Anda di halaman 1dari 14

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60/DPD RI/III/2012-2013
TENTANG
PANDANGAN DAN PENDAPAT
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEPERAWATAN

JAKARTA
2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 /DPD RI/III/2012-2013
TENTANG
PANDANGAN DAN PENDAPAT
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEPERAWATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan melalui
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat
sebagai bagian dari pembangunan kesehatan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
b. bahwa salah satu faktor penentu dalam pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan adalah tersedianya tenaga keperawatan yang bermutu dan
berkualitas;
c. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada
kewenangan yang diberikan, keahlian yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan
tuntutan globalisasi;
d. bahwa praktik keperawatan merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan
mutunya melalui registrasi, sertifikasi, akreditasi, pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan serta pemantauan terhadap tenaga keperawatan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
penerima pelayanan kesehatan dan perawat diperlukan pengaturan
mengenai penyelenggaraan praktik keperawatan;
f. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai
kewenangannya telah merumuskan Pandangan dan Pendapat Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Rancangan Undang-
Undang tentang Keperawatan;
g. bahwa Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai
dengan kewenangannya telah merumuskan Pandangan dan Pendapat
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Keperawatan;
h. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f dan huruf g di atas, perlu menetapkan Keputusan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Pendapat
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Keperawatan;

305
Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5043);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5243);
4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2012 tentang Tata Tertib;
5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/
DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-11


Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013
Tanggal 28 Maret 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA


TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN
DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-
UNDANG TENTANG KEPERAWATAN.
PERTAMA : Pandangan dan Pendapat tertulis Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Keperawatan
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai
bahan pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dengan Pemerintah.
KEDUA : Isi dan rincian Pandangan dan Pendapat sebagaimana dimaksud dalam
diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari keputusan ini.
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal, 28 Maret 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH


REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN
Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA


Wakil Ketua, Wakil Ketua,

GKR. HEMAS DR. LAODE IDA

306
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN
KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 /DPD RI/III/2012-2013
PANDANGAN DAN PENDAPAT
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEPERAWATAN
I. PENDAHULUAN
Hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan dijamin secara
konstitusional. Ketentuan Pasal 28H UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Secara yuridis konstitusional
tidak boleh terdapat hambatan apapun bagi setiap orang untuk mengakses layanan kesehatan
sehingga dapat hidup sejahtera lahir batin. Dengan demikian, kesehatan merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan berbagai upaya
kesehatan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Salah satu komponen utama pemberi layanan kesehatan tersebut adalah tenaga
keperawatan. Peran tenaga keperawatan dalam layanan kesehatan sangat strategis karena
40% - 75% pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan sebagaimana
tertuang dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keperawatan
yang menjadi Inisiatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Tahun 2012.
Pelayanan keperawatan mempersyaratkan adanya pelayanan keperawatan yang profesional
yang hanya dapat dilakukan oleh perawat yang memenuhi standar tertentu, memiliki
pendidikan khusus, dan memperhatikan kaidah etik serta moral sehingga pelayanan yang
diberikan bermutu, memuaskan, dan sekaligus memberikan pelindungan bagi masyarakat.
Keperawatan sebagai profesi diharuskan memiliki (i) body of knowledge tertentu, (ii) wadah
profesi, (iii) standar dan etika profesi, (iv) akuntabilitas, (v) otonomi, dan (vi) kemanusiaan.
Keberadaan perawat sebagai profesi dalam perkembangannya masih mendapatkan
sejumlah tantangan dan hambatan. Pertama, masih ditemukan pengkriminalan terhadap
tenaga keperawatan yang melakukan tindakan medis dalam kondisi darurat, terutama pada
saat tidak ditemukan tenaga kesehatan lainnya (dokter). Kedua, masih ditemukan keluhan
publik menyangkut mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat di fasilitas
layanan kesehatan. Ketiga, minimnya kualitas daya saing perawat Indonesia jika dibandingkan
dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara ASEAN dalam penyediaan
tenaga keperawatan yang profesional dan sanggup bekerja di luar negeri. Keempat, belum
optimalnya dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan
berkaitan peran perawat sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang diarahkan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendekatan pelayanan.
Selama ini pengaturan mengenai tenaga keperawatan tersebar telah dituangkan di
berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain (i) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, (ii) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, dan (iii) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK 02.02/MENKES/148/2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Berbagai peraturan perundang-
undangan tersebut tidak cukup kuat untuk mengatur secara komprehensif tentang perawat,
terutama yang berkaitan dengan sistem pendidikan, kompetensi dan registrasi, organisasi

307
profesi, hak dan kewajiban perawat, pendelegasian wewenang dan penugasan khusus,
peran pemerintah daerah, pelindungan terhadap masyarakat, dan pelindungan terhadap
profesi perawat.
Berbagai permasalahan tersebut melatarbelakangi DPD RI untuk mengajukan RUU
Keperawatan sebagai inisiatif DPD RI pada Masa Sidang II Tahun Sidang 2012–2013 melalui
Keputusan DPD RI Nomor 36/DPD RI/II/2012-2013 Tentang Rancangan Undang-Undang
Keperawatan. Naskah RUU Keperawatan yang disusun oleh DPD RI, secara resmi telah
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui surat
Pimpinan DPD RI Nomor HM.310/18/DPD RI/I/2013 tanggal 22 Januari 2013.
Rancangan Undang-Undang tentang Keperawatan dari DPRRI setelah dibuat
persandingan dengan RUU Tentang Keperawatan yang disusun oleh DPDRI, sebagian
besar secara substansi memiliki kesamaan.
Berkenaan dengan itu, sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan oleh Pasal
22D UUD 1945, DPD RI memberikan pandangan dan pendapatnya terhadap Rancangan
Undang-Undang Keperawatan RUU dengan merujuk pada Keputusan DPD RI Nomor 36/
DPD RI/II/2012-2013 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Keperawatan.

II. LANDASAN YURIDIS


1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945
2. Pasal 224 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
3. Keputusan DPD RI Nomor 36/DPD RI/II/2012-2013 tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Keperawatan.

III. TUJUAN PANDANGAN DAN PENDAPAT


1. Pandangan dan pendapat ini merupakan rumusan yang disusun berdasarkan pada
Keputusan DPD RI Nomor 36/DPD RI/II/2012-2013 tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Keperawatan.
2. Pandangan dan pendapat ini dimaksudkan memperkuat urgensinya RUU Tentang
Keperawatan dan dukungan DPDRI untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Keperawatan di DPR RI.

IV. METODE KERJA


1. Pencermatan terhadap Keputusan DPD RI Nomor 36/DPD RI/II/2012-2013 tentang
Rancangan Undang-Undang tentang Keperawatan.
2. Pencermatan terhadap Rancangan Undang-Undang Keperawatan usulan DPR RI.

V. PANDANGAN DAN PENDAPAT


Pandangan dan pendapat DPD RI Terhadap RUU Keperawatan dapat disampaikan
sebagai berikut:
A. PANDANGAN
1. Konsiderans Menimbang
Konsiderans menimbang di dalam suatu undang-undang harus mencerminkan
aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis secara komprehensif sehingga dapat menjadi
rujukan pada materi muatan pasal-pasal selanjutnya di dalam naskah undang-
undang tersebut.
Di dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12 tahun
2011) tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa
landasan pembentukan peraturan perundang-undangan didasari dengan landasan
filosofis, sosilogis, dan yuridis, yang disusun secara berurutan. Landasan filosofis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum
serta falsafah bangsa yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan sosiologis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan, sedangkan landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, dan atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Konsiderans menimbang pada RUU Keperawatan DPR menyatakan
bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum

308
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai landasan filosofis penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan
melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan.
Landasan sosiologis menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan keperawatan
dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau
oleh perawat yang memiliki etika dan moral tinggi, sertifikat, registrasi, dan lisensi.
Sementara itu, landasan yuridis menyatakan bahwa pengaturan mengenai
keperawatan masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang
belum memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada perawat serta
masyarakat.
Pertimbangan sosiologis mengenai kebutuhan adanya undang-undang
tentang keperawatan seharusnya mengedepankan (i) dinamika kebutuhan layanan
kesehatan yang berkualitas yang dibutuhkan masyarakat, (ii) perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat, serta (iii) globalisasi sehingga perlu adanya pengadaan
profesi perawat yang dikembangkan secara profesional, bermutu dan berintegritas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, RUU tentang Keperawatan ini sangat penting.

2. Ketentuan Umum
Butir 98 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa ketentuan umum berisi
mengenai definisi atau pengertian, singkatan atau akronim, dan pengertian umum.
Rancangan Undang-Undang Keperawatan DPR RI menguraikan 19 (sembilan
belas) pengertian yang berkaitan langsung dengan keperawatan yang terhimpun
dalam Bab I Pasal I Ketentuan Umum.
Pendefinisian istilah atau pengertian yang diungkapkan dalam Bab I
Pasal 1 tersebut masih belum menggambarkan secara jelas spesifikasi bidang
keperawatan, seperti terlihat pada Pasal 1 butir (1) yang mendefinisikan
keperawatan sebagai segala aspek yang berkaitan dengan perawat. Begitu juga
dengan butir (5) yang mendefinisikan praktik keperawatan sebagai wujud nyata dari
Pelayanan Keperawatan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk asuhan
keperawatan. Pendefinisian yang terdapat pada RUU Keperawatan DPR RI cukup
singkat, namun perlu diperjelas, supaya tidak mengambang.
3. Pendidikan dan Pelatihan Keperawatan
Pendidikan keperawatan tidak bisa lepas dari sistem pendidikan nasional yang
mempunyai klasifikasi, standardisasi pendidikan, serta pendidikan dan pelatihan
yang dilakukan secara berkelanjutan.
Klasifikasi pendidikan keperawatan, standardisasi pendidikan, serta
pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara berkelanjutan itu memerlukan
pengaturan yang detail dalam suatu bab tersendiri karena ketiga hal tersebut sangat
terkait, khususnya dalam rangka meningkatkan kompetensi perawat. Pendidikan
keperawatan yang berkualitas, selain menjamin kesehatan masyarakat, juga dapat
memenuhi permintaan tenaga keperawatan di luar negeri.
Rancangan Undang-Undang Keperawatan DPR RI yang mengatur Pendidikan
Keperawatan (Bab III) belum sepenuhnya menjelaskan secara detail dan sistematis
mengenai klasifikasi, standardisasi pendidikan, serta pendidikan dan pelatihan
yang dilakukan secara berkelanjutan.
4. Kompetensi dan Registrasi
Kompetensi dan registrasi perawat diatur dalam Bab IV RUU Keperawatan
DPR RI dan DPD RI. Bahasan RUU versi DPR menambahkan judul pembahasan
tentang lisensi yang sebenarnya merupakan perubahan istilah, bukan substansi,
terhadap perawat yang sudah teregistrasi.
Bahasan Bab IV DPR memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dengan
pembahasan mengenai kompetensi, registrasi, dan lisensi. Akan tetapi,
pembahasan itu belum diperinci dalam bentuk subbab tersendiri sehingga
menyulitkan pencermatan dan membutuhkan pengamatan ekstra untuk memahami
pembahasan Bab IV tersebut.
Dalam bab yang sama dibahas perawat asing dan perawat Indonesia lulusan
luar negeri. Perawat asing hanya dapat melakukan praktik keperawatan di fasilitas
layanan kesehatan. Perawat asing juga diharuskan untuk memiliki surat tanda
registrasi (STR) yang berlaku sementara setelah proses evaluasi dilakukan sebagai
prasyarat untuk mendapatkan izin praktik, sedangkan bagi perawat Indonesia
lulusan luar negeri, diwajibkan melakukan proses evaluasi sebelum mendapatkan
STR sebagai prasyarat terbitnya surat izin praktek keperawatan (SIPP).
Pembahasan mengenai perawat asing dijelaskan dalam Pasal 24 s.d. Pasal
29 RUU Keperawatan DPR RI. Sementara itu, pembahasan mengenai perawat
Indonesia lulusan luar negeri hanya dijelaskan dalam Pasal 29 RUU tersebut.

309
5. Penyelenggaraan Praktik Keperawatan
Praktik keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh perawat melalui penerapan ilmu dan kiat keperawatan yang
ditujukan kepada klien, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan
pengetahuan, serta kekurangan kemauan menuju pada kemampuan melaksanakan
kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Praktik keperawatan dilakukan melalui kegiatan (i) asuhan keperawatan; (ii)
upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dalam hal
kesehatan; (iii) tindakan berdasarkan potensi dan kebutuhan klien; (iv) tindakan
keperawatan komplementer; (v) dan tindakan medis sesuai dengan permintaan
tertulis tenaga medis. Setiap tindakan tersebut hendaknya tercermin secara jelas
dan detail dalam RUU Keperawatan agar tidak terjadi salah penafsiran yang dapat
merugikan perawat dan masyarakat.
Berdasarkan penelaahan yang dilakukan terhadap RUU Keperawatan DPR
RI, terlihat belum terperinci secara sistematis terkait tugas atau klasifikasi kegiatan
yang dilakukan oleh perawat. Seperti yang terlihat pada Pasal 30 ayat (1) s.d. ayat
(5) yang tidak memerinci jenis tempat praktik perawat, jenis kegiatan yang dapat
dilakukan perawat, standar pelayanan keperawatan, dan jenis kebutuhan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan diharapkan mampu
melakukan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat
dalam hal kesehatan. Upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan
masyarakat merupakan bagian dari asuhan keperawatan yang memerlukan disiplin
ilmu tersendiri yang perlu diatur. Pengaturan itu sangat penting dilakukan dalam
sebuah aturan yang jelas karena perawat merupakan sebuah profesi yang menuntut
landasan hukum yang pasti dan kuat. Perawat sebagai sebuah profesi memiliki
tanggung jawab kepada masyarakat dalam konteks upaya mempromosikan
bagaimana masyarakat dapat mempraktikan perilaku hidup sehat, tindakan
pencegahan agar tidak timbul penyakit, ataupun hal-hal lain yang memperkuat
kapasitas masyarakat di dalam konteks pemberdayaan kesehatan.
Hasil telaah yang dilakukan terhadap RUU Keperawatan DPR RI juga belum
ditemukan pengaturan yang jelas mengenai upaya promotif, preventif, pemulihan,
dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai bagian dari tindakan profesional, sudah
selayaknya tindakan-tindakan tersebut diatur dengan jelas dalam sebuah peraturan
perundang-undangan untuk memberikan kepastian hukum dan untuk memberikan
pelindungan kepada masyarakat.
6. Penugasan Khusus
Fakta bahwa Indonesia memiliki karakteristik dan kompleksitas menyangkut
geografis serta demografis tersendiri, terkait dalam hal itu layanan kesehatan yang
diberikan perawat menuntut adanya ketentuan mengenai penugasan khusus bagi
perawat, khususnya di daerah terpencil, sangat terpencil, tertinggal, perbatasan,
pulau-pulau kecil terluar, daerah yang tidak diminati, dan daerah rawan bencana
atau daerah yang mengalami bencana dan konflik sosial. Hal itu di dalam draft RUU
tentang Keperawatan telah diatur dalam Pasal 33 s.d. Pasal 36.
Pada Pasal 33 ayat (1) ditegaskan bahwa perawat dapat melaksanakan
penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d “…
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan perseorangan dan masyarakat di
daerah terpencil….” Berdasarkan pasal itu tampak bahwa peran perawat melakukan
penugasan khusus di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan seterusnya
merupakan peran tambahan yang tidak wajib (fakultatif) karena menggunakan
norma dapat. Selain itu, tidak tampak kewenangan pro aktif pemerintah daerah di
dalam pasal itu. Pasal 34 ayat (1) menyangkut penugasan khusus ditetapkan oleh
Pemerintah dengan memperhatikan usulan pemerintah daerah, tetapi tidak tersirat
adanya pro aktif pemerintah daerah dalam konteks penugasan khusus tersebut.
7. Peranan Konsil Keperawatan
Salah satu pranata yang paling strategis di dalam pengaturan mengenai
keperawatan adalah Lembaga Konsil Keperawatan. Di dalam RUU Keperawatan
usulan DPR RI pada Bab IX mulai Pasal 55 s.d. Pasal 60 diatur mengenai Konsil
Keperawatan. Pada bab tersebut tidak diatur secara komprehensif kewenangan
Konsil Keperawatan, misalnya, tidak diatur kewenangan Konsil Keperawatan
dalam pengesahan standar pendidikan profesi keperawatan yang dibuat oleh
kolegium. Pasal 58 ayat (1) huruf f menegaskan bahwa Konsil Keperawatan
berwenang menetapkan dan memberikan sanksi disiplin, tetapi tidak ada kriteria
umum pelanggaran seperti apa yang dapat dikenai sanksi disiplin dan jenis sanksi
yang dapat dijatuhkan.

310
8. Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengembangkan kualitas
pelayanan keperawatan demi terpenuhinya hak kesehatan masyarakat. Untuk itu,
Pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan kompetensi perawat melalui
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dengan menyusun program pelatihan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing.
Di dalam draft RUU Keperawatan DPR RI, peran pemerintah daerah
dirumuskan secara umum pada Pasal 61 bersama-sama dengan pelaku lainnya
dan bukan merupakan bab tersendiri. Pasal tersebut berbunyi:

“Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan Indonesia, Organisasi


Profesi Perawat membina dan mengembangkan praktik keperawatan dengan
fungsi dan tugas masing-masing.”

Dengan demikian, peran pemerintah daerah tidak bisa terlihat dengan jelas
terhadap praktik keperawatan secara lebih spesifik dan strategis. Padahal, peran
pemerintah daerah sangat signifikan dalam era otonomi daerah.

B. PENDAPAT
1. Konsiderans Menimbang
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat perlunya merumuskan narasi
konsiderans menimbang tentang pertimbangan sosiologis yang menegaskan bahwa
undang-undang tentang keperawatan diperlukan untuk memastikan kebutuhan
masyarakat atas layanan kesehatan berkualitas terpenuhi, antisipasi dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana tercantum dalam
naskah RUU Keperawatan yang disusun oleh DPD RI konsiderans menimbang
huruf c yang narasinya sebagai berikut:
“Bahwa praktik keperawatan sebagai inti dari pelayanan keperawatan
didasarkan pada kewenangan yang diberikan kepada perawat karena
keahliannya, yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan
masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, dan tuntutan globalisasi demi
terselenggaranya pelayanan keperawatan yang berkualitas dan terjangkau.”

2. Ketentuan Umum
Hasil telaah terhadap Pasal 1 UU Keperawatan DPR RI terlihat mempunyai
kemiripan, baik dalam hal tata letak, definisi, maupun penjelasan definisi yang
diuraikan. Tata letak butir 15-20 tentang organisasi profesi, kolegium keperawatan,
konsil keperawatan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah yang persis sama
dengan RUU Keperawatan versi DPD RI. Definisi fasilitas kesehatan dan Kolegium
Keperawatan identik dengan versi DPD RI, sedangkan definisi perawat, asuhan
keperawatan, uji kompetensi perawat, surat tanda registrasi, registrasi, surat izin
praktek perawat, dan Konsil Keperawatan hanya memiliki perbedaan pada satu
atau dua suku kata saja.
Dengan demikian, DPD RI berpendapat bahwa defenisi dalam Pasal 1
Ketentuan Umum RUU Keperawatan DPD RI lebih lengkap dan komprehensif yang
mencerminkan layanan profesional yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan
yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan disertai sasaran yang jelas, baik
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta apa yang hendak dicapai.
Dengan rumusan demikian, peluang multitafsir dapat dihindari serta terdapat
pemahaman komprehensif terhadap makna keperawatan itu sendiri, walaupun pada
kenyataannya terdapat kemiripan definisi, susunan, dan penambahan beberapa
suku kata. Narasinya yang ditawarkan DPD RI terhadap Pasal 1 ketentuan umum,
antara lain sebagai berikut:

a. Definisi perawat
Keperawatan adalah suatu pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psikososio-spiritual yang menyeluruh ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat, baik sehat maupun
sakit, yang mencakup seluruh rentang kehidupan manusia.
b. Definisi Praktik Keperawatan
Praktik Keperawatan adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh Perawat melalui penerapan ilmu dan kiat keperawatan
yang ditujukan kepada klien baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh
proses kehidupan manusia karena adanya kelemahan fisik dan mental,
keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju kepada

311
kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
c. Definisi Asuhan Keperawatan
Asuhan Keperawatan adalah rangkaian tindakan keperawatan berdasarkan
ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada klien dalam rangka
memandirikan klien untuk merawat dirinya dengan rangkaian kegiatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
d. Definisi Konsil Keperawatan
Konsil Keperawatan Indonesia yang selanjutnya disebut Konsil adalah badan
otonom, mandiri, dan non-struktural yang bersifat independen.
e. Definisi Uji Kompetensi
Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap perawat sesuai dengan standar kompetensi perawat.
f. Definisi Registrasi
Registrasi adalah pencatatan resmi oleh Konsil Keperawatan Indonesia
terhadap perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Perawat serta
diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya.
g. Definisi Surat Tanda Registrasi
Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Konsil Keperawatan Indonesia kepada Perawat yang
telah diregistrasi dan berwenang melakukan pelayanan kesehatan.
h. Definisi Surat Izin Praktek Perawat dan Surat Izin Praktek Perawat Mandiri
Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Perawat yang akan
melaksanakan praktik keperawatan di sarana kesehatan setelah memenuhi
persyaratan.
Surat Izin Praktik Perawat Mandiri yang selanjutnya disingkat SIPPM adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Perawat
yang akan melaksanakan Praktik Keperawatan yang dikelola secara mandiri
setelah memenuhi persyaratan.
3. Pendidikan dan Pelatihan Keperawatan
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat bahwa RUU Keperawatan DPR
RI yang menjelaskan pendidikan dan pelatihan keperawatan (Bab III) belum
mencerminkan secara jelas karakteristik pendidikan keperawatan yang mengacu
pada sistem pendidikan nasional, seperti tidak adanya penjelasan pasal mengenai
standar pendidikan profesi perawat yang disusun oleh konsil. Di samping itu,
pembahasan pasal demi pasal di dalam Bab III tersebut tidak tersistematis.
Dengan demikian, DPD RI mengusulkan agar DPR RI mengadopsi Bab III tentang
Pendidikan dan Pelatihan RUU Keperawatan DPD RI seluruhnya.
4. Kompetensi dan Registrasi
Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya tentang pendidikan dan
pelatihan. Meskipun jumlah pasal yang disampaikan cukup banyak, pembahasan
mengenai kompetensi, registrasi, dan lisensi tidak diperinci dalam bentuk
subbab tersendiri sehingga menyulitkan untuk dicermati karena membutuhkan
pengamatan ekstra untuk memahami pembahasan Bab IV tersebut. Di samping itu,
pembahasan mengenai perawat asing dan perawat Indonesia lulusan luar negeri
yang mendapatkan perlakuan sama menunjukkan kurangnya pelindungan yang
diberikan terhadap perawat Indonesia yang lulusan luar negeri.
Terhadap dua hal tersebut, DPD RI berpendapat bahwa RUU Keperawatan
DPR RI perlu mengadopsi seluruh pasal dan Bab IV RUU Keperawatan DPD RI
sebagaimana terlampir.
5. Penyelenggaraan Praktik Keperawatan
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat bahwa pengaturan mengenai praktik
keperawatan yang didalam RUU Keperawatan DPR RI belum cukup komprehensif,
seperti terlihat pada tidak adanya penjelasan yang sistematis mengenai
kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh perawat dalam menyelenggarakan
praktik keperawatan. Seharusnya, penjelasan mengenai asuhan keperawatan;
upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dalam
hal kesehatan; tindakan berdasarkan potensi dan kebutuhan klien; tindakan
keperawatan komplementer; dan tindakan medis sesuai dengan permintaan tertulis
tenaga medis dijelaskan secara detail dalam RUU Keperawatan agar tidak terjadi
salah penafsiran yang dapat merugikan perawat dan masyarakat.
Di samping itu, pengaturan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan
pemberdayaan masyarakat dalam hal kesehatan dalam pasal yang terperinci
mengindikasikan bahwa profesi perawat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat
yang layanannya tidak terbatas hanya pada rumah sakit dan puskesmas dalam
rangka memastikan hak masyarakat atas kesehatan terpenuhi. Hal itu mendorong

312
perlunya pengaturan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan
masyarakat dalam hal kesehatan sebagaimana tercantum dalam naskah RUU
tentang Keperawatan DPD RI, khususnya pada Pasal 27 yang narasinya sebagai
berikut:
Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berwenang melakukan
upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dalam
hal kesehatan meliputi kegiatan:
a. pendidikan dan penyuluhan kesehatan;
b. pelatihan dan pembimbingan;
c. peningkatan partisipasi masyarakat melalui kegiatan memotivasi
masyarakat untuk membentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat;
d. pembentukan, pengembangan, dan pemantau kader-kader kesehatan di
masyarakat;
e. pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kader dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan/ keperawatan; dan
f. pengadaan musyawarah bersama perangkat desa, termasuk tokoh
masyarakat dalam pemecahan masalah kesehatan masyarakat.

Berdasarkan hal-hal yang disampaikan di atas, DPD RI mengusulkan agar


RUU Keperawatan DPR RI mengadopsi Bab V RUU Keperawatan DPD RI
karena RUU Keperawatan DPD RI lebih detail dan sistematis dalam menjelaskan
penyelenggaraan praktik keperawatan.
6. Penugasan Khusus
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat bahwa RUU Keperawatan usulan
DPR RI belum mencerminkan bahwa penugasan khusus terhadap perawat
menuntut peran aktif pemerintah daerah dan bukan diletakkan pada peran tambahan
perawat yang sifatnya fakultatif (normanya dapat). Hal itu disebabkan pemerintah
daerahlah yang memahami kebutuhan daerahnya serta yang memiliki otoritas untuk
mengatur pemenuhan kebutuhan daerah. Selain itu, RUU tentang Keperawatan
DPR RI meletakkan peran pemerintah daerah hanya sekadar memberikan usulan
menyangkut penugasan khusus kepada Pemerintah. Sementara itu, konsep otonomi
daerah yang berlaku dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa peran pemerintah daerah dalam memberikan layanan
publik, termasuk kesehatan, diperlukan pengaturan untuk memenuhi kebutuhan
daerah tertinggal, perbatasan, terpencil, dan hal-hal lain yang spesifik mendesak,
khususnya terkait dengan distribusi tenaga perawat dengan instrumen penugasan
khusus yang disertai pembinaan, pelatihan, dan pemberian tunjangan khusus untuk
itu.
Berdasarkan hal di atas, Dewan Perwakilan Daerah RI mengusulkan rumusan
narasi berikut sebagaimana tercantum dalam Bab V tentang Tugas Khusus yang
dimulai dari Pasal 31 sampai Pasal 33.

Pasal 31
(1) Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota berwenang menugasi perawat
melaksanakan tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
perorangan dan masyarakat di daerah terpencil, sangat terpencil, tertinggal,
perbatasan, pulau-pulau kecil terluar, daerah rawan bencana atau mengalami
bencana, konflik social, dan desa/kelurahan yang tidak mempunyai dokter.
(2) Perawat dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat,
kompetensi, dan kewenangan.
(3) Untuk melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kepala daerah mengeluarkan keputusan yang menetapkan kewenangan khusus
bagi parawat dengan pertimbangan konsil.

Pasal 32
(1) Perawat yang ditugasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 berhak atas
pelatihan, pembinaan, dan tunjangan khusus di luar gaji yang diterima dari
pemerintah daerah yang member tugas.
(2) Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab memenuhi hak perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain pelatihan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur/
bupati/walikota bertanggung jawab menyediakan sarana pelayanan kesehatan,
alat kesehatan, obat-obatan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan standar yang
berlaku.

313
Pasal 33
(1) Pada daerah yang belum memiliki dokter, Pemerintah dan pemerintah
daerah harus menempatkan perawat dengan pendidikan minimal diploma III
keperawatan.
(2) Dalam hal tidak terdapat tenaga perawat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat menempatkan perawat dengan
pendidikan di bawah Diploma Keperawatan yang telah mengikuti pelatihan
7. Peranan Konsil Keperawatan
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat bahwa Konsil Keperawatan
merupakan kelembagaan strategis yang penting, khususnya dalam memastikan
kegiatan keperawatan yang harus dilaksanakan secara profesional, bermutu, dan
terstandardisasi dengan dasar keilmuan dan landasan etik yang kuat sekaligus
pengawasan dan penegakan disiplin. Rancangan Undang-Undang DPR RI tentang
Keperawatan belum mengatur secara komprehensif dan memadai menyangkut
peran dan wewenang Konsil Keperawatan, termasuk penerapan sanksi oleh Konsil
Keperawatan, sedangkan RUU tentang Keperawatan usulan DPD RI memuat
dengan jelas dan detail mengenai peran dan kewenangan Konsil Keperawatan
dengan narasi sebagai berikut:

Pasal 43
Konsil mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, pengawasan
dan pembinaan Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan Keperawatan.

Pasal 44
(1) Konsil mempunyai tugas:
a. melakukan registrasi perawat;
b. mengesahkan standar pendidikan profesi perawat;
c. membentuk peraturan Konsil;
d. membina, mengembangkan, dan mengawasi praktik keperawatan.

(2) Standar pendidikan profesi Keperawatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b disusun dan diusulkan oleh Kolegium Keperawatan.

Pasal 45
(1) Dalam menjalankan tugas konsil mempunyai wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan registrasi perawat
b. menetapkan ada tidaknya kesalahan penerapan disiplin ilmu
keperawatan yang dilakukan perawat dan menetapkan sanksi;
c. mengesahkan standar pendidikan profesi keperawatan yang dibuat
oleh kolegium; dan
d. menetapkan kebijakan penyelenggaraan program pendidikan profesi
keperawatan berdasarkan rekomendasi organisasi profesi.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijatuhkan dalam
hal:
a. perawat yang berpraktik di sarana kesehatan yang tidak memiliki STR;
b. perawat menyelenggarakan praktik keperawatan tidak sesuai dengan
kewenangan yang telah ditentukan; dan
c. perawat yang melakukan pelanggaran Kode Etik Keperawatan.

(3) Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh organisasi profesi.

(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:


a. teguran atau peringatan;
b. penundaan STR;
c. pencabutan STR Sementara; atau
d. pencabutan STR.

(5) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai
dengan tingkat pelanggaran atau kesalahan perawat dalam melaksanakan
Praktik.

314
8. Peran Pemerintah Daerah
Dewan Perwakilan Daerah RI berpendapat bahwa draft RUU tentang
Keperawatan usulan DPR RI belum terlihat secara jelas peran pemerintah daerah,
Sedangkan dengan adanya otonomi daerah, peran pemerintah daerah sangat
penting dalam pengaturan, pelatihan, dan pendidikan keperawatan. Dewan
Perwakilan Daerah RI mengusulkan kepada DPR RI agar mengadopsi pengaturan
tentang peran Pemerintah Daerah sebagaimana yang tercantum dalam Bab IX
Pasal 59 s.d. Pasal 61 RUU Keperawatan DPD RI. Berikut redaksi yang ditawarkan
oleh RUU Keperawatan DPD RI tentang Pemerintah Daerah:

Pasal 59
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk mengembangan kualitas
pelayan keperawatan demi terpenuhinya hak kesehatan masyarakat
daerah.
(2) Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan
kompetensi perawat melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.

Pasal 60
Pemerintah harus menyusun program pelatihan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan daerahnya masing-masing.

Pasal 61
Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk menempatkan dan
mendayagunakan perawatan secara proporsional sesuai dengan proyeksi
kebutuhan.

VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. Simpulan
Berdasarkan pandangan dan pendapat di atas, disimpulkan bahwa Rancangan
Undang-Undang Keperawatan DPR RI masih perlu disempurnakan, terutama
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a. Aspek sosiologis dalam konsiderans menimbang
b. Bab I tentang Ketentuan Umum
c. Bab III tentang Pendidikan dan Pelatihan Keperawatan
d. Bab IV tentang Kompetensi dan Registrasi
e. Bab V tentang Penyelenggaraan Praktik Keperawatan, khususnya pengaturan
mengenai jenis-jenis kegiatan keperawatan seperti pengaturan upaya promotif,
preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dalam hal kesehatan.
f. Bab VI tentang Penugasan Khusus
g. Bab IX tentang Peranan Konsil Keperawatan
h. Bab X tentang Peran Pemerintah Daerah
B. Rekomendasi
Dewan Perwakilan Daerah RI merekomendasikan kepada DPR RI agar
menyesuaikan Rancangan Undang-Undang Keperawatan DPR RI tersebut dengan
Rancangan Undang-Undang Keperawatan DPD RI berdasarkan Keputusan DPD
RI Nomor 36/DPD RI/II/2012-2013 tentang Rancangan Undang-Undang tentang
Keperawatan dan yang telah diserahkan kepada DPR RI melalui surat Pimpinan DPD
RI Nomor HM.310/18/DPD RI/I/2013 tanggal 22 Januari 2013.

315
VII. PENUTUP
Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Keperawatan. Pandangan dan Pendapat ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan
DPR RI dalam melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang dimaksud.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Maret 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH


REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA


Wakil Ketua, Wakil Ketua,

GKR. HEMAS DR. LAODE IDA

316

Anda mungkin juga menyukai