Anda di halaman 1dari 25

Tinjauan Pustaka

Pendahuluan

Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung


kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme
yang mendasar tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat
kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung
kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari termasuk
aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau
degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat
menunjang perkembangan dan keparahan dari gagal jantung.
Peningkatan laju metabolic (misalnya: demam, koma,
tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen.1

Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut


merupakan alasan kedatangan penderita ke rumah sakit.
Berdasarkan data Medicare di Amerika Serikat dan data Scottish
di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap yang
paling banyak di rumah sakit. Tingginya insidensi dan angka
kematian pada gagal jantung kongestif sesuai dengan data
tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif
memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung
kongestif ini. Itulah sebabnya, kasus ini perlu diangkat untuk
dipelajari.

Definisi
Congestive heart failure (gagal jantung kongestif) adalah
suatu sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan oleh
kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung
tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke jaringan
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient
dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat
jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.

KLASIFIKASI
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart
Association (NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)

Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas


sehari – hari tidak menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada
aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari –
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari
tanpa adanya kelelahan. Gejala terjadi pada saat
istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan kelainan


structural jantung menurut American College of Cardiology dan
American Heart Association.
Tabel 3. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak a
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda at
Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhub
dengan perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala
Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan
jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adan
jantung saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksi

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan


menjadi gagal jantung akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari
gejala atau tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat
terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang
abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan
memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat
berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya
atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik
yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa
sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan istirahat atau aktivitas,
edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam
keadaan istirahat.
ETIOLOGI
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat
terganggu. Yang paling sering menyebabkan kemunduran dari
fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya
kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik,
meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya
takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering
menyebabkan penyakit miokard, dan 70% akan berkembang
menjadi gagal jantung. Masing -masing 10% dari penyakit
jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung
juga.
Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan
berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan dan
gagal low output atau high output.

Tabel 1. Penyebab gagal jantung


Jantung kiri primer Jantung kanan primer
 Penyakit jantung iskemik Gagal jantung kiri
  Penyakit pulmonari kronik
Penyakit jantung hipertensi
 Penyakit katup aorta  Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup mitral  Penyakit katup trikuspid
 Miokarditis  Penyakit jantung kongenital
 Kardiomiopati (VSD,PDA)
 Amyloidosis jantung 7  Hipertensi pulmonal
 Embolisme paru masif7
Gagal output rendah Gagal output tinggi
 Kelainan miokardium  Inkompetensi katup
 Penyakit jantung iskemik Anemia
 Kardiomiopati  Malformasi arteriovenous
 Amyloidosis  Overload volume plasma
 Aritmia
 Peningkatan tekanan
pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup
 Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder
Sumber: Concise Pathology 3rd Edition

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :


1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas
jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia
dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit
miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi yang secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada
gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung
(peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi serabut
otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap
sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas
jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertropi otot jantung
dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal
jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit
jantung yang sebenarnya, yang secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat
mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung
untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan
mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya
laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ), hipoksia
dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan
anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung

EPIDIMIOLOGI
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan
meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74
tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8
juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di
Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit
gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada
sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah
pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami
perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun
tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung
lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.

PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana
terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal,
stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada
ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga
aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price, 2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Kumar,
2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron.
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit
serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung
(Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur
hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type
natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan
susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler,
sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung,
maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai
marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang
meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat.
Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh
sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi
pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan
endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja
menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial
akibat endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi
miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah
penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik
yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri (Greenberg,
2007).

Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan


relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan
timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya
gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan
gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih
ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi
diantara individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan
juga tergantung pada derajat penyakit.

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah


kelelahan. Meskipun kelelahan adalah gejala yang umum dari
gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan
gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh
banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk
berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi
aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi


gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan
oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti
paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema
interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka
dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung
kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-
bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi
sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas
bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-
paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND)
dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal
jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.

 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti


paru, terutama pada posisi berbaring.

 Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan


paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada
awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.

 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena


bronkial yang terjadi akibat distensi vena.

 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan


tanda kongesti vena sistemik. Dapat diamati peningkatan
tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami
bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung
kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap
peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.

 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi


akibat peregangan kapsula hati.

 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa


penuh, atau mual dapat disebabkan kongesti hati dan
usus.

 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam


ruang interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian
tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari;
dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang
mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh
redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring,
dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu
istirahat.

 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites


atau edema anasarka. Meskipun gejala dan tanda
penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,
namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik
umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal
jantung kanan yang nyata.
 Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung
kongestif, pasien dapat mengalami sianosis dan asidosis
akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel
akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan
penyebab penting kematian mendadak dalam situasi
ini.3-5

A. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,
pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan laboratorium rutin pada
pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin,
leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin,
laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa,
tes fungsi hati dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai
terutama pada pasien dengan terapi
menggunakan diuretik dan/atau ACEI
(Angiotensin Converting Enzime
Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
2. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada
penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma
koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal
jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
3. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus
dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung.Abnormalitas EKG sering
dijumpai pada gagal jantung.
Pemeriksaan EKG 12-lead
dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme,
menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG
Normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.
4. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam
diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti
paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan atau memperberat sesak
nafas.

5. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk
mendiagnosis, mengevaluasi, dan menangani gagal
jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap
ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan
keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan
hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas
pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran
ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat
penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang
menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai
fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan
end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur
dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas
oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa
keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena
EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat
pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke
dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun
demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF
berkurang secara bermakna (<30-40%).
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia,


hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu
ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.

Indikasi pemberian ACEI

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI

  Riwayat angioedema

  Stenosis renal bilateral

  Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L

  Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

 Stenosis aorta berat


PENYEKAT β

Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal


jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup

Indikasi pemberian penyekat β


  Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan

 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat β

  Asma

 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa


pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
ANTAGONIS ALDOSTERON

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil


harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian antagonis aldosteron

  Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

  Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI
dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron

  Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L


  Serum kreatinin> 2,5 mg/dL

  Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

 Kombinasi ACEI dan ARB


Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:

  Hiperkalemia

  Perburukan fungsi ginjal

 Nyeri dan/atau pembesaran payudara


ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung


dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun

sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.

Indikasi pemberian ARB

  Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai


berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

20 | Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung


 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI,
tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB

  Sama seperti ACEI, kecuali angioedema

 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan

 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif
jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

  Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

  Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi

 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis
aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

  Hipotensi simtomatik

  Sindroma lupus

 Gagal ginjal berat


Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi

H-ISDN:

  Hipotensi simtomatik

 Nyeri sendi atau nyeri otot

DIGOKSIN

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang
cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhada angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi
IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi

Fibrilasi atrial

 dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat

aktifitas> 110 - 120 x/menit

Irama sinus

  Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

  Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)

 Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.

Kontra Indikasi

  Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga sindroma sinus sakit

  Sindroma pre-eksitasi

 Riwayat intoleransi digoksin

Duretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan
dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada
penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

Acute Lung Edema


Definisi
Acute Lung Edema atau edema paru akut adalah suatu keadaan akumulasi cairan pada jaringan
interstitial paru yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara tekanan sistolik dan diastolic
didalam pembuluh darah kapiler paru dengan jaringan sekitarnya. Edema paru akut dapat terjadi
sebagai akibat kelainan pada jantung serta gangguan organ diluar jantung.

Epidemiologi
Edema paru akut merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada pasien gagal jantung akut
maupun kronis namun tidak banyak data mengenai insiden edema paru ini. Suatupenelitian yang
berbasis survey-observasional berskala internasioal, Acute Heart Failure Globak of Standard
Treatment (ALARM_HF) tahun 2012, terhadap 4953 pasien yang dirawat dengan gagal jantung
akut di 866 rumah sakit tersebar di eropa, Amerika Latin dan Australia mendapat Edema paru akut
merupakan salah satu kondisi klinis yang banyak dijumpai dengan presentase 37% dari
keseluruhan pasien. Penelitian sebelumnya Euroheart Failure Survey II didapatkan hasil 16%
pasien yang dirawat akibat gagal jantung akut mengakibatkan EPA.

Patofisiologis
Patofisiologis edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan (fluid exchange)
yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler (mikrovascular). Sejumlah volume cairan
yang bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler pembuluh darah, bercampur
dengan cairan interstisium disekitarnya, dan kemudian diabsorsi kembali kedalam pembuluh
darah, proses seperti ini disebut dengan bulk flow karena berbagai konstituen cairan berpindah
bersama-sama sebagai kesatuan.
Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid antara plasma
dengan cairan interstisium. Secara umum ada empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan
menembus dinding kapiler, yaitu 1) tekanan kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang
cenderung mendorong cairan keluar kapiler menuju cairan interstisium, 2) tekanan osmotic koloid
plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik, merupakan suatu gaya yang merupakan suatu gaya
disperses koloid protein-protein plasma dan mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler.
Dalam keadaan normal, protein plasma tetap dipertahankan berada tetap didalam plasma dan tidak
masuk kedalam interstisium sehingga adanya perbedaan konsentrasi antara plasma dan
interstisium, 3) tekanan hidrostatik ciiran interstisium, merupaka tekanan cairan yang berkerja
dibagian luar dinding kapiler oleh cairan interstisium. Tekanan ini cenderung mendorong cairan
masuk ke dalam kapiler, 4) tekanan osmotic koloid cairan interstisum, merupakan gaya lain yang
dalam keadaan normal tidak dapat banyak berperan dalam perpindahan cairan melalui kapiler.
Perpindahan cairan dari intreavaskuler dapat dinyatakan sebagai suatu perpindahan cairan melalui
suatu membrane semipermaebel.
Pada jariangan paru yang normal, cairan dan protein merembes melalui celah yang sempit diantara
sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan adanya anyaman epitel yang sangat rapat pada kapiler
tersebut, maka perpindahan protein yang berukuran besar dapat dibatasi, serta dapat tetap
dipertahankan didalam plama. Selanjutnya filtrate yang memasuki celah interstisial alveolar akan
mengalir kearah proksimal menuju celah peribroncovaskular. Pada jaringan paru yang normal,
seluruh ilfiltrat tersebut akan dialirkan kembali meuju kesirkulasi sistemik melalui system limfe.
Tekanan hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru, diperkirakan berbanding
lurus dengan selisih antara tekanan hidrostatik kapiler paru dengan gradient tekanan osmotic
protein.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melalui clearance capability system limfe,
keadaan ini sering dijumpai pada peningkatan tekanan hdirostatik kapiler paru oleh karena
meningkatnya tekana dalam pembuluh darah kapiler pulmonalis. Peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler pulmoner secara secara cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan tekanan cairan
transvaskuler dan ini merupakan karakteristik utama suati acute cardiogenic edema atau volume-
overload edema. Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan hidrostatik pembuluh darah
kapiler paru umumnya disebabkan peningkatan tekanan vena pulmonalis sebagai akibat
peningkatan left ventricular end-diatolic pressure and left arterial pressure. Peningkata minimal
(mild) tekanan pada atrium kiri (18-25 mmhg) akan menyebabkan edema pada perimicrovascular
interstisial space. Dengan peningkatan tekan pada atrium kiri yang lebih tinggi (>25 mmHg),
cairan akan menembus lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan-rendah
protein. Hal yang berbeda didapati pada keadaab edema paru nonkardiogenik, adanya peningkatan
permaebilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan intravaskulae keluar menuju
instrestisial paru serta air space. Pada edema paru nonkardiogenik akan dijumpai cairan edema
yang lebih tinggi protein karena membrane pembuluh darah darah yang lebih tinggi permeable
dapat melawat protein-protein plasma. Totat jumlah netto akumulasi cairan edema paru ditentukan
olej keseimbangan pengeluaran dan penyerapan cairan edema dari intertisial serta air space.

Klasifikais Edema Pulmonal Akut


Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-kardiogenik. Edema Paru
Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
a. Edema-Non-kardiogenik
Pada edema nonkardiogenik, jarang sekali dijumpai peningkatan tekanan pembuluh barah kapiler
diparu kecuali pada keadaan overload cairan akibat gagal gin jal akut. Edema non kardiogenik
menunjukan adanya perubahan permaebilitas alveolar kapiler membrane seperti pada acute
respiratory distress syndrome (ARDS), serta kelainan system limfe seperti Limphangitic
carcinomatosis. Edema non kardiogenik juga dapat terjadi sebgai akibat berkurangnya tekanan
onkotik plasma akibat hipoalbuminemia, seperti yang terjadi pada penyakit hati kronis, sindroma
nefrotik, dan protein losing enteropathy. Mekanisme terjadinya edema non kardiogenik pada
beberapa keadaan maish belumdpat diketahui secara pasti, seperti terjadinya pada edema paru
overdosis nakotika atau edema paru neurogenic.
b. Edema paru akibat kardiogenik
Edema paru akibat kardiogenik dapat terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Gambaran klinis sangat bergantung pada lama dan besarnya peningkatan tekanan intravascular.
Mild tachypnoe dapat terjadi oleh karena engorgement pembuluh kapiler paru yang menyebabkan
menurunnya compliance paru sehingga menyebabkan peningkatan beban kerja system pernafasan.
Edema pada alveolus dan saluran nafas dapat dijumpai dengan klinis edema paru yang berat jika
peningkatan tekanan intravascular terjadi terus menerus

Anda mungkin juga menyukai