Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mendapat ASI adalah hak mutlak dari seorang anak, anak berhak untuk
mempunyai kehidupan yang lebih baik dan mendapat asupan yang tak tergantikan,
seperti halnya bunda yang ingin selalu memberikan yang baik, dan mempunyai
kualitas hidup baik. Fasilitas kesehatan mempunyai peranan penting untuk
mendukung dan membantu ibu untuk menyusui, meski ironinya anak-anak yang
lahir dari ibu yang dibantu tenaga kesehatan atau melahirkan di fasilitas kesehatan
lebih cenderung mendapatkan makanan prelaktal (sebelum ibu menyusui)
dibandingkan yang lain.

Untuk mendukung menyusui, World Health Organisasi (WHO) mendorong


semua fasilitas yang menyediakan layanan persalinan dan perawatan bayi baru lahir
untuk mengikuti "Sepuluh Langkah Menyukseskan Menyusui" termasuk "tidak
memberi dot atau empeng buatan". Bayi yang terbiasa meminum susu dari botol
memiliki pola mengisap yang berbeda dibandingkan bayi yang langsung menyusu
darin payudara. Bayi akan mengalami kesulitan menyusu langsung melalui
payudara pabila sudah terbiasa menggunakan botol susu meskipun kondisi payudara
dalam tahapan memproduksi asi. Semakin dini bayi dikenalkan dengan botol susu
(dot), semakin besar kemungkinan pada akhirnya bayi terebut mengalami bingung
puting bahkan dapat berdampak terhadap penolakan payudara dan terjadi kegagalan
menyusui (Praborini, Purnamasari, Munandar, & Wulandari, 2016).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana fisiologi menyusui?


2. Apa saja penyebab terjadinya bingung puting?
3. Bagaimana tanda bayi mengalami bingung puting?
4. Bagaimana perbedaan proses menyusui langsung melalui payudara dengan
botol dot?

1
5. Bagaimana perbedaan proses menyusui pada bayi yang mengalami
ankyloglossia?
6. Apa saja dampak dari bingung puting?
7. Bagaimana penatalaksanaan bingung puting?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan perawatan terhadap


permasalahan kebingungan puting susu di rumah sakit (rawat inap) dalam mencapai
keberhasilan menyusui dan manajemennya sebagai intervensi untuk pasien bingung
puting.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fisiologi Menyusui

1. Mekanisme Pengeluaran ASI


Payudara menghasilkan asi saat bayi menghisap payudara dan menstimulasi
ujung saraf. Saraf memerintahkan otak untuk mengeluarkan dua hormon, yaitu
prolaktin dan oksitosin. Prolaktin merangsang alveoli, untuk menghasilkan lebih
banyak air susu. Oksitosin menyebabkan sel-sel otot disekitar alveoli
berkontraksi, mendorong air susu masuk kesaluran dan akhirnya bayi dapat
menghisapnya. Semakin bayi menghisap, semakin banyak susu yang dihasilkan.
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
belum keluar karena pengaruh hormon estrogen yang masih tinggi. Kadar
estrogen dan progesteron akan menurun pada saat hari ke dua atau ke tiga
pasca-persalinan sehingga terjadi sekresi ASI.
Pada proses laktasi terdapat dua reflek yang berperan, yaitu reflek prolaktin
dan reflek aliran yang timbul akibat perangsangan puting susu dikarenakan
hisapan bayi (Yen et al, 1999).
1) Refleks Prolaktin
Pada akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan untuk
membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas karena aktivitas
prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya memang
tinggi. Setelah partus berhubung lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya
korpus luteum maka estrogen dan progesteron berkurang, ditambah dengan
adanya isapan bayi yang merangsang puting susu akan merangsang ujung -
ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis
hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor - faktor yang menghambat
sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor - faktor yang
memacu sekresi prolaktin. Faktor - faktor yang memacu sekresi prolaktin akan
merangsang hipofise anterior sehingga keluar prolaktin. Hormon ini
merangsang sel - sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.

3
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan
setelah melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan
ada peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu
tetap berlangsung (Yen et al, 1999)

2) Reflek Let down


Bersama dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior,
rangsangan yang berasal dari isapan bayi ada yang dilanjutkan ke hipofise
posterior (neurohipofise) yang kemudian dikeluarkan oksitosin.
Melalui aliran darah, hormon ini diangkat menuju uterus yang dapat
menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ
tersebut. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah diproduksi keluar
dari alveoli dan masuk ke system duktus dan selanjutnya mengalir melalui
duktus lactiferus masuk ke mulut bayi (Yen et al, 1999).

2. Hormon yang Menpengaruhi Pembentukan ASI

Hormon-hormon yang mempengaruhi pembentukan ASI adalah sebagai


berikut (Susilani A. T, Kurniawan H. 2016):
1. Progesteron
Mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat progesteron dan
estrogen menurun sesaat setelah melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi
secara besar-besaran.
2. Estrogen
Menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat estrogen
menurun saat melahirkan dan tetap rendah untuk beberapa bulan selama tetap
menyusui. Karena itu, sebaiknya ibu menyusui menghindari KB hormonal
berbasis hormon estrogen, karena dapat mengurangi jumlah produksi ASI.
3. Prolaktin
Berperan dalam membesarnya alveoil dalam kehamilan. Dalam fisiologi
laktasi, prolaktin merupakan suatu hormon yang disekresikan oleh glandula
pituitary. Hormon ini memiliki peranan penting untuk memproduksi ASI,
kadar hormon ini meningkat selama kehamilan. Kerja hormon ini dihambat

4
oleh hormon plasenta. Peristiwa lepas atau keluarnya plasenta pada akhir
proses persalinan akan membuat kadar estrogen dan progesteron
berangsur-angsur menurun sampai tingkat dapat dilepaskan dan
diaktifkannya prolaktin. Peningkatan kadar prolaktin akan menghambat
ovulasi dengan kata lain mempunyai fungsi kontrasepsi.
4. Oksitosin
Hormon ini mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat melahirkan
dan setelahnya, seperti halnya juga dalam orgasme. Setelah melahirkan,
oksitosin juga mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk memeras
ASI menuju saluran susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu
let-down / milk ejection reflex.
5. Human placental lactogen (HPL)
Sejak bulan kedua kehamilan, plasenta mengeluarkan banyak HPL, yang
berperan dalam pertumbuhan payudara, puting, dan areola sebelum
melahirkan.
Pada bulan kelima dan keenam kehamilan, payudara siap memproduksi ASI.
Namun, ASI bisa juga diproduksi tanpa kehamilan (induced lactation).

3. Laktogenesis
Tapan-tahapan dalam produksi ASI (Susilani A. T, Kurniawan H. 2016):
1. Laktogenesis I
Pada fase terakhir kehamilan, payudara wanita memasuki fase
Laktogenesis I. Saat itu payudara memproduksi kolostrum, yaitu berupa cairan
kental yang kekuningan. Pada saat itu, tingkat progesteron yang tinggi
mencegah produksi ASI sebenarnya. Tetapi bukan merupakan masalah medis
apabila ibu hamil mengeluarkan (bocor) kolostrum sebelum lahirnya bayi, dan
hal ini juga bukan indikasi sedikit atau banyaknya produksi ASI sebenarnya
nanti.

2. Laktogenesis II
Saat melahirkan, keluarnya plasenta menyebabkan turunnya tingkat
hormon progesteron, estrogen, dan HPL secara tiba-tiba, namun hormon
prolaktin tetap tinggi. Hal ini menyebabkan produksi ASI besar-besaran yang
dikenal dengan fase Laktogenesis II.

5
Apabila payudara dirangsang, level prolaktin dalam darah meningkat,
memuncak dalam periode 45 menit, dan kemudian kembali ke level sebelum
rangsangan tiga jam kemudian. Keluarnya hormon prolaktin menstimulasi sel
di dalam alveoli untuk memproduksi ASI, dan hormon ini juga keluar dalam
ASI itu sendiri. Penelitian mengindikasikan bahwa level prolaktin dalam susu
lebih tinggi apabila produksi ASI lebih banyak, yaitu sekitar pukul 2 pagi
hingga 6 pagi, namun level prolaktin rendah saat payudara terasa penuh.
Hormon lainnya, seperti insulin, tiroksin, dan kortisol, juga
terdapat dalam proses ini, namun peran hormon tersebut belum diketahui.
Penanda biokimiawi mengindikasikan bahwa proses laktogenesis II dimulai
sekitar 30-40 jam setelah melahirkan, tetapi biasanya para ibu baru merasakan
payudara penuh sekitar 50-73 jam (2-3 hari) setelah melahirkan. Artinya,
memang produksi ASI sebenarnya tidak langsung setelah melahirkan.
Kolostrum dikonsumsi bayi sebelum ASI sebenarnya. Kolostrum
mengandung sel darah putih dan antibodi yang tinggi daripada ASI sebenarnya,
khususnya tinggi dalam level immunoglobulin A (IgA), yang membantu
melapisi usus bayi yang masih rentan dan mencegah kuman memasuki bayi.
IgA ini juga mencegah alergi makanan .Dalam dua minggu pertama setelah
melahirkan, kolostrum pelan pelan hilang dan tergantikan oleh ASI
sebenarnya.

3. Laktogenesis III
Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI selama
kehamilan dan beberapa hari pertama setelah melahirkan. Ketika produksi ASI
mulai stabil, sistem kontrol autokrin dimulai. Fase ini dinamakan Laktogenesis
III. Pada tahap ini, apabila ASI banyak dikeluarkan, payudara akan
memproduksi ASI dengan banyak pula. Penelitian berkesimpulan bahwa
apabila payudara dikosongkan secara menyeluruh juga akan meningkatkan
taraf produksi ASI. Dengan demikian, produksi ASI sangat dipengaruhi
seberapa sering dan seberapa baik bayi menghisap, dan juga seberapa sering
payudara dikosongkan.

6
4. Mekanisme Menyusui

Terdapat tiga reflek yang penting dalam mekanisme bayi menyusu, yaitu :

1. Reflek menangkap (rooting reflex) Timbul bila bayi lahir tersentuh pipinya,
bayi akan menoleh kearah sentuhan. Bila bibirnya di rangsang dengan papilla
mamme, maka bayi akan membuka mulut dan berusaha menangkap putting
susu. (Perinasia, 2004).

2. Reflek menghisap (sucking reflex) Reflek ini timbul apabila langit – langit
mulut bayi tersentuh, biasanya oleh puting. Supaya puting mencapai bagian
belakang palatum maka sebagian besar areola harus tertangkap mulut bayi.
Dengan demikian maka sinus laktiferus yang berada dibawah areola akan
tertekan antara gusi, lidah dan palatum, sehingga ASI terperas keluar (Perinasia,
2004).

3. Reflek menelan (swallowing reflkex) Segera setelah mulut bayi penuh dengan
ASI, ia akan menelannya. Biasanya bayi belajar menghisap dan menelan pada
akhir bulan ke delapan kehamilan (Perinasia, 2004).

B. Bingung Puting

1. Tanda Bayi Mengalami Bingung Puting


Zimmerman membagi kebingungan puting menjadi dua jenis, A dan B. Tipe
A menggambarkan kesulitan neonatus dalam membuat konfigurasi mulut yang
diperlukan, membuat perlekatan yang baik dan masalah dalam menyusu langusng
melalui payudara setelah sebelumnya terpapar dot; sedangkan Tipe B mengacu
pada bayi yang sudah menyusui tapi mulai menolak payudara atau lebih memilih
botol. Kebingungan puting susu adalah respons bayi dimana lebih menyukai
karakteristik mekanis dan aliran yang diberikan oleh puting susu buatan
dibandingkan dengan payudara. Berdasarkan definisi ini, secara umum
didefinisikan kebingungan puting susu sebagai kesulitan bayi untuk menyusu
langsng pada payudara setelah sebelumnya terpapar puting susu buatan.

7
Banyak yang menganggap bingung puting diakibatkan karena bayi tidak lagi
bisa membedakan antara dot dan puting ibu. Menurut pakar laktasi asal Kanada,
dr. Jack Newman, FRCPC, sebenarnya bayi bukan “bingung”. Bayi tahu apa
yang diinginkan, tapi ketika bayi yang mendapat aliran yang lambat dari
payudara kemudian mendapat aliran yang lebih cepat dari dot, dia akan memilih
mana yang lebih disukainya.
Bingung puting tidak selalu ditandai dengan penolakan payudara. Bayi yang
sudah “lupa” atau “bingung” bisa saja tetap mau menempelkan mulut pada
payudara ibu, namun pola hisapannya sudah berubah dan dia tidak lagi dapat
mengeluarkan ASI secara optimal atau tidak menyusu dengan baik. Akibatnya,
produksi ASI ibu menurun. Hal ini tidak jarang ditemui, yaitu ibu merasakan
penurunan produksi ASI sebelum menyadari gejala bingung puting pada bayinya.
Pada kasus bayi yang mengalami tali lidah pendek, bingung puting juga dapat
terjadi akibat timbulnya permasalahan dalam perlekatan menyusui. Studi
menunjukkan nilai perlekatan pada bayi dengan talin lidah pendek lebih rendah
dibandingkan bayi tanpa adanya tali lidah pendek / tongue-tie (Puapornpong,
2014). Berikut ini adalah tanda-tanda bingung puting (Sumber: La Leche League
International):
 Bayi membuka mulut tapi tidak cukup lebar untuk melekat dengan benar
di payudara.
 Ketika hendak disusui, bayi menggoyangkan kepala, mencari-cari puting
dan kelihatan bingung.
 Bayi menjerit dan/atau melengkungkan punggungnya saat akan disusui.
 Lidah bayi tidak menjulur ke garis gusi bawah tapi justru terangkat.
 Bayi tampak melekat tapi tidak menghisap dengan benar.

Gambar 1. Perlekatan salah (Perinasia, 2004)

8
Menyusui dengan teknik yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu
menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI
selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Apabila bayi telah menyusui dengan benar
maka akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut :
1. Bayi tampak tenang.
2. Badan bayi menempel pada perut ibu.
3. Mulut bayi terbuka lebar.
4. Dagu bayi menmpel pada payudara ibu.
5. Sebagian areola masuk kedalam mulut bayi, areola bawah lebih banyak
yang masuk.
6. Bayi nampak menghisap kuat dengan irama perlahan.
7. Puting susu tidak terasa nyeri.
8. Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.
9. Kepala bayi agak menengadah.

Gambar 2. Teknik menyusui yang benar (Perinasia, 2004)

2. Penyebab Bingung Puting

a. Penggunaan botol
Bayi Bingung Puting (Nipple confusion) terjadi akibat pemberian susu formul
dalam botol yang berganti-ganti. Hal ini akibat mekanisme menyusu pada puting
susui bu berbeda dengan mekanisme menyusu pada botol. Menyusu pada ibu
memerlukan kerja otot – otot pipi, gusi, langit-langit dan lidah. Sedangkan menyusu
pada botol bersifat pasif, tergantung pada faktor pemberi yaitu kemiringan botol atau
tekanan gravitasi susu, besar lubang dan ketebalan karet dot.

9
b. Tali lidah pendek / Tongue-tie
The International Affiliation of Tongue-tie Professionals mendefinisikan
tongue-tie (ankyloglossia) sebagai "sisa jaringan embriologis di garis tengah antara
sisi bawah lidah dan dasar mulut yang membatasi gerakan lidah normal. Kejadian
tongue-tie dilaporkan antara 1% dan 10%. Masalah-masalah yang sering timbul
akibat tongue-tie termasuk nyeri puting susu ibu, penambahan berat badan bayi
yang lambat, penolakan payudara, dan suplai susu ibu rendah karena pemindahan
susu yang buruk. Frenotomi, dimana frenulum lingual terbukti efektif
menyelesaikan masalah kesulitan menyusui disebabkan oleh bayi dengan tongue-tie
di beberapa studi klinis. Namun, studi tentang tongue tie masih terbatas, dan ada
sedikit data dan tidak ada panduan terhadap waktu optimal untuk dilakukan
frenotomi (Praborini, Purnamasari, Munandar, & Wulandari, 2016).

Berdasarkan anatominya, ankyloglossia dibagi atas (IDAI, 2017):

1. Tipe I : insersi frenulum pada ujung permukaan bawah lidah


2. Tipe II : insersi frenulum di belakang ujung permukaan lidah

3. Tipe III
 :frenulum tebal dan ketat (tidak elastis)

4. Tipe IV : frenulum ketat di pangkal lidah

Ankyloglossia tipe I dan II dikenal dengan ankyloglossia anterior, tipe III


disebut ankyloglossia posterior, dan tipe IV tergolong ankyloglossia submukosa.

Gambar 3. Lingual Frenulum Ankyloglossia


a) Anterior type 1 (100%) tongue-tie of medium thickness attached to top of alveolar ridge
[gum line] b) complete division to the base of the tongue and following a post division
breastfeed. (Todd, 2014)

Indikasi frenotomi ditegakkan berdasar penilaian tampilan struktur dan fungsi

10
frenulum lingual. Kriteria diagnostik bervariasi dari inspeksi visual yang sederhana
hingga sistem klasi kasi menggunakan instrumen Hazelbaker’s Assessment Tool for
Lingual Frenulum Function (ATLFF). Instrument ATLFF telah teruji sebagai alat
skrining yang reliabel untuk penilaian bayi di bawah usia 3 (tiga) bulan
(Hazelbaker, 1993).

• Skor ATLFF 14 menunjukkan fungsi frenulum yang sempurna dan tidak


memerlukan tindakan frenotomi 


• Skor ATLFF 11-13 masih dapat ditoleransi, apabila skor penampilan 10 


• Skor ATLFF <11 mengindikasikan kebutuhan frenotomi, apabila konseling dan


manajemen laktasi tidak berhasil menyelesaikan masalah menyusui 


• Skor tampilan frenulum <8 mendukung diagnostik ankyloglossia, namun tidak


direkomendasikan frenotomi kecuali jika bayi mengalami kesulitan
menyusu. 


11
Tabel 1. Prosedur tatalaksana ankyloglossia

Tatalaksana

Penilaian dan seleksi yang tepat sangat penting mengingat 50-75% bayi dengan
kondisi ankyloglossia tetap dapat menyusu tanpa kendala apabila diberikan
konseling dan pendampingan manajemen menyusui yang adekuat.

Pertimbangkan konsultasi laktasi jika mendapati kondisi (IDAI, 2107):

12
 Bayi sulit melekat di payudara atau sulit mengisap ASI

 Puting ibu nyeri atau lecet

 Menyusu sangat lama dan sering (terputus-putus)

 Kenaikan berat badan bayi sangat lambat tidak sesuai dengan kurva
pertumbuhan BB/U

Pelekatan yang kurang tepat dan nyeri pada puting ibu dapat terjadi karena
penyebab lain. Frenotomi dipertimbangkan apabila terdapat masalah menyusui pada
bayi dengan kondisi ankyloglossia yang simtomatik. Untuk menentukan indikasi
frenotomi direkomendasikan pendampingan sekitar 2-3 minggu sambil
memperbaiki proses menyusu, memantau keluhan yang dirasakan ibu, serta menilai
status kesehatan dan pertumbuhan bayi. Tindakan yang diambil bergantung kondisi
sebagai berikut:

Ankyloglossia membranosa (tipis dan lentur) dengan skor ATLFF 11-14


Observasi oleh dokter anak, lazimnya pada saat menyusu dari waktu ke waktu
terjadi pergerakan lidah yang diikuti peregan- gan frenulum. Tidak cukup data
untuk membuktikan man- faat frenotomi sebagai upaya pencegahan kesulitan
menyusui. Ankyloglossia membranosa dengan skor ATLFF <11 atau skor tampilan
frenulum <8 tipis.

Frenotomi sederhana (tanpa anestesi dan tanpa jahitan) dapat dikerjakan oleh
dokter anak setelah mengikuti pelatihan. Keuntungan dari tindakan ini adalah
perbaikan yang segera dengan risiko infeksi 1:10.000 dan perdarahan yang jarang.
Frenotomi dapat mengurangi nyeri puting dan tidak ditemukan adanya komplikasi
yang serius setelah dilakukan tindakan frenotomy (0’Shea, 2017).

Ankyloglossia sub-mukosa
 Rujuk ke spesialis bedah mulut, bedah anak, atau


THT-KL untuk frenektomi atau frenuloplasti (Z-plasti). Jangan lakukan frenotomi
karena meningkatkan risiko perdarahan dan terbentuknya jaringan parut (IDAI,
2107).

3. Penatalaksanaan Bingung Puting

a. Relaktasi
Tujuan relaktasinya adalah mengenalkan kembali bayi ke payudara agar bayi
bisa mencukupi nutrisi dari payudara; Dengan demikian, seharusnya persediaan
susu ibu cukup. Sebelum dilakukan relaktasi, apabila bayi yang mengalami bingung
putting tersebut sebelumnya ada tongue-tie, maka perlu dilakukan tindakan

13
frenotomy. Tindakan frenotomi ini adalah tindakan sederhana dana aman dilakukan,
bahkan menunjukkan adanya perbaikan signifikan terhadap permasalah menyusui
(Donati-Bourne, 2015)

Rawat inap untuk kebingungan puting memberi kesan lingkungan positif untuk
ibu dan bayi. Dukungan penuh dari konselor dan perawat membantu kepercayaan
ibu dalam menyusui bayinya. Kontak kulit-ke-kulit 24 jam mengenalkan kembali
bayi tersebut kepada sang ibu. Taktil dan kontak verbal optimal selama kontak
kulit-ke-kulit berlangsung dan mempermudah bayi untuk kembali ke payudara.
Tinjauan sistemik Cochrane telah menunjukkan bahwa sejak dini kontak kulit ke
kulit dalam waktu lama berkontribusi pada efek positif yang mendorong pemberian
ASI secara eksklusif. Kontak dari kulit ke kulit Selama menyusui meningkatkan
perasaan ibu yang positif dan memperpendek waktu yang diperlukan untuk
mengatasi masalah pada bayi. Ini membuat ibu dan bayi menjadi lebih nyaman dan
bahagia dan mengarah pada ikatan yang lebih baik.

Jika bayi masih menolak payudara pada hari-hari awal di rumah sakit,
digunakan cangkir sebagai transisi dari botol ke payudara karena aktivitas masseter
saat makan mirip dengan yang terlihat pada menyusui (Praborini, Purnamasari,
Munandar, & Wulandari, 2016). Penggunaan cup feeding sangat bermanfaat
sebagau altenatif dari penggunaan botol susu dan menghindari bayi dari masalah
bingung putting yang dapat muncul di keudian hari (Gupta, 1999). Setelah si bayi
mau untuk langusng menyusu dari payudara, frenotomi harus dilakukan pada bayi
dengan tongue-tie dan / atau lip-tie untuk memperbaiki keterampilan bayi ketika
mengisap, diikuti oleh bantuan menyusui untuk membantu bayi menjadi nyaman di
payudara. Bayi yang biasa diberi susu botol tetap menyukai bantuan menyusui
karena meniru aliran cepat susu botol dan mengantarkan susu tanpa adanya banyak
usaha dari bayi. Karena itu, tujuan bantuan laktasi adalah untuk meningkatkan arus
susu sehingga bayi mendapatkan susu dari puting susu, dan bantuan laktasi pada
setiap hisapan payudara (Praborini, Purnamasari, Munandar, & Wulandari, 2016).

b. Protokol Rawat Inap

Pada suatu kondisi dimana bayi benar-benar menolak untuk menyusu dari
payudara, disarankan untuk dilakukan rawat inap ibu dan bayi untuk

14
mengembalikan kondisi saat bayi menyenangi puting susu dan untuk meningkatkan
kepatuhan pasien serta memberikan lingkungan yang mendukung hubungan antara
ibu dan bayi. Di Indonesia, kebanyakan orang tua baru tinggal di sebuah rumah
dengan keluarga besar mereka, dengan kakek-nenek atau kerabat yang tinggal di
rumah yang sama dan membuat menyusui sulit dipecahkan jika tanpa rawat inap.
Umumnya, rawat inap didanai secara pribadi, walaupun perusahaan asuransi
mengganti beberapa pasien. Dalam program rawat inap, ibu dan bayinya tinggal
selama 24 jam, menerima makanan dan resep dan pengobatan, dikunjungi oleh
dokter laktasi sebanyak tiga kali sehari untuk membantu ibu menyusui, dan
dikunjungi oleh seorang dokter anak sekali sehari untuk meyakinkan ibu bahwa
bayi baik-baik saja (Praborini, Purnamasari, Munandar, & Wulandari, 2016).

Relaktasi adalah proses yang kompleks dan dibutuhukan pendekatan yang


holistik. Saat dirawat di rumah sakit, ibu dan bayi akan dibiarkan kontak
skin-to-skin lalu dibalut kain tradisional dan ditutupi oleh pakaian dimana istirahat
hanya untuk waktu mandi ibu / bayi atau solat (gambar 4).

Gambar 4. Kontak kulit-ke-kulit ibu dan bayi

Pada hari-hari awal rawat inap, jika bayi menolak payudara, susu pun
ditawarkan dengan menggunakan metode alternatif untuk botol: seperti ASI perah,
ASI donor yang telah dipasteurisasi, atau susu formula, tergantung pada pilihan
orang tua. Metode suplementasi biasanya juga diikuti dengan penggunaan cup
feeding (Macpherson, 2010). Seorang perawat memberikan susu kepada bayi
melalui syringe, gelas, atau sendok. Jumlah susu yang ditawarkan hanya tiga
perempat dari jumlah yang diperkirakan sebagai kebutuhan harian bayi untuk

15
memungkinkan bayi mengalami sedikit kelaparan. Seorang bayi dengan
kebingungan puting susu bisa sangat marah saat ditawarkan payudara. Saat bayi
mulai menunjukkan keinginannya untuk kembali menyusu lewat payudara, dapat
digunakan bantuan laktasi dari tabung gastric 5F (40 cm) dan jarum suntik 50 ml
ditempel ke payudara dan bahu ibu (Gambar 5).

Gambar 5. Bantuan Laktasi Membuat Bayi Senang Ketika Menyusu

Bantuan laktasi ini bisa diisi dengan susu ibu, ASI pasteurisasi, ASI perah, atau
formula, tergantung pada tahap laktogenesis ibu. Jika kebingungan puting susu
terjadi selama Lactogenesis II (3-8 hari setelah kelahiran), ibu tidak diberi
galaktogogue dan bayi disusui dengan bantuan laktasi yang diisi dengan ASI ibu
yang diperah. Namun, jika bingung terjadi selama Lactogenesis III (setelah hari 9),
dan suplai susu ibu sudah menurun, ibu diberikan terapi domperidone dan
akupunktur dengan bantuan laktasi mengandung ASI pasteurisasi atau formula.
Oleh karena itu, ibu diberi domperidone dan akupunktur bersama dengan bantuan
laktasi yang mengandung ASI donor atau susu formula. Seseorang juga dapat
mempertimbangkan untuk menggunakan sistem keperawatan tambahan untuk
membantu bayi bertambah berat badan. Alat bantu menyusui bisa jadi dihapus
setelah ibu memiliki persediaan susu yang cukup, yang biasanya terjadi setelah
jangka waktu yang relatif lama. Domperidone adalah dopamin D2 antagonis reseptor
yang meningkatkan volume susu dengan cepat dalam waktu 48 jam. Pada dosis
terapeutik 3 3 10 mg sampai 3 3 30 mg / hari, efek sampingnya meliputi
penambahan berat badan (11,7%), sakit kepala (9,8%), aritmia jantung (0,8%), dan
depresi (0,9%). Namun, domperidone aman untuk bayi (Praborini, Purnamasari,
Munandar, & Wulandari, 2016).

16
Jika bayi memiliki tongue tie atau lip tie, dokter anak melakukan frenotomi
setelah adanya tanda-tanda mau menyusu langsung. Dalam persiapan untuk
frenotomi, tubuh bayi dibalut untuk dan diletakkan telentang di atas meja pemeriksa.
Asisten membantu prosedur: frenulum didesinfeksi dengan povidone iodine dan
dipotong dengan gunting ujung tumpul steril dan kasa steril. Tidak digunakan
anestesi umum untuk melakukan ini karena ini cenderung menunda menyusui.
Frenotomi adalah perawatan yang efektif, sederhana, dan aman bayi yang
mengalami kesulitan meyusu karena kondisi lidah. (Praborini, Purnamasari,
Munandar, & Wulandari, 2015).

Latihan lidah dan latihan bibir postfrenotomy itu penting untuk mengurangi
bekas luka frenulum, dan lidahnya harus segera dimobilisasi dengan latihan
beberapa kali sehari. Bayi dengan disfungsi oral karena tongue tie dan bingung
puting perlu mempelajari keterampilan menyusu sebelum mereka bisa makan
dengan benar dari payudara ibu mereka, yang bisa difasilitasi dengan latihan
motorik oral. Ibu diajari untuk pijat lembut bibir atas, bibir bawah, dan pipi bayi
mereka, dan bagaimana caranya untuk menarik bibir atas ke luar, sentuh lidah
dengan lembut ke bawah, dan sentuh langit-langit, area bukal, dan gusi untuk
merangsang gerakan lidah ke semua area di dalamnya mulut dan peregangan situs
postfrenotomy. Manuver ini dilakukan lima kali sehari selama 3 minggu.
"Kesuksesan" didefinisikan saat bayi disusui secara efektif oleh payudara selama 15
menit dengan atau tanpa alat bantu tambahan. Jika bayi menolak payudara atau
menyusui secara tidak efektif dan / atau orang tua pulang ke rumah, ini
didefinisikan sebagai "tidak sukses." (Praborini, Purnamasari, Munandar, &
Wulandari, 2016).

Semakin muda bayinya, semakin tinggi tingkat keberhasilan mengembalikan


bayi ke payudara. Rawat inap untuk kebingungan puting memiliki tingkat
keberhasilan secara keseluruhan 91,4%.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tongue-tie bisa mengganggu proses menyusui langsung dari payudara selama


hari-hari pertama bayi dan pengenalan puting buatan bisa menyebabkan
kebingungan puting susu dan mengganggu proses menyusui yang dilakukan secara
eksklusif. Deteksi dini dan pengobatan bingung puting dan tongue-tie sangat
penting untuk mencapai kesuksesan menyusui. Rawat inap dan pendekatan
multimodal terhadap pengelolaan kebingungan puting susu efektif dan dapat
berkontribusi pada keberhasilan menyusui dan harus dilaksanakan secepat mungkin
karena bayi yang lebih muda tampaknya memiliki hasil yang lebih baik.

B. Saran

Diperlukan usaha untuk meminimalisasi pemnggunaan botol dot pada bayi


yang baru lahir untuk mencegah terjadinya bingung puting. Adanya deteksi dini
terhadap tali lidah pendek oleh tenaga medis dapat mengurangi tingkat kegagalan
menyusui. Diperlukan tindakan frenotomi pada bayi yang mengalami tali lidah
pendek yang juga mengalami keluhan dalam masalah menyusui. Adanya tenaga
medis terlatih untuk mengatasi kasus bingung puting yang dirawat inap.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anderson G, Seo M, Berk M, Carvalho AF, Maes M. (2015). Gut permeability and
microbiota in parkinson’s disease: role of depression, tryptophan
catabolites, oxidative and nitrosative stress and melatoninergic pathways.
Curr Pharm; 22: 6142–51.
Anderson G, Vaillancourt C, Maes M, Reiter RR. (2016). Breastfeeding and
melatonin: implications for improving perinatal health. J Breastfeeding
Biol. 1: 8–20.
Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses. (2015).
Breastfeeding. Journal of Obstetric, Gynecologic, & Neonatal Nursing,
44(1), 145–150. http://dx.doi.org/10.1111/1552-6909.12530
Binns C, Lee M, Low WY. (2016). The long-term public health benefits of
breastfeeding. Asia Pac J Public Health, 28: 7–14.
Coryllos, E., Watson Genna, C., & Salloum, A. (2004). Congenital tongue-tie and
its impact on breast feeding. American Academy of Pediatrics Section on
Breastfeeding Newsletter, 1–6.
Dagvadorj A, Ota E, Shahrook S, Baljinnyam Olkhanud P, Takehara K, Hikita N,
Bavuusuren B, Mori R, Nakayama T. Hospitalization risk factors for
children’s lower respiratory tract infection: a population-based,
cross-sectional study in Mongolia. Sci Rep 2016; 6: 24615.
Donati-Bourne, et. al. (2015). Tongue-Tie Assessment and Division: A
Time-Critical Intervention to Optimise Breastfeeding. Journal of Neonatal
Surgery, 4(1):3.
Gupta, A. (1999). Cup Feeding: An Alternative to bottle feeding in a neonatal
intensive care unit. Journal of Tropical Pediatrics, vol.5.

Hayatbakhsh MR, O’Callaghan MJ, Bor W, Williams GM, Najman JM. (2012).
Association of breastfeeding and adolescents’ psychopathology: a large
prospective study. Breastfeed Med, 7: 480–6.
Hazelbaker AK. (1993). The Assessment Tool for Lingual Frenulum Function
(ATLFF): use in a lactation consultant private practise. Pasadena California,
Pacific Oaks College, Thesis.
Hendrick CE, Potter JE. (2017). Nativity, country of education, and Mexican-origin
women’s breastfeeding behaviors in the first 10 months postpartum. Birth ,
44: 68–77.
IDAI. (2017. Diagnosis dan Tata Laksana Ankyloglossia (Tongue-Tie). Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

19
Liu, J., Leung, P., & Yang, A. (2014). Breastfeeding and active bonding protects
against children’s internalizing behavior problems. Nutrients, 6(1), 76–89.
http://dx.doi.org/10.3390/nu6010076
Macpherson, Ohlsson. (2010). Which method of breastfeeding supplementation is
best? The beliefs and practices of paediatricians and nurses. Paediatrics &
Child Health, 15(7).
Moser VA, Pike CJ. (2016). Obesity and sex interact in the regulation of
Alzheimer’s disease. Neurosci Biobehav Rev, 67: 102–18.
Netzer-Tomkins H, Rubin L, Ephros M .(2016). Breastfeeding is associated with
decreased hospitalization for neonatal fever. Breastfeed Med, 11: 218–21.

Newman, Jack., et al. (2008). The Ultimate Breastfeding Book Of Answers


(Terjemahan). Tangerang: Lentera Hati.

O’Shea, et. al. (2017). Frenotomy for tongue-tie in newborn infants. The Cochrane
Collaboration.
Perinasia. 2004. Manajemen Laktasi Edisi 2. Jakarta : Bina Rupa Aksara
Praborini, A., Purnamasari, H., Munandar, A., & Wulandari, R. A. (2015). Early
frenotomy improves breastfeeding outcomes fortongue-tied infants.
Clinical Lactation, 6(1), 9–15. http://dx.doi .org/10.1891/2158-0782.6.1.9
Praborini, A., Purnamasari, H., Munandar, A., & Wulandari, R. A. (2016).
Hospitalitation for Nipple Confusion, A Method to Restore Healthy
Breastfeeding. Clinical Lactation, 7(2), 69-76.
http://dx.doi.org/10.1891/2158-0782.7.2.69
Puapornpong. (2014). Comparisons of the Latching on between Newborns with
Tongue-Tie and Normal Newborns. Journal of the Medical Association
of Thailand. 97(3).
Slyepchenko A, Maes M, Machado-Veira R, Anderson G, Solmi M, Sanz Y, Berk
M, Köhler CA, Carvalho AF. (2016). Intestinal dysbiosis, gut
hyperpermeability and bacterial translocation: missing links between
depression, obesity and type 2 diabetes? Curr Pharm, 22: 6087–106.
Sarwono, Prawiroharjo. (2011). Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta : PT Bina
Pustaka. Pg 130- 138, 375
Smith LA, Geller NL, Kellams AL, Colson ER, Rybin DV, Heeren T, Corwin MJ.
(2016). Infant sleep location and breastfeeding practices in the United
States, 2011–2014. Acad Pediatry, 16: 540–9.
Speroff, L.,and Fritz, M.A. (2011). Clinical Gynegologic Endocrinology and
Infertility. Edisi 8. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pg
621-635.
Susilani A. T, Kurniawan H. (2016). Pemberin Jintan Hitam dalam Peningkatan
Kadar Hormon Produksi ASI (Prolaktin dan Oksitoksin) serta jumlah

20
Neutrofil Neonatus dari Ibu Post Seksio Sesaria di Yogjakarta. Jurnal
Permata Indonesia, 7(2), 1-14.
Todd, David. (2014). Tongue-tie in the Newborn: What, when, who and how?
Exploring tongue-tie division. Breastfeeding review: professional
publication of the Australian Breastfeeding Association, 22(2).
Walters D, Horton S, Siregar AY, Pitriyan P, Hajeebhoy N, Mathisen R, Phan LT,
Rudert C. (2016). The cost of not breastfeeding in Southeast Asia. Health
Policy Plan, 31: 1107–16.
WHO. (1998). Evidence for the Ten Steps to Successful Breastfeeding. CHD,
(http://www.who.int/nutrition/publications/evidence_ten_step_eng.pdf,
diakses 10 September 2017).
Yen et al., (1999). Reproductive Endocrinology Physiology. Edisi 4. Pg 257-272,
286-287
Zalewski BM, Patro B, Veldhorst M, Kouwenhoven S, Crespo Escobar P, Calvo
Lerma J, Koletzko B, van Goudoever JB, Szajewska H. (2015). Nutrition
of infants and young children (one to three years) and its effect on later
health: a systematic review of current recommendations (EarlyNutrition
project). Crit Rev Food Sci Nutr, 57: 489–500.
Zimmerman, Thompson. (2015). Clarifying Nipple Confusion. Journal of
Perinatology. 1-5.

21
22
23
24

Anda mungkin juga menyukai