Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Definisi
Congestive heart failure (gagal jantung kongestif) adalah
suatu sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan oleh
kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung
tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke jaringan
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient
dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat
jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
KLASIFIKASI
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart
Association (NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
EPIDIMIOLOGI
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan
meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74
tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8
juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di
Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit
gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada
sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah
pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami
perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun
tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung
lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.
PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana
terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal,
stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada
ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga
aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price, 2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Kumar,
2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron.
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit
serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung
(Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur
hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type
natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan
susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler,
sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung,
maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai
marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang
meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat.
Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh
sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi
pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan
endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja
menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial
akibat endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi
miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah
penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik
yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri (Greenberg,
2007).
MANIFESTASI KLINIS
A. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,
pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan laboratorium rutin pada
pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin,
leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin,
laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa,
tes fungsi hati dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai
terutama pada pasien dengan terapi
menggunakan diuretik dan/atau ACEI
(Angiotensin Converting Enzime
Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
2. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada
penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma
koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal
jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
3. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus
dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung.Abnormalitas EKG sering
dijumpai pada gagal jantung.
Pemeriksaan EKG 12-lead
dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme,
menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG
Normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.
4. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam
diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti
paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan atau memperberat sesak
nafas.
5. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk
mendiagnosis, mengevaluasi, dan menangani gagal
jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap
ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan
keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan
hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas
pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran
ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat
penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang
menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai
fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan
end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur
dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas
oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa
keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena
EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat
pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke
dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun
demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF
berkurang secara bermakna (<30-40%).
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
Riwayat angioedema
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Asma
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI
dan ARB)
Hiperkalemia
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif
jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis
aldosteron
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
H-ISDN:
Hipotensi simtomatik
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang
cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhada angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi
IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi
Fibrilasi atrial
Irama sinus
Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.
Kontra Indikasi
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga sindroma sinus sakit
Sindroma pre-eksitasi
Duretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan
dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada
penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
Epidemiologi
Edema paru akut merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada pasien gagal jantung akut
maupun kronis namun tidak banyak data mengenai insiden edema paru ini. Suatupenelitian yang
berbasis survey-observasional berskala internasioal, Acute Heart Failure Globak of Standard
Treatment (ALARM_HF) tahun 2012, terhadap 4953 pasien yang dirawat dengan gagal jantung
akut di 866 rumah sakit tersebar di eropa, Amerika Latin dan Australia mendapat Edema paru akut
merupakan salah satu kondisi klinis yang banyak dijumpai dengan presentase 37% dari
keseluruhan pasien. Penelitian sebelumnya Euroheart Failure Survey II didapatkan hasil 16%
pasien yang dirawat akibat gagal jantung akut mengakibatkan EPA.
Patofisiologis
Patofisiologis edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan (fluid exchange)
yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler (mikrovascular). Sejumlah volume cairan
yang bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler pembuluh darah, bercampur
dengan cairan interstisium disekitarnya, dan kemudian diabsorsi kembali kedalam pembuluh
darah, proses seperti ini disebut dengan bulk flow karena berbagai konstituen cairan berpindah
bersama-sama sebagai kesatuan.
Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid antara plasma
dengan cairan interstisium. Secara umum ada empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan
menembus dinding kapiler, yaitu 1) tekanan kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang
cenderung mendorong cairan keluar kapiler menuju cairan interstisium, 2) tekanan osmotic koloid
plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik, merupakan suatu gaya yang merupakan suatu gaya
disperses koloid protein-protein plasma dan mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler.
Dalam keadaan normal, protein plasma tetap dipertahankan berada tetap didalam plasma dan tidak
masuk kedalam interstisium sehingga adanya perbedaan konsentrasi antara plasma dan
interstisium, 3) tekanan hidrostatik ciiran interstisium, merupaka tekanan cairan yang berkerja
dibagian luar dinding kapiler oleh cairan interstisium. Tekanan ini cenderung mendorong cairan
masuk ke dalam kapiler, 4) tekanan osmotic koloid cairan interstisum, merupakan gaya lain yang
dalam keadaan normal tidak dapat banyak berperan dalam perpindahan cairan melalui kapiler.
Perpindahan cairan dari intreavaskuler dapat dinyatakan sebagai suatu perpindahan cairan melalui
suatu membrane semipermaebel.
Pada jariangan paru yang normal, cairan dan protein merembes melalui celah yang sempit diantara
sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan adanya anyaman epitel yang sangat rapat pada kapiler
tersebut, maka perpindahan protein yang berukuran besar dapat dibatasi, serta dapat tetap
dipertahankan didalam plama. Selanjutnya filtrate yang memasuki celah interstisial alveolar akan
mengalir kearah proksimal menuju celah peribroncovaskular. Pada jaringan paru yang normal,
seluruh ilfiltrat tersebut akan dialirkan kembali meuju kesirkulasi sistemik melalui system limfe.
Tekanan hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru, diperkirakan berbanding
lurus dengan selisih antara tekanan hidrostatik kapiler paru dengan gradient tekanan osmotic
protein.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melalui clearance capability system limfe,
keadaan ini sering dijumpai pada peningkatan tekanan hdirostatik kapiler paru oleh karena
meningkatnya tekana dalam pembuluh darah kapiler pulmonalis. Peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler pulmoner secara secara cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan tekanan cairan
transvaskuler dan ini merupakan karakteristik utama suati acute cardiogenic edema atau volume-
overload edema. Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan hidrostatik pembuluh darah
kapiler paru umumnya disebabkan peningkatan tekanan vena pulmonalis sebagai akibat
peningkatan left ventricular end-diatolic pressure and left arterial pressure. Peningkata minimal
(mild) tekanan pada atrium kiri (18-25 mmhg) akan menyebabkan edema pada perimicrovascular
interstisial space. Dengan peningkatan tekan pada atrium kiri yang lebih tinggi (>25 mmHg),
cairan akan menembus lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan-rendah
protein. Hal yang berbeda didapati pada keadaab edema paru nonkardiogenik, adanya peningkatan
permaebilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan intravaskulae keluar menuju
instrestisial paru serta air space. Pada edema paru nonkardiogenik akan dijumpai cairan edema
yang lebih tinggi protein karena membrane pembuluh darah darah yang lebih tinggi permeable
dapat melawat protein-protein plasma. Totat jumlah netto akumulasi cairan edema paru ditentukan
olej keseimbangan pengeluaran dan penyerapan cairan edema dari intertisial serta air space.