Anda di halaman 1dari 38

Beberapa Keistimewaan Hari Jumat dalam Islam

Dalam Islam, semua hari adalah baik. Tetapi ada satu hari yang di anggap hari itu adalah hari terbaik dan
memiliki keistimewaan serta nilai sejarah yang sangat panjang. Hari tersebut adalah hari Jum'at, hari
Jum'at adalah hari keenam dalam satu pekan. Kata Jumat diambil dari Bahasa Arab, Jumu'ah yang berarti
beramai-ramai, diambil dari tata cara ibadah kaum Muslim yang dilakukan pada hari ini.

Hari Jumat memang memiliki beberapa keutamaan di antaranya adalah kita umat Islam laki-laku
khususnya di wajibkan untuk melakukan ibadah shalat Jumat berjamaah di masjid pada waktu dzuhur.
Selain itu, ada banyak lagi keutamaan serta keistimewaan hari Jumat yang harus Anda ketahui, berikut ini
beberapa di antaranya:
1. Hari Jum'at adalah Hari Terbaik

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabada: "Hari terbaik dimana pada hari itu matahari
terbit adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga serta dikeluarkan darinya.
Dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum'at"

2. Terdapat Waktu Mustajab untuk Berdo'a.

Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila
seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya
Allah akan mengabulkannya. Rasululllah mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya
waktu itu" (HR. Muttafaqun Alaih)

Ibnu Qayyim Al Jauziah – setelah menjabarkan perbedaan pendapat tentang kapan waktu itu mengatakan:
"Diantara sekian banyak pendapat ada dua yang paling kuat, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak
hadits yang sahih, pertama saat duduknya khatib sampai selesainya shalat. Kedua, sesudah Ashar, dan ini
adalah pendapat yang terkuat dari dua pendapat tdi" (Zadul Ma’ad Jilid I/389-390).

3. Sedekah pada hari itu lebih utama dibanding sedekah pada hari-hari lainnya.

Ibnu Qayyim berkata: "Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan sedekah pada enam hari lainnya
laksana sedekah pada bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya". Hadits dari Ka’ab menjelaskan:
“Dan sedekah pada hari itu lebih mulia dibanding hari-hari selainnya”. (Mauquf Shahih)

4. Hari tatkala Allah SWT menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.
Sahabat Anas bin Malik dalam mengomentari ayat: “Dan Kami memiliki pertambahannya” (QS.50:35)
mengatakan: “Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum’at”.

5. Hari besar yang berulang setiap pekan.

Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW bersabda:

“Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi ummat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri
shalat Jum’at hendaklah mandi terlebih dahulu.” (HR. Ibnu Majah)

6. Hari dihapuskannya dosa-dosa

Salman Al Farisi berkata : Rasulullah bersabda: “Siapa yang mandi pada hari Jum’at, bersuci sesuai
kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid
tanpa melangkahi diantara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam
tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum’at”. (HR. Bukhari).

7. Jalannya Orang yang Shalat Jum'at adalah Pahala

Aus bin Aus berkata: Rasulullah bersabda: “Siapa yang mandi pada hari Jum’at, kemudian bersegera
berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia
ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi
Allah”. (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

8. Orang yang Wafat pada Malam atau Hari Jum'at adalah Khusnul Khatimah

Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah bersabda: "Setiap muslim yang mati pada siang hari
Jum’at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan
Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).

9. Hari paling utama di dunia

Pada hari Jum’at, ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:

1. Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.


2. Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.

3. Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.

4. Hari akan terjadinya kiamat.

5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata:

Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada
hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam
surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada
hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat
menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan
permintannya. (HR. Muslim)

Itulah beberapa keutamaan dan keistimewaan tentang hari Jum'at, semoga kita mendapatkan ilmu dari apa
yang kita baca.

Allah SWT berkalam dalam kitab-Nya:


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia [berada] dalam
kesukaran/kesusahan” [QS al-Balad [90]:4].

Saking susahnya, tak sedikit orang yang lupa akan perputaran waktu termasuk
nama hari. Apalagi untuk memahami makna hari. Saat ini, kita tengah berada dalam
hari Jum’at. Apa itu Jum’at?, Dan apa keistimewaannya dibandingkan dengan hari-
hari yang lain?


Jum’at adalah hari keenam dalam seminggu atau sepekan. Dalam literatur Arab,
Jum’at [al-jumu’ah] juga terkadang digunakan untuk arti minggu [al-usbû’]. Jumat,
yang secara utuh diserap dari kata Arab-Qur’ani, berasal dari akar kata jama’a-
yajma’u-jam’an, artinya: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menjumlahkan,
dan meng-gabungkan.

Al-Jum’ah artinya: persatuan, persahabatan, kerukunan [al-ulfah], dan pertemuan


[al-ijtima]. Meski secara umum dan keseluruhan semua hari – termasuk Jum’at –
dalam seminggu itu bisa dikatakan sama atau tidak ada bedanya; namun hari Jum’at
bagi kaum umatan muslimatan [kaum Muslimin/Muslimat], dipastikan memiliki
keistimewaan tersendiri. Sama halnya dengan keistimewaan Sabtu bagi orang-orang
Yahudi, dan Minggu untuk kawan-kawan Nasrani.

Bagi umat Islam, yang masih sempat atau sengaja menyempatkan diri untuk
merenungkan makna-makna hari, paling sedikit didasarkan pada alasan utama
tentang kebesaran hari Jum’at:

1. Bahwasanya ia adalah sebaik-baik hari.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam beliau
bersabda,
”Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya (hari cerah) adalah hari Jum’at,
(karena) pada hari ini Adam diciptakan, hari ini pula Adam dimasukkan ke dalam
surga dan dikeluarkan darinya, dan tidaklah akan datang hari kiamat kecuali pada
hari Jum’at.” (HR Muslim).
2. Hari ini mengandung kewajiban sholat Jum’at
Kewajiban sholat Jum’at merupakan sebesar-besar kewajiban Islam yang paling
ditekankan dan seagung-agungnya berhimpunnya kaum muslimin. Barangsiapa
meninggalkannya (menunaikan sholat Jum’at) karena meremehkannya, niscaya
Alloh tutup hatinya sebagaimana di dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim.

3. Terdapat waktu yang orang berdo’a di dalamnya diijabahi (dikabulkan).


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salambersabda,
”Sesungguhnya di dalam hari Jum’at ini, ada suatu waktu yang tidaklah seorang
Muslim menemuinya (hari Jum’at) sedangkan ia dalam keadaan berdiri sholat
memohon sesuatu kepada Alloh, melainkan akan Alloh berikan padanya.” (Muttafaq
’alaihi)
Ibnul Qayyim berkata setelah menyebutkan adanya perselisihan tentang penentuan
spesifikasi waktu ini, ”Pendapat-pendapat yang paling rajih (kuat) adalah dua
pendapat yang keduanya terkandung di dalam sebuah hadits yang tsabit (shahih).
Yaitu, Pendapat pertama, bahwasanya (waktu ijabah tersebut) mulai dari duduknya
imam hingga ditunaikannya sholat, sebagaimana dalam hadits Ibnu ’Umar
bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salambersabda,
”(waktu ijabah tersebut) yaitu diantara duduknya imam sampai ditunaikannya sholat.”
(HR Muslim).
Pendapat kedua, yaitu setelah waktu ’Ashar. Dan ini adalah dua pendapat yang
paling kuat. (Zaadul Ma’ad I/389-390).
4. Bersedekah di dalamnya kebih baik daripada bersedekah pada hari lainnya.
Ibnul Qayyim berkata, ”Bersedekah pada hari Jum’at dibandingkan hari-hari lainnya
dalam sepekan, seperti bersedekah pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan-
bulan lainnya.”

Dan di dalam hadits Ka’ab (dikatakan),

”Bersedekah di dalamnya lebih besar (pahalanya) daripada bersedekah pada hari


lainnya.” (haditsmauquf shahih namun memiliki hukum marfu’).
5. Ia adalah hari dimana Allah Azza wa Jalla memuliakan di dalamnya para
wali-wali-Nya kaum mukminin di dalam surga.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau berkata tentang firman Allah Azza wa
Jalla,
”Dan pada sisi kami ada tambahannya.” (QS Qaf, 35)
Beliau berkata, ”Allah muliakan mereka pada tiap hari Jum’at.”
6. Ia adalah hari ’Ied (perayaan) yang berulang-ulang setiap pekan.
Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salambersabda,
”Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin,
barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” (HR Ibnu Majah
dalam Shahih at-TarghibI/298).
7. Ia adalah hari yang menghapuskan dosa-dosa.
Dari Salman beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda,
”Tidaklah seorang hamba mandi pada hari Jum’at dan bersuci dengan sebaik-baik
bersuci, lalu ia meminyaki rambutnya atau berparfum dengan minyak wangi,
kemudian ia keluar (menunaikan sholat Jum’at) dan tidak memisahkan antara dua
orang (yang duduk), kemudian ia melakukan sholat apa yang diwajibkan atasnya
dan ia diam ketika Imam berkhutbah, melainkan segala dosanya akan diampuni
antara hari Jum’at ini dengan Jum’at lainnya.” (HR Bukhari).
8. Orang yang berjalan untuk menunaikan sholat Jum’at, pada tiap langkah
kakinya ada pahala puasa dan sholat setahun.
Ssebagaimana hadits Aus bin Aus radhiyallahu ’anhu beliau berkata,
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda,
”Barangsiapa yang mandi lalu berwudhu pada hari Jum’at, lalu ia bersegera dan
bergegas (untuk sholat), kemudian ia mendekat kepada imam dan diam, maka
baginya pada setiap langkah kaki yang ia langkahkan (ada pahala) puasa dan sholat
setahun, dan yang demikian ini adalah sesuatu yang mudah bagi Alloh.” (HR Ahmad
dan Ashhabus Sunnan, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Allohu Akbar! Setiap langkah yang diayun menuju sholat Jum’at sepadan dengan
puasa dan sholat setahun?!
Dimana orang-orang yang mau berlekas untuk menuju kebesaran ini?! Dimana
orang-orang yang menginginkan anugerah ini?!

”Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah
mempunyai karunia yang besar.” (QS al-Hadiid, 21)
9. Jahannam itu dinyalakan –yaitu dikobarkan apinya- setiap hari dalam
sepekan kecuali pada hari Jum’at.
Yang mana hal ini sebagai (salah satu bentuk) pemuliaan terhadap hari yang agung
ini. (LihatZaadul Ma’ad I/387).
10. Meninggal pada hari Jum’at atau malamnya merupakan tanda-tanda husnul
khotimah.
Dimana orang yang wafat pada hari ini akan aman dari siksa kubur dan dari
pertanyaan dua Malaikat. Dari Ibnu ’Amr radhiyallahu ’anhuma beliau berkata,
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda,
”Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau pada malam Jum’at,
kecuali Alloh Ta’ala lindungi dari fitnah kubur.” (R Ahmad dan Turmudi, dishahihkan
oleh al-Albani).

Ternyata Hari Jum’at itu Istimewa


Penyusun: Ummu Aufa
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman

Saudariku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang
istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari
jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya.
Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus
hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat
tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.

Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan
yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa
lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang
disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.
Keutamaan Hari Jum’at

1. Hari paling utama di dunia

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:

 Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.


 Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
 Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
 Hari akan terjadinya kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata:

“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu
Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan
dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu
dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali
Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)

2. Hari bagi kaum muslimin

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua
khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at,
Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami
dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut
pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada
hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling
mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi
Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke
bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika
seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram,
dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi
Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)

4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di
dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan
dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya
waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)

Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-
pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu
meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?”
Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara
duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.'” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi


rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon
sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka
peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR.
Abu Dawud)

Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau
mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan
banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan
minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid),
dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia
mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan
seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi)
antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at

1. Memperbanyak shalawat

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku
akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak
bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan
sanad shahih)

2. Membaca surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya
diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)

4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)

 Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.


 Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
 Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
 Memakai pakaian yang terbaik.
 Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.

Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih
besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak
jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di
akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Maraji’:

1. Do’a dan Wirid, Pustaka Imam Asy-Syafi’i


2. Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, Pustaka Al-Kautsar
3. Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir

Sumber: https://muslimah.or.id/74-ternyata-hari-jumat-itu-istimewa.html
Hari Jumat adalah hari yang memiliki arti yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena merupakan
hari raya bagi mereka. Sangat banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan dan kekhususan
hari Jumat dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh
dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memuat hadits-hadits tersebut hingga beliau berkesimpulan paling
tidak ada 33 kekhususan hari Jumat dari hari-hari yang lain.

Al Hafizh Suyuthi menulis kitab yang beliau beri judul Al Lum’ah fi Khashoish Al Jumu’ah. Beliau di
kitab ini menyebutkan hadits-hadits yang sangat banyak -termasuk diantaranya hadits-hadits lemah-
yang menerangkan keutamaan dan kekhususan Jumat; dimana beliau berkesimpulan ada 101
kekhususan Jumat dari hari selainnya.

Di silsilah pertama dari kumpulan hadits-hadits tentang Jumat kali ini kami memilihkan untuk antum
sekalian hadits-hadits yang insya Allah dijamin keabsahannya yang kami cukupkan dengan sepuluh
point kekhususan hari Jumat dari sekian banyak kekhususannya, Wallohu Waliyyut Taufiq.

1. Hari Ied yang Berulang Setiap Pekan


َ ‫سو ُل قَا َل قَا َل عنهما هللا رضي‬
‫عبَّاس ابن عَن‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َّ ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬: « َّ‫ّللاُ َجعَلَهُ عيد يَو ُم َهذَا إن‬
َ ‫سلَّ َم‬ َّ َ‫لل ُمسلمين‬
‫س طيب كَانَ َوإن فَليَغتَسل ال ُج ُمعَة إلَى َجا َء فَ َمن‬ َّ ‫ع َليكُم منهُ فَليَ َم‬
َ ‫» بالس َواك َو‬
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka
barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka
hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh
Al Albani)

Diantara fiqh hadits :

• Setiap ummat memiliki hari Ied (hari raya)

• Hari Ied bagi kaum muslimin dalam setiap pekannya adalah hari Jumat

• Disyariatkannya mandi bagi setiap yang mau menghadiri shalat Jumat

• Pada saat menghadiri shalat Jumat dianjurkan memakai wewangian bagi yang memilikinya dan
juga diperintahkan bersiwak

• Disyariatkan mengagungkan hari raya

2. Diharamkan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat dan dimakruhkan mengkhususkan


malamnya untuk shalat malam

‫ّللاُ َرض َي ه َُري َرةَ أَبي عَن‬


َّ ُ‫سمعتُ قَا َل عَنه‬
َ ‫صلَّى النَّب َّي‬ َّ ‫ع َليه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫ يَقُو ُل َو‬: « ‫صو َمنَّ َل‬ ُ َ‫إ َّل ال ُج ُمعَة يَو َم أَ َح ُدكُم ي‬
‫)عليه متفق( » بَع َدهُ أَو قَبلَهُ يَو ًما‬
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Nabi Muhammad shallallohu alaihi
wasallam bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat kecuali jika engkau
juga berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

‫ّللاُ َرض َي ه َُري َرةَ أَبي عَن‬َّ ُ‫صلَّى ال َّنبي عَن عَنه‬ َّ ‫ع َليه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬ ُّ َ ‫بَين من بقيَام ال ُج ُم َعة لَيلَةَ تَخت‬
َ ‫ قَا َل َو‬: « ‫صوا َل‬
ُّ ‫صوم في يَكُونَ أَن إ َّل اْلَيَّام َبين من بص َيام ال ُج ُمعَة يَو َم ت َ ُخ‬
‫صوا َو َل ال َّليَالي‬ َ ُ‫صو ُمه‬ ُ َ‫أ َ َح ُدكُم ي‬
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, beliau
bersabda : “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk shalat lail
dan jangan kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa kecuali jika
bertepatan dengan waktu yang seseorang yang biasa berpuasa padanya” (HR. Bukhari dan
Muslim,lafal hadits ini baginya)

Diantara fiqh hadits :

• Larangan mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah

• Boleh berpuasa sunnah di hari Jumat jika berpuasa sebelumnya atau sehari sesudahnya atau jika
bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu seperti puasa Arafah dan lainnya
• Larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat lail

3. Disunnahkan membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan Al Insan di rakaat kedua pada
saat sholat shubuh

‫صلَّى ال َّنب َّي أَنَّ عنه هللا رضي ه َُري َرةَ أَبي عَن‬ َّ ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫صبح في يَق َرأ ُ كَانَ َو‬
َ ‫س َّل َم‬ ُّ ‫في ”تَنزي ُل ألم”بـ ال ُج ُم َعة يَو َم ال‬
َّ ‫علَى أ َتَى َهل“ الثَّانيَة َوفي اْلُولَى‬
‫الركعَة‬ َ ‫سان‬ َ ‫ُورا شَيئًا يَكُن لَم الدَّهر من حين اْلن‬ ً ‫” َمذك‬
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam membaca
pada shalat shubuh di hari Jumat Alif Laam Miim Tanzil (surat As Sajdah) di rakaat pertama dan Hal
Ataa ‘alal Insan Hiinun Min Ad Dahr Lam Yakun Syaian Madzkuura (surat Al Insan) (HR. Bukhari dan
Muslim)

Diantara fiqh hadits :

• Perhatian para sahabat terhadap surat/ayat yang dibaca oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
pada saat shalat

• Penjelasan kadar bacaan imam pada saat shalat shubuh

• Disyariatkannya membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan surat Al Insan di rakaat kedua
pada saat shalat Shubuh di hari Jumat

4. Pada hari Jumat ada waktu mustajab untuk berdoa

‫سو َل أَنَّ عنه هللا رضي ه َُري َرةَ أَبي عَن‬ َّ ‫ص َّلى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َ ُ‫ّللا‬َّ ‫ع َليه‬ َ ‫ فَقَا َل ال ُج ُمعَة يَو َم ذَك ََر َو‬: « ‫ساعَة فيه‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫َل‬
‫صلي قَائم َوه َُو ُمسلم عَبد يُ َوافقُ َها‬ َ ُ‫ّللاَ يَسأ َ ُل ي‬
َّ ‫َار » إيَّاهُ أَع َطاهُ إ َّل شَيئ ًا ت َ َعالَى‬َ ‫يُ َقللُ َها بيَده َوأَش‬
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang
hari Jumat, “Pada hari Jumat ada waktu yang mana seorang hamba muslim yang tepat beribadah
dan berdoa pada waktu tersebut meminta sesuatu melainkan niscaya Allah akan memberikan
permintaannya”. Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu
tersebut sangat sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara fiqh hadits ini :

• Keutamaan berdoa pada hari Jumat

• Orang yang rajin beribadah adalah orang yang paling patut diterima doanya

• Anjuran untuk mencari waktu-waktu yang afdhal untuk berdoa

• Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan waktu ijabah pada hari Jumat; Al Hafizh Ibnu
Hajar telah menyebutkan 42 pendapat para ulama beserta dalilnya dalam menentukan waktu
tersebut. Diantara sekian banyak pendapat ada dua pendapat yang paling kuat karena ditopang oleh
hadits shohih, yaitu :
Pendapat Pertama : Waktu antara duduknya imam di mimbar hingga selesainya shalat. Pendapat ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari
radhiyallohu anhu dimana beliau berkata saya telah mendengar Rasulullah shalallallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda tentang waktu ijabah, “Waktunya antara duduknya imam di atas mimbar hingga
selesainya pelaksanaan shalat Jumat”. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, Baihaqi, Ibnul Arabi Al
Maliki, Al Qurthubi, Imam Nawawi dll.

Pendapat kedua menetapkan waktu ijabah tersebut adalah ba’da ashar terutama menjelang
maghrib. Pendapat ini berdasarkan beberapa keterangan yang disebutkan dalam hadits diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaai dan lainnya dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallohu
anhuma dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam beliau bersabda(artinya), “Hari Jumat 12 jam,
padanya suatu waktu yang kapan seorang hamba muslim berdoa padanya niscaya Allah akan
memberikannya, carilah waktu tersebut di penghujung hari Jumat setelah shalat Ashar”. Hadits ini
dishahihkan oleh Imam Hakim, Adz Dzahabi, Al Mundziri dan Al Albani serta dihasankan oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar. Pendapat ini yang dipilih oleh banyak ulama diantaranya sahabat yang mulia
Abdullah bin Salam radhiyallohu anhu, Ishaq bin Rahuyah,Imam Ahmad dan Ibn Abdil Barr. Imam
Ahmad menjelaskan, “Kebanyakan hadits yang menjelaskan waktu tersebut menyebutkan ba’da
ashar…”

5. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jumat

‫سو ُل قَا َل َقا َل أَوس بن أَوس عَن‬ َّ ‫صلَّى‬


ُ ‫ّللا َر‬ َّ ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬: » َّ‫آ َد ُم ُخلقَ فيه ال ُج ُمعَة يَو َم أَيَّامكُم أ َفضَل من إن‬
َ ‫سلَّ َم‬
‫ض َوفيه‬ َ ‫صعقَةُ َوفيه النَّف َخةُ َوفيه قُب‬ َّ ‫علَ َّي فَأَكث ُروا ال‬
َ ‫ص ََلة من‬ َّ ‫ص ََلتَكُم فَإنَّ فيه ال‬َ ‫ع َل َّي َمع ُروضَة‬ َ ‫يَا قَالُوا قَا َل‬
‫سو َل‬
ُ ‫ّللا َر‬
َّ ‫ف‬َ ‫ض َوكَي‬ َ َ‫علَيك‬
ُ ‫ص ََلتُنَا ت ُع َر‬ َ ‫ّللاَ إنَّ فَقَا َل بَليتَ َيقُولُونَ أَرمتَ َوقَد‬ َ ‫سا َد اْلَرض‬
َّ ‫علَى َح َّر َم َو َج َّل ع ََّز‬ َ ‫أَج‬
‫)وأحمد ماجه وابن والنسائي داود أبو رواه( اْلَنب َياء‬
Dari Aus bin Aus radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya hari yang afdhal bagi kalian adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan dan
diwafatkan, pada hari Jumat juga sangkakala (pertanda kiamat) ditiup dan padanya juga mereka
dibangkitkan, karena itu perbanyaklah bershalawat kepadaku karena shalawat kalian akan
diperhadapkan kepadaku” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat yang kami
ucapkan untukmu bisa diperhadapkan padamu sedangkan jasadmu telah hancur ?” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad para nabi” (HR. Abu
Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad yang shohih)

Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain

• Diantara kekhususan hari Jumat : Adam alaihissalam diciptakan dan diwafatkan padanya, hari
kiamat dan hari kebangkitan juga terjadi padanya

• Perintah memperbanyak shalawat pada hari Jumat


• Shalawat yang kita peruntukkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam akan
disampaikan kepada beliau

• Jasad para nabi tidak hancur dimakan tanah

6. Hari Kiamat terjadi pada hari Jumat

‫صلَّى النَّب َّي أَنَّ ه َُري َرةَ أَبي عَن‬ َّ ‫ع َليه‬


َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ قَا َل َو‬: » ‫ع َليه َطلَعَت يَوم َخي ُر‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫س‬ ُ ‫آ َد ُم ُخلقَ فيه ال ُج ُمعَة يَو ُم الشَّم‬
‫ساعَةُ تَقُو ُم َو َل من َها أُخر َج َوفيه ال َجنَّةَ أُدخ َل َوفيه‬َّ ‫مسلم رواه « ال ُج ُمعَة يَوم في إ َّل ال‬
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan,
dimasukkan ke surga dan juga dikeluarkan darinya serta kiamat tidak terjadi melainkan pada hari
Jumat” (HR. Muslim)

Diantara fiqh hadits :

• Hari Jumat adalah hari yang terbaik diantara hari-hari yang ada

• Nabi Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya pada hari Jumat

• Kiamat terjadi pada hari Jumat

7. Seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan dilindungi dari siksa kubur

َّ ‫سو ُل قَا َل قَا َل عَمرو بن‬


‫ّللا عَبد عَن‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َّ ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬: « ‫َلي َل َة أَو ال ُج ُم َعة َيو َم َي ُموتُ ُمسلم من َما‬
َ ‫سلَّ َم‬
َّ َ‫)وأحمد الترمذي رواه( » القَبر فتنَة‬
‫ّللاُ َوقَاهُ إ َّل ال ُج ُمعَة‬
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malamnya melainkan
Allah melindunginya dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Ahmad serta dinilai hasan atau shohih oleh
Al Albani berdasarkan banyaknya jalur periwayatannya yang saling mendukung dan menguatkan)

Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat

• Adanya fitnah kubur

• Sebagian hamba Allah yang muslim diselamatkan dari fitnah kubur

8. Anjuran membaca surat Al Kahfi di malam Jumat dan pada hari Jumat

ِ ‫ت ْالعَتِي‬
‫ق‬ ِ ‫ور فِي َما بَ ْينَهُ َو َبيْنَ ْالبَ ْي‬ َ َ ‫ف لَ ْيلَةَ ْال ُج ُمعَ ِة أ‬
ِ ُّ‫ضا َء لَهُ ِم ْن الن‬ ِ ‫ورة َ ْال َك ْه‬
َ ‫س‬ُ َ ‫ َم ْن قَ َرأ‬: ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ قَا َل‬
َ ‫َع ْن أَبِي‬

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu berkata, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di
malam Jumat niscaya Allah akan meneranginya dengan cahaya antara dia dengan Ka’bah” (Riwayat
Darimi)
Keterangan : Sanad riwayat ini shohih mauquf dari perkataan Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu
akan tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) karena
pengabaran hal yang ghoib seperti ini tidak mungkin hanya berdasarkan pendapat pribadi para
sahabat. Wallohu A’lam. Beberapa riwayat hadits menyebutkan kata hari Jumat.

Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat

• Membaca surat Kahfi pada waktu di atas diantara amalan yang diganjar oleh Allah Azza wa Jalla
berupa cahaya

9. Dibolehkan shalat di pertengahan siang di hari Jumat sebelum zawal

‫سل َمان عن‬ َ ‫سو ُل قَا َل قَا َل عنه هللا رضي ال َفارسي‬ ُ ‫ّللا َر‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫ع َليه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫ َو‬: » ‫س َل َمن‬ َ َ ‫َوت َ َط َّه َر ال ُج ُمعَة يَو َم اغت‬
َ ‫طهر من است َ َطا‬
‫ع ب َما‬ ُ ‫س أَو ا َّدهَنَ ث ُ َّم‬
َّ ‫صلَّى اثنَين بَينَ يُ َفرق فَلَم َرا َح ث ُ َّم طيب من َم‬ َ َ‫ب َما ف‬ َ ‫اْل َما ُم َخ َر َج إذَا ث ُ َّم َلهُ كُت‬
َ‫غف َر أَنصَت‬ ُ ُ‫البخاري رواه « اْلُخ َرى ال ُج ُمعَة َوبَينَ بَينَهُ َما لَه‬
Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai
wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di
mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam
keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni
dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)

Diantara fiqh hadits :

• Penjelasan beberapa adab yang harus diperhatikan pada saat menunaikan shalat Jumat

• Pahala Jumat berupa pengampunan dosa hanya akan diraih oleh hamba yang menjalankan adab-
adab tersebut

• Bolehnya seseorang yang masuk di mesjid pada hari Jumat melaksanakan shalat sebanyak-
banyaknya walaupun dipertengahan siang(zawal) hingga imam naik di atas mimbar. Diantara ulama
yang menjelaskan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim dan Allamah
Syamsul Haq Azhim Abadi rahimahumulloh.

10. Seseorang yang mandi di hari Jumat maka itu merupakan pembersih baginya hingga Jumat
berikutnya
‫سمعتُ قَا َل عنه هللا رضي قَتَا َدةَ أَبي َوعَن‬ ُ ‫صلَّى هللا َر‬
َ ‫سو َل‬ َ ‫علَيه هللا‬ َ ‫سلَّم‬َ ‫ يَقُو ُل و‬: « ‫س َل َمن‬
َ َ ‫كَانَ ال ُج ُمعَة يَو َم اغت‬
‫ارة في‬ َ ‫» اْلُخ َرى ال ُج ُمعَة إلَى َط َه‬. (‫)وغيره الطبراني رواه‬
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shalllallohu alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat maka dia berada dalam keadaan suci hingga
Jumat berikutnya” (HR. Thabrani, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. )

Keterangan : Hadits ini dinilai shahih oleh Suyuthi dan dinyatakan hasan oleh Mundziri dan disetujui
oleh Albani

Diantara fiqh hadits ini :

• Anjuran mandi pada hari Jumat

• Keutamaan mandi pada hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain

Iklan

Posts tagged ‘ayat Qur’an ttg perintah


berjilbab/hijab’
Kenapa Berjilbab (2)

115 Votes

10/07/08
Simply because Al-Qur’an said so, Allah SWT told you so. Rasulullah SAW told you
so. Datang ke pesta ada dresscode-nya, kita nurut, mau pakai sesuai aturan. Kalau belum
punya bajunya, dibisa-bisakan beli. Masa dresscode dari Allah kita nggak mau berusaha
mengikuti? Aturan manusia, ikut. Aturan dari pencipta manusia, ngeyel? Hayo dipikir coba
bener nggak itu.

Beberapa ayat Al-Qur’an tentang perintah berjilbab (menutup aurat) adalah sbb:
QS. Al-A’raf: 26, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian
taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

QS. Al-Ahzab: 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan
istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.”

QS. AL-Ahzab: 33, “Dan hendaklah engkau tetap di rumahmu dan janganlah berhias serta
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu.”

QS. An-Nuur: 31, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Lebih spesifik pada ayat pertama surat An-Nuur (QS. 24: 1) yang mendahului ayat-ayat
lain, Allah SWT sudah mengingatkan, “(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan
kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan kami
turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.” Hal ini
berarti hukum-hukum yang berada di surat itu adalah wajib.

Lalu jika ada yang mengatakan bahwa menutup aurat itu tidak wajib, jilbab itu bersifat

urgensi, saya tidak tahu tafsirannya bagaimana .

Tadinya saya juga mau menulis hadis-hadisnya juga. Tapi kok ternyata banyak sekali… Tapi
yah, kalau dalam Qur’an saja perintahnya sudah tersebut sebanyak itu (belum lagi hadis-hadis
shahih penguatnya) menurut saya sudah lebih dari cukup untuk dikatakan bahwa berjilbab,
berhijab (menutup aurat itu wajib). Dalam QS. Al-Ahzab: 36 pun, sudah jelas dikatakan
bahwa, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan
yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan
kesesatan yang nyata.”

Suka tidak suka, mau tidak mau, ya harus dilaksanakan. Mungkin karena itu sehingga ada
yang bilang bahwa Islam itu agama yang suka maksa. Saya pikir kalau manusia itu ikhlas,
tawaqqal dan iman, pastinya ya tidak akan merasa dipaksa. Apalagi kalau memahami
(walaupun belum sepenuhnya mengerti) bahwa apa yang disyariatkan itu adalah untuk
kebaikan manusia juga, maka pasti manusia akan melaksanakan perintahnya dengan senang
hati. Seperti halnya kisah para perempuan Anshar dari kaum Muhajirin (ikut hijrah) pertama
yang disayangi Allah SWT karena ketaatannya, ketika datang ayat QS. AN-Nur: 31, mereka
langsung menyobek kain wolnya untuk dijadikan kerudung (Shahih Bukhari Bisyahril
Karmani, Juz XVIII, p.26-27). Hebat betul. Bahkan tidak pakai bertanya lagi kenapa harus
melakukan suatu hal yang (pada saat itu) tidak umum. Bandingkan dengan saya yang bahkan
(katanya) sudah paham perintah dalam Al-Qur’an dan hadis, tapi masih belum puas dan
bertanya untuk mencari pembenarannya dulu sebelum melaksanakan. “Kalau memang wajib,
kenapa tidak disebutkan dalam rukun Islam dan iman sekalian sih,” bantah saya dulu. “Lha
kalau disebutkan semua rukunnya jadi banyak banget dong,” kata suami saya, “Lagipula
rukun-rukun itu kan sudah merangkum dari inti keseluruhannya.” Yaa… Iya juga sih. Seperti
yang sudah saya tulis sebelumnya, yang namanya IMAN itu berarti percaya dan yakin,
dengan segala yang ada dalam Islam. Baik itu ajaran, syariat, perintah, larangan, anjuran dan
sebagainya.

Rasulullah SAW sudah pernah bersabda bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin
dan surga bagi orang kafir (HR Muslim 8/210). Kalau tidak mau ‘dipaksa’, tidak mau
‘terpenjara’ dalam sederet aturan dan syariat (Islam)? Ya, jangan memilih Islam… Apalagi
perintahnya banyak betul. Tapi seperti yang sudah sering saya tulis, Islam itu agama satu
paket. Keseluruhan isi paketnya harus dilaksanakan, tidak bisa pilih-pilih. Namanya juga
perintah (dan larangan) dari Yang Menciptakan kita dan hukumnya wajib. Perintah dari bos
saja kalau tidak dilaksanakan, kita takut dipecat. Atau paling tidak kena sanksi deh atau
pengurangan bonus, penurunan nilai performance, dst. Lah kalau perintah dari Tuhannya
manusia dan semua makhluk, pemilik kehidupan, Bos dari segala bos, kok manusia berani
mangkir? Manusia itu betul-betul nekat. Tidak takut dengan sanksinya Tuhan. Apa karena
surga dan neraka itu tidak nyata ya. Tapi kalau begitu kembali lagi ke masalah iman dong
(masih ingat rukun iman: percaya kepada hari akhir?). Tapi itu juga manusia masih bisa
berkelit pulak dengan mengatakan bahwa manusia itu memang tempatnya salah dan dosa,
kok. Weh-weh-weh… Sudah diberi akal, bahkan ada pula yang sudah diberi kelebihan
daripada yang lain, tapi malah menggunakan kepintarannya untuk mempertanyakan dan
menyangsikan ayat-ayat Allah. Bingung, kan… Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang
sesat seperti dalam surat Al-Ahzab itu yaa…

Wallahu’alam bissawab

Kewajiban Berjilbab Berdasarkan Dalil Al-


Qur’an dan Sunnah
Posted on Juni 7, 2013 by jeprie
Ustadz Rido Ramdan Somantri

Hai Nabi Katakanlah Kepada Istri-Istrimu,Anak-Anak Perempuanmu Dan Istri-Istri Orang


Mukmin: “Hendaklah Mereka Mengulurkan Jilbabnya Ke Seluruh Tubuh Mereka”, Yang
Demikian Itu Supaya Mereka Lebih Mudah Untuk Dikenal, Karena Itu Mereka Tidak
Diganggu, Dan Alloh Adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Ahzaab:59)

Dan Hendaklah Kamu Tetap Di Rumahmu Dan Janganlah Kamu Berhias Dan Bertingkah
Laku Seperti Orang-Orang Jahiliyah Yang Dahulu Dan Dirikanlah Shalat,Tunaikanlah Zakat
Dan TaAtilah Alloh Dan Rasulnya, Sesungguhnya Alloh Bermaksud Hendak Menghilangkan
Dosa Dari Kamu, Hai Ahlul Bayt Dan Membersihkan Kamu Sebersih-Bersihnya. (QS.Al-
Ahzaab:33)

Perintah Wanita Agar Menetap Di Rumah Menunjukkan Keharusan Berjilbab Tatkala Keluar
Darinya.

Katakanlah Kepada Wanita Yang Beriman: “Hendaklah Mereka Menahan Pandangannya,


Dan Memelihara Kemaluannya, Dan Janganlah Mereka Menampakan Perhiasannya, Kecuali
Yang (BIASA) Nampak Daripadanya, Dan Hendaklah Mereka Menutupkan Kain Kerudung
Ke Dadanya, Dan Janganlah Menampakan Perhiasannya,Kecuali Kepada Suami Mereka,
Atau Ayah Mereka, Atau Ayah Suami Mereka, Atau Putra-Putra Mereka, Atau Putra-Putra
Suami Mereka, Atau Saudara-Saudara Laki-Laki Mereka, Atau Putra-Putra Saudara Laki-
Laki Mereka, Atau Putra-Putra Saudara Perempuan Mereka, Atau Wanita-Wanita Islam,
Atau Budak-Budak Yang Mereka Miliki, Atau Pelayan-Pelayan Laki-Laki Yang Tidak
Mempunyai Keinginan (TERHADAP WANITA) Atau Anak-Anak Yang Belum Mengerti
Tentang Aurat Wanita Dan Janganlah Mereka Memukulkan Kakinya Agar Diketahui
Perhiasan Yang Mereka Sembunyikan, Dan Bertaubatlah Kamu Sekalian Kepada Alloh Hai
Orang-Orang Yang Beriman Supaya Kamu Beruntung. (QS.An-Nuur:31)

Apabila Menampakan Perhiasan Saja Dilarang Bagi Wanita, Lantas Bagaimana Lagi Jika
Bersolek Dan Menampakan Keindahan Tubuh mereka..?!!

Rasulullah Bersabda: Ada dua Kelompok Termasuk Ahli Neraka, Aku Belum Pernah
Melihatnya, Suatu Kaum Yang Memiliki Cambuk Seperti Ekor Sapi, Mereka Memukul
Manusia Dengan Cambuknya Dan Wanita Yang Berpakaian Tapi Telanjang Karena Tipis,
Atau Pendek Yang Tidak Menutup Semua Auratnya, Bergaya Ketika Berjalan, Ingin
Diperhatikan Orang, Kepala Mereka Seperti Punuk Unta Yang Berpunuk Dua, Mereka Tidak
Masuk Surga Dan Tidak Mendapatkan Baunya Padahal Bau Surga Itu Akan Didapati Dari
Sekian Dan Sekian Perjalanan 500 Tahun. {HR.Muslim,Ahmad Dan Imam Malik}

Wanita Itu Adalah Aurat,Apabila Dia Keluar Akan Dibuat Indah Oleh Syetan
{HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban Dan At-Thabrani}

Ummu Salamah Berkata: Wahai Rasulullah, Bagaimana Wanita Berbuat Dengan Pakaiannya
Yang Menjulur Kebawah..? Beliau Bersabda: Hendaklah Mereka Memanjangkan Satu
Jengkal, Lalu Dia Bertanya Lagi: Bagaimana Bila Masih Terbuka Kakinya..? Beliau
Menjawab: “Hendaknya Menambah Satu Hasta,Dan Tidak Boleh Lebih” {HR.Tirmidzi}

Tidak Akan Berhenti Kami Ini Menyeru Padamu Wahai Ukhty, Sebelum ALLOH SWT
Yang Meneguri Kamu Dengan Azabnya.., MASYA ALLOH…, Oleh Karena Demikianlah
Kamu, Sebahagian Kamu Ingkar Dengan Ayat-Ayat ALLOH SWT Dan Tiadalah
Seorangpun Diantara Kamu Pada Jalan Yang Lurus Melainkan Sedikit Sekali, Maka
Ketahuilah Olehmu Firman ALLOH SWT Dalam QS.Al-Ahzab:59.

Demikianlah Yang Membedakan Kamu Dengan Wanita Kafir, Jika Kamu Berkumpul
Ditengah Keramaian Maka Tampaklah Orang-Orang Diantara Kamu Yang Berhijab Menurut
Syari’at Islam, Sedangkan Bagi Wanita Yang Tiada Berjilbab Dan Tidak Pula Dengan
Hidjab, Niscaya Kamulah Yang Menjadikan Dirimu Sama Dengan Wanita-Wanita Kafir Itu.

KETAHUILAH.., Bahwasanya Islam Itu Amatlah Keras Kepada KEKAFIRAN,


KEKUFURAN, KEMUDHARATAN, KEINGKARAN, Jika Kamu Merasa Berat Dengan
Syari’at Islam Yang Diwajibkan Atas Kamu, Maka Ambillah Olehmu Agama Selain
Daripada Islam, Karena Kamu Akan Dapat Bersukaria Dengan Sesamamu. Tapi Ukhty..,
INGATLAH..! Bahwa Sesungguhnya Hanya Agama Islam Yang Menyanjung-Nyanjung
Kesucianmu Lagi Meninggikan Derajatmu Dari Yang lain, Islam Begitu MENCINTAIMU,
MEMPERHATIKANMU, MENYAYANGIMU, MEMULIAKANMU, Memberi Kebaikan
Yang Tiada Henti-Hentinya Padamu, Melainkan Sebahagian Kamulah Yang Berpaling.

DALIL WAJIB MEMAKAI HIJAB ATAU MENUTUP AURAT

Dalil-dalil

Al ~ Qur'an surat An - Nur (24): 31


Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, supaya mereka menahan
sebagian penglihatan, memelihara kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya
(tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka - muka dan tangan). Dan hendaklah mereka
sampaikan kudungnya ke leher dan dadanya, dan tiada memperlihatkan perhiasannya
(tubuhnya), kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak suaminya, anak-anaknya, anak-anak
suaminya, saudara-saudaranya, anak saudara-saudaranya, anak-anak saudara perempuan
sesama perempuan, hamba sahaya kepunyaannya, laki-laki yang menjalankan kewajibannya
tetapi tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), dan anak-anak yang belum
mempunyai pengertian kepada aurat perempuan. Dan janganlah mereka pukulkan kakinya,
supaya diketahui orang perhiasannya yang tersembunyi. Dan tobatlah kamu semuanya
kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung

Al ~ Qur'an surat Al - Ahzab (33): 59


Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau, anak-anak engkau yang perempuan dan
perempuan-perempuan orang-orang yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan
baju dalamnya (ketika mereka berjalan ke luar). (Dengan) demikian itu mereka lebih patut
dikenal dan (karena itu) mereka tidak diganggu. Dan Alloh itu Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.

Hadist Shohih Abu Dawud No. 3945; Buku IV; halaman 521
Dari Khalid bin Duraik, dari Aisyah r. A. Asma' binti Abu Bakar R. A., pernah berkunjung
kepada Rasulullah S. A. W. memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah S. A. W. berpaling dari
padanya seraya bersabda: "Wahai Asma', sesungguhnya wanita apabila telah baligh, tidak
benar terlihat dari padanya kecuali ini... dan ini...". Beliau memberi isyarat kepada wajah dan
kedua tangannya.

arti asal jilbab:


menutupi kepala dengan kain sehingga kain menjulur hingga dada

arti luas:

berpakaian sesuai dengan aturan islam, yakni:


1. menutup aurat (dari perempuan yang boleh nampak kepada umum adalah wajah, dan
tangan, selebihnya aurat)
2. pakaian tidak tipis
3. pakaian tidak ketat
4. pakaian tidak minim
5. pakaian tidak transparan
6. pakaian tidak membentuk badan
nomor 1 (satu) hingga nomor 6 (enam) berlaku sekaligus, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Al ~ Qur’an surat Ali~Imran (3): 139


Dan janganlah kamu lemah (minder, rendah diri, dll.; peny.) dan janganlah bersedih hati,
padahal kamulah orang–orang yang paling tinggi (derajatnya; peny.) jika kamu beriman
(menjadi muslim; peny.).

Perintah dan Hukum Memakai Jilbab Bagi


Wanita Muslim
17 November, 2014 Dunia Islam Hukum Islam, Hukum Memakai Jilbab

Hukum Islam – Apakah kita sebagai wanita muslim


wajib memakai jilbab dan Bagaimana hukum memakai jilbab? Mungkin pertanyaan itu yang
muncul dalam benak wanita muslim. Apalagi dewasa ini banyak wanita kebanyakan tidak
memakai jilbab. Berikut penjelasan Perintah dan Hukum memakai jilbab Bagi Wanita
Muslim.

Apakah kita pernah mendengar dalam ceramah agama. Dalm ceramahnya ada yang
mengatakan seorang wanita yang tidak memakai jilbab, jangankan masuk surga, bau
surganya saja tidak diizinkan Allah.

Subhanaalah apakah kita sebagai wanita muslim tidak menyadari kalimat di atas ini adalah
suatu ancaman bagi wanita muslim. Mari kita perhatikan sepenggal cerita dibawah ini

Hukum Memakai Jilbab

Salah seorang perempuan cerdik & shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata:
“Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dgn
mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan
& kehancuran. Dan dgn hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah
mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab &
rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91)

Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan


masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)

Allah ta’ala berfirman,

ً ‫س ْوآتِ ُك ْم َو ِري‬
‫شا َو ِلبَاس‬ ً ‫َّللاِ لَعَلَّ ُه ْم ُُيَا بَنِي آدَ َم قَدْ أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم ِلبَا‬
َ ‫سا ي َُو ِاري‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫يَذَّ َّك ُرونَ التَّ ْق َوى ذَلِكَ َخي ٌْر ذَلِكَ ِم ْن آيَا‬

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian utk menutup
auratmu & pakaian indah utk perhiasan. & pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka
selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda,
“Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.”
Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dgn sesama
kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu utk tak menampakkan
aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya,
“Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?”
Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada
sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] & selainnya dgn sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah
li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

َّ َ‫اء ْال ُمؤْ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجالبِي ِب ِه َّن ذَلِكَ أَدْنَى أَ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَال يُؤْ ذَيْنَ َو َكان‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اجكَ َو َبنَاتِكَ َون‬
ِ ‫ألز َو‬ ُّ ِ‫يَا أَيُّ َها النَّب‬
ْ ‫ي قُ ْل‬
ً ُ‫َغف‬
‫ورا َر ِحي ًما‬

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang
mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. &
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dgn ayat hijab ini
memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dgn
mendahulukan istri & anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang
lebih penting daripada perempuan yang lainnya, & juga karena sudah semestinya orang yang
menyuruh orang lain utk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dgn keluarganya
sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang
artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian & keluarga kalian dari api
neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat
wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, & sesungguhnya terjadinya
perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dlm hal menutup wajah & dua telapak
tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah Mengenakan Jilbab/Hijab Khusus utk Isteri Nabi?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa
hijab (jilbab) adalah dikhususkan utk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab
Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan
lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan
membangkitkan syahwat orang yang di dlm hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah
perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya
kaum perempuan dari umat ini diharuskan utk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dlm perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-
Syinqithi mengatakan di dlm Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah:
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab,
yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian & hati mereka…” (QS. Al-Ahzab:
53) Alasan hukum yang disebutkan Allah dlm menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan
penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki & perempuan dari
godaan nafsu di dlm firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka & hati
kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman
hukum. Dengan begitu tak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani
mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tak
membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan & kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan
jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda
mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan
bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan,
tak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja,
meskipun lafal asalnya memang khusus utk mereka, karena keumuman sebab penetapan
hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan itu
maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan
apabila hukum yang tersimpan dlm ayat ini bersifat umum dgn adanya indikasi ayat Al-
Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan
penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)
Hakikat Jilbab

Di dlm kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah)
yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh & juga mencakup kerudung serta kain yang
melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal.
128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian
yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang &
semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung.
Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dlm Maktabah Syamilah
tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin
Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani & para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi
sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan
Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir,
Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an & As-
Sunnah sebagai berikut:

Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dlm hal menutup wajah &
kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian
ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah & kedua telapak tangan, hanya
saja menutupnya adalah sunnah & bukan sesuatu yang wajib.

Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang
artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS.
An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua
jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi
sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dgn warna selain hitam & beliau tak menyalahkan
mereka. Yang dimaksud dgn pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak
warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak & semacamnya. Meskipun begitu penulis
Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu
memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Pakaian itu harus tebal, tak boleh tipis supaya tak menggambarkan apa yang ada di baliknya.
Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya
adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dlm Shahih
Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis
sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh & tak menutupinya. Walaupun mereka
masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.

Harus longgar, tak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian
dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa
pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan
baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh
Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dlm
riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar
memakai busana ketat segera bertaubat.

Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang
memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka
mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud
& Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa
keluarnya perempuan dari rumahnya dgn memakai wangi-wangian & bersolek adalah
tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

Baca Juga : Memilih Menantu Ala Khalifah Umar Bin Khatab

Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja
menyerupai kaum perempuan & kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.”
(HR. Bukhari & lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan &
perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud & Ahmad dgn sanad
sahih)

Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi
kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika
itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR.
Muslim, Nasa’i & Ahmad)

Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud utk mencari popularitas. Yang dimaksud dgn
libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai utk mencari
ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk
memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan
dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan
mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR.
Abu Dawud & Ibnu Majah dgn sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dgn sedikit
perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Siapa Saja Yang Boleh Melepaskan Jilbab?

Allah ta’ala berfirman,

‫ت بِ ِزينَ ٍة َوأَ ْن يَ ْستَ ْع ِف ْفنَ َخي ٌْر‬ َ َ‫ْس َعلَ ْي ِه َّن ُجنَا ٌح أ َ ْن ي‬
ٍ ‫ض ْعنَ ثِيَا َب ُه َّن َغي َْر ُمتَبَ ِر َجا‬ َ ‫اء الالتِي ال يَ ْرجُونَ نِكَا ًحا فَلَي‬
ِ ‫س‬َ ِ‫َو ْالقَ َوا ِعد ُ ِمنَ الن‬
‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم‬ َّ ‫لَ ُه َّن َو‬
َ ُ‫َّللا‬

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid & mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dgn tak
(bermaksud) Menampakkan perhiasan, & berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dgn Al-Qawa’id adalah perempuan-
perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah
tak punya hasrat menikah utk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dgn perempuan yang duduk (Al-
Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan
tetapi pengertian ini tak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah
terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” …
“Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki
sudah tak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki
tak lagi berhasrat utk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang
Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tak diizinkan-Nya
kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula
kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dlm keadaan mempertontonkan perhiasan.”
Artinya: tak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan utk ditutupi sebagaimana
tercantum dlm firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tak menampakkan perhiasan mereka.”
Ini berarti: mereka tak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab
& sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi
mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan
yang terhenti haidh & melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir,
Maktabah Syamilah)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tak
menarik utk dinikmati & tak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah
Syamilah) Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan,
Qatadah & Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang
sudah terhenti haidnya & tak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir,
Maktabah Syamilah).
Adapun yang dimaksud dgn pakaian yang boleh dilepas dlm ayat ini adalah kerudung, jubah,
& semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.”
(QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tak melepas
pakaian tersebut (kerudung & semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada
mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah).

Penulis: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi,


sumber: www.muslimah.or.id

7. Ayat-ayat Al Qur’an & Hadits Nabi serta


Pendapat Para Ulama Fiqih Seputar
Kewajiban Menutupi ‘Aurat bagi Wanita
You are here:

1. Home
2. Artikel Wanita Solehah
3. 7. Ayat-ayat Al Qur’an &…

Sebelum kami memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an seputar kewajiban menutupi ‘aurat bagi
wanita, ada baiknya kami menyebutkan beberapa pengantar berikut ini:

Pertama

Syeikh Ibn Hajar dalam kitabnya Al-i’lam bi Qawathi’il Islam (hal. 164) berkata:
“Sesungguhnya orang yang menolak sebuah ketentuan hukum yang dinyatakan melalui
redaksi yang cukup tegas dan jelas dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, dan ketentuan tersebut
telah pasti maknanya serta dapat dipahami secara zhahir, maka orang tersebut telah kafir,
seperti disepakati oleh ulama Islam.”

Masih dalam kitab yang sama (hal.94) Ibn Hajar menuturkan “Di antara penyebab kekafiran
seseorang adalah ketika ia menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram menurut
kesepakatan ulama, seperti meminum minuman keras dan perbuatan liwath (homoseks) jika
hal itu diketahui dari agama secara pasti.”

Selanjutnya pada halaman 150 beliau juga menuturkan: “Barang siapa menyepelekan suatu
hukum syariat Islam, maka sungguh ia telah kafir.”

Kedua

Apabila makna suatu kata memiliki dua kemungkinan; salah satunya bermakna hakiki, yakni
makna yang sesungguhnya, dan yang satunya lagi bermakna majazi yakni metafor, maka
selagi tidak ditemukan adanya konteks yang mendukung salah satu dari makna tersebut,
maka kita cukup mengartikannya dengan makna kata tersebut yang sesungguhnya, yakni
makna dasarnya.

Misalnya ketika seseorang berkata, “Tadi aku melihat seekor singa” maka kita yang
mendengar ucapan tersebut, cukup mengartikan kata ‘singa’ pada kalimat di atas dengan arti
kata tersebut yang sesungguhnya, yakni bahwa orang itu telah melihat seekor binatang buas
yang bernama singa. Kita tentu tidak akan mengartikan kata ‘singa’ tersebut dengan artinya
yang majazi, yakni ungkapan kiasan bagi seorang pemberani, kecuali jika ada konteks
kalimat yang membenarkan pengartiannya dengan ‘seorang pemberani.’ Lain halnya ketika
dengan ucapan berikut ini: “Aku melihat ‘singa’ itu sedang berduel melawan musuh Allah.”
Maka, konteks kalimat tersebut membenarkan kita untuk mengartikan kata ‘singa’ dalam arti
seorang pemberani.”

Selanjutnya apabila sebuah dalil memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya bersifat
zhahir dan satunya lagi bermakna bathin maka sudah seharusnya kita memaknai dalil tersebut
dengan makna yang lebih dekat secara bahasa. Kita tidak boleh memaknainya dengan makna
jauh yang tidak zhahir, yakni mentakwil makna kata tersebut, kecuali setelah adanya alasan
akan pemaknaan demikian. Dalil tersebut MEWAJIBKAN WANITA UNTUK baru boleh
dimaknai dengan maknanya yang jauh, dengan syarat makna yang jauh tersebut sesuai
dengan makna bahasa yang ada.

Demikian garis besar penjelasan pengarang kitab Jam’ul Jawami beserta syarah-nya, (hal.
254/ 2, 313/ 1).
*****

Ayat-Ayat Al Qur’an Yang Mewajibkan Wanita Untuk Menutup ‘Auratnya, serta


Batasan-batasan ‘Auratnya

Ayat Pertama :

ۡ ‫آء ۡٱلـ ُم ۡؤ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلـَ ۡيهـ ِ َّن ِمن َج َٰلَبـِيبـ ِهـ ِ َّن ۚ َٰذَلِكَ أَدْنـ َ َٰ َٰٓى أَن يُعۡ َر ۡفنَ فـَلـَا ي‬
ۗ َ‫ُؤذين‬ ِ ‫س‬َ ِ‫ي قـُل لـِأ َ ۡز َٰ َو ِجكَ َوبَنـَاتِكَ َون‬ ُّ ِ‫َٰ َٰٓيَـأَيـ ُّ َها ٱلنَّب‬
٥٩ : ‫ورا َّر ِحي ًما )األحزاب‬ ً ُ ‫َوكـَانَ هللاُ غـَفـ‬

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita


(keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh
tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para
wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah
senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

QS. al-Ahzab ayat: 59

Pandangan Mufasir Ibn Katsir

Pada saat menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah
SWT memerintahkan Rasulnya Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk
memerintah kaum wanita mukminah untuk mengenakan jilbab, pakaian longgar yang
menutupi baju mereka, ke seluruh tubuh mereka, agar mereka tampil berbeda dengan ciri-ciri
kaum wanita Jahiliyah. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan bahwa Ibn Abbas pernah berkata,
Allah memerintahkan kaum wanita mukminah pada saat pergi keluar rumah mereka untuk
suatu keperluan, agar menutupi wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab dan
hanya memperlihatkan sebelah matanya saja. Muhammad Ibn Sirin pernah bertanya kepada
Abidah As-Salamani tentang maksud ayat 59 surah Al-Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah
mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh
kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya, dengan hanya
memperlihatkan mata kirinya saja. Ibn Abi Hatim dengan sanadnya menyebutkan bahwa,
Pada saat ayat di atas turun, kaum wanita Anshar pergi keluar dan seakan-akan burung-
burung gagak bertengger di atas kepala mereka, saking tenangnya mereka; dan ketika itu
mereka mengenakan pakaian-pakaian berwarna hitam.”

Pandangan Abu Hayyan

Pada saat menafsirkan ayat ini Abu Hayyan dalam Al-Bahrul Muhith-nya (hal.250/ 7)
menuturkan: “Firman- Nya: agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh
mereka) jilbab mereka artinya agar mereka dikenal selalu menutupi aurat mereka sehinga
mereka tampil dengan ketertutupan aurat, kesucian dan keterpeliharaan diri mereka sehingga
tidak ada satu pun para pelaku maksiat yang berhasrat kepada mereka. Lain halnya dengan
wanita yang selalu bersolek dan mempertontonkan keindahannya, karena wanita semacam ini
umumnya selalu menjadi obyek hasrat mereka. Diriwayatkan dari Ibn Jarir bahwa Ibn Abbas
(ra) berkata, Hijab dililitkan di atas dahi lalu ditarik dan dibelokkan ke atas hidung. Meski
kedua matanya tampak, namun hijab tersebut menutupi dada dan bagianwajahnya secara
umum. Demikianlah pula kebiasan penduduk Andalusi, tidak tampak dari kaum wanita di
negeri itu kecuali sebelah matanya saja.”
Pandangan Mufassir Al-Baidhawi

Dalam Tafsir- nya Al-Baidhawi (hal. 386/4) menyebutkan: “Firman-Nya, ‘agar mereka
mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka artinya mereka
menutupi wajah mereka dengan pakaian yang menyerupai selimut, di saat mereka hendak
pergi keluar rumah untuk suatu keperluan.”

*****

Pandangan Ash-Shabuni dalam Kitabnya Tafsyir Ayatul Ahkam

Pertama, Apakah mengenakan hijab itu hukumnya wajib bagi seluruh wanita?

Jawabannya: zhahir dari ayat diatasyangbunyinya: ” Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-
istrimu…”dan seterusnya menunjukkan bahwa mengenakan hijab hukumnya wajib bagi
seluruh kaum wanita mukminah.

Kedua, Bagaimana cara mengenakan hijab?

Allah (swt) memerintahkan kaum mukminah untuk mengenakan hijab dan jilbab, hal ini
diriwayatkan dari Ibn Jarir Muhammad Ibn Sirin pernah bertanya kepada ‘Ubaidah As-
Salmaani tentang maksud ayat 59 surah Al- Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah mengangkat
semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya
hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya, dengan hanya memperlihatkan
mata kirinya saja! Tafsir Ath-Thabari dan Al-Khazin.

Juga Abdur Razzaq dan sekelompok perawi meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika
ayat 59 surah Al-Ahzab ini turun kaum wanita Anshar keluar dari rumah-rumah mereka
seakan di atas kepala mereka bertengger burung-burung gagak, karena mereka mengenakan
pakaian-pakaian berwarna hitam.

AYAT KEDUA

ۡ َ‫ص ِره َِّن َويَ ۡحـفـ َ ۡظنَ فـ ُ ُرو َج ُه َّن َولـَا ي ُۡبـدِينَ ِزينَتـَ ُه َّن إِلـَّا َما ظـَ َه َر ِم ۡن َها ۖ َو ۡلـي‬
‫ض ِر ۡبنَ بـِ ُخ ُم ِرهـِ َّن‬ َ َٰ ‫ُضنَ ِم ۡن أ َ ۡب‬ ِ َ‫َوقـُل لـ ِ ۡل ُم ۡؤ ِم َٰن‬
ۡ ‫ت يَ ۡغض‬
(31 : ‫َعلَ َٰى ُجيُوبِهـ ِ َّن ۖ … )النور‬

Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) kepada wanita- wanita mukminah, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka
menampakkan hiasan (pakaian, atau bagian tubuh) mereka kecuali yang (biasa) nampak
darinya dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (QS. an-Nur
[24]: 31).

Ayat ini merupakan seruan kepada seluruh kaum mukminah baik mereka ibu-ibu kaum
mukminin atau selain mereka, entah mereka bangsa Arab maupun non- Arab.

Pandangan Mufassir Ibn Katsir

“Firman-Nya, ‘dan janganlah mereka menampakkan hiasan (pakaian, atau bagian tubuh)
mereka kecuali yang (biasa) nampak darinya’ yakni mereka tidak memperlihatkan sedikitpun
hiasan yang menampilkan keindahan mereka kepada pria asing yang bukan muhrim, kecuali
hiasan yang tidak dapat disembunyikan. Ibn Mas’ud (ra) memahami makna hiasan yang
boleh nampak adalah pakaian yakni yang umumnya digunakan wanita- wanita Arab.
Sedangkan yang terlihat dari bawah pakaian mereka, hal itu diperbolehkan karena ia tak
dapat disembunyikan. Dalam hal ini yang sependapat dengan Ibn Mas’ud adalah Al-Hasan,
Ibn Sirin, Abu Jawza, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka. Al-A’masy meriwayatkan dari
Sa’id bin Jubair pendapat Ibn ‘Abbas bahwa yang boleh nampak adalah wajah, kedua telapak
tangan dan cincin wanita. Riwayat lain yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Abbas menyebutkan
bahwa maksud dari hiasan yang boleh nampak di sini adalah pakaian yang terlihat. Malik
dari Az-Zuhri meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan hiasan yang boleh nampak di sini
cincin dan gelang kaki wanita.”

“Sedangkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada


mereka’ yakni menutupi kepala mereka sampai ke dada mereka dengan kerudung.
Khimâradalah sesuatu yang dijadikan sebagai penutup kepala yang menjulur ke dadanya
sehingga dada dan lehernya, sehingga dengan demikian kaum wanita mukminah berbeda
dengan kaum wanita Jahiliyyah yang tidak melakukan hal itu, bahkan mereka biasa berlalu
melintas di depan kaum lelaki dalam keadaan dada-dada mereka terbuka sehingga tidak ada
sedikitpun yang tersembunyi darinya. Atau boleh jadi mereka memperlihatkan leher mereka,
jambul-jambul kepala, dan anting telinga mereka. Karena itu Allah SWT memerintahkan
kaum mukminah untuk menutupi ‘aurat mereka dalam bentuk dan kondisi mereka yang
tersendiri, berbeda dengan wanita selain mereka. Al-Bukhâri meriwayatkan bahwa pernah
suatu saat Aisyah (ra) berkata, ‘Semoga Allah merahmati kaum mukminah dari kalangan
Muhajiraat generasi pertama ketika Allah menurunkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka
menutupkan kerudung mereka ke dada mereka’ ketika itu mereka serta-merta memotong dan
kain-kain mereka lalu mereka mengenakannya (sebagai penutup kepala sampai ke dada
mereka, sesuai perintah Allah SWT pada ayat tersebut—pent.). Melalui sanadnya Ibn Abi
Hatim meriwayatkan bahwa Aisyah (ra) berkata, ‘Pada saat Allah SWT menurunkan firman-
Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka’ kaum pria
kembali ke rumah-rumah mereka seraya membacakan ayat tersebut kepada istri-istri mereka.
Maka, tak ada seorangpun dari para istri tersebut melainkan segera mengambil kain dan
memakainya, sebagai bentuk keimanan dan pembenaran mereka atas firman-Nya. Mereka
lantas berada di belakang Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam dengan mengenakan penutup kepala seperti yang Allah SWT perintahkan tadi, seakan
di atas kepala-kepala mereka bertengger burung-burung gagak.”

AYAT KETIGA

…53 : ‫اب َٰذَ ِل ُك ۡم أ َ ۡۡط َه ُر ِلقـُلـُوبـِكـ ُ ۡم َوقـُلـُوبِهـ ِ َّن ۚ … )األحزاب‬


ٍ ۚ ‫سأ َ ۡلـتـ ُ ُموه َُّن َم َٰت َعًا فـ َ ۡسـَئ َلـُوه َُّن ِمن َو َرآَٰ ِء ِح َج‬
َ ‫َوإذا‬

Dan apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir (yang menutupi kalian dan mereka). Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hati kamu dan hati mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 53)

Ayat di atas adalah seruan kepada kalangan ibu-ibu kaum mukminah, yakni istri-istri
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Meski demikian, ayat ini
berlaku umum untuk setiap wanita mukminah, mengingat penggalan akhir ayat di atas yang
berbunyi, Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka, yang
merupakan satu-satunya bukti bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi setiap wanita
mukminah. Karena itu, tidak ada satu orang pun dari kalangan muslimin yang mengatakan
bahwa selain wanita istri-istri Nabi Muhammad (saw) tidak membutuhkan kesucian hati
mereka dan hati para kaum laki-laki.

Dalam ilmu Ushul Fiqh ditetapkan bahwa ‘Ulat pemberlakuan suatu hukum itu sifatnya
universal, umum tidak terbatas hanya pada ma’lul-nya saja. Dalam Maraqi As-Su’ud
disebutkan, ‘Suatu ‘illat bisa bersifat khusus atau umum, namun tak dapat dibatasi pada
ma’lul-nya saja.’ Demikian disebutkan dalam Adhwa’ul Bayan (hal. 383/ 6).

AYAT KEEMPAT

ْ ‫َوقَ ۡرنَ فِي بُيُوتِكـ ُ َّن َوَُ ال تَبَ ُّر ۡجنَ ت َ َب ُّر َج ۡٱل َٰ َج ِه ِليَّ ِة‬
33 : ‫ٱألولَ َٰ ۖى … )األحزاب‬

“Dan tetaplah kamu (tinggal) di rumah kamu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan
bertingkah laku) seperti tabarruj Jahiliah pertama….”

(QS. al-Ahzab ayat: 33).

Dalam tafsirnya, Al-Baghawi mengartikan kata wa qarna dengan tetaplah selalu berada di
rumah kalian. Sedangkan tabarruj dipahaminya sebagai berjalan lenggak-lenggok,
berpenampilan penuh keangkuhan. Ada juga yang mengartikannya sebagai memperlihatkan
hiasan dan keindahan kepada kaum pria. Sedangkan maksud dari Jahiliyah pertama adalah
masa di antara NabiIsa dan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam. Ada juga yang berpendapat masa Nabi Daud (as) dan Sulaiman (as), dan ada lagi yang
mengartikannya sebagai masa sebelum Islam. Lawan dari Jahiliyah pertama adalah Jahiliyah
kedua, yakni pada saat sekelompok umat manusia di akhir zaman melakukan pekerjaan
seperti yang di lakukan di masa Jahiliyah pertama, di mana kaum wanita ketika itu
mengenakan pakaian yang dihiasi permata, tidak dijahit dari kedua sisinya.

Mengomentari ayat di atas, Ibn Katsir dalam tafsirnya (hal. 48/ 3) berkata, “Ini merupakan
sekumpulan ketentuan etika yang Allah SWT perintahkan istri-istri Nabi Shalallahu alaihi wa
aalihi wa shahbihi wa salam untuk berpedoman kepada ketentuan- ketentuan tersebut. Dalam
hal ini, segenap kaum wanita muslimah juga tergolong ke dalam kelompok mereka yang
diperintahkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut.

AYAT KELIMA

َ َ‫س َعلَ ۡيهـ ِ َّن ُجنـ َا ٌح أَن ي‬


‫ضعۡ نَ ثِيَاب‬ َ ‫آء ٱلـتِي ال يَ ۡرجُونَ نِكـَا ًحا فَلَ ۡي‬
ِ ‫س‬َ ِ ‫ت بِ ِزين َۖة َوأَن يَ ۡسـت َعۡ ـ ِف ۡفنَ َُ َو ۡٱلـقَ َٰ َو ِعد ُ ِمنَ ٱلنـ‬ِ ِۢ ‫ه َُّن غ َۡي َر ُمتـَبَ ِر َٰ َج‬
( ٦٠ :‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم )النور‬ َ ُ‫ـر لـ َّ ُه ۗ َّن َو هللا‬ ٌ ‫خ َۡي‬

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid) yang biasanya tidak
berhasrat lagi menikah, maka tidaklah ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian
(luar) mereka (yang biasa pakai di atas pakaian yang lain yang menutupi aurat mereka)
dengan (tidak bermaksud) menampakkan perhiasan (angota tubuh yang diperintahkan Allah
untuk ditutup) dan memelihara (diri mereka) sungguh-sungguh dengan menjaga kesucian
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. an-
Nur [24]: 60)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (hal. 1401/ 3)
berkata: “Mereka adalah wanita-wanita yang telah masuk usia tua yang tidak lagi mengalami
haid, tidak pula dapat melahirkan. Bahwa yang dimaksud dari ‘melepaskan pakaian itu’ pada
ayat di atas adalah: Salah satunya mengandung arti Jilbab yakni pakaian longgar yang
menutupi baju dan kerudungnya. Sedangkan makna kedua dari kalimat ‘melepaskan pakaian
diatas itu ‘ adalah melepas kerudungnya di rumahnya dan dari belakang tabir penghalang
baik berupa baju kain atau dinding. Sementara makna firman-Nya dengan (tidak bermaksud)
menampakkan perhiasan yakni tidak memperlihatkan anggota tubuh yang Allah perintahkan
untuk ditutup, tidak pula mengenakan perhiasan sehingga mengundang pandangan kaum pria
asing terhadap mereka.

*****

Hadits-hadits Nabi dan Pendapat Para Ulama Salaf seputar ‘Aurat Wanita

Terdapat sejumlah hadis dan pernyataan para ulama salaf selain yang telah kami sebutkan di
atas di saat menafsirkan ayat-ayat terkait, tentang sejumlah ketentuan bagi kaum wanita
muslimah dalam hal menutupi ‘aurat serta batasan-batasannya. Antara lain sebagai berikut:

1. Diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim dari kakeknya yang pernah bertanya kepada
Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagian manakah dari ‘aurat kami yang boleh kami
tutupi dan kami biarkan tampak?” Rasulullah menjawab, “Jagalah dan jangan kau
perlihatkan ‘auratmu kecuali kepada istrimu atau kepada budak sahayamu.” HR. Abu
Dawud dan At- Turmudzi
2. Dari Abu Said Al-Khudri diriwayatkan bahwa suatu saat Nabi pernah bersabda,
“Seorang pria tidak diperkenankan melihat ‘aurat wanita, begitupula wanita tidak
boleh melihat ‘aurat wanita sesamanya.” HR. Muslim, Abu Daud dan At-Turmdzi.
3. Aisyah (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi
wa salam bersabda, ” Allah tidak akan menerima Shalatnya seorang wanita haid
(baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” Diriwayatkan oleh lima orang
pengarang kitab induk hadits, kecuali An-Nasai.
4. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam bersabda, “Barang siapa mengenakan pakaian seraya menariknya dengan
maksud tampil dalam keadaan sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya
kelak di hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan yang diperbuat
oleh kaum wanita dengan pakaian mereka yang memiliki ‘ekor?” Rasul Shalallahu
alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Boleh mengulurkannya sejengkal”.
“Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap” kata Umu Salamah. “Diulurkan
lagi sehasta dan tidak boleh lebih dari itu.” HR. At-Turmudzi dan dianggap shahih
olehnya.
5. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali RA pernah berkata, “Aku menghadiahkan kepada
Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebuah pakaian yang
mengandung campuran kain sutera. Nabi kemudian mengembalikannya lagi kepadaku
maka aku pun memakainya. Lantas aku melihat kemurkaan tampak pada wajah Nabi
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam seraya bersabda,
“Sesungguhnya aku tidak mengembalikannya kepadamu bukan untuk kau pakai,
melainkan untuk kau potong-potong lalu kau jadikan sebagai kerudung bagi kaum
wanita.” Hadits ini disepakati keshahihannya.
6. Ibn Abbas berkata, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam melaknat kalangan wanita yang meniru-niru gaya kaum pria , begitu pula
sebaliknya beliau melaknat kalangan pria yang meniru-niru gaya kaum wanita.” HR.
Al-Bukhari dan Abu Daud.
7. Anas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam pernah mendatangi putrinya Fatimah Az-Zahra (ra) bersama seorang hamba
sahaya yang telah diberikannya kepada putrinya, sedangkan ketika itu Fatimah
mengenakan kain yang jika dengan pakaian tersebut ia menutupi kepalanya, maka
kain penutup itu tidak sampai kepada kedua kakinya, dan jika kain itu digunakan
sebagai penutup kedua kakinya maka kepalanya tidak tertutupi. Melihat hal demikian
Rasulullah Shalallahu alahi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Hal itu tidak
masalah engkau mengenakan kain penutup tersebut, karena yang ada di hadapanmu
hanyalah ayah dan budak sahayamu.”
8. Disebutkan dalam Fathul Bari fi Syarh Shahih Al- Bukhari (hal. 248/ 9) disebutkan:
“Wanita dibolehkan keluar dari rumahnya secara kontinyu untuk pergi ke masjid,
pasar dan perjalanan dengan syarat harus dalam keadaan mengenakan niqab penutup
wajah agar mereka tidak dilihat oleh kaum pria. Sementara kaum pria tidak
diperintahkan demikian. Al-Ghazali berkata, ‘Sebab, kaum pria sepanjang zaman
senantiasa wajah mereka tersingkap sedangkan kaum wanita keluar dalam keadaan
menutup wajah-wajah mereka.’”
9. Masih dari kitab Fathul Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari (hal.248/ 9) disebutkan, Dari
bab pelarangan kaum pria yang meniru gaya perempuan untuk masuk ke hadapan
perempuan, disimpulkan bahwa kaum wanita seharusnya menutupi wajah mereka dari
siapa saja yang bisa melihat keindahannya.
10. Dalam Hasyiat Al-Futuhat Al-Ilahiyyah ‘ala Tafsir AL- Jalalayn (hal 436/ 3), Ibn
Arabi berkata, “Saya sudah pernah memasuki sekitar 1000 lebih perkampungan dan
aku tidak pernah melihat satu orang wanitapun berada di jalanan di siang hari kecuali
pada hari Jum’at karena mereka keluar untuk melaksanakan salat Jumat di mesjid-
mesjid. Dan ketika shalat jum’at telah dilaksanakan, mereka kembali ke rumah-rumah
mereka lantas saya tak menemukan satu orang pun dari mereka yang berada di luar.
Saya baru dapat melihat mereka lagi di hari Jum’at yang berikutnya. Demikian pula,
di Masjidil Aqsha saya menemukan wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka
keluar dari tempat-tempat mereka beritikaf sampai mereka mati syahid di tempat itu.”

Kata JIL: Jilbab Bukan Kewajiban Namun


Pilihan (1)
Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah sebagaimana
dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata bahwa siapa yang menentang
wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad. Sedangkan …
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 11 June 2012

29 19084 26
Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah sebagaimana dikira
segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata bahwa siapa yang menentang wajibnya
jilbab, maka ia kafir dan murtad. Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena
mengikuti segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang berdosa,
namun tidak kafir.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab

Allah Ta’ala berfirman,


َّ َ‫اء ْال ُمؤْ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َج ََل ِبي ِب ِه َّن ذَلِكَ أَدْنَى أَ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَ ََل يُؤْ ذَيْنَ َو َكان‬
ً ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ورا‬ ِ ‫س‬ ِ ‫ي قُ ْل ِِل َ ْز َو‬
َ ِ‫اجكَ َوبَنَاتِكَ َون‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب‬
‫َر ِحي ًما‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.

Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,

ِ ‫) َوقُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِمنَا‬30( َ‫ص َنعُون‬


‫ت‬ ْ ‫ير ِب َما َي‬ ٌ ‫َّللاَ َخ ِب‬َّ ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَلِكَ أ َ ْزكَى لَ ُه ْم ِإ َّن‬ ُ ‫ار ِه ْم َو َيحْ َف‬ِ ‫ص‬َ ‫قُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِمنِينَ َيغُضُّوا ِم ْن أ َ ْب‬
َ ْ َ َّ
َ‫ظنَ ف ُرو َج ُه َّن َو ََل يُ ْبدِينَ ِزينَتَ ُه َّن إَِل َما ظ َه َر ِم ْن َها َوليَض ِْربْنَ بِ ُخ ُم ِره َِّن َعلى ُجيُوبِ ِه َّن َو ََل يُ ْبدِين‬ ُ ْ َ‫اره َِّن َويَحْ ف‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ضضْنَ ِم ْن أ َ ْب‬ ُ ‫يَ ْغ‬
‫َاء بُعُولَتِ ِه َّن أ َ ْو ِإ ْخ َوانِ ِه َّن أَ ْو بَنِي ِإ ْخ َوا ِن ِه َّن أ َ ْو بَنِي أَخ ََواتِ ِه َّن أَ ْو‬
ِ ‫اء بُعُولَ ِت ِه َّن أ َ ْو أ َ ْبنَا ِئ ِه َّن أ َ ْو أ َ ْبن‬
ِ َ‫ِزينَتَ ُه َّن ِإ ََّل ِلبُعُولَ ِت ِه َّن أَ ْو آَبَائِ ِه َّن أَ ْو آَب‬
َ‫اء َوَل‬ ِ ‫س‬ ِّ
َ ِ‫ت الن‬ َ ْ َ
ِ ‫الطف ِل الذِينَ ل ْم يَظ َه ُروا َعلى َع ْو َرا‬ َّ ْ ِّ َ
ِ ‫اْل ْربَ ِة ِمنَ ال ِ ِّر َجا ِل أ ِو‬ ُ
ِ ‫َت أ َ ْي َمانُ ُه َّن أ َ ِو التَّابِعِينَ َغي ِْر أو ِلي‬
ْ ْ ‫سائِ ِه َّن أ َ ْو َما َملَك‬ َ ِ‫ن‬
ْ
)31( َ‫َّللاِ َج ِميعًا أَيُّ َها ال ُمؤْ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ َّ ‫يَض ِْربْنَ ِبأ َ ْر ُج ِل ِه َّن ِليُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِينَ ِم ْن ِزينَ ِت ِه َّن َوتُوبُوا ِإلَى‬

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ َو َي ْعت َِز ُل‬، ‫ فَ َي ْش َهدْنَ َج َما َعةَ ْال ُم ْس ِل ِمينَ َودَع َْوت َ ُه ْم‬، ‫ُور‬
ِ ‫ت ْال ُخد‬ َ ‫ت أ ُ ِم ْرنَا أ َ ْن نُ ْخ ِر َج ْال ُحي‬
ِ ‫َّض َي ْو َم ْال ِعيدَي ِْن َوذَ َوا‬ ْ َ‫َع ْن أ ُ ِ ِّم َع ِطيَّةَ قَال‬
» ‫اح َبت ُ َها ِم ْن ِج ْلبَابِ َها‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ قَا َل « ِلت ُ ْلبِ ْس َها‬. ٌ‫ْس لَ َها ِج ْلبَاب‬ َ ‫ إِحْ دَانَا لَي‬، ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ت ا ْم َرأَة ٌ يَا َر‬
ِ َ‫ قَال‬. ‫صَلَّه َُّن‬ َ ‫َّض َع ْن ُم‬ ُ ‫ْال ُحي‬

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk
mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum
muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka.
Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki
jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan
jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah
dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.
Apa Itu Jilbab?

Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar
(kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan
dadanya.[1] Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel
karena menutupi kepala dan dada sekaligus.

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’)[2] yang
menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al
Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini,
jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah”
(kain penutup).[3]

Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar
dari khimar.[4] Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh
badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah,
salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda,

‫ِلت ُ ْل ِب ْس َها أ ُ ْخت ُ َها ِم ْن ِج ْلبَا ِب َها‬

“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar


tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata
saja.”[5]

Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau
nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu
mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita
menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka
(bukan budak).”[6]

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup
atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian.
Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.[7]

Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.

‫ أمر هللا نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من‬:‫ عن ابن عباس‬،‫قال علي بن أبي طلحة‬
.‫ ويبدين عينًا واحدة‬،‫فوق رؤوسهن بالجَلبيب‬

‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan
kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah
dan atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”[8]

‫ فغطى وجهه ورأسه‬، } ‫ { يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجَلبِيبِ ِه َّن‬:‫ سألت َعبيدة َ السِّلماني عن قول هللا تعالى‬:‫وقال محمد بن سيرين‬
.‫وأبرز عينه اليسرى‬

Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani mengenai firman
Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka”, lalu beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya
menampakkan mata sebelah kiri.”[9]

Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab

Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan
ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul
“Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya,
beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci
sebagai berikut[10]:

Pertama: Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan
apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa
pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai
jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan
seseorang.

Sanggahan:

Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang
liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah
seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:

‫العلم قال هللا قال رسوله‬

“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits
yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.[11]

Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana


kata Tholq bin Habib,

َّ ‫اب‬
ِ‫َّللا‬ َ َ‫َاف َعذ‬ ٍ ُ‫َّللاِ َعلَى ن‬
َّ ‫ور ِم ْن‬
َ ‫َّللاِ تَخ‬ ِ ‫َّللاِ َوأ َ ْن تَتْ ُركَ َم ْع‬
َّ َ‫صيَة‬ َّ َ‫َّللاِ ت َْر ُجو َرحْ َمة‬ ٍ ُ‫َّللاِ َعلَى ن‬
َّ ‫ور ِم ْن‬ َ ِ‫ أَ ْن ت َ ْع َم َل ب‬: ‫الت َّ ْق َوى‬
َّ ‫طا َع ِة‬

“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka
mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari
Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12] Bukankah kewajiban mengenakan jilbab
sudah diperintahkan dalam ayat,

‫اء ْال ُمؤْ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َج ََل ِبي ِب ِه َّن‬
ِ ‫س‬ ِ ‫ي قُ ْل ِِل َ ْز َو‬
َ ِ‫اجكَ َو َبنَاتِكَ َون‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“
(QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,

‫َو ْليَض ِْربْنَ بِ ُخ ُم ِره َِّن َعلَى ُجيُوبِ ِه َّن‬

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas
perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia
wanita yang berjilbab ditutup dengan,

َ‫َّللاِ َج ِميعًا أَيُّ َها ْال ُمؤْ ِمنُونَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬


َّ ‫َوتُوبُوا إِلَى‬

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk
maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan
pikirannya.

Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh
saja menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih
bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak
jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).

Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan
diraih dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13]
Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.

Kedua: Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika
dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak
harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak
mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya.
Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu
menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”

Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak
menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap
kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi
terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga
menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya.
Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”

Sanggahan:

Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan
bukan suatu kewajiban?

Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu
pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan
jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama
menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan
bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan
wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan
jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.

Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk
aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor
barangkali perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal
berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan
pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut
didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang
wanita.

Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya
rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan
(sebagai penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan
tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari dengan
hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas
tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa salam bersabda,

‫ان‬
ِ ‫اْلي َم‬
ِ ‫ف‬ ْ َ‫سانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ ِبقَ ْل ِب ِه َوذَلِكَ أ‬
ُ ‫ض َع‬ َ ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْنك ًَرا فَ ْليُغَ ِي ِّْرهُ ِبيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ ِب ِل‬

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan


tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila
tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 49)

Bersambung ke Kata JIL: Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan (2)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/9411-kata-jil-jilbab-bukan-kewajiban-namun-pilihan-1.html

Anda mungkin juga menyukai