem peredaran darah apabila pada
bagian tubuh kita ada yang terinfeksi. Sering kali bakteri itu hidup pada
saluran pernafasan atas yang kemudian masuk ke dalam arteri. Ketika
masuk ke dalam alveoli, bakteri melakukan perjalanan diantara ruang antar
sel dan juga diantara alveoli. Dengan adanya hal tersebut, sistem imun
melakukan respon dengan cara mengirim sel darah putih untuk melindungi
paru-paru. Sel darah putih (neutrofil) kemudian menelan dan membunuh
organisme tersebut serta mengeluarkan sitokin yang merupakan hasil dari
aktivitas sistem imun itu. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya demam,
rasa dingin (menggigil), lemah yang merupakan gejala umum dari
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ataupun jamur. Neutrofil,
bakteri, dan cairan mempengaruhi keadaan sekitarnya dan juga
mempengaruhi transportasi O2.
16

Adapun cara mikroorganisme itu sampai ke paru-paru bisa melalui:


a. Inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar
b. Aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain
c. Migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru.

` Cara penularan bakteri pneumonia sampai saat ini belum diketahui


pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi
terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah:
1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah
Seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik
seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang
pernah/rutin menjalani kemoterapi dan meminum obat golongan
Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya
memiliki daya tahan tubuh (Imun) yang lemah.
2. Perokok dan peminum alcohol
Perokok berat dapat mengalami iritasi pada saluran pernafasan
(bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak),
Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan
pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih,
hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu
infeksi. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU)
Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) ‘endotracheal
tube’ sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan
mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan,
bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator)
maka potensial tinggi terkena pneumonia.
3. Menghirup udara tercemar polusi zat chemical
Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka
menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai
masker adalah terjadi iritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang
17

akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri


atau virus.
4. Pasien yang lama berbaring
Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya
bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi
terkena penyakit pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis
memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media
berkembangnya bakteri.

B. Asma
1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang
menyebabkan hiperesponsif jalan nafas dan dapat menimbulkan gejala
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk terutama malam
dan atau dini hari13.
2. Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok
faktor genetic ( hipereaktivitas, atopi/alergi bronkus, faktor yang
memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, dan ras/etnik) dan Faktor
lingkungan ( alergen, makanan, obat-obatan, bahan yang mengiritasi,
emosi, asap rokok dan polusi udara, aktivitas, perubahan cuaca)14.
3. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons
inflamasi akut.Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis
dan saraf otonom.Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase
cepat dan fase lambat.Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
18

interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus


kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek
edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen.Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot
polos bronkus.Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
allergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu.Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel
mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma17.
4. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini
dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk
kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis
1) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara
lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,
merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang
sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas
karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,
19

terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya


tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa
kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak
dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja,
obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
2) Pemeriksaan fisik
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis
secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran
napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan
cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi
dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot
napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi didapatkan
wheezing pada ekspirasi memanjang
3) Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal
paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara
yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat
normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan
obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV.
untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama
saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV112.
20

5. Klasifikasi
Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Klasifikasi asma menurut derajat asma


21

6. Penatalaksanaan
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 2
faktor yang perlu dipertimbangkan :
a. Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol.
- Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai
kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan
durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian
inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/
tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot
polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel
mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma (bukti A). Penggunaan
agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk
mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap
hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi
antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau
respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat
serangan asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral.
22

Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka


dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi,
kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi
inhalasi.
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal
intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja
singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek
maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe
lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium
bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan
risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti B). Oleh karena
disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis
beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma
berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2
saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat
diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada
penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti
mengenai efeknya pada sekresi mukus.
23

Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2
kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan ketat (bedside monitoring).

- Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut
pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif
jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan
bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi
ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak
bertambah bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah
antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah (bukti A). Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-
250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali
sehari (bukti B).
24

Asma Persisten Sedang


Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat
pengontrol setiap hari untuk mencapai asma terkonrol dan
mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau
ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali
sehari (bukti A). Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah (£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau
alternatifnya.Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid
inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat
bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu
kemasan (fix combination) agar lebih mudah.
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal
mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE
seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk
mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol
tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau
ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari (bukti
A). Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian
glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali
sehari (bukti A).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi
juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) (bukti
B). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral
25

dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi


hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara
nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi
glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik
yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga
tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada
asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

C. Bronkiektasis
1. Defenisi
Bronkiektasis adalah dilatasi kronis yang abnormal serta destruksi
dinding bronkus, dan dapat terjadi di seluruh percabangan trakeobronkial8.
2. Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara yang
kurang berkembang.Terutama pada negara yang sarana medis dan terapi
antibiotika terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan
umur rata-rata 39 tahun, terbanyak pada usia 60 – 80 tahun. Sebab
kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal
napas.Lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan yang
bukan perokok15.
3. Etiologi
1) Kelainan kongenital
Dalam hal ini bronkiektasi terjadi sejak individu masih dalam
kandungan.Faktor genetik atau factor pertumbuhan dan perkembangan
fetus memegang peran penting.Bronkiektasis yang timbul kongenital
memiliki ciri sebagai berikut.Pertama, bronkiektasis mengenai hampir
seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis
kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya,
misalnya: Mucoviscidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener
(bronkiektasis kongenital, sinusitis, paranasal dan situs inversus), hipo
26

atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak


yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga
menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan
kongenital berikut : tidak ada tulang rawan brokus, penyakit jantung
bawaan, kifoskoliosis kongenital3.
2) Kelainan didapat
Infeksi Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak
menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung
lama.Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun
influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru dan sebagainya:
a) Obstruksi bronkus Obstruksi bronkus yang dimaksud disini dapat
disebabkan oleh berbagai macam sebab : korpus alienum, karsinoma
bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Menurut
penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun
obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis. Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor
intrinsic (yang sampai sekarang belum diketahui) ikut berperan
terhadap timbulnya bronkiektasis)3.
b) Dinding Bronkus Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami
perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan
reversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sring ditemukan
berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses
fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot
polos bronkus juga elemen-elemen elastis, pembuluh-pembuluh darah
dan tulang rawan bronkus2.
c) Mukosa bronkus Mukosa bronkus permukaannya menjadi
abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia
skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi
eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan,
ulserasi dan pernanahan2.
27

d) Jaringan Paru Peribronkial Pada parenkim paru peribronkial


dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru
atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat,
jaringan paru distal bronkietasis akan diganti oleh jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah2.
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang dapat, diduga
melalui dua mekanisme dasar.Permulaannya didahului adanya faktor
infeksi bakterial.Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau
paru, kemudian timbul bronkiektasis.Mekanisme kejadiannya sangat
rumit.Belum diketahui secara sempurna, tetapi nampaknya yang menjadi
penyebab utama adalah keradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik
dan tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang terinfeksi yang
kontak lama dan erat dengan dinding bronkus.Mukopus mengandung
produk-produk neutrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin,
elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokin inflamasi (IL8) dan substansi
yang menghambat gerakan silia dan mucociliaryclearance.Terjadi
mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus yang telah lunak
oleh pengaruh proteolitik.Inflammatory insult yang pertama akan diikuti
oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih
lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran
yang tidak terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan
jaringan paru sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang
sudah lemah sehingga terjadi distorsi.Distensi juga bisa diperberat oleh
atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus mendapatkan
tekanan intratorakal yang lebih besar3.
5. Pemeriksaan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisik mungkin pasien sedang mengalami
batuk-batuk dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang
batuk darah.Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi
sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis.Pada kasus
28

berat dan lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun
payah jantung kanan16.
Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat
kelainan bronkiektasis terjadi, dan kelainannya apakah local atau
difus.Pada pemeriksaan fisis paru kelainannya harus dicari pada tempat-
tempat predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah
yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaanya menetap
dari waktu ke waktu, atau ronki basah ini hilang sesudah pasien
mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila
bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat
menimbulkan kelainan berikut : terjadi retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi
penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat
komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan
pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila terjadi obstruksi
bronkus1.
6. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada pasien ini umumnya tidak khas.Pada
keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan
polisitemia sekunder.Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya
normal.Sering-sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya
infeksi kronik atau ditemukannya leukositosis yang menunjukkan adanya
infeksi supuratif16.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi
amyloidosis akan ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan
pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan kuman apa yang
terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensitivitas
terhadap antibiotic perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila misalnya
dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih, yang
berubah menjadi warna kuning atau hijau16.
29

7. Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada
bentuk kongenital tidak dapat dicegah. Menurut kepustakaan dicatat
beberapa usaha pencegahan antara lain : Pengobatan dengan antibiotik
atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua bentuk pneumonia yang
timbul pada anak, akan dapat mencegah (mengurangi) timbulnya
bronkiektasis.Tindakan vaksinasi terhadap pertussis dan lain-lain
(influenza, pneumonia) pada anak dapat pula diartikan sebagai tindakan
preventif terhadap timbulnya bronkiektasis16.
8. Komplikasi
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis, Kor pulmonal kronik1.
9. Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya
serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali.Pemilihan
30

BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien Ny.J umur 65 tahun


datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 4 Juni 2016. Pasien ini memiliki
keluhan awal berupa sesak nafas dan batuk berdahak berwarna putih kekuningan,
disertai demam, sakit kepala, dan perut kembung. Diagnosis masuk pasien ini
adalah Pneumonia. Setelah itu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium dan didapatkan diagnosis akhir adalah pneumonia
dengan asma akut sedang dan bronkiektasis.
Menurut teori yang termasuk gejala pneumonia adalah demam menggigil,
suhu tubuh meningkat, batuk berdahak mukoid atau purulen, sesak nafas, kadang
nyeri dada. Dan pada pemeriksaan fisik didapatkan inspeksi terdapat bagian yang
sakit tertinggal, palpasi fremitus dapat mengeras, perkusi redup, dan auskultasi
suara dasar bronkovesikuler sampai bronkial, suara tambahan ronki basah halus
sampai ronki basah kasar pada stadium resolusi. Pada pemeriksaan radiologi foto
thorak terlihat gambaran infiltrat sampai gambaran konsolidasi (berawan) dapat
disertai air bronchogram. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan
jumlah leukosit lebih dari 10.000/ul. Pengobatan pneumonia terdiri dari antibiotik
dan pengobatan suportif. Sedangkan pada asma sedang memiliki gejala sesak
napas waktu berbicara dan lebih suka duduk, frekuensi nafas meningkat, mengi
keras, nadi 100-120 x/menit untuk terapi asma menggunakan obat-obatan reliever
dan kontroler. Pada bronkiektasis didaptkan gejala pasien sedang mengalami
batuk-batuk dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang batuk
darah. Pada pemeriksaan radiologi foto thorak didapat gambaran honey comb
appearance dan infiltrat.
Sesuai dengan teori, pasien Ny.J juga memiliki gejala dan hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai dengan teori. Dan pasien telah
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan teori sehingga mendapatkan
indikasi pulang.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Algasaff, H., Mukty, A. 2006. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru. Surabaya : Airlangga.
2. Damnajov,I. 2010. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi. Jakarta :
EGC
3. Daviskas, E. 2010. Pathogenesis and Diagnosis of Bronchiectasis.
Melbourne : Departement of Respiratory and Sleep Medicine, Monash
Medical Centre.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta.
5. Jeremy P. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.
6. Jurnal Kesehatan Mayarakat. 2013. Volume 2, Nomor 2, April 2013.
Diakses dari : http://ejournals.undip.ac.id/index.php/
7. Kemenkes RI. 2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta:
Kemenkes RI.
8. Kowalak, Welsh, dkk. 2011. Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
9. Mandell, L.A., Wunderink, R.G., Anzueto, A., Bartlett, Z.G., Campbell,
D., Dean, N.C., et al. 2007. Infectious Diseases Society of the
America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the
Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical
Infectious Disease 44 : S2 : 27-72.
10. Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition.2009. Elsevier.
11. Mayo Clinic. Definition of the Pneumonia diunduh dari
http://www.mayoclinic.org/diseasecondition/pneumonia/basics/definition/
CON-20020032
12. National Institute of Health. 2007. Guidelines for the Diagnosis and
Management of Asthma. Virginia. USA.
32

13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indoneisa. PDPI:Jakarta.
14. PDPI. 2003. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia.
15. Rademacher,J., Welte, T. 2011. Bronchiectasis-Diagnosis and Treatment.
Deutsches Arzteblatt International.
16. Rahmatullah, P. 2009. Bronkiektasis. In E.Suyono, Buku Ajar Ilmu
penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga (pp. 861-871). Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
17. Rengganis I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia.Vol;58, No;11
18. Sukandar, Elin Yulinah dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI
Penerbitan.2008.
19. The American Heritage. Dictionary of the English Language, 4th Ed. 2000.
Houghton Mifflin Company.

Anda mungkin juga menyukai