Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul

secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama Epilepsi juga

merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak

hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun

keluarganya. Salah satu penyakit yang dapat menyerang otak adalah epilepsi.

Menurut World Health Organization (WHO) epilepsi adalah gangguan kronik pada otak

yang di tandai dengan adanya kejang berulang dan terkadang disertai dengan hilangnya

kesadaran. Pada kasus epilepsi, kejang terjadi ketika impuls listrik dihasilkan secara berlebihan

sehingga menyebabkan perilaku atau gerakan tubuh yang tidak terkendali. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(PERDOSSI) yang menyatakan epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

berulang akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara

paroksismal bukan disebabkan oleh penyakit otak akut

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,

diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di

antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di Negara berkembang(1,2). Laporan WHO

(2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara

1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan

insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan

angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan,

1
kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan

remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan umum : Memberikan gambaran umum tentang Epilepsi , penyebab, diagnosa, terapi dan

komplikasi dari Epilepsi .Sehingga dapat dilakukan tindakan pertolongan yang

tepat oleh tenaga medis untuk mencegah timbulnya komplikasi yang tidak

diinginkan

Tujuan khusus: Memberikan gambaran karakteristik Epilepsi bagi mahasiswa kedokteran

sebagai bahan studi untuk meningkatkan pengetahuan dan penatalaksanaan

kesehatan terhadap Epilepsi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah gangguan kronik pada otak yang di tandai dengan adanya kejang

berulang dan terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran. Pada kasus epilepsi, kejang

terjadi ketika impuls listrik dihasilkan secara berlebihan sehingga menyebabkan perilaku atau

gerakan tubuh yang tidak terkendali (WHO, 2012).

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) epilepsi adalah

suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul

tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron

yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya

timbul intermien dan ‘self-limited’ (PERDOSSI, 2011).

International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy

(IBE) merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh

adanya faktor predisposisi yang mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,

kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini

membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya (Fisher dkk, 2005).

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE

(Octaviana, 2008), yaitu:

1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya

2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya

3
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

konsekuensi sosial yang ditimbulkan

2.2 Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar lima

puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy lebih tinggi di negara

berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di

Negara berkembang mencapai 100/100.000. Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya

tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun

dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun

sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya

penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsi terjadi sebelum umur 18 tahun.

2.3 Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi Sistem Saraf Pusat

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,

pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan

arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus sulkus, dan fisura korteks serebri.

Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang

disebut lobus.

4
Gambar 2.3: Bagian-bagian Otak

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Serebrum (Otak Besar)

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan

berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk

mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.

Bagian lobus yang menonjol disebut gyrusdan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut

sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalahlobus frontal, lobus parietal, lobus

oksipital dan lobus temporal.

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal

bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik

dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis. Daerah ini berfungsi

untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan

segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic

b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dibagian paling depan dari serebrum.

Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini

terdapat area motorik untukmengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca

5
sebagai pusat bicara, dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas

intelektual.

c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis

yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal

berperan penting dalam kemampuan 10, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk

suara.

d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini

berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan

interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata

2. Serebelum (Otak Kecil)

Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di

bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan dibawah lobus oksipital,

dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas

gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap

atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu,

serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang

dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,

gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya

3. Batang Otak

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan

memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,

denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur Bila terdapat massa pada

batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu

6
maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun batang otak terdiri

dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang

otak yang menghubungkan serebrum dan serebelun. Saraf kranial III dan IV

diasosiasikan dengan otak tengah Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon

penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan

pendengaran

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla

oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan

dengan pons

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan

berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial

posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla sedangkan CN VI dan VIII

berada pada perhubungan dari pons dan medulla.

2. Sistem Saraf Otak

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri

terutama dari jaringan saraf yang berfungsi untuk menyelenggarakan kerjasama yang rapi dalam

organisasi dan koordinasi kegiatan tubuh. Sistem saraf terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel

penyokong (neuroglia dan sel schwann). Kedua jenis sel tersebut berkaitan erat satu sama lain

sehingga bersama-sama berfungsi sebagai suatu unit. Susunan saraf pusat manusia terdiri atas

sekitar 100 miliar neuron. Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomi dan

fungsional sistem persarafan.

7
Gambar 2.3: Struktur Neuron

Neuron terdiri dari:

 Badan sel

Secara relatif badan sel lebih besar dan mengelilingi nukleus yang didalamnya terdapat

nukleolus. Disekelilingnya terdapat perikarion yang berisi neurofilamen yang berkelompok yang

disebut neurofibril. Diluarnya terhubungkan dengan dendrit dan akson yang memberikan

dukungan terhadp proses-proses fisiologis.

 Dendrit

Dendrit adalah tonjolon yang menghantarkan informasi menuju badan sel. Dendrit

merupakan bagian yang menjulur keluar dari badan sel dan menjalar kesegala arah. Khususnya

dikorteks serebri dan serebellum, dendrit mempunyai tonjolan-tonjolan kecil bulat, yang disebut

tonjolan dendrit. Neuron tertentu juga mempunyai akson fibrosa yang panjang yang berasal dari

daerah yang agak tebal dibadan sel yaitu akson hilok (bukit akson).

8
 Akson

Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel disebut

akson. Dendrit dan akson secara kolektif sering disebut sebagai serabut saraf atau tonjolan saraf.

Kemampuan untuk menerima, menyampaikan dan menerusakan pesan-pesan neural disebabkan

saraf khusus membran sel neuron yang mudah dirangsang dan dapat menghantarkan pesan

elektrokimia. Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara

tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari

sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamaan.

2.4 Etiologi

Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi,

atau oleh stimulus berlebihan pada sinaps eksitasi atau oleh perubahan pada keseimbangan

neurotransmiter palsu yang memblokade aksi neurotransmiter alamiah (Lumbantobing, 2000).

Bangkitan epilepsi merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik yang berlebihan di sel

neuron otak. Hal ini terjadi karena fungsi neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa

gangguan fisiologis, biokimia, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Setiap kelainan yang

mengganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron diotak, baik kelainan lokal maupun umum, dapat

mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang atau epilepsi.

Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:

a. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi

anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3

9
tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukan alat-alat diagnostik

yang canggih kelompok ini makin kecil.

b. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya:

post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,

malformasi otak kongenital, asphyxi a neonatorum, lesi desak ruang,

gangguan perdarahan otak toksik (alcohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

c. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belumdiketahui,

termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox -Gastaut dan epilepsi

mioklonik.

2.5 Klasifikasi Epilepsi

Dalam bidang epilepsi dikenal 2 klasifikasi, yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang

dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan kejang bukanlah klasifikasi epilepsi, tetapi

dibuat semata-mata berdasarkan manifestasi kejang secara klinis dan EEG. Masing-masing

serangan kejang tersebut dapat terjadi pada sindrom epilepsi berbeda.

Sebaliknya, klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi, dibuat untuk

mendeskripsi grup yang menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik smanifestasi klinis,

umur, EEG, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang

bervariasi.

Berdasarkan klasifikasi International League Againts Epilepsy didasarkan pada serangan

kejang secara klinis, EEG iktal (EEG pada saat serangan), EEG interiktal (EEG diluar serangan),

anatomi, etiologi dan umur. Pada tahun 1981 dibuat revisi yang hanya berdasarkan manifestasi

klinis, EEG iktal dan EEG interiktal yaitu sebagai berikut (Priyatna, 2012) :

10
1. Bangkitan Parsial/Fokal

a. Parsial Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

 Dengan gejala motorik

 Dengan gejala autonomic

 Dengan gejala somato sensori

 Dengan gejala psikis

b. Parsial Kompleks (dengan gangguan kesadaran)

 Dengan gangguan kesadaran sejak onset

 Onset parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran

c. Kejang Parsial menjadi tonik-klonik umum secara sekunder

 Parsial sederhana menjadi tonik-klonik umum secara sekunder

 Parsial kompleks menjadi tonik-klonik umum secara sekunder

2. Bangkitan Umum

a. Absens (Lena)

Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak,

frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir.

b. Absens Atipik

Berupa absens yang disertai kehilangan tonus yang sangat jelas atau onset dan

berhentinya serangan tidak mendadak.

c. Mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau

terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas atau satu grup otot. Dapat

berulang atau tunggal.

11
d. Klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. Dijumpai

terutama pada anak.

e. Tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu

posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala kesatu sisi, dapat disertai rotasi

seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak

dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif dan pupil dilatasi.

f. Tonik-Klonik

Dikenal sebagai epilepsi grand mal suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat

kemudian diikuti oleh gerakan klonik. Kejang tonik-klonik merupakan bangkitan kejang

yang terlihat pada kejang demam.

g. Atopik atau Astatik

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh kedepan,

mulut terbuka atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.

2.6 Patofisiologi Epilepsi

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-

ion yang terdapat didalam dan diluar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan

polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis

dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat

eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,

kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan

12
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson untuk

merangsang atau menghambat neuron lain sehingga terjadilah epilepsi (Tjahjadi, 2007).

Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang

berlebihan pada sebagian atau seluruh batang otak. Seorang penderita dikatakan epilepsi bila

setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada

eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi

otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang

mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental (Pinzon, 2006).

2.7 Manifestasi Klinis

a. Kejang parsial simplek

Serangan diamana pasien akan tetap sadar, pasien akan mengalami gejala berupa:

 Déjà vu: perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan

 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih

tertentu.

 Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

 Halusinasi

b. Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih lama.

Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu

serangan. Gejalanya meliputi:

13
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah-Melakukan gerakan yang sama berulang-

ulang atau memainkan pakaiannya

 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan

seperti sedang bingung

 Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang-Berbicara tidak jelas seperti

menggumam.

c. Kejang tonik klonik (epilepsi grand mal)

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahaptonik atau

kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami

tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan

perasaan yang dialami sebelumserangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang,

telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan

keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasanyang jelas, menggigit

pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:terjaadi kontraksi otot yang berulang dan

tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak

sangat pucat, pasienmungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan

semacam ini.

Gambar 2.7: fase epilepsi

14
2.8 Faktor Resiko Epilepsi

Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah (Bahtera,

2011) :

b. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama

c. Kejang demam kompleks

d. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

Gangguan stabilitas neuron-neuron otak yang terjadi saat epilepsi, dapat terjadi saat

(Raharjo dkk, 2007):

Tabel 2.8 Faktor resiko epilepsi

Prenatal Natal Postnatal

a. Umur ibu saat hamil a. Asfiksia a. Kejang demam


terlalu muda (<20 tahun) b. Bayi dengan berat badan b. Trauma kepala
atau terlalu tua (>35 lahir rendah (<2500 c. Infeksi SSP
tahun) gram) d. Gangguan metabolic
b. Kehamilan dengan c. Kelahiran prematur atau
eklampsia dan hipertensi postmatur
c. Kehamilan primipara d. Partus lama
atau multipara e. Persalinan dengan alat
d. Pemakaian bahan toksik

2.9 Diagnosis Epilepsi

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu (Harsono, 2011) :

 Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan

bangkitan epilepsy

 Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan

tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana

15
 Langkah ketiga : Tentukan sindrom epilepsi apa yang di tunjukkan oleh bangkitan tadi,

atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.

Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut :

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal

segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan

lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis

(Priyatna, 2012).

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi (Priyatna, 2012) :

1. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan

 Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih.

 Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest .

 Apa yang tampak selama bangkitan (pola / bentuk / bangkitan) : gerakan tonik /

klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat

maupun deviasi mata.

 Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah atau

Todd’s paresis.

 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat perubahan pola

bangkitan.

2. Ada / tidaknya penyakit yang diderita sekarang maupun riwayat penyakit neurologik

dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi

penyebab.

3. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan dan interval terpanjang antar bangkitan.

16
4. Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma

kepala, kelainan kongenital dan gangguan neurologi. Pemeriksa harus memastikan bahwa kejang

tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam, gangguan elektrolit dan gangguan metabolik

lainnya.

Adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota tubuh

dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak. Gambaran dismorfik muka, tanda-tanda

tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, makula, warna pucat dan sebagainya

untuk melihat sindroma epilepsi tertentu (Markam, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin dan ureum dalam

darah. Keadaan seperti hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik

ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit

bersama dengan glukosa, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan tes fungsi

hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna (Markam, 2009).

2. Elektroensefalografi (EEG)

Elektro ensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui

elektroda yang ditempatkan di kulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita

epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus

dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering

dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi.

17
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,

sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan

genetik atau metabolik (Soetomenggolo, 2007).

Gambar 2.9 EEG interiktal: sentro temporal spike

Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya :

a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama dikedua hemisfer otak

b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal

gelombang delta

c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang

tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk dan gelombang lambat yang timbul

secara paroksimal.

3. Rekaman video EEG

Pemeriksaan video EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena

epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam

waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang

epilepsi.

18
4. Pemeriksaan Radiologis

CT-Scan (Computhed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) kepala merupakan pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang

bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi

data EEG.

CT-Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian

pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan

sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT-Scan. Oleh karena mendeteksi lesi kecil

diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa

maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat

untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

5. Pemeriksaan Neuro psikologi

Pemeriksaan ini dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan

terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan

fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dengan

serangan kejang yang bukan epilepsi.

2.10 Penatalaksanaan Epilepsi

Status epileptikus merupakan kondisi kegawat daruratan yang memerlukan pengobatan

yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian. Definisi dari

status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan

bila sudah lebih dari 5-10 menit (Tudur, 2007).

19
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu (Raharjo dkk, 2007):

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang

adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor

penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan

pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat

badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti,

dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua

kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk

dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari

serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai

kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terusmenerus maka kerusakan sel-sel otak

akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena

itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.

Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila

serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2

tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang

baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia :

20
Tabel 2.10 Dosis Obat Anti Epilepsi Pada Anak

Obat Dosis awal Dosis maintenance Frekuensi


(mg/kg/hari (mg/kg/bb) pemberian
(kali/hari

Fenitoin 5 5-15 1-2

Karbamazepin 5 10-25 2-4

Okskarbazepin 5 10-50 2-3

Lamotrigin 0,5 2-8 1-2

Zonisamid 2-4 4-8 2

Etosuksimid 10 15-30 1-2

Felbamat 15 30-45 3-4

Topiramat 0,5-1 5-9 2

Clobazam 0,25 0,5-1 1-2

Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3

Fenobarbital 4 4-8 1-2

Pirimidon 10 20-30 1-2

Vigabatrin 40 50-150 1-2

Gabapentin 20 20-40 3

Valproat 10 15-40 2-3

Levetiracetam 10 20-60 2

Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi

secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap

diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda

keracunan obat. Prinsip pemberianobat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis

terendah.

21
2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi

fokus infeksi yaitu jaringan otakyang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk

penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi

berdasarkan letak fokus infeksi :

a. Lobektomi temporal

b. Eksisi korteks ekstratemporal

c. Hemisferektomi

d. Callostomi

3) Terapi nutrisi

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengankejang berat yang kurang

dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.

Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun

mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,

tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang.

Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan

yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.

Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak

terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan

sebesar 75–80 kkal/kg. Untuk pengendaliankejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet

dan obat antiepilepsi.

22
2.11 Prognosis Epilepsi

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor

penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup

menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,

sedangkan 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat (Harsono, 2007).

Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin untuk

menghentiksn pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe epilepsi yang

diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman. Hampir

seperempat pasien yang bebas kejang selama 3 tahun akan tetap bebas setelah menghentikan

pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari setengah

pasien anak-anak dengan epilepsi dapat menghentikan pengobatan tanpa perkembangan kejang

(Tudur, 2007).

23
BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya

bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan

dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal

dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi

apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.

Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan

peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure

pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure

walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan

otak dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi mungkin

juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum

diketahui

24
DAFTAR PUSTAKA

Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, dkk. Epileptic Seizure and Epilepsy:

Definition Proposed by the International League Againts Epilpesy (ILAE) and

International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 2005. 46 (4): 470-2.

Harsono, Endang K, Suryani G. 2011.Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI

Harsono. 2007. Epilepsi Edisi ke dua. Yogyakarta: UGM Press

Lumbantobing SM. 2006. Epilepsi (Ayan). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Markam, S. 2009. Penuntun Neurologi. Tangerang: Binarupa Aksara

Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011. Penegakkan Diagnosis Pada Pasien

Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI

Sirait E, et al. 2015. Karakteristik Penderita Epilepsi Rawat Inap Di RSUP Haji Adam Malik

Medan Tahun 2011-2013

Subcommittee on Febrile Seizure. Febrile Seizure: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation

of the Child With a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011. hal. 389-391

Tjahjadi P , Dikot Y , Gunawan D. 2007. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam :

Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Ke-2. Yogyakarta : Gajahmada

University Press

World Health Organization (WHO). 2012. Epilepsy: The Disorder. Atlas Epilepsy Care in The

World.

25

Anda mungkin juga menyukai