Anda di halaman 1dari 21

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan perbandingan

terhadap beberapa penelitian yang mengambil topik mengenai teori pertukaran

sosial yang meliputi kepuasan (satisfaction), kepercayaan (trust), komitmen

(commitment) serta loyalitas (loyalty) dan advokasi (advocacy). Bahasan tentang

topik tersebut didapat dari beberapa jurnal internasional dengan penulis yang

berasal dari Universitas di Indonesia hingga luar negeri dengan rentang tahun

2010 hingga 2015 yang paling terbaru. Berikut beberapa contoh penelitian pada

jurnal internasional topik serupa:

Peneitian kuantitatif yang dilakukan oleh Susanta, Taher Alhabsji,

M.S.Idrus dan Umar Nimran (2013) yang berjudul, “The Effect of Relationship

Quality on Customer Advocacy: The Mediating Role of Loyalty”. Menurut mereka,

penggunaan advokasi pelanggan sangat penting dalam usaha perusahaan untuk

mendapatkan pelanggan baru. Berdasarkan teori pertukaran sosial, advokasi

dapat dihasilkan dari kepuasan (satisfaction), kepercayaan (trust), komitmen

(commitment) dan loyalitas (loyality). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisis pengaruh kepuasan (satisfaction), kepercayaan (trust) dan

komitmen (commitment) terhadap loyalitas (loyalty) dan dampaknya terhadap

advokasi pelanggan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kepuasan

(satisfaction) dan komitmen (commitment) berpengaruh langsung pada advokasi,

namun kepercayaan (trust) belum. Loyalitas (loyalty) memediasi hubungan


16

antara kepercayaan (trust) dan advokasi, sementara komitmen (commitment)

memiliki dampak terbesar terhadap advokasi.

Sedangkan pada penelitian berikutnya dilakukan secara kuantitatif dan

dilakukan oleh Anna M. Walz dan Kevin G.Celuch (2010) yang berjudul “The

Effect of Retailer Communication on Customer Advocacy: The Mediating Role of

Trust” menyoroti bagaimana layanan bisa menciptakan lebih banyak pelanggan.

Dapat dikatakan bahwa advokasi, atau promosi atau pembelaan perusahaan,

produk, atau merek oleh pelanggan kepada pelanggan lainnya, merupakan salah

satu hasil terpenting dalam membangun keterlibatan pelanggan. Komunikasi

telah diposisikan sebagai salah satu strategi perusahaan yang paling efektif

dalam membangun hubungan, sementara tingkat kepercayaan (trust) pelanggan

terhadap perusahaan juga berpotensi mempengaruhi hasil relasional, seperti

advokasi. Temuan penelitian ini memuat implikasi praktis untuk pengelolaan

hubungan pengecer-pelanggan. Pertama, hasilnya jelas berbicara tentang

pentingnya kepercayaan (trust) pelanggan pada pengecer. Mengingat dalam

lingkungan yang kompetitif, manajemen ritel akan terlibat dalam upaya

peningkatan kualitas, menyadari manfaat dari tindakan tersebut mungkin minimal

(atau negatif) bagi pelanggan yang tidak memiliki kepercayaan yang cukup pada

pengecer. Bahkan dengan meningkatnya kualitas komunikasi, kurangnya

kepercayaan (trust) terhadap hubungan tampaknya menginfeksi pelanggan ritel

dari merasakan manfaat yang dirasakan mungkin dengan mengaktifkan

interpretasi "kurangnya rasa hormat" dan "bermaksud untuk bertindak secara

oportunis". Kemungkinan ini menyoroti pentingnya pengecer yang mencoba

membangun kepercayaan di awal hubungan dan secara aktif menjaga

kepercayaan dalam hubungan yang berkelanjutan.


17

Penelitian selanjutnya juga menggunakan metode kuantitatif dan

dilakukan oleh Muhammad Hassan, Arslan Ra, dan Syed Sibtain Kazmi (2015)

yang berjudul, “Impact of Differentiated Customer Service, Brand Trust, Brand

Commitment, and Brand Salience on Brand Advocacy” memiliki tujuan untuk

mengidentifikasi mengapa merek perlu memiliki advokasi pelanggan. Banyak

merek saat ini menawarkan jenis dan kualitas produk yang sama. Studi penelitian

ini membantu dalam mengidentifikasi faktor mana yang harus dipertimbangkan

oleh manajemen puncak saat merancang strategi pemasaran. Misalnya,

Kepercayaan (trust) pada merek berkembang ketika atribut produk yang

dirasakan dan atribut produk aktual sama. Itu akan menciptakan kepuasan

(satisfaction) pelanggan dan keterikatan emosional dan mengubah pelanggan

menjadi advokat. Studi penelitian ini memiliki beberapa implikasi manajerial

terhadap merek yang lebih fokus untuk membuat pendukung merek mereka dan

ingin tetap kompetitif di pasar. Mereka harus mempertimbangkan faktor-faktor

kritis ini untuk menjadi bagian dari strategi pemasaran mereka.

Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Bariky Robby, Lilik Noor

Yuliati, dan Megawati Simanjuntak (2015) yang berjudul “The Influence of

Customer Commitment and Loyalty Program on Customer Advocacy Behavior in

B2B Product” dilakukan secara kuantitatif dan secara empiris menguji dampak

kepuasan dan kepercayaan terhadap komitmen, dan mengeksplorasi efek

komitmen terhadap perilaku advokasi pelanggan. Tujuan lain dari makalah ini

juga untuk mengetahui pengaruh moderat dari program loyalitas B2B terhadap

advokasi pelanggan dan komitmen pelanggan dalam konteks sektor semen di

Indonesia. Hasilnya menunjukkan adanya kepuasan (satisfaction) berpengaruh

langsung terhadap kepercayaan (trust), namun tidak berpengaruh langsung pada

komitmen (commitment). Komitmen (commitment) memiliki dampak paling besar


18

terhadap advokasi. Program loyalitas memiliki peran dalam membuat pelanggan

dari komitmen (commitment) menuju advokasi. Dan program loyalitas juga

memiliki pengaruh langsung dalam membuat advokasi pelanggan.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Teori pertukaran sosial tumbuh dari persimpangan ekonomi, psikologi,

dan sosiologi. Ini dikembangkan untuk memahami perilaku sosial manusia dalam

usaha ekonomi (Homans, G, 1958) dan wilayah non-ekonomi (Blau, 1964).

Pertukaran didefinisikan sebagai interaksi sosial yang ditandai dengan

rangsangan timbal balik. Karena itu, teori pertukaran menguji proses

pembentukan dan mempertahankan timbal balik dalam hubungan sosial, atau

kepuasan timbal balik antara individu (Lee, 2010).

Beberapa perspektif dalam kerangka pertukaran sosial telah

mengembangkan asumsi dan proposisi (Homans, G, 1958). Meringkas prinsip

utama pertukaran sosial (Cook, Cheshire, dan Gerbasi, 2006) menggambarkan

empat asumsi utama kerangka kerja pertukaran sosial, sementara Lee Mohamad

dan Ramayah menggambarkan dua asumsi pertukaran sosial (Lee, 2010).

Asumsi mendasar dari banyak kerangka kerja pertukaran sosial menyatakan

bahwa aktor terlibat dalam hubungan pertukaran yang dimotivasi oleh keinginan

untuk meningkatkan keuntungan dan menghindari kerugian. Keuntungan dapat

dikaitkan dengan manfaat ekonomi dan keuntungan sosial. Kerugian dapat

dikaitkan dengan biaya keuangan, peralatan dan jumlah waktu yang

diinvestasikan. (Blau,1964) menyatakan bahwa SET adalah mengasumsikan

bahwa pihak pertukaran bermaksud memperoleh keuntungan dari hubungan

mereka yang tidak dapat dicapai dengan sendirinya. Manfaat juga dapat
19

mencakup penghargaan non-ekonomi yang berasal dari peningkatan utilitas

pasangannya (Andaleeb, 1995). Ini mungkin merupakan aspek pertukaran sosial

yang paling banyak diartikulasikan. Asumsi utama kedua menunjukkan hubungan

pertukaran berkembang berdasarkan saling ketergantungan. Dengan kata lain,

para aktor memasukkan hubungan untuk mencapai hasil yang tidak dapat

mereka capai sendiri. Pelanggan dan penyedia merek saling bergantung satu

sama lain untuk mencapai tujuan yang terpisah namun saling melengkapi.

Dengan asumsi ini, Emerson (Emerson, 1976) merujuk pada pertukaran produktif

di mana para pelaku dalam hubungan pertukaran bekerja sama untuk

menghasilkan produk akhir atau hasil yang dibagi dan dihargai oleh kedua belah

pihak. Asumsi ketiga menyatakan bahwa hubungan pertukaran terus berlanjut,

berkembang dari waktu ke waktu, dan terdiri dari pasangan tertentu. Ini juga

merupakan salah satu perbedaan utama antara pertukaran sosial dan ekonomi

dimana kemudian berfokus pada satu transaksi waktu. Asumsi terakhir

didasarkan pada konsep ekonomi hukum pengembalian yang semakin menurun,

juga dibahas dalam psikologi sebagai satiasi kekurangan. Prinsip-prinsip ini

berpendapat bahwa hasil, keuntungan, atau penghargaan yang harus dicapai

seseorang harus diperluas dan berubah seiring berjalannya waktu. Seorang aktor

akan melepaskan diri dari hubungan pertukaran jika nilai hasilnya tetap stagnan

dari waktu ke waktu. Ini merupakan kelanjutan dari asumsi sebelumnya bahwa

hubungan berkembang dari waktu ke waktu; dan jika dalam hubungan

pertukaran ini imbalan atau tunjangan baru tidak diterima, asumsi ini

berpendapat bahwa hubungan akan berakhir.


20

2.2.2 Relationship Quality

Konsep relationship quality muncul dari teori dan penelitian di bidang

relationship marketing (Crosby, 1990) (Dwyer, 1987) di mana tujuan utamanya

adalah untuk memperkuat hubungan yang sudah kuat dan untuk mengubah

pelanggan yang tidak peduli menjadi orang-orang yang loyal (Berry, 1991).

Relationship quality didefinisikan sebagai kondisi saat pelanggan dapat

mengandalkan integritas tenaga penjual dan memiliki kepercayaan terhadap

kinerja masa lalu penjual karena tingkat kinerja masa lalu telah memuaskan

secara konsisten (Crosby, 1990). Relationship quality dapat dianggap sebagai

tahapan awal yang terdiri dari beberapa komponen kunci yang mencerminkan

keseluruhan hubungan antara perusahaan dan pelanggan.

Relationship quality adalah teori tingkat tinggi yang terdiri dari beberapa

teori orde pertama, yang paling sering digunakan adalah kepuasan (satisfaction),

kepercayaan (trust), dan komitmen (commitment) terhadap hubungan

(Athanasopoulou, 2009) (Woo, 2004). Meskipun teori ini juga telah digunakan

secara luas dalam konteks business-to-business, Woo dan Ennew (2004)

memperingatkan bahwa jika mereka mewakili konsep yang paling tepat untuk

konteks ini, namun tetap terbuka untuk diperdebatkan. Athanasopoulou (2009)

telah melakukan analisis sebelumnya terhadap 64 artikel dari tahun 1987 sampai

Maret 2007 dan menemukan bahwa mereka telah menyepakati tiga dimensi

utama relationship quality: kepuasan (satisfaction), kepercayaan (trust), dan

komitmen (commitment) yang telah digunakan dalam banyak penelitian dan studi

yang telah divalidasi dalam konteks yang berbeda.


21

2.2.2.a Kepuasan (Satisfaction)

Telah disajikan berbagai definisi kepuasan pelanggan. Lyngnfld

menganggap kepuasan pelanggan dalam hal psikologis, sebagai perasaan

sebagai hasil perbandingan antara fitur produk yang diterima dengan kebutuhan

atau tuntutan pelanggan dan harapan sosial dalam kaitannya dengan produk.

Berdasarkan definisi di atas, Rupp mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai

perspektif individu yang disebabkan oleh perbandingan permanen antara kinerja

aktual kinerja perusahaan dan pelanggan yang diharapkan. Sedangkan menurut

Tapfer, kepuasan pelanggan tidak tergantung pada jenis kegiatan usaha suatu

perusahaan atau posisi perusahaan yang ada di pasaran, namun kepuasan

pelanggan tergantung pada kemampuan perusahaan untuk memberikan kualitas

yang diharapkan oleh pelanggan (Zanjani, 2010).

Zhvran mendefinisikan kepuasan pelanggan adalah suatu kondisi dimana

pelanggan merasa bahwa fitur produk sesuai dengan harapannya. Zhvran

menganggap ketidakpuasan atau ketidakpuasan pelanggan sebagai konsep

yang terpisah, mendefinisikannya seperti ini: ketidakpuasan pelanggan, adalah

kondisi dimana cacat dan kerugian produk menyebabkan ketidaknyamanan,

keluhan dan kritik pelanggan. Menurut peneliti, kepuasan dan ketidakpuasan

pelanggan tidak antitesis. Padahal, kepuasan pelanggan berasal dari fitur produk

atau layanan yang ditawarkan, yang mendorong pelanggan untuk membeli dan

menggunakannya. Di sisi lain ketidakpuasan pelanggan berasal dari cacat dan

kekurangan pada produk atau layanan yang menyebabkan gangguan pelanggan

dan keluhan. Namun, perlu dicatat bahkan banyak produk yang menyebabkan

kepuasan pelanggan masih memiliki tingkat pemasaran yang rendah disebabkan

pesaing lain menawarkan produk dengan tingkat fitur yang lebih tinggi untuk

kepuasan pelanggan (Zanjani, 2010).


22

Secara umum, metode umum yang diterima untuk memahami kepuasan

pelanggan adalah model harapan Oliver yang tidak disetujui. Model ini tidak

setuju dengan sikap pengalaman berbelanja. Produk atau layanan mengarah

pada terbentuknya harapan di benak pelanggan. Setelah pelanggan membeli

produk atau layanan dan menggunakannya, mereka mengevaluasi pengalaman

berbelanja dan kinerja produk atau layanan dibandingkan dengan harapan

sebelum menggunakan, dimana hasil penilaian ini menentukan sikap kepuasan

atau ketidakpuasan terhadap produk atau layanan (Carpenter, 2008).

Berdasarkan penelitian sebuah pusat penelitian, diketahui bahwa 90% pelanggan

yang tidak puas dari perusahaan lain, tidak akan pernah menggunakan produk

atau layanan yang dimaksud dan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan

mengacu pada pesaing. Terlebih lagi, pelanggan yang tidak puas ini akan

menceritakan masalah mereka kepada setidaknya 9 orang, dan 13 persen dari

orang-orang ini, akan memberikan subjek orang yang tidak puas ke lebih dari 20

orang lainnya.

Kepuasan pelanggan sangat tergantung pada persepsi dan ekspektasi

pelanggan. Menurut Zeithaml et.all (2003) terdapat empat faktor yang

mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan, yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang didengar pelanggan dari pelanggan lainnya (word of mouth

communication). Di mana hal ini merupakan faktor potensial yang

menentukan ekspektasi pelanggan. Sebagai contoh, seorang pelanggan

memiliki perusahaan yang di harapkan dapat memberikan pelayanan

dengan kualitas tinggi berdasarkan rekomendasi teman-teman atau

tetangganya.
23

2. Ekspektasi pelanggan sangat bergantung dari karakteristik individu

dimana kebutuhan pribadi (personnel needs).

3. Pengalaman masa lalu (past experience) dalam menggunakan

pelayanan dapat juga mempengaruhi tingkat ekspetasi pelanggan.

4. Komunikasi dengan pihak eksternal (external communication) dari

pemberi layanan memainkan peranan kunci dalam membentuk

ekspektasi pelanggan. Berdasarkan external communication, perusahan

pemberi layanan dapat memberikan pesan-pesan secara langsung

maupun tidak langsung kepada pelanggannya. Sebagai contoh dari

pengaruh adanya external communication adalah harga di mana biaya

pelayanan sangat berperan penting dalam membentuk ekspektasi

pelanggan.

Menurut (Yee, 2010) ada beberapa alasan bahwa kepuasan pelanggan

memiliki dampak positif terhadap profitabilitas perusahaan:

1. Kepuasan pelanggan mengakibatkan peningkatan loyalitas pelanggan

dan mempengaruhi tujuan pelanggan masa depan perilaku belanja

2. Pelanggan dengan kepuasan tinggi akan membayar harga ekstra

dengan kemauan lebih dan sensitivitas harga yang rendah

3. Kepuasan pelanggan menyebabkan peningkatan seluruh prestise atau

kredibilitas perusahaan

2.2.2.b Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan diartikan sebagai persepsi kepercayaan terhadap

keandalan perusahaan yang ditentukan oleh konfirmasi sistematis tentang

harapan terhadap tawaran perusahaan (Hasan, 2013). Becerra dan

Badrinarayanan (2013) mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan untuk


24

mengandalkan seseorang atas dasar kepercayaan dan karakteristik dirinya.

Reichheld (2003) berpendapat bahwa karena rekomendasi merek melibatkan

resiko reputasi diri, pelanggan hanya mempromosikan merek saat mereka

mempercayai merek yang sesuai dengan harapan mereka. Kepercayaan merek

dapat diambil dalam perspektif yang sama, yaitu kemauan untuk mengandalkan

merek berdasarkan persepsi, kepercayaan dan karakteristik merek yang baik

terlepas dari ketidakpastian yang terkait dengan merek. Menurut Becerra dan

Badrinarayanan (2013), seseorang mempercayai sebuah merek saat ia merasa

sebuah merek bisa diandalkan, kompeten dan konsisten. Kepercayaan merek

sangat mempengaruhi sikap pelanggan terhadap pembelian, loyalitas dan

advokasi. Kepercayaan merek memiliki pengaruh yang besar terhadap

pendekatan pelanggan dan perilaku terkait seperti melakukan pembelian,

loyalitas, dan komitmen terhadap merek. Selain itu, kepercayaan merek bisa

meningkatkan niat pembelian pelanggan.

Bowden (2009) berpendapat bahwa kepercayaan pada merek bukan

hanya masalah belanja satu kali atau interaksi dengan merek namun

berkembang seiring berlalunya waktu dan tidak semudah yang terlihat.

Kepercayaan bisa muncul bila seseorang merasa yakin pada keandalan

(realibility), kejujuran (integrity) dari mitranya, kemampuan (credibility) dan

kebaikan mitranya (benevolent). Mitranya dianggap andal dan jujur, jika teguh

(consistent), mempunyai kemampuan (competent), bertanggung jawab

(responsible), suka menolong (helpful), dan baik hati (benevolent).

Rahman (2014) menemukan bahwa persaingan di pasar telah meningkat

pesat karena banyak merek yang memproduksi jenis produk yang sama.

Terlepas dari peningkatan berbagai merek ini, pelanggan mencari kualitas dan

produk asli. Maka, merek harus membangun citra yang baik di mata pelanggan
25

dengan menyediakan produk terbaik yang tersedia di pasaran dan untuk alasan

ini merek juga bersaing satu sama lain dalam hal mendapatkan kepercayaan

pelanggan. Tetapi saat ini, persaingan pasar meningkat dengan cepat dan

pelanggan dengan mudah beralih ke merek lain, maka membangun kepercayaan

pada merek telah mencapai kepentingan maksimumnya saat ini. Kepercayaan

berarti mengadvokasi kepentingan jangka panjang pelanggan. Kepercayaan sulit

diperoleh dan mudah hilang, tetapi jika perusahaan mendapatkan kepercayaan,

ia akan menikmati keuntungan yang berkelanjutan. Kepercayaan meningkatkan

loyalitas pelanggan karena pelanggan yang puas membeli berulang kali, membeli

lebih banyak produk, dan merekrut teman mereka untuk menjadi pelanggan. Ini

bisa berarti pertumbuhan yang menguntungkan (Urban, 2005).

2.2.2.c Komitmen (Commitment)

Menurut Bloomer dan Kasper dalam Japarianto (2010), komitmen

didefinisikan sebagai ikatan emosional yang positif terhadap tindakan perilaku

seseorang yang dapat digunakan untuk membedakan antara loyalitas yang

sesungguhnya dan yang tidak asli. Komitmen menurut Li et al. (2014),

didefinisikan sebagai hubungan yang ada antara pelanggan dan merek.

Komitmen dihasilkan oleh sikap dan perilaku positif yang dikembangkan saat

sebuah merek menunjukkan karakteristik yang sama seperti yang dirasakan

pelanggan di merek tersebut. Ini memperkuat hubungan jangka panjang dengan

merek dan selanjutnya mengarah ke rujukannya kepada pihak lain. Abdel dan

Majid (1998), mengemukakan bahwa untuk mengamankan hubungan jangka

panjang dengan pelanggan dengan merek, membangun tingkat komitmen yang

baik sangat diperlukan untuk sebuah merek dan untuk mendapatkan loyalitas

pelanggan dan membangun komitmen harus melihat pelanggan yang konsisten,


26

melakukan pembelian ulang dengan merek dan jenis produk yang mereka cari

dan memenuhi kebutuhan mereka untuk menjadikan mereka pelanggan setia

dan mendapatkan komitmen mereka.

Keller (2009), menyatakan bahwa perubahan pasar dan metode

komunikasi yang cepat berubah dan arus informasi melalui media sosial, merek

harus bekerja berdasarkan apa yang dipikirkan pelanggan tentang merek mereka

dan seberapa besar pengetahuan yang mereka miliki tentang merek tersebut

sebagai tingkat komitmen mereka. Efek berapa banyak pengetahuan yang

mereka miliki tentang merek, merek perlu mengkomunikasikannya kepada

pelanggan untuk mengetahui merek mereka dengan baik. Knox dan Walker

(2001), berpendapat bahwa saat ini dalam persaingan pasar yang meningkat,

pelanggan mencari beragam dan inovatif produk. Tujuan utama setiap merek

harus memiliki produk yang sesuai dengan tren dan terus berinovasi untuk

produk mereka. Di lingkungan yang kompetitif saat ini, pelanggan lebih sering

beralih ke produk yang menurut mereka lebih baik bagi mereka baik dari sisi

inovasi maupun keterjangkauan. East et al. (2008), juga berpendapat bahwa

tidak selalu pelanggan tetap berkomitmen terhadap sebuah merek selamanya

bahkan jika merek tersebut menawarkan produk sesuai dengan kebutuhan

pelanggan. Merek yang lebih baru dan yang terbaru muncul dengan beragam

variasi produk yang sangat menarik pelanggan. Setiap pelanggan memiliki

pilihan dan preferensi yang berbeda yang terus berubah dengan tren dan

teknologi, tidak selalu diperlukan bagi merek untuk selalu mengikuti

perkembangan keduanya. Tren yang cepat berubah dapat menyebabkan mereka

beralih ke merek lain yang lebih menarik sesuai dengan perkembangan tren.

Jadi, tidak selalu penting bagi pelanggan untuk tetap berkomitmen terhadap

merek tertentu. Namun, Jan et al. (2006), menyatakan bahwa konsep komitmen
27

pada merek memiliki kepentingan yang besar di era sekarang. Pemasar juga

mencari peningkatan tingkat komitmen antara pelanggan dan merek. Merek

dengan pelanggan yang lebih berkomitmen lebih berhasil dari pada merek

dengan tingkat komitmen pelanggan yang rendah. Indikator yang digunakan

untuk mengukur variable komitmen didasarkan pada penelitian yang telah

dilakukan oleh Brown et al. (2005) dalam Praswati (2009), meliputi komitmen

hubungan, kepedulian hubungan berkelanjutan, dan usaha maksimal menjaga

hubungan.

2.2.3 Loyalitas

Pada era ini, perusahaan dituntut untuk tidak hanya mendapatkan laba

akan tetapi juga untuk mempertahankan pelanggan dan membuat pelanggan

setia. Hal ini lebih murah untuk menjaga pelanggan setia daripada secara aktif

memasarkan ke pelanggan baru (Hennig-Thurau, 2002). Mengingat semakin

ketatnya persaingan di dunia usaha saat ini. Hal inilah yang disebut sebagai

loyalitas pelanggan. Loyalitas adalah sikap dari pelanggan dalam menentukan

pilihannya untuk tetap menggunakan produk atau jasa dari suatu perusahaan.

Menurut Hasan (2013) menjelaskan konsep loyalitas pelanggan adalah sebagai

berikut:

a. Konsep generic. Loyalitas merek menunjukkan kecenderungan

pelanggan untuk membeli sebuah merek tertentu dengan tingkat

konsistensi yang tinggi

b. Konsep perilaku. Pembelian ulang kerapkali dihubungkan dengan

loyalitas merek (brand loyalty). Perbedaannya, bila loyalitas merek

mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu, perilaku

pembelian ulang menyangkut pembelian merek yang sama secara

berulang-ulang.
28

c. Pembelian ulang merupakan hasil dominasi perusahaan (1) yang

berhasil membuat produknya menjadi satu-satunya alternatif yang

tersedia (2) yang terus–menerus melakukan promosi untuk memikat dan

membujuk pelanggan membeli kembali merek yang sama.

Selain itu Griffin dalam Musanto (2004) berpendapat bahwa seseorang

pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan

perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana

mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu

tertentu. Menurut Griffin (2002) ciri-ciri pelanggan yang loyal adalah sebagai

berikut: (a) melakukan pembelian berulang secara teratur; (b) membeli antar lini

produk atau jasa; (c) mereferensikan kepada orang lain; (d) menunjukkan

kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing. Upaya memberikan

kepuasan pelanggan dilakukan untuk mempengaruhi sikap pelanggan,

sedangkan konsep loyalitas pelanggan lebih berkaitan dengan perilaku

pelanggan daripada sikap dari pelanggan. Menurut Olorunniwo, Hsu dan Udo

(2006), pelanggan setia mempengaruhi profitabilitas dan kesuksesan

keseluruhan organisasi dalam tiga cara. Pertama, pembelian pelanggan berulang

menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Kedua, dapat mengurangi finansial

dalam mempertahankan pelanggan daripada merekrut pelanggan baru dan

pelanggan. Ketiga, pelanggan yang loyal dan puas akan menyebarkan kabar

baik dan merekomendasikan layanan kepada orang lain.

2.2.4 Advokasi

Advokasi pelanggan berkembang dalam terminologi modern pemasaran

dengan menggunakan kata konstruktif dari mulut ke mulut. East et al. (2008)

mengamati bahwa kekuatan ekspresi WOM memiliki pengaruh yang signifikan


29

terhadap efektivitas sebuah merek. Advokasi tidak hanya melalui mulut ke mulut

tapi juga yakin apa yang dibicarakan dari mulut ke mulut, berbicara jujur tentang

perusahaan dan memuji itu kepada orang lain (Walz & Celuch, 2010). Advokasi

pelanggan pada dasarnya adalah sebuah bentuk WOM atau komunikasi informal

yang dilakukan komunikator non-komersil (Harrison-Walker, 2001). Advokasi

pelanggan adalah sikap positif terhadap suatu produk oleh pelanggan yang puas

dan rekomendasinya kepada orang lain tentang produk itu (Howard dan Kerin,

2013). Hawkins (2004) menyatakan bahwa itu adalah jiwa manusia yang saling

meniru secara sosial dan yang terpenting mereka membicarakan pengalaman

mereka satu sama lain. Hal ini sangat penting bagi merek untuk memiliki

pendukung untuk mereka. Tidak perlu mempekerjakan seseorang untuk

mempromosikan produk mereka. Solomon (2002) mengemukakan bahwa

informasi yang diperoleh melalui Word Of Mouth lebih dipercaya karena informasi

tersebut didapat orang yang kita kenal. Mowen dan Minor (2002) juga

mengemukakan bahwa informasi Word of Mouth tersebut langsung berasal dari

orang lain yang menggambarkan secara pribadi pengalamannya sendiri, maka ini

jauh lebih jelas bagi pelanggan daripada informasi yang terdapat dalam iklan.

Hasil bersihnya adalah bahwa informasi Word of Mouth jauh lebih mudah

terjangkau oleh ingatan dan mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar

terhadap pelanggan.

Menurut Lawer dan Knox (2006), advokasi pelanggan mempromosikan

sifat dan kualitas sebuah merek yang menciptakan keinginan membeli dan

membangun advokasi pelanggan terhadap sebuah merek mampu membangun

hubungan yang lebih dalam dengan mendapatkan kepercayaan dan

transparansi. Setelah ikatan kuat ini tercipta antara pelangaan dan merek itu,
30

maka pelanggan tersebut berkomunikasi dengan orang lain melalui hal positif

dari produk itu yang membuatnya menjadi pendukung merek untuk produk itu.

Hollebeek (2011) (Smith and Wheeler, 2005) mengemukakan bahwa jika

pelanggan menyukai sebuah merek, maka mereka akan mengkomunikasikannya

kepada orang lain yang akan mencakup keluarga dan teman mereka tentang

merek itu dan siap untuk memperdebatkan merek dan memberikan dukungan

kepada merek sebaik bisnis mereka sendiri.

Selain mengkomunikasikan tentang merek kepada orang lain, Du et al.

(2007) menyatakan bahwa pendukung merek lebih cenderung menerima produk

baru dari merek tersebut dan juga memaafkan merek untuk jenis perilaku buruk

apa pun. Menurut Batra (2011), advokasi pelanggan bisa juga disebut mencoba

produk baru dari merek dan berbicara tentang produk baru dari merek tersebut.

Mereka siap untuk memaafkan kesalahan yang dimiliki oleh merek tersebut.

Keberhasilan dalam menerapkan perilaku advokasi pelanggan dapat dilihat dari

perilaku pelanggan setelah pembelian. Walz dan Celuch (2010) mengukur

perilaku advokasi pelanggan dengan 4 (empat) indikator yaitu: (1) mengucapkan

hal positif tentang produk / merek, (2) membela merek ketika ada isu negatif, (3)

mendorong teman dan saudara dan (4) memberikan rekomendasi. Cara yang

efektif bagi sebuah organisasi untuk menduduki posisi puncak adalah

mendapatkan lebih banyak rekomendasi yang kuat. Advokasi pelanggan

merupakan puncak piramida sebuah bisnis.


31

Kepercayaan
(Trust)

Kepuasaaan Loyalitas Advokasi


(Satisfaction) (Loyalty) (Advocacy)

Komitmen
(Commitment)

Gambar 2.1 Konseptual Model


Sumber: Susanta, Taher, M.S., Umar (2013)

2.2.5 Strategi Penciptaan Advokasi Pelanggan

Dalam suatu perusahaan ataupun bisnis, tentunya tidak dapat lepas dari

pelanggan. Perkembangan atau keberhasilan dalam memperoleh laba sangat

tergantung pada jumlah pelanggan yang setia atau loyal terhadap perusahaan

tersebut. Keadaan ini menuntut perusahaan untuk selalu berusaha mendapatkan

sebanyak-banyaknya jumlah pelanggan dan mencegah jangan sampai

pelanggannya pindah ke kompetitor. Oleh karena itu, pentingnya penciptaan

program advokasi agar pelanggan yang telah loyal kepada sebuah merek akan

merasa di’orang’kan atau dihargai keberadaannya oleh sebuah perusahaan dan

keberadaan mereka mampu mendukung keberhasilan merek secara

berkelanjutan.

Lee (2012) memberikan beberapa elemen kunci menciptakan proporsi

nilai menyeluruh yang bisa mendorong customer advocates dan menjaga

integritas advokasi mereka:

1. Menyampaikan apa yang perusahaan janjikan dan segera

memperbaiki kesalahan. Elemen ini adalah permulaan dan sering kali


32

perusahaan melupakannya seiring waktu. Pemasaran yang berbasis

pengaruh dan advokasi pelanggan harus menjaga kebenaran tetap di

depan. Aksi garda depan ini adalah hal yang mendasari antusiasme asli

dari para pelanggan.

2. Mengetahui masalah pelanggan. Patty Morrison, CIO Cardinal Health,

mengatakan, “Hal paling penting yang bisa Anda bicarakan dengan saya

– sebagai pelanggan – adalah ketahui masalah saya.” “Dan itu tidak

begitu sulit,” lanjutnya.

3. Mengumpulkan customer references bersama para sebayanya.

Perusahaan berada di posisi sangat baik untuk menghubungkan

pelanggan dengan para teman sebayanya dan hubungan tersebut sangat

berharga. Adakan berbagai live event supaya mereka bisa bertukar ide

dan belajar satu sama lain.

4. Menyediakan peluang untuk berkembang bagi customer

references. Sering kali customer references yang dimiliki perusahaan

yang paling dinamis ingin berkembang secara personal dan profesional.

Memberikan mereka fasilitas untuk berkembang seperti peluang

berbicara, wawancara dengan media, dan semacamnya di mana

pelanggan bisa mendemonstrasikan kepemimpinannya.

5. Menawarkan kemungkinan lain customer-engagement. Ini penting

bagi pelanggan kunci yang mungkin sangat ingin memberi masukan

tentang produk atau solution development atau bahkan arah strategis

perusahaan Anda. Menawarkan pelanggan posisi di dewan penasehat

atau forum eksekutif perusahaan. Atau mereka mungkin ingin terlibat

dengan pelanggan lain atau rekan sebayanya dalam upaya komunitas.


33

Program advokasi pelanggan sebagai program yang ditawarkan kepada

pelanggan yang bertujuan untuk membangun ikatan emosional terhadap

perusahaan atau merek perusahaan agar mereka menjadi pelanggan setia

perusahaan dalam jangka panjang. Menurut Kotler dan Armstrong (2004, 16-23),

customer relationship management merupakan proses membangun dan

mempertahankan hubungan jangka panjang yang menguntungkan dengan

pelanggan melalui penyediaan pelayanan yang bernilai dan yang memuaskan

mereka. Secara garis besar, perusahaan dapat mengembangkan hubungan

dengan pelanggannya melalui tiga pendekatan, yaitu (1) manfaat finansial

(financial benefit); (2) manfaat sosial (social benefit); dan (3) ikatan struktural

(structural ties).

a. Manfaat finansial (financial benefit)

Manfaat finansial meliputi penghematan biaya yang dikeluarkan oleh

seorang pelanggan pada saat mereka membeli produk atau jasa perusahaan.

Hal ini bisa diimplementasikan berupa membership card. Sistem membership

card yang ada bisa berupa diskon langsung, buy 1 get 1 free, cashback, sistem

pengumpulan point, dan hadiah. Dalam program membership card seringkali ada

juga Tier System, hanya saja dalam program ini member diklasifikasikan kembali

berdasarkan tingkat loyalitas mereka dengan apa yang dapat perusahaan

berikan dan biasanya diperuntukan untuk pembelian dengan nilai dan komitmen

yang tinggi. Misalkan kartu pelanggan silver, gold dan platinum.

b. Manfaat sosial (social benefit)

Pemberian manfaat sosial lebih menyentuh pada kebutuhan dan

keinginan pelanggan secara personal. Pada tingkat ini, hubungan antar


34

pelanggan tidak hanya tercipta karena insentif semata yang diberikan

perusahaan tetapi sudah lebih jauh kepada ikatan sosial antara perusahaan

dengan pelanggan, maupun antar pelanggan yang satu dengan yang lainnya.

Implememtasi dari social benefit ini yang paling mudah adalah berusaha

mengingat nama individu pembeli maupun mengingat apa yang mereka biasa

beli. Selain implementasi secara sederhana di atas, implementasi social benefit

dapat dilakukan dengan pembentukan sebuah club atau komunitas. Di mana

hubungan yang tercipta bukan hanya sekadar hubungan pelanggan dengan

perusahaan namun hubungan pelanggan dengan pelanggan lainnya.

Komunitas adalah sekelompok orang yang memiliki social relationship

yang kuat pada suatu geografis tertentu, sehingga mereka telah berkembang

menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh kesamaan

kepentingan (common interest). Perilaku belanja dan perilaku konsumsi individu

dalam kelompok dapat dipengaruhi karena adanya informasi yang mereka terima

tentang reputasi mengenai suatu produk atau merek, dari rekan-rekan anggota

dan kelompoknya. Semakin tinggi tingkat kepercayaan merek yang dimiliki

pelanggan, semakin kuat pula komunikasi yang dilakukan oleh suatu komunitas

terhadap merek, Shah Alam and Yasin (2010)

Memicu keputusan individu untuk menggunakan produk yang sama

dengan yang digunakan kelompok. Kelompok yang mempunyai kekuatan dalam

memberikan rekomendasi dan bahkan mengharuskan anggotanya untuk

mengunakan suatu produk tertentu akan mempunyai pengaruh kuat terhadap

perilaku konsumsi dan perilaku belanja anggotanya, sehingga secara langsung

berpengaruh terhadap perilaku pelanggan, Suryani (2008, h.226).

Menurut Rahmadevita (2013), faktor-faktor yang menentukan kekuatan

pengaruh kelompok antara lain:


35

1. Menginformasikan atau membuat individu lebih menyadari mengenai

produk atau merek tertentu. Suatu kelompok pembelanja akan

mempunyai pengaruh yang kuat dalam hal pemilihan merek kepada

anggota yang tergabung dalam kelompoknya, jika kelompok tersebut

mempunyai informasi yang banyak dan lengkap tentang berbagai

merek maka akan besar pula pengaruh yang dibawa.

2. Memberikan kesempatan untuk membandingkan. Dalam interaksi

anggota kelompok akan saling berbagi pengalaman, menyampaikan

ide, dan bertanya kepada yang lainnya. Pengaruh kelompok akan kuat

jika dalam kelompok tersebut terdapat suasana untuk saling berbagi

pengalaman dan diskusi untuk membandingkan berbagai pilihan dan

perilaku belanja dan perilaku konsumsi.

3. Mempengaruhi individu untuk mengadopsi sikap. Kelompok yang

mempunyai pengaruh kuat pada anggotanya untuk menyesuaikan

dengan sikap yang dikembangkan oleh kelompok, akan lebih

berpengaruh dibandingkan kelompok yang lemah dalam

mempengaruhi perilaku anggotanya.

c. Ikatan Struktural (structural ties)

Membangun hubungan jangka panjang yang menguntungkan bagi

pelanggan melalui penyedia ikatan struktural sehingga memudahkan transaksi

dengan perusahaan. Hal ini dicontohkan dengan FedEx, sebagai perusahaan

pengiriman barang yang melengkapi sistemnya dengan sistem online, sehingga

pelanggan dapat menelusuri status atau lokasi barang mereka pada situs resmi

perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai