Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH IDENTITAS NASIONAL

PELANGGARAN HAM “KASUS MARSINAH”

Disusun untuk memenuhi tugas matah kuliah pendidikan pancasila dan kewarganegaraan

Oleh

Kelompok : III

1. Cita Sugesti Wulandari (P07131112003)


2. Fena Meidawati (P07131112011)
3. Ika Nur Wahyuningsih (P07131112016)
4. Megha Camelia P.D (P07131112021)
5. Siti Aisyah (P07131112033)
6. Wahidatul Munawaroh (P07131112040)
7. Atika Listiana (P07131112044)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN GIZI
2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di era modern sangat kompleks, terutama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca kekuasaan orde baru bangsa Indonesia
melakukan suatu gerakan nasional yang popular disebut sebagai gerakan reformasi.
Rakyat dengan ditokohi oleh kalangan elit politik, para intelektual termasuk
mahasiswa dan aktifis melakukan reformasi dengan tujuan seharusnya adalah
peningkatan kesejahteraan atas kehidupan rakyat. Diharapkan di era reformasi
sekarang kehidupan rakyat menjadi semakin bebas, demokratis.
Bangsa dan Negara tidak lepas dari kata Indonesia. Hal ini terjadi karena kita
merupakan bagian dari Negara Indonesia. Hal yang menarik dari isu – isu yang
mencuat di Indonesia adalah permasalahan pelanggaran HAM (hak asasi manusia),
yang terlebih munculnya kasus – kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri seseorang
tanpa melihat ras, suku bangsa, jenis kelamin dan golongan serta hak – hak tersebut
sudah ada sejak lahir. HAM sebagai gagasan yang konseptual tidak lahir secara
kebetulan. awal perkembangan HAM dimulai dari ditandatangani Magna Charta
(1215), oleh raja John Lackland, kemudian juga penandatanganan Petition of Right
pada tahun 1628 oleh raja Charles I (Kaelan, 2012 :99).
Perkembangan HAM sangat dipengaruhi oleh pemikiran seorang filsuf inggris
yang terkenal yaitu John Lock. Hak Asasi Manusia sangat erat hubungannya dengan
martabat manusia (Sumarsono : 2007 :33). Banyak kasus – kasus pelanggaran HAM
di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita konflik Ambon, sempit antara suku
Madura dengan dayak, sambas, Kalimantan barat, Poso, konflik antar daerah di
berbebagai wilayah, konflik antar pemeluk agama, selain itu konflik politik baik
dalam tubuh partai politik. Kasus – kasus ini yang sudah terpecahkan namun ada juga
yang belum terpecahkan, bahkan ironisnya salah satu kasus yang belum terpecahkan
adalah kasus Marsinah.
Awal tahun 1993, gubernur KDH TK I jawa timur mengeluarkan surat edaran
No. 50/Th.1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20 % gaji
pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,
namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, karyawan PT. Catur Putra Surya (PT.CPS) porong
membahas surat edaran tersebut dengan resah. Akhirnya karyawan PT.CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 mei 1993 menuntut kenaikan upah dari
Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada
PT. Catur Putra Surya (CPS) di porong sidoarjo, jawa timur. Marsinah adalah salah
seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan
pihak perusahaan. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 mei 1993 diusia 24
tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya menyimpulkan
bahwa Marsinah tewas karena penganiayaan berat.

B. Pokok permasalahan
Pembunuhan aktivis Buruh wanita, Marsinah
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya yang
terletak di porong, sidoarjo, jawa timur. Masalah muncul ketiak Marsinah bersama
dengan teman – teman sesame buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka
menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 mei 1993. Dia aktif
dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan
tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 mei 1993
Marsinah ditemukan meninggal dunia. Tetapi terdapat beberapa kejanggalan yang
terjadi pada kasus Marsinah. Dimulai dari pelaku pembunuhan sampai dibebaskannya
terdakwa dari semua dakwaan (bebas murni).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biodata Marsinah
Marsinah lahir di nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 mei 1993 pada umur 24
tahun adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS)
porong, Sidoarjo, jawa timur yang di culik dan kemudian ditemukan terbunuh
pada tanggal 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya
ditemukan di hutan di dususn Jegong, desa Wilangan dengan tanda – tanda bekas
penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. haroen
Atmodorono (Kepala bagian forensic RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan marsinah tewas akibat penganiyaan berat.

B. Kronologi Kejadian
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam
aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara
lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 mei
1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon
Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk
perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1700 per hari menjadi Rp 2.250.
tunjamham tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk
oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-
rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan. Marsinah menjadi salah
seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan
pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut
unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu
mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah melanggar
rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat
mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekanrekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,
Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 mei 1993.

C. Proses Penyelidikan
Tanggal 30 september 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan
Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda
Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi,
termasuk mutiara selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan
yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diiterogasi di
sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai kodam V Brawijaya. Setiap
orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar
rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT. CPS, Yudi Susanto, juga termasuk
salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan
Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat
kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan tersebut adalah anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol
CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia
dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan suzuki Carry putih kerumah Yudi
Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono
(satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka
naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam
proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.

D. Analisis kasus
Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat. Alasannya adalah unsure penyiksaan dan pembunuhan sewenang –
wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tesebut
tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan
hokum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD NKRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya
berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan – kawan buruh. Jelas
bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah,
khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya.
Berdasarkan UUD 1945, Hak Asasi Manusia secara tersurat dan tersirat
ditegaskan dalam beberapa beberapa pasal diantaranya:
Pasal 28 D
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan
layak dalam hubungan kerja.
Pasal 9
Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang –
wenang.

Pasal 10
Setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang sama dan suaranya didengarkan
sepenuhnya di muka umum secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak
memihak dalam menetapkan hak – hak dan kewajiban – kewajibannya dan dalam
setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat,
termasuk kebebasan mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan dan untuk
mencari, menerima serat menyampaikan keterangan – keterangan dan pendapat –
pendapat dengan cara apapun tanpa memandang batas – batas.
Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional,
pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran HAM,
mengingat fungs konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM,
terkhusus dalam kasus Marsinah, dasar hokum secara eksplisit para penuntutpun
telah ada, yaitu surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th.1992 yang berisi
himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.
Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan
dan unjuk rasapun telah mendapat perlindungan hokum, bahkan dimasukkan
HAM golongdi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak
melakukan tindakan anarkis. Berdasarkan Undang – Undang nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan ; Setiap
orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud – maksud
yang damai.
Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan
kecendrungan pada aksi anarkis, rapat mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan
hak konstitusional dalam sebuah Negara demokratis seperti di Indonesia. Selain
atas hokum perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu untuk
mewujudkan nilai – nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan
upah buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan
memang tidak mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh.
Keseimbangan beban beban kerja dengan upah buruh memang merupakan
kenisccayaan dalam sebuah system perekonomian yang berbasis pada kekuatan
modal, termasuk di Indonesia. Keengganan pihak perusahaan membiarkan aksi
pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat tidak mendasar. Aksi
pemogokanpun merupakan konsekwensi system pengupahan yang tidak adil dan
tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah,
tercantum dalam Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (Hak
Asasi Manusia) menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25 Undang –
Undang tersebut menyatakan ; setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat
di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang –
undangan.
Berlandaskan aturan hokum positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi untuk
melarang aksi unjuk rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa
kesepakatan cepat tercapai melalui cara perundingan, baik dengan mediasi
ataupun secara langsung oleh para pihak. Jika terjadi aksi penuntutan secara
berkelompok sebagai cara akhir, maka posisi pihak kontra adalah menyerap
aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi
baik antar ke dua belah pihak.
Apabila harus berasumsi dalang di balik pembunuhan Marsinah, maka secara
umum dapat di cap oknum yang kontra terhadap aksi – aksi demontrasi, dan bisa
dikhususkan kepada oknum perusahaan yang memang tidak setuju terhadap
kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah Agung (MA) membebaskan
seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang berpotensi
menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang terbunuh,
namun tak satupun pelaku terjerat hukuman.
Asumsi aparat keamanan (polisi dan TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan
alibi bahwa yang menyuruh melakukan tindak pidana adalah pihak dari
perusahaan sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang
terganggu dengan aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya
diduga terlibat terdiri atas oknum perusahaan dan aparat TNI, maka berat
kemungkinan memang terjadi persengkokolan. Namun kenyataan tidak dapat
dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya pengaruh institusi TNI yang mungkin
saja terlibat.
Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hokum untuk menuntaskan pelanggaran
HAM (Hak Asasi Manusia), baik sebelum ataupun setelah dibentuknya
pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting mengingat HAM adalah
muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan
internasional. Perangkat pengadilan danb aturan hokum perlindungan HAM pun
telah memadai, sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu
dimaksimalkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT
Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas
terbunuh pada tanggal 8 mei 1993 diusia 24 tahun. Otopso dari RSUD Nganjuk
dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya menimbulkan bahwa Marsinah tewas karena
penganiayaan berat.
Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-
wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Terjadi ketidakadilan aparat hukum
untuk menindak lanjuti kasus ini.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-
Lagi. di unduh pada pada hari Sabtu, 13 September 2014.

http://tempo.co.id/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-10,id.html. di unduh pada pada hari


Sabtu, 13 September 2014

Kaelan M.S. dan Zubaidi Achmad. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi. Penerbit ; PARADIGMA. Yogyakarta.

http://marsinahfm.wordpress.com/2013/04/04/marsinah-sang-pemberani-dan-pendobrak-
ketakutan/ di unduh pada pada hari Sabtu, 13 September 2014

Anda mungkin juga menyukai