Anda di halaman 1dari 38

Abstract

Makalah ini menganalisa distribusi


kepatuhan dari Blockchain
Management System (BMS). Seolah
telah menjadi dan berada pada
sebuah wilayah otonom tersendiri.
Seperti halnya dalam cryptocurrency
seperti Bitcoin, berdasarkan
kualifikasi dan persyaratan dalam
perbankan dan keuangan Islam.

Makalah ini juga dimaksudkan


sebagai analisa ekonomi dan
keuangan yang singkat. Bukan
sebagai analisa yang mendalam atas
seluk-beluk Syariah, yang
berhubungan dengan perbankan dan
keuangan. Makalah singkat ini
menunjukkan bahwa BMS bisa
menyesuaikan larangan atas Riba,
dengan menggabungkan prinsip-
prinsip maslahah(memelihara tujuan
syara’ dan meraih
manfaat/menghindarkan
kemudharatan), dengan membagi
resiko bersama (mutualrisk-
sharing) yang cukup berlawanan
dengan risk shifting. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa Bitcoin dan
sistem serupa, memungkinkan jadi
media yang tepat sebagai pertukaran
keuangan dan perbankan islam dari
pada riba yang didukung oleh mata
uang Fiat oleh Bank Sentral.
Terutama pada kalangan yang tidak
bisa memiliki rekening, dalam skala
kecil perdagangan yang melintas
batas kenegaraan.
1. Pendahuluan
Ariff (2014) mencatat bahwa,
meskipun literatur tentang perbankan
islam modern dan keuangan (Islamic
Banking and Finance – IBF) telah
tercatat lebih dari setengah abad lalu,
namun praktik IBF masih dalam
masa pertumbuhan. Beberapa
praktik umum di bank syariah adalah
“questionably asymmetrical (masih
dipertanyakan secara asimetris)” dan
“menjadi irama dalam judulnya saja
untuk sebuah semangat” dalam
tradisi Islam (p.741). Ariff
menyatakan bahwa hal tersebut
menjadi konsekuensi yang bisa
dimaklumi, karena fakta bahwa tahap
awal IBF lebih fokus menjadi sebuah
tawaran alternatif yang berbasis
syariah. Dan dalam fase berikutnya,
harus bisa menjadi basis layanan
yang berbasis syariah, sehingga
kemiripan dengan perbankan
konvensional jadi cukup kecil, atau
bahkan tidak ada kemiripan sama
sekali.
Bahkan, dalam kekurangannya ini,
bank syariah kecil cenderung
memillih kredit rendah dan resiko
kepailidan dari perbankan
konvensional. Kualitas kredit antar
bank syariah besar dan kecil
tampaknya masih kurang responsif
pada perubahan suku bunga dalam
negeri. Jika dibandingkan dengan
kualitas pinjaman di bank
konvensional, meski beroperasi di
wilayah hukum yang sama.

Pada makalah yang ditulis oleh


Abendifar, Molyneux & Tarazi (2013),
berpendapat bahwa
distribusi blockchain management
system (BMS) seperti Bitcoin, bisa
merepresentasikan sebagai sebuah
mata uang digital. Mungkin juga
mendapat tempat dalam bidang ini,
dan mampu berkembang semakin
populer di banyak kalangan, tidak
hanya 20-25% dari populasi muslim
dunia saja. Tetapi juga di banyak
populasi non-Muslim juga (Abidefar,
2013, El-Gamal 2006, Ghannadian &
Goswami 2004, Hasan & Dridi 2010,
Imam & Kpodar 2014, MM Khan &
Bhatti 2008). Makalah ini dimulai
dengan memberikan review singkat
literatur IBF dan latar belakang BMS.
Termasuk juga pendiskusian
hubungan yang potensial antara
keduanya di bagian akhir.
2. Perbankan dan
Keuangan Islam
Meskipun ada literatur IBF modern
yang tercatat lebih dari setengah
abad lalu, IBF dinilai masih dalam
tahap perkembangan. Ada
ketidaksepakatan yang masih
berlangsung, antara para pendukung
dan pengamat luar, terkait perbedaan
antara apa yang diijinkan (halal), dan
apa yang dilarang (haram), dalam
perbedaan interpretasi hukum
Syariah Islam.

Dan yang cukup menambah


kebingungan adalah, adanya
keinginan pihak eksekutif di banyak
bank Islam maupun para pelanggan
agar bisa mengintegerasikan bank
mereka ke dalam perbankan dan
sistem keuangan secara global. Yang
bisa diatur dalam perjanjian
internasional atau undang-undang di
peraturan nasional, dan ini sering
bertentangan, bahkan melanggar
Syariah secara langsung.

Meskipun demikian, diakui secara


universal bahwa fitur utama IBF
adalah larangan riba (Ariff 2014,
1988). Sementara memang,
beberapa ulama Islam juga berdebat
tentang perbedaan riba yang
eksploitatif dan preferensi waktu
yang lebih lunak dalam bentuk bunga
pinjaman uang. Atau juga perbedaan
antara hutang konsumen dan hutang
secara komersial. Namun konsensus
diantara ulama IBF adalah, bahwa
semua transaksi harus melibatkan
transfer barang nyata dan jasa (Arif
1988). Pendapat aristoteles
memposisikan uang sebagai
fasilitator perdagangan barang yang
nyata dan juga jasa, tidak baik jika
memegang hal yang tidak alami dari
sifat uang untuk uang pada pola
pinjaman, terutama dan paling
dibenci adalah pengembiakan uang
dari uang (Meikle 1994).
Sedangkan pembaca dari Barat dan
Utara yang menemukan adanya
posisi aneh ini kembali teringat
bahwa ada pembatasan kegiatan
ekonomi secara umum di seluruh
dunia dalam bentuk perijinan,
regulasi, paten, dan hak cipta,
waralaba pemerintah, penyitaan, dan
larangan riba (suku bunga
berlebihan), kontrak
berlebihan, trading insider, front
running, price gouging, Ponzi dan
skema piramida, pencucian uang,
atau yang diduga sebagai pencucian
uang dan lain-lain. Dalam hal ini,
pelarangan riba sebaiknya tidak lebih
dari hal seperti pada, larangan
perdagangan berdasarkan
pengetahuan dan fakta dalam insider
trading, front running, price
gouging, yang memberikan layanan
secara legal (franchise pemerintah,
pemberian lisensi), atau berbagi
informasi (paten, hak cipta).
Dalam semangat itu, mari kita lihat
praktik dalam IBF. M.N. Siddiqi (1988
[1969]) seminal banking tanpa
menyertakan bunga harus diatur
sebagai Shirkat-e-Enan, untuk
menghindari riba dan mendapatkan
penghasilan dari bagi
hasil (mudarabah), dan ada
pembagian profit maupun kerugian
(musharakah, atau yang juga
dikenal dengan Syirkah).
Istilah akan hal ini di Barat/Utara
pada dasarnya dinilai sebagai
sebuah panggilan untuk organisasi
bank sebagai kemitraan umum,
terdiri setidaknya dari dua mitra, baik
keduanya atau semuanya saling
menanggung kewajiban yang tidak
terbatas. Berbagi keuntungan dan
kerugian juga secara proporsional
dengan ukuran yang relatif dari nilai
investasi mereka.

Sementara semua mitra juga harus


memiliki hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam pengoperasian
bank, mereka tidak wajib untuk
melakukannya. Individu dapat
memilih menjadi mitra pasif,
meskipun bukan menjadi mitra yang
terbatas, yang dapat mendelegasikan
untuk pengoperasian itu kepada
administrator yang buka menjadi
mitra. Mereka bisa memiliki
kepentingan bisnis diluar bank, yang
tidak terkait secara langsung dalam
partisipasinya di bank itu.

Menjadi perhatian utama adalah


untuk menghindari prinsip agen
asimetris yang ada pada kewajiban
secara konvensional dalam sebuah
perusahaan. Terutama dalam wilayah
hukum dengan pasar modal yang
lebih efisien, yang sering dianggap
hal sepele bagi pemilik saham untuk
menjual saham mereka. Daripada
harus mengeluarkan atau monitoring
petugas atau anggota dewan
(eksekutif). Pilihannya adalah dengan
melakukan pemantauan para
eksekutif, memanggil mereka untuk
menjalankan tugasnya saat mereka
bertindak jahat, dan berjuang untuk
dapat mengubah perilaku mereka.
Dan kedua, hanya menjual saham
saja ketika ada para eksekutif yang
berperilaku buruk. Para pemegang
saham umumnya lebih memilih cara
yang kedua.

Ada literatur besar tentang


bagaimana masalah pokok / agen ini
dapat membuat eksekutif bebas
untuk mengejar profit untuk dirinya
sendiri. Sehingga akan cukup
bertentangan dengan para
pemegang saham. Sedangkan
banyak bank Islam modern diatur
sebagai perusahaan yang terbatas,
dalam kewajiban konvensional
dengan para pemegang saham pasif.
Hal ini umumnya dipandang sebagai
sebuah kekurangan yang harus
diperbaiki.

Sesuatu yang lebih mirip dengan


koperasi kredit (Credit Union), masih
lebih baik. Dimana anggotanya
mempunyai porsi yang sebanding
dengan nilai investasi mereka, dan
semua pemilik mempunyai insentif
untuk memonitor eksekutifnya. Hal ini
tetap menjadi area penelitian dan
juga eksplorasi di masa depan.
(Arif 2014, 1988 – Chaudhuri &
Hussain (2005)) menekankan
tentang sentralitas promosi dari
praktik syariah IBF. Termasuk juga
dalam pembangunan ekonomi,
modal, keadilan sosial dan lainnya.
Ariff melihat hal ini sebagai
kekhawatiran sekunder yang berasal
dari pemikiran untuk menghindari
riba. Meski begitu, Ariff juga mengutip
dari Chapra (1982), ia memberikan
catatan bahwa ruang lingkup
kegiatan bank Syariah tidak perlu
harus mencerminkan bank
konvensional. Dan bisa menjadi
perpaduan yang berbeda dari
layanan yang menekankan secara
kuat dalam kesejahteraan sosial,
daripada memaksimalkan
keuntungan.
Demikian juga pada para pembuat
kebijakan di Barat atau Utara,
membuat mandat untuk eksekutif
bank agar memberikan kredit atas
dasar pembangunan ekonomi,
sumber daya manusia, dan keadilan
sosial. Termasuk juga penjaminan
kepada para mahasiswa, hipotek
bersubsidi, sub-pasar dan menjamin
pinjaman ke perusahaan yang
berada pada zona pengembangan
ekonomi, dan lain sebagainya.

Sementara satu hal mungkin melihat


sisi pembangunan ekonomi, sumber
daya manusia, dan keadilan sosial
sebagai gangguan untuk bisa
memaksimalkan keuntungan, Taleb
(2012, 2007, 2005), menekankan
bahwa fokus utama pemikiran
memaksimalkan keuntungan dapat
menyebabkan adanya leverage
keuangan yang berlebihan (gearing),
dan over optimasi, yang
menyebabkan timbulnya kerugian
lebih, pada interval jangka pendek
yang lebih besar dari besarnya total
keuntungan selama beberapa
dekade sebelumnya.
Ahmed (2010), Chapra (2010),
Hasan & Dridi (2010), M.F. Khan
(2010), Matthews & Tlemsani (2010),
Seidu (2010), M.N. Siddiqi (2010),
Smolo & Mirakhor (2010)
menekankan hal tersebut dalam
analisis mereka, dari efek relatif
ringan saat terjadi crash di tahun
2008 di bank Syariah, sebagai
kondisi yang kontras yang
berdampak hampir bisa
menghancurkan bank-bank Amerika
maupun Eropa. Pembaca yang
tertarik pada pengenalan lebih rinci
tentang IBF direferensikan juga
dalam Aghnides (1916), Z. Ahmed,
Iqbal & Khan (1983), Ariff (1982),
Obaidullah (2005), A. Siddiqi (2006),
dan M.N. Siddiqi (1988 [1969]).

Dalam hal yang lebih luas, topik


umum atas pengaruh agama di
bidang ekonomi dan keuangan,
Weber (2001 [1905]) menjelaskan
secara rinci bagaimana pemahaman
ekonomi di Barat / Utara pada bentuk
kapitalisme itu sendiri diresapi oleh
Utilitarianisme dan Protestan.
Pengaruh agama dan budaya, pada
kultur dan sistem ekonomi yang
beroperasi dalam budaya menjadi
landasan Weber untuk
menerbitkan The Religion of China:
Confucianism and Taoism (1968
[1915]), The Religion of India: The
Sociology of Hinduism and
Buddhism (2012[1916]),
dan Ancient Judaism (1967[1917-
1919]). Weber pun kemudian
melanjutkan beberapa seri tulisannya
dengan mengaitkan awal Kristen dan
Islam, namun terhenti karena
kematiannya yang tak terduga di
tahun 1920 karena komplikasi flu
spanyol (Bendix 1977[1960]).
Berbeda jauh dari hukum alam fisika,
seperti kebutuhan untuk makan dan
tidur, prinsip-prinsip umum dan stabil
dari pekerjaan konstruksi, atau
peternakan dan pertanian, organisasi
ekonomi dimanapun dan semua
orang yang berasal dari beragam
adat dan tradisi, dipengaruhi oleh
agama (Lavoie & Chamlee-Wright
2000). Dalam hal ini, menyisihkan
perbedaan teologis, karena IBF
dalam prakteknya cukup berbeda
dengan perbankan konvensional,
namun perbedaan itu tidak harus
dalam bentuk di tahap
perkembangannya. Hal ini bisa saja
berubah, namun jika eksekutif di
bank Syariah meninggalkan pola
inflasi dari riba yang didukung dari
mata uang Fiat bank sentral, akan
menjadi lebih harmonis dengan IBF.

3. Mata Uang Digital


Blockchain Management
System (BMS)
Secara konseptual, BMS menjadi
yang paling sukses. Bitcoin, adalah
sistem mandiri yang dapat berfungsi
untuk mentransfer nilai-nilai numerik
dari satu rekening ke rekening lain.
Sehingga tidak ada nilai yang akan
hilang saat dalam proses perjalanan
dari satu rekening ke rekening
lainnya. Begitu juga dengan tidak
mungkinnya terjadi double-
spending.
Dengan cara ini, BMS dapat dilihat
sebagai sebuah sistem akutansi.
BMS seperti Bitcoin, menjadi ada
karena telah terdapat salinan
software di semua komputer
pengguna. Mereka dapat
berkomunikasi satu sama lain melalui
internet, salinan itu diperbarui kira-
kira setiap sepuluh menit, transaksi
yang telah diproses itu kemudian
menjadi bagian sejarah transaksi
yang berlangsung sejak awal. Jika
ada riwayat transaksi yang berbeda,
maka itu dianggap tidak benar, dan
akan diganti dengan salinan arsip
yang benar.

Untuk bisa menumbangkan sistem,


seseorang harus bisa mengontrol
separuh lebih jaringan, dan
memanipulasi catatan yang telah
terekam itu secara mayoritas.
(Nakamoto 2008) saat
mendiskusikan tentang Bitcoin, istilah
(Bitcoin) mengacu pada software
yang digunakan oleh pengguna di
jaringan, dan huruf kecil (bitcoin)
mengacu pada unit kecil akun di
dalam sistem. Dari sini, XBT
mengikuti standar mata uang yang
telah ditentukan dengan ISO 4217
(International Organization for
Standardization 2008), digunakan
untuk pertukaran bitcoin.

Pluzhnyk & Evans (2014) melakukan


pendekatan pada sistem Bitcoin
sebagai sebuah penyedia jasa
konfirmasi transaksi, dan
memperlakukan XBT sebagai sebuah
kewajiban dari penyedia layanan
yang digunakan untuk media
pertukaran, dan kadang juga sebagai
sebuah penyimpan nilai.

Karena sistem itu adalah sistem yang


mandiri, semua rekening pada
neraca konvensional dalam sisi aset
seperti: kas, piutang, persediaan,
aset tetap, dan di sisi kewajiban
seperti: hutang, note payable, hutang
jangka panjang, paid-in capital
– sama dengan nol. Meski demikian,
pasar XBT aktif 24/7 tanpa ada
istirahat di waktu libur, dan
kapitalisasi pasar Bitcoin dapat
dihitung dari harga terbaru dan
jumlah total XBT yang ada. Nilai ini
saat diukur sudah dalam miliaran
USD. Dengan menimbang karena
adanya kewajiban XBT yang telah
memiliki nilai pasar, hal itu
menyatakan bahwa sistem Bitcoin
harus memegang beberapa aset
yang bisa bernilai setara.
Pluzhnyk & Evans (2014) ingin
menggambarkan aset yang tidak
berwujud ini, dan berpendapat bahwa
itu berasal dari harapan pengguna
yang ingin memfungsikannya
sebagai transaksi di masa depan.
Evans (2014a) mencatat bahwa nilai
pasar saat ini bernilai (P), XBT di
dorong oleh harapan para
penggunanya yang terus diperbarui
karena tiga faktor: nilai jasa masa
depan dan penghematan biaya (F),
konsensus pasar dan tingkat yang
sesuai (r), yang mencakup
perubahan premi untuk berbagai
sumber resiko yang dirasakan, dan
waktu (T), hingga seperti:

P = F / (1+r) T, dimana:
 F termasuk nilai kemampuan
pengguna. 1) untuk bertransaksi
secara langsung dengan miliaran
orang di seluruh dunia yang tidak
bisa memiliki akses perbankan,
dan mampu mengirim uang
dengan lebih efisien, bisa
dilakukan dengan ponsel, 2) untuk
membeli di retailer online pada
harga di China, atau US, ditambah
dengan biaya pengiriman, lebih
baik dari pada harga lokal secara
subtansial lebih tinggi dan telah
berlaku di di banyak bagian dunia
selama ini, 3) untuk mengirimkan
uang kesiapa saja di dunia yang
memiliki akses internet, 4) untuk
memegang kendali nilai, terutama
di daerah mana pemegang saldo
rekening bank, atau penerima
transfer melalui Western Union
dapat beresiko diculik dengan
meminta uang tebusan. Sebagai
realisasi antara bursa pengguna, F
meningkat, kemudian menekan
naik P.
 r termasuk premi resiko kesulitan
teknis dan masalah keamanan
terkait dengan pemegang XBT,
ketidakpastian regulasi, volalitas
harga dan lain-lain. Seperti karena
adanya ketidakpastian yang
menurun, r menurun, lalu
menempatkan tekanan naik pada
P.
 T adalah waktu inovasi yang
berguna dalam pasar. Sebagai
harapan adanya penundaan
sampai menjadi penurunan, T
menurun, dan membuat tekanan
naik pada P.
Abidefar (2013), Ariff (2014, 1988),
Choudhury & Hussain (2015), El-
Gamal (2006), Obaidullah (2005),
dan A. Siddiqi (2006), antara lain juga
mengingatkan pembaca bahwa nilai
waktu dari perhitungan uang, tidaklah
haram, asalkan diferensial P dan F
berhubungan dengan pembelian aset
riil, dan kedua belah pihak juga saling
berbagi resiko. Contohnya,
diperbolehkan untuk menerima harga
yang lebih rendah sebelum penjualan
aset disampaikan kemudian, dan
dibayar saat ini, atau memerlukan
jumlah total yang harus dibayar untuk
pembelian angsuran dikirim saat ini,
dan dibayar dalam waktu yang
selama-lamanya, sehingga kedua
belah pihak akan saling berbagi
resiko. Hal ini diluar cakupan dalam
makalah ini untuk mengeksplorasi
kepatuhan Bitcoin dengan Syariah
sebagai penyimpan nilai. Jika ini
dilihat sebagai sebuah media pra
pembayaran yang tidak dibedakan
pada barang dan jasa dalam waktu
yang tidak terbatas sebelum
teridentifikasi, mungkin dapat
menjadi kesimpulan sebuah asumsi
bahwa XBT merupakan jenis baru
dari sebuah aset digital yang dapat
digunakan sebagai uang.

Namun jika XBT digunakan sebagai


alat tukar untuk transaksi yang telah
terjadi dalam rentang waktu yang
cukup singkat, maka Bitcoin dapat
dilihat sebagai sebuah protokol
komunikasi, tidak sepenuhnya seperti
dalam transfer bank, pesan yang
dikirim antara dua agen hawala, atau
sebuah cek yang didepositkan
segera setelah diterima. Eksplorasi
akan hal ini terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan apakah ini
akan berpotensi secara produktif
dalam penelitian di masa depan.
3.1 Regulator dalam
Cerita Klasik Gajah Dan
Orang Buta
Pada poin ini, kita diingatkan pada
sebuah kisah lelaki buta dan Gajah,
dimana setiap generalisasi bahwa
gajah diwakili oleh bagian yang ia
rasakan. Satu orang buta menyentuh
bagian kaki, dan menganggap gajah
seperti sebuah pohon, yang lain
menyentuh bagian belalai, mirip
seperti ular, sementara yang lain
menyentuh bagian ekor, yang mirip
seperti sebuah tali, dan yang
dibagian telinga mirip seperti sebuah
kipas angin, yang menyentuh bagian
gading mirip seperti sebuah dinding
dan lain sebagainya. Dalam hal ini,
bukanlah orang buta secara harfiah,
namun para regulator yang tengah
berhadapan dengan sesuatu yang
cukup asing namun inovatif. Ketika
kita menemukan sebuah teknologi
baru, bahasa yang kita gunakan
untuk menggambarkan hal itu
seringkali membuat kegagalan. Kita
harus menggunakan kata-kata yang
ada dengan cara yang aneh untuk
menggambarkan konsep-konsep
baru itu terkait dengan sebuah
inovasi. Dengan cara yang sama
seperti cara nenek moyang kita
ketika melihat sebuah “horseless
carriage” (automobile), “moving
picture” (cinematic film), atau
“information superhighway” (internet)
(Graef 2010). Dan saat ini, adalah
“mata uang virtual” (Bitcoin).

Hal itu menyebabkan kami juga


menggunakan istilah seperti “coin”
(koin), dan “mining” (pertambangan),
untuk mendiskripsikan bagaimana
unit XBT baru masuk dalam sirkulasi.
Meskipun tidak ada koin sebenarnya
di dalam Bitcoin. Meskipun jika ada,
koin itu tidak ditambang, hanya bijih
yang ditambang, ingot dilebur dari
bijih, dan koin dicetak dari ingot.
Istilah “coin” dan “virtual currency”
adalah metafora.

(Evans 2014a) di Amerika Serikat,


FinCEN (2013) official, Bitcoin
tampak seperti sebuah sistem
transmisi uang, menjadi internal
revenue service (2014) dan
menjadi Commodity Futures Trading
Commission (2014) official. Sehingga
XBT lebih terlihat sebagai sebuah
komoditas. Dalam beberapa teori,
termasuk juga Pluzhnyk & Evans
(2014), XBT dapat dilihat sebagai
sebuah non-voting liabilities dari
perusahaan otonom terdistribusi
(Larimer 2013).
Untuk melihat sejah mana Bitcoin
bisa menjadi layanan tersebut, Fama
(1980) mendeskripsikan fungsi utama
perbankan adalah sebuah industri
transaksi. “Yakni, pemeliharaan
sistem rekening dimana transfer
kekayaan itu dilakukan dengan entri
pembukuan”, itu adalah bank, dan
liabilitas XBT mencerminkan bank.

Banyak sekali para pendukung yang


berkeras menyebut bahwa XBT
adalah mata uang masyarakat (Blanc
& Fare 2013; Evans 2014b; Owen
2009; Seyfang & Pearson 2000).
Sedangkan para peneliti dari Bank
Sentral menyimpulkan bahwa XBT
tidak terlihat seperti mata uang (Bank
Sentral Eropa 2012; Lo & Wang
2014; Velde 2013).

Adanya ketidaksepakatan itu bisa


dipahami, karena regulator dari
kementrian terkait maupun badan
pengatur yang mengawasi subset
khusus yang telah diatur, seperti
dalam perbankan, kredit konsumen,
pinjaman hipotek, pembiayaan alat,
dana ventura, dan lainnya.
Sementara inovasi keuangan sering
mengaburkan garis pemisah satu
jenis aktifitas dari orang lainnya. Hal
ini bisa menyebabkan adanya
perselisihan dimana kementrian
terkait ataupun badan pengawas
yang memiliki peran yurisdiksi atas
inovasi. Manjadi cukup wajar, karena
regulator mungkin akan lebih memilih
dan melihat Bitcoin berdasarkan
beberapa kategori yang sudah ada
sebelumnya (Brito & Castillo 2013).

Dalam hal ini, adanya sebuah


alternatif lain tentu menjadi hal yang
ekstrim bagi regulator untuk
merancang kembali draft aturan,
debat, atau memberlakukan undang-
undang baru yang mungkin dapat
menciptakan kementrian baru
maupun badan pengatur yang
mengawasi penggunaan inovasi
keuangan baru ini di masyarakat.
Atau seperti yang telah terjadi secara
ekstrim pasca 11/9. Pada saat itu
ditahun 2008 dunia telah mengingkari
tanggung jawab dan membiarkan
para pelaku pasar menyortir semua
itu dalam keadaan laissez
faire (Zarate 2013).
Dalam catatan Brito & Castillo
(2013), hasil yang bisa dilihat dari
regulator di negara-negara anggota
OECD adalah adanya
kecenderungan untuk menempatkan
Bitcoin seperti regulasi yang telah
ada sebelumnya. Pada konteks IBF,
otoritas syariat menghadapi dilema
yang sama seperti para regulator di
Barat maupun Utara. Meskipun
aspek ini dapat didefinisikan secara
sempit, karena totalitas Bitcoin, dan
BMS, bisa masuk melampaui
kategori konvensional. Dan hal itu
jatuh pada otoritas untuk menyatakan
sebuah kategori awal dari sebelum,
sebelumnya.

Agar dapat melihat lebih jauh


mengapa ini bisa menjadi masalah,
anggaplah bahwa Bitcoin adalah
sebuah software lebih berarti dari
unit-unit XBT bitcoin. XBT akan
secara simultan bisa dilihat sebagai
sebuah liabilitas mata uang seperti
halnya mata uang dari bank sentral.
Sebagai saham non-voting
capital dalam sistem secara
keseluruhan, dan juga menjadi
sebuah kelas baru dalam sebuah
komoditas.
XBT juga bisa digunakan sebagai
alat tukar dan sebagai penyimpan
nilai. Sehingga hal-hal rumit pun
masih berlanjut. Seorang programer
di Argentina telah mengembangkan
cara untuk dapat menanamkan
sebuah pesan kedalam rantai blok
bitcoin, seperti time stamp yang
memungkinkan seperti sebuah akta
notaris (Kirk 2013). Rosenfeld (2012)
telah menciptakan cara untuk
menandai unit tertentu XBT dengan
sebuah string tambahan data (koin
berwarna) yang bisa memberikan
warna unik, dan menandainya
sebagai sebuah proxy dalam saham
ekuitas, obligasi, masa depan
kontrak, adanya pilihan, anuitas,
ataupun bahkan aset keuangan
lainnya. Pengembang ini terus
menggunakan platform ini agar dapat
meraih pencapaian yang lebih jauh
melalui akses internet. Dan dapat
digunakan untuk segala macam
transaksi dan layanan secara de
jure telah diatur dan diregulasikan,
dan sekarang menjadi de facto
unregulatable.
Situasi tersebut membuat teka-teki
besar para regulator. Jika pejabat di
beberapa kementerian atau badan
pengatur memberikan yurisdiksi
banking, bursa saham, pasar
derivatif, transmisi uang, pajak,
perlindungan konsumen dan lain-lain,
maka akan nampak sebagai sebuah
metafora dalam cerita klasik tentang
“Gajah”. Karena hal itu nampak
sebagai sebuah pandangan yang
khusus terhadapnya, lalu
membebaskannya dalam
situasi laissez faire, dan akhirnya
akan menghasilkan alasan dari
regulasi itu.
Sebaliknya, jika regulator dalam
kementrian tertentu atau badan
pengatur mencoba menerapkan
peraturan yang ada pada inovasi
teknologi yang merupakan superset
dari kategori yang ada, dan
menyadari juga tentang batasan
yurisdiksi, maka artinya mereka juga
mengambil resiko. Dan resiko itu
berada jauh dari jangkauan mereka.
Karena mereka akan menciptakan
insentif bagi para pengembang
Bitcoin dan pengusaha. Untuk bisa
beremigrasi ke yurisdiksi yang lebih
liberal, mengambil perusahaan
startup mereka, mungkin akan
menjadi genarasi sebelumnya seperti
pada Apple, Facebook, Google atau
yang lain. Hal ini tampaknya telah
terjadi di Amerika Serikat (Torpey
2014).

Tanggapan antara regulator di


negara-negara anggota OECD saat
ini telah cukup berdamai dengan
mata uang digital. Dalam beberapa
yurisdiksi, terutama di Uni Eropa,
telah menjadi cukup antusias. Hal ini
membuat iri di USA, dengan para
pejabat di CFTC (2014), FinCEN
(2013), dan juga IRS (2014) yang
telah memberikan sinyal positif.
Sementara para pejabat di
Departemen Kehakiman memberikan
sinyal negatif, begitupun juga di
kantor pengawas keuangan mata
uang yang memberikan sinyal tidak
setuju. Hal itu tentu dapat
menciptakan iklim yang cukup
menakutkan, karena berada dalam
situasi yang tidak pasti, keraguan
diantara pengusaha Bitcoin untuk
dapat melindungi mereka dari para
regulator. Meskipun syariah
dan Anglo-Saxon Common
Law saling orthogonal satu sama
lain, pemangku kebijakan yang
beroperasi dalam kedua tradisi
formal ini menghadapi situasi teknis
yang sama. Pengamatan berikut ini
dapat menjadi semangat

Anda mungkin juga menyukai