Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES


MELLITUS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:
ACHMAD JUANDA
(1407101030361)

Pembimbing :
Dr. Anna Deliana, Sp. P

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BAGIAN / SMF PULMONOLOGI RSUDZA
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan berkah
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Tuberkulosis Pada Pasien Diabetes Mellitus”. Shalawat dan salam juga
penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
perubahan besar dalam kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini ditulis untuk melengkapi tugas-tugas penulis dalam
menjalankan kepaniteraan klinik di SMF/Bagian Pulmonologi Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala-Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin, Banda Aceh.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis telah banyak mendapatkan
bimbingan dari dr. Anna Deliana, Sp. P selaku pembimbing penulisan laporan
kasus.
Penulis juga berharap penyusunan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya laporan kasus ini
diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu.
Penulis menyadari sepenuhnya laporan kasus ini masih sangat banyak
kekurangan maka untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat
memberikan kritik dan saran agar laporan kasus ini dapat menjadi lebih baik di
kemudian hari.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberkati dan
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, Januari 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar....................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................................. 2
2.1. Identitas Pasien......................................................................................................... 2
2.2. Anamnesis................................................................................................................. 2
2.3. Pemeriksaan Fisik..................................................................................................... 3
2.4. Pemeriksaan Penunjang…........................................................................................ 6
2.5. Diagnosis Kerja......................................................................................................... 9
2.6. Penatalaksanaan........................................................................................................ 9
2.7. Prognosis................................................................................................................... 10
2.8. Follow Up................................................................................................................. 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 12
3.1 Definisi Tuberkulosis................................................................................................ 12
3.2 Epidemiologi Tuberkulosis....................................................................................... 13
3.3 Etiologi Tuberkulosis................................................................................................ 13
3.4 Patogenesis Tuberkulosis.......................................................................................... 14
3.5 Gejala Klinis Tuberkulosis........................................................................................15
3.6 Klasifikasi Tuberkulosis.......................................................................................... 15
3.7 Penegakkan Diagnosis Tuberkulosis........................................................................ 18
3.8 Tuberkulosis pada DM.............................................................................................. 19
3.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis.................................................................................. 21
3.10 Komplikasi Tuberkulosis.......................................................................................... 27
3.11 Prognosis................................................................................................................... 27
BAB IV ANALISA KASUS................................................................................................ 29
BAB V KESIMPULAN....................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai
perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat
insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada tahun 2009
terdapat 1,7 juta kematian akibat TB. Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai
mengalami kendala seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus
(DM) di dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah
menjadi 438 juta di tahun 2030.2
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi
diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan
mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis
(M.tb) dan kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan
diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan
dengan orang tanpa diabetes. Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan
DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit
tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama
pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.3
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB
serta berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya
mortalitas. Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM.3
Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya
intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM,
namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT).4 Upaya
pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat
penting untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk
diketahui bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB
dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada penderita DM.

1
2

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Hudarisman
Jenis kelamin : Laki laki
Tanggal lahir / Umur : 17 Desember 1972 / 44 tahun
Alamat : Suka Jaya, Simeulue Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir angkutan antar kota
Suku : Aceh
Tinggi Badan : 159 cm
Berat Badan : 29 Kg
CM : 1-11-34-26
Ruangan : PTT, ISO 4
Tanggal Masuk : 23 Desember 2016
Tanggal Pemeriksaan : 03 Desember 2016

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Lemas
Keluhan tambahan : Berkeringat banyak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman RSUD Simelue dengan keluhan lemas. Pasien dirawat di
RSUD selama 10 hari. Demam juga sudah dirasakan pasien +/- 10 hari setiap sore
dan malam hari. Pasien juga mengeluh berkeringat banyak (+) dan penurunan
berat badan +/- 10 kg dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan juga menurun dalam 1
bulan terakhir. Riwayat minum OAT tahun 2016 pada bulan Agustus, namun
putus berobat setelah pengobatan 2 bulan. Riwayat penggunaan insulin sejak
2014, dan riwayat hipotiroid sejak 2002 dengan penggunaan obat PTU dan
bisoprolol. Pasien juga memiliki riwayat merokok +/- 18 batang/hari selama 20
tahun.
3

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menderita hipotiroid sejak tahun 2002, diabetes millitus sejak 2014,
hipertensi tidak ada, riwayat alergi tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Tidak ada keluarga yang
mengkonsumsi obat 6 bulan.
Riwayat Penggunaan Obat
Riwayat mengkonsumsi obat OAT 2 bulan, riwayat mengkonsumsi obat
hipotiroid (PTU dan bisoprolol) sejak tahun 2002, riwayat mengkonsumsi obat
diabetes militus sejak tahun 2014.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Riwayat merokok +/- 18 batang/hari selama 20 tahun.
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Vital Sign
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit,
Suhu : 36,3 0C
2.3.2 Status Generalis
1. Kulit
1) Warna : Sawo matang
2) Turgor : Cepat kembali
3) Sianosis : (-)
4) Ikterik : (-)
5) Edema : (-)
2. Kepala
1) Bentuk : normocephali
2) Rambut : Hitam, sukar dicabut
3) Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-), pucat (-), eritema (-),
exoftalmus (+)
4

4) Mata : Pucat (-/-), ikterik (-/-), sekret (-/-), reflek cahaya (+/+)
5) Telinga : Dalam batas normal, serumen (-/-)
6) Hidung : Sekret (-). Napas Cuping Hidung (-)
7) Mulut
7.1 Bibir : Bibir kering (-), mukosa kering (-), sianosis (-)
7.2 Lidah : Tremor (-). hiperemis (-)
7.3 Tonsil : Hiperemis (-/-), T1-T1
3. Leher
1) Inspeksi : Simetris, retraksi(-), jejas(-), tumor(-), deviasi trakea(-)
2) Palpasi : Pembesaran KGB(-), distensi vena jugularis(-)
4. Toraks (anterior-posterior) – Paru-paru
1) Inspeksi
Bentuk dan Gerak : (statis-dinamis) kesan simetris, iga mengambang
Tipe pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : supraklavikular-interkostal (-)
2) Palpasi
Stem premitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Menurun Normal
3) Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap.Paru bawah Redup Sonor
4) Auskultasi : ekspirasi memanjang
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap.Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap.Paru bawah Vesikuler Menurun Vesikuler
5

Suara tambahan Paru kanan Paru kiri


Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

5. Jantung
1) Inspeksi : Pulsasi iktus kordis terlihat setentang ICS V, midklavikula
sinistra
2) Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
3) Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternal
dekstra, batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula
sinistra, batas atas jantung pada ICS III linea miklavikula
sinistra.
4) Auskultasi : Bunyi jantung I > bunyi jantung II regular, tidak terdapat
murmur.
6. Abdomen
1. Inspeksi : simetris, dinding perut tampak normal (tidak ada sikatrik
dan pelebaran vena), tidak tampak pergerakan pada dinding perut.
2. Palpasi : Nyeri tekan (-), tegang, Lien/Renal tidak teraba, hepar
teraba 1 jari dibawah arkus costae kanan.
3. Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen, peranjakan batas
paru-hati relatif-absolut sebesar tiga jari, undulasi (-), shifting dullness (-).
4. Auskultasi : Peristaltik usus normal
7. Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Sensibilitas N N N N
Jari tabuh - - - -
6

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, dan pemeriksaan radiologi, yaitu foto thoraks PA.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah


Jenis 23/12/2016 27/12/2016 30/12/2016 Nilai Normal
Pemeriksaan
Darah Rutin Hemoglobin 11,1 11,0 - 12,0–14,5(g/dl)

Hematokrit 33 34 - 45-55 (%)

Eritrosit 4,0 4,0 - 4,7-10,5 (106/mm3)


Leukosit 7,7 7,7 - 4,5-10,5 (103/mm3)

Trombosit 99 47 - 150-450 (103 U/L)

MCV 83 85 - 80-100 Fl

MCH 28 28 - 27-31 pg

MCHC 33 33 - 32-36 %

RDW 14,4 14,5 - 11,5-14,5 %

MPV 9,7 11,8 - 7,2-11,1 Fl

PDW 11,6 14,3 - <20 mm/jam

LED - 36 - <15 mm/jam


Hitung Jenis Eosinofil 0 2 - 0-6 (%)

Basofil 1 0 - 0-2
Netrofil
0 0 - 2-6
Batang
Netrofil
75 65 - 50-70
Segmen
Limfosit 13 25 - 20-40

Monosit 11 8 - 2-8
Faal Hemostasis CT - 11 - 5-15 menit

BT - 4 - 1-7 menit
Kimia Klinik Ureum 16 14 - 13-43

Creatinin 0,30 0,38 - 0,52-0,95

Protein Total - 4,90 6,43 6,4-8,3


Albumin - 2,28 3,67 3,5-5,2
Globulin - 2,62 2,75 g/dL
7

Elektrolit Na 139 141 - 132-146


K 3,3 3,2 - 3,7-5,4
Cl 105 108 - 96-106
Diabetes GDS 86 - - <200 mg/dL
Imunoserologi HbsAg Negatif - - Negatif
Free T4 - 5,15 - 9-20 pmol/L
TSH - 0,11 - 0,25-5 µlU/mL

Foto Thoraks PA (23-08-2016)

Foto Thoraks PA (27-08-2016)


8

Foto Thoraks PA (15-12-2016)

Foto Thoraks PA (21-12-2016)


9

Foto Thoraks PA (27-08-2016)

Kesan:
Cor : Dalam batas normal
Pulmo : Hilus ramai dan kasar, corakan bronkovaskuler paru ramai dan
kasar. Tampak fibroinfiltrat kedua Apex. Tampak pula bayangan lesi bulat
seperti kista, berdinding tipis, reguler, tampak di bagian tengah dengan
infiltrat bercak berawan. Infiltrat interstitial berupa bercak bercak
berawan, tida beraturan, tersebar tidak merata diseluruh paru dekstra,
inhomogen terutama 2/3 tengah s/d basal dekstra. Tampaknya unsur unsur
atelektasis, sebabkan ICS dekstra sempit.
Sudut phrenicocostalis kanan dan kiri : tajam
Kesimpulan :
- KP lama – duplex –aktif
- Cysta terinfeksi dengan Aspergilloma a/r lapangan atas paru dekstra
- Interstisial pneumonia paru dekstra dengan unsur unsur atelektasis,
sebabkan ICS dekstra sempit.
2.5 Diagnosa Kerja:
 TB paru kasus putus obat
 Suspect TB MDR
 DM tipe 2
 Hipotiroid
10

 Pansitopenia
2.6 Penatalaksanaan:
2.6.1 Nonfarmakologis
1. Tirah baring
2. Diet DM
2.6.2 Farmakologis
1. IVFD Asering 20gtt/menit
2. IVFD Clinimix : Evelip 1 fls/hari
3. Inj. Streptomisin 500mg/24 jam
4. OAT kategori 2 (Rifampisin 300mg, Isoniazid 300mg, Pirazinamid
750mg, Etambutol 750mg)
5. Neurodex 2x1
6. Curcuma 2x1
Terapi IPD divisi PTI
1. IV. Cefepine 1gr/8jam
2. Nystatin drop
Terapi IPD divisi EMD
1. Diet DM sonde 6x200 cc via NGT (1200 kkal/hari)
2. Nystatin drop 4 gtt/II oral
3. Paracetamol 3x 500mg
2.7 Prognosis
Quo Ad vitam : Bonam
Quo Ad functionam : Bonam
Quo Ad sanactionam : Bonam
11

Follow Up
Tgl 03-01-2017 03-01-2017
S Batuk, lemas, selera makan menurun Batuk, lemas, selera makan menurun
O Vital sign/ Vital sign/
Kes : compos mentis Kes : compos mentis
TD : 90/60 mmHg TD : 90/60 mmHg
N : 86 x/i N : 84 x/i
RR : 23 x/i RR : 20 x/i
T : 36,7 OC T : 36.8 OC
PF/ PF/
 Thoraks : Simetris, retraksi (-), sf  Thoraks : Simetris, retraksi (-), sf
kanan < sf kiri paru bawah, ves kanan < sf kiri paru bawah, ves
(menurun/normal) rh(-/-), wh (-/-) (menurun/normal) rh(-/-), wh (-/-)
A  TB paru kasus putus obat  TB paru kasus putus obat
 Suspect TB MDR  Suspect TB MDR
 DM tipe 2  DM tipe 2
 Hipotiroid  Hipotiroid
 Pansitopenia  Pansitopenia
P Th/ Th/
1. IVFD Asering 20gtt/menit 1. IVFD Asering 20gtt/menit
2. IVFD Clinimix : Evelip 1 fls/hari 2. IVFD Clinimix : Evelip 1 fls/hari
3. Inj. Streptomisin 500mg/24 jam 3. Inj. Streptomisin 500mg/24 jam
4. OAT kategori 2 (Rifampisin 300mg, 4. OAT kategori 2 (Rifampisin 300mg,
Isoniazid 300mg, Pirazinamid 750mg, Isoniazid 300mg, Pirazinamid 750mg,
Etambutol 750mg) Etambutol 750mg)
5. Neurodex 2x1 5. Neurodex 2x1
6. Curcuma 2x1 6. Curcuma 2x1
Terapi IPD divisi PTI Terapi IPD divisi PTI
1. IV. Cefepine 1gr/8jam 1. IV. Cefepine 1gr/8jam
2. Nystatin drop 2. Nystatin drop
Terapi IPD divisi EMD Terapi IPD divisi EMD
1. Diet DM sonde 6x200 cc via NGT 1. Diet DM sonde 6x200 cc via NGT
(1200 kkal/hari) (1200 kkal/hari)
2. Nystatin drop 4 gtt/II oral 2. Nystatin drop 4 gtt/II oral
3. Paracetamol 3x 500mg 3. Paracetamol 3x 500mg
Pl/ Pl/
1. Gene expert (bila ada sputum) 1. Gene expert (bila ada sputum)
2. BTA sputum sps 2. BTA sputum sps
3. Evaluasi efek OAT 3. Evaluasi efek OAT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyebab penyakit ini adalah bakteri
kompleks Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Kompleks
Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M.
microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. Bakteri ini
merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru (90%)
dibandingkan bagian lain tubuh manusia.5
TBC merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Penularan kuman tuberculosis pada orang sehat dan risiko
kematian pada penderita yaitu salah satu masalah yang perlu ditangani oleh
segenap lapisan masyarakat dan petugas kesehatan.5

Gambar 3.1 Mycobacterium tuberculosis

12
13

3.2 Epidemiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi
DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.6
Dalam laporan WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB
dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayaf Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR
dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan kematian
karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian
wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada
tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB emncapai 410.000 kasus termasuk
diantaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang
dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.
Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB
secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB anak/tahun). Sedangkan kematian
anak (dengan status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000
kematian/tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB.
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit
yang sebenarnya bisa divegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan
keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara
global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2%
per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45%
bila dibandingkan tahun 1990.6
3.3 Etiologi Tuberkulosis
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1. M.
tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M.
bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.7
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
14

terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia
juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari
sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberculosis aktif lagi.7
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid.7
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga
bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.7
3.4 Patogenesis Tuberkulosis
Seseorang akan menderita TB ketika terjadi penularan melalui pasien TB
BTA positif. Penularan ini melalui batuk atau bersin, melalui percikan dahak
(droplet nuclei) ini penderita TB menyebarkan kuman ke udara. Setiap batuk
penderita TB menghasilan 3000 percikan dahak. Penularan akan terjadi jika
banyaknya kuman TB yang dikeluarkan dari paru penderita. Kuman TB akan
berkurang dengan adanya ventilasi dan mati jika terkena sinar matahari.8,9

Jika keadaan lembab maka kuman TB akan bertahan hidup dan akan masuk
melalui saluran pernapasan menuju ke alveoli sehingga menyebabkan
terbentuknya fokus primer (sarang primer) di jaringan paru tersebut. Kemudian
kuman TB ini akan menuju kelenjar limfe regional (hilus) melalui saluran limfe
yang menyebabkan terjadinya peradangan yaitu limfangitis, peradangan tersebut
juga dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis).
Kejadian inilah yang disebut dengan komplek primer yang terjadi selama 4-6
minggu. Kompleks primer ini akan mengalami penyembuhan spontan dengan
tidak meninggalkan kecacatan sedikitpun (restitution ad integrum) atau sembuh
dengan kecacatan atau akan mengalami penyebaran secara bronkogen ke paru
yang bersangkutan ataupun ke paru sebelahnya. Penyebaran juga dapat melalui
hematogen dan limfogen, penyebaran ini tergantung dari imunitas seseorang, jika
15

imunitas seseorang dapat mengatasi kuman TB ini maka anak sembuh spontan,
bila daya tahan tubuh seseorang tidak dapat mengatasi kuman TB ini maka akan
menyebabkan kegawatan seperti TB milier, meningitis TB, typhobacillosis
landouzy dan dapat juga meneybar ke organ lainnya seperti tulang, ginjal,
genitalia dan sebagainya, kemudian dari TB primer ini akan muncul TB post-
primer.8,9

3.5 Gejala Klinis Tuberkulosis


Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti
batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari,
sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat
menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
Gejala Respiratorik Gejala Sistemik
 Batuk lebih dari 3 minggu  Demam dan menggigil
 Dahak (sputum)  Penurunan berat badan
 Batuk darah  Rasa lelah dan lemah
 Sesak nafas (Malaise)
 Nyeri dada  Berkeringat banyak
 Wheezing terutama di malam hari
 Tidak ada nafsu makan
(Anoreksia)
 Sakit-sakit pada otot
(Mialgia)

3.6 Klasifikasi Tuberkulosis


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu : 6
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru
2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA
negatif
3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat
16

4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati


Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
5. Mengurangi efek samping.
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:6
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum6
a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran
tuberculosis aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
17

i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,


gambaran klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis
aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan Myccobacterium tuberculosis positif

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya6


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA
negatif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
18

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan


ulangan.

Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:10


1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan
berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis,
spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain.
2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).
3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan
kasus TB diluar paru selain kategori I.
4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.
3.7 Penegakkan Diagnosis Tuberkulosis

 Untuk mendiagnosis seseorang menderita TB atau tidaknya kita


harus melakukan pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS)

 Pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman


TB (BTA). Pada program TB nasional menjelaskan bahwa
penemuan BTA melalui pemerikasaan dahak merupakan
diagnosis utama. Sedangkan foto toraks, biakan dan uji kepekaan
merupakan penunjang diagnosis saja jika diindikasikan.
 Kita tidak dapat mendiagnosis seseorang menderita TB hanya
berdasarkan foto toraks saja, karena foto toraks tidak memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga hal ini sering
menyebabkan overdiagnosis.8
19

Gambar 3.2 Alur diagnosis TB paru.6

3.8 Tuberkulosis pada DM


TB paru dan DM sering berdampingan, terutama di populasi berisiko
tinggi untuk tertular TB. Sebuah studi terbaru di Meksiko pada pasien lebih tua
memiliki lesi pada lapang bawah paru dan memiliki cavitas lebih banyak.
Dalam sebuah penelitian di Turki juga menjelaskan bahwa DM tidak
20

mempengaruhi terjadinya TB, tetapi hanya berhubungan dengan penyakit paru


bagian bawah pada pasien wanita dan tua. Studi lain dari Arab Saudi
menunjukkan gelaja yang sama, distribusi radiografik pada pasien DM dan
non-DM dengan TB paru.11, 12, 13
Sebanyak 42.358 pasien yang dirawat di rumah sakit universitas Aga
Khan antara tahun 1992 dan 1996 jumlah pasien yang didiagnosis DM
sebanyak 1.458 dan didiagnosis TB sebanyak 691. Sedangkan jumlah pasien
TB dan DM sebanyak 173, dengan demikian penelitian ini menjelaskan bahwa
pasien TB pada penderita DM sebanyak 173/1458( 11,9%).11,14
Sebagian besar pasien yang menderita TB berusia setengah baya (30-60
tahun), pada studi di India sebagian besar pasien diatas 40 tahun, sedangkan di
Korea dan Jepang prevalensi tersebut tinggi pada usia 40-50 tahun. Studi ini
menjelaskan bahwa prevalensi TB meningkat secara progresif sesuai
durasi DM itu sendiri. Prevalensi tertinggi adalah pada pasien yang telah
didiagnosis DM selama 10 tahun lebih.15
Alasan untuk terjadinya peningkatan terjadinya kerentanan TB pada DM
disebabkan bayak faktor, dalam hal ini makrofag alveolar yang bekerjasama
dengan limfosit mempunyai peranan penting dalam mengeleminasi infeksi
mikobakterium tuberkulosis itu sendiri. Dalam sebuah penelitian kepada 64
pasien TB dengan DM terjadi depresi imunitas seluler yang tinggi,hal ini
ditandai dengan limfosit T lebih sedikit dan kapasitasnya menurun
dibandingkan dengan pasien hanya dengan TB saja.
Disini juga dikatakan bahwa terdapat perbedaan dalam produksi sitokin,
dimana terjadi penurun interferon (IFN)-gamma yang diproduksi oleh CD4+
sel pada pasien TB dengan kontrol diabetes yang buruk, tetapi tidak pada
pasien yang kontrol diabetesnya baik. Tetapi IFN-gamma akan kembali
meningkat setelah 6 bulan pada pasien TB yang diabetesnya dikontrol dengan
baik, tetapi tetap saja terjadi penurunan IFN-gamma pada pasien yang
diabetesnya tidak terkontol dengan baik.16
21

Disfungsi imun merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya


peningkatan TB paru pada penderita DM, hal ini disebabkan karena defek pada
pertahanan host dan fungsi kekebalan tubuh itu sendiri.
DM juga menyebabkan penurunanan daya fagositosis makrofag,
sehingga mempengaruhi pertahanan tubuh. Hal ini didukung dengan sebuah
pengamatan bahwa penderita diabetes yang kurang terkontrol terjadi
peningkatan TB yang lebih destruktif dan mortalitas yang lebih tinggi. TB
dapat menyebabkan perubahan sitokin, monosit-makrofag dan sel T
CD4/CD8.17
Disebuah penelitian juga menjelaskan bahwa DM sering dikaitkan
dengan penurunan imunitas seseorang. Pada penderita DM didapatkan
penurunan limfosit T dan neutrofil. Berkurangnya T-helper 1 (Th1) sitokin,
produksi TNF alpha, dan produksi IL-1 beta dan IL-6 juga terlihat pada
penderita TB dan DM secara bersamaan dibandingkan dengan yang tidak
menderita DM.18,19
Th1 sitokin sangat penting dalam dalam mengontrol dan menghambat
pertumbuhan mycobacterium tuberculosis. Penurunan jumlah dan fungsi limfosit
T berperan terhadap kerentanan penderita diabetes untuk terjangkit TB. Fungsi
makrofag juga berkurang pada individu dengan DM, sehingga fagositosinya pun
berkurang. Kombinasi disfungsi dari berbagai macam proses imunitas
diatas berkontribusi terhadap peningkatan risiko TB pada penderita Diabetes
Mellitus.20
3.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.6
22

Prinsip pengobatan6
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)6


• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan6
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
23

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia6


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

 Kategori Anak: 2HRZ/4HR


Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,


dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
24

Paduan OAT dan peruntukannya.6


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)6


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
25

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
26

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien, baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih
rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
Efek Samping dan Penatalaksanaannya6
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan gejala.
27

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan


Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes
melitus:10
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
3.10 Komplikasi Tuberkulosis10
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari
lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, dan ginjal.

3.11 Prognosis
1. Jika berobat teratur sembuh total (95%). 6
2. Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu,
keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB
sebelumnya. 21
3. Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan non-
XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat
28

kekambuhan 0-14 %.22 Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah,


kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan
biasanya diakibatkan oleh relaps.23 Hal ini berbeda pada negara dengan
prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh
reinfeksi.24
4. Penelitian di Mesir yang membandingkan 119 pasien dengan gagal
pengobatan dan 119 kontrol didapatkan peningkatan risiko gagal
pengobatan TB pada pasien DM adalah 3,9 kali.2,4
5. Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan kultur sputum setelah
pengobatan selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang tinggi ternyata
masih positif pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol
sebesar 6,9%.2,4
6. Dua penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland, Amerika
Serikat menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-6,7 kali
pada pasien DM dibandingkan dengan non-DM. Diantara 416 kematian
pada pasien TB di Sao Paulo, Brazil ternyata DM merupakan komorbid
yang paling sering didapatkan yaitu sebesar 16%. Penelitian-penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan kematian pada TB
lebih sering didapatkan pada pasien DM.2,4
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien kiriman RSUD Simelue dengan keluhan lemas. Pasien dirawat di


RSUD selama 10 hari. Demam juga sudah dirasakan pasien +/- 10 hari setiap sore
dan malam hari. Pasien juga mengeluh berkeringat banyak (+) dan penurunan
berat badan +/- 10 kg dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan juga menurun dalam 1
bulan terakhir. Sesuai dengan gejala klinis dari tuberkulosis bahwa ditemukanya
gejala gejala seperti demam dan menggigil, penurunan berat badan rasa lelah dan
lemah (Malaise), berkeringat banyak terutama di malam hari, tidak ada nafsu
makan (Anoreksia), sakit-sakit pada otot (Mialgia).
Riwayat minum OAT tahun 2016 pada bulan Agustus, namun putus berobat
setelah pengobatan 2 bulan. Pasien ini dikatakan sebagai pasien putus obat sesuai
dengan definisi bahwa TB putus obat adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif atau BTA negatif. Riwayat penggunaan insulin sejak 2014, dan riwayat
hipotiroid sejak 2002 dengan penggunaan obat PTU dan bisoprolol. Disfungsi
imun merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya peningkatan TB paru
pada penderita DM, hal ini disebabkan karena defek pada pertahanan host dan
fungsi kekebalan tubuh itu sendiri.
DM juga menyebabkan penurunanan daya fagositosis makrofag, sehingga
mempengaruhi pertahanan tubuh. Hal ini didukung dengan sebuah pengamatan
bahwa penderita diabetes yang kurang terkontrol terjadi peningkatan TB yang
lebih destruktif dan mortalitas yang lebih tinggi. TB dapat menyebabkan
perubahan sitokin, monosit-makrofag dan sel T CD4/CD8.

29
BAB V
KESIMPULAN

Paduan OAT pasien TB dengan DM yang diberikan pada prinsipnya sama


dengan paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah
terkontrol. Diabetes mellitus menyebabkan kerusakan pada fungsi imun dan
fisiologis paru sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi maupun reaktifasi TB,
memperpanjang waktu konversi sputum dan meningkatkan risiko gagal
pengobatan yang mendorong terjadinya TB MDR. Sebaiknya dilakukan penapisan
TB pada pasien DM terutama di negara-negara dengan insidensi TB yang tinggi
agar dapat dilakukan kontrol dan penatalaksanaan yang lebih baik untuk kedua
penyakit tersebut. Jika berobat teratur sembuh total dapat mencapai angka 95%.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva :


World Health Organization; 2011.
2. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin
NS, Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed
Central Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.
3. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to
patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
4. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence
of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
5. Stead WW, Betes JH. Tuberculosis, in Harrison’s Principles of Internal
Medicine, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo 1980 700-7 10.
6. Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Penyendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
2014
7. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Pengobatan TB Termutakhir. In : Buku
ajar IPD. Jakarta: Interna Publishing
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
9. Werdhani, Retno A. Fatofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga. FKUI. 2004
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2006
11. Dyck , Roland F, et al. The Relationship Between Diabetes and Tuberculosis
in Saskatchewan. Canadian Journal Of Public Health. 2007
12. Perez-Guzman C et al. Atypical radiollogical images of pulmonary
tuberculosis in 192 diabetic patients: a comparative study. International
journal of tuberculosis and lung disease. 2001, 5(5):455–61.
13. Bacakoglu F et al. Pulmonary tubercullosis in patients with diabetes mellitus.
Respiration, 2001, 68(6):595–600.
14. Al Wabel AH et al. Symptomatology and Chest Roentgenographic Changes
32

of Pulmonary Tuberculosis Among Diabetiics. East African Medical Journal,


1997, 74(2):62–4.
15. Ponce-De-Leon A. et al.: Tuberculosis and diabetes in southern Mexico. Diab
Care. 2004.
16. Bacakoglu F, Basoglu et al. Pulmonary Tuberculosis In Patients With
Diabetes Mellitus. Respiration 2001.
17. Jabbar, A. Hussein, S.F. and Khan, A.A. Clinical Characteristics of
Pulmonary Tuberculosis in Adult Pakistani Patients with Co-existing
Diabetes Mellitus. East. Mediterr. Health J. 2006
18. Niazi, Asfandyar Khan, Kalra Sanjay. Diabetes and Tuberculosis: a Review
Of The Role of Optimal Glycemic Control. Journal of Diabetes & Metabolic
Disorders 2012.
19. Sc, hopelman ai: Immune Dysfunction in Patients with Diabetes Mellitus
(DM). Fems Immunol Med Microbiol 1999.
20. Tsukaguchi K, et al. Case study Of Interleukin-1 Beta,Tumor Necrosis Factor
Alpha and Interleukin-6 Production by Peripheral Blood Monocytes in
Patients with Diabetes Mellitus Complicated by Pulmonary Tuberculosis.
Kekkaku 1992.
21. Waitt CJ, Peter K Banda N, White SA, dkk. Early deaths during tuberculosis
treatment are associated with depressed innate responses bacterial infection,
and tuberculosis progression. J Infect Dis. 2011 Aug. 204(3);358-62
22. Cox HS, Morrow M, Deutschmann PW. Long term efficacy of SOTS
regimens for tuberculosis: systematic review. BMJ. 2008 Mar 1. 336
(7642):484-7.
23. Jasmer RM, Bozeman L, Schwartzman K, dkk. Recurrent tuberculosis in the
United States and Canada: relapse or reinfection?. Am J Respir Crit Care
Med. 2004 Dec 15. 170 (12): 1360-6.
24. Van Rie A, Warren R, Richardson M, et al. Exogenous reinfection as a cause
of recurrent tuberculosis after curative treatment. N Engl J Med. 1999 Oct 14.
341 (16): 1174-9.

Anda mungkin juga menyukai