Anda di halaman 1dari 24

5

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Lahan Sawah dan Jarak Tanam


Tanah sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu jenis
tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan berbagai
jenis tanah untuk budidaya padi sawah. Pengelolaan lahan yang tepat akan
menghasilkan kondisi sawah yang kaya akan unsur hara didalamnya dan menjadi
tanaman tumbuh subur. Salah satu diantara cara pengelolaan lahan sawah yaitu
dengan melakukan kegiatan penyiangan. Penyiangan yang baik dilakukan ketika
gulma tercabut bersama akarnya. Namun untuk dapat tercabut sampai keperakaran
gulma, kondisi tanah harus tercukupi oleh air dan mengandung fraksi pasir, debu
dan lempung. Sehingga dalam kegiatan penyiangan, kondisi tanah sawah harus
berada pada kondisi macak-macak (cukup tergenang) selama masa pertumbuhan.
Syarat kondisi lahan sawah yang sesuai untuk kegiatan penyiang dicirikan sebagai
berikut :
- Tanah sawah beririgasi/tadah hujan, yang memiliki permukaan lahan datar
dan tergenang dangkal dengan kondisi tanah aerobik sampai anaerobik
- Dibatasi oleh pematang dengan tata air terkontrol
- Ketinggian air minimal 6 cm
- Kedalaman lapisan lumpur sawah (diukur dengan cara orang berdiri di
lumpur) maksimum 25 cm

Sedangkan syarat dari kondisi tanaman yang dikehendaki adalah jarak tanam
antar baris harus lurus dan sama. Apabila diinginkan dalam dua arah membujur
dan melintang, tanaman padi harus ditanam dalam dua arah lurus, biasanya petani
menggunakan caplak untuk membentuk alur sebelum di tanam. Jarak tanam padi
sawah 20 x 20 cm, 25 x 25 cm, atau 30 x 30 cm. Jarak tanam antar alur juga
disesuaikan dengan arah pergerakan sinar matahari. Sehingga sinar matahari dapat
menembus masuk sampai perakaran tanaman dan tidak terhalang oleh tanaman
lain.
6

Gulma Tanaman Padi


Padi sawah tumbuh pada kondisi tanah yang basah (tergenang air), maka
tumbuh-tumbuhan pengganggu yang tumbuh adalah termasuk ke dalam jenis
tumbuhan air (Aquatic weeds) dan semi aquatic weeds. Gulma Fimbristylis
miliaceae (Cyperaceae), disusul Echinochloa crusgalli (Gramineae) merupakan
gulma yang sangat dominan pada lahan persawahan yang tergolong jenis gulma
rerumputan seperti pada Gambar 1 (anonim, 2009).
Fimbristylis miliaceae (L.) Vahl (cyperaceae) sebangsa rumput teki dikenal
dengan nama lesser fimbristylis (Inggris), panon munding, babawangan (Sunda),
sunduk welut, sriwit, tumburan (Jawa), naleung sengko (Aceh). F. miliaceae
merupakan tumbuhan setahun, tumbuh berumpun, dengan tinggi 20 – 60 cm.
Batangnya ramping, tidak berbulu-bulu, bersegi empat, dan tumbuh tegak.
Daunnya terdapat di bagian pangkal, bentuk bergaris, menyebar lateral, tepi luar
tipis, panjang sampai 40 cm. Bunganya berkarang dan bercabang banyak. Anak
bulir kecil dan banyak sekali, warna cokelat dengan punggung berwarna hijau,
bentuk bola sampai jorong, dengan ukuran 2 – 5 mm x 1.5 – 2 mm. Buahnya
berwarna kuning pucat atau hampir putih, bentuk bulat telur terbalik. Biasanya
terdapat di tempat-tempat basah, berlumpur sampai semi basah, umumnya
terdapat pada lahan sawah (Sundaru et al. 1976 dalam Anonim, 2009).
Echinochloa crusgalli (Gramineae) sebangsa rerumputan dikenal dengan
nama barnyard grass (Inggris), jajagoan (Sunda), jawan (Jawa), orang Aceh
menyebutnya dengan ikue tupee dan bahasa setempat dikenal dengan nama
naleung saddam huseen. Gulma ini merupakan tumbuhan setahun, perakarannya
dangkal, tumbuh berumpun, dengan tinggi batang 50 – 150 cm. Batangnya kuat
dan kokoh, tumbuh tegak serta daunnya rata/datar dengan panjang 10 – 20 cm,
lebar 0.5 – 1 cm. Bentuk garis meruncing ke arah ujung, yang mula-mula tumbuh
tegak kemudian merunduk, panjang 5 – 21 cm, terdiri dari 5 – 40 cm tandan.
Biasanya terbentuk piramid sempit, warna hijau sampai ungu tua. Bulirnya
banyak, anak bulir panjang 2 – 3.5 mm, berambut. Kepala sarinya mempunyai
diameter 0.6 – 0.85 mm. Buah E. crusgalli disebut caryopsis, berbentuk lonjong,
tebal, panjang 2 – 3.5 mm. Biji yang tua berwarna kecoklat-coklatan sampai
kehitam-hitaman. E. crusgalli terdapat di tempat-tempat basah, kadang-kadang
7

terdapat juga di tempat setengah basah. Di sawah tumbuh bersama padi, akan
tetapi umumnya lebih tinggi dan berbunga lebih dulu dari pada padi (Sundaru et
al. 1976 dalam Anonim, 2009).

Echinochloa crus-galli Fimbristylis miliaceae


Gambar 1. Gulma jenis rerumputan

Jenis gulma yang tergolong rerumputan biasanya berdaun sempit, tumbuh


tegak, dan berakar serabut (monocotyledonae). Jenis gulma yang tergolong daun
lebar, biasanya tumbuh secara horizontal, bertitik tumbuh terbuka, juga berakar
serabut. Sedangkan jenis yang cukup sulit untuk diberantas adalah gulma yang
tergolong rumput teki. Jenis ini memiliki karakter yang mirip dengan rumput,
tetapi daunnya agak berbeda yakni bentuk daun rumput teki adalah segitiga.
Rumput teki mempunyai umbi atau akar tinggal, sehingga sukar sekali
diberantas, bila daunnya terpotong maka akan cepat sekali tumbuh lagi dari
bawah (Soesanto, 1986; Sempaja, 2007).

Penyiangan
Penyiangan merupakan salah satu tahap yang sangat penting dari proses
budidaya padi. Hal ini karena kehadiran gulma akan menjadi pesaing bagi
tanaman padi dalam mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan dan pada
gilirannya akan menurunkan produksi. Selain untuk mengendalikan gulma,
penyiangan juga ditujukan untuk mengaduk tanah di sekitar daerah perakaran
sehingga meningkatkan aerasi udara di dalamnya.
Di dalam usaha pengendalian/penyiangan gulma sebaiknya dilakukan
sebelum pemupukan agar penggunaan pupuk untuk tanaman padi tidak sia-sia.
8

Biasanya pengendalian gulma di lahan irigasi atau lahan sawah lebih mudah
dibandingkan di lahan kering, karena pada lahan kering kelembaban tanahnya
sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan gulma, terutama pada
periode awal pertumbuhan tanaman padi. Sedangkan pada lahan irigasi (digenangi
air) persoalan gulma tidak terlalu berat karena penggenangan merupakan cara
yang sangat efektif untuk menekan perkembangan gulma.
Namun penyiangan yang dilakukan secara terus menerus akan memunculkan
gulma yang dominan terhadap penyiangan (Sukma dan Yakup, 2002). Sehingga
penyiangan yang baik dilakukan dua kali yaitu pada saat padi berumur 3 dan 6
minggu guna menjaga dan mencegah agar ketersedian air dan makanan yang
seharusnya diserap oleh padi diambil oleh gulma yang dapat menyebabkan
kurusnya padi karena kekurangan air dan usur-unsur lainnya. Selain untuk
mengendalikan gulma, penyiangan juga ditujukan untuk mengaduk tanah di
sekitar daerah perakaran sehingga meningkatkan aerasi udara di dalamnya
(Haryanto et al. 2002).
Proses penyiangan cukup sulit karena pencabutan rumput yang berada
diselah-selah padi perlu keterampilan tertentu agar tidak merusak tanaman. Untuk
itu diperlukan suatu alat penyiang semi mekanis ataupun mekanis. Selain itu
pengguna alat penyiang juga akan meningkatkan nilai kapasitas kerja. Menurut
Haryono (2007), pengendalian gulma tanaman padi sawah secara manual dengan
menggunakan tangan membutuhkan waktu 172 jam/ha dan penyiangan secara
semi mekanis dengan menggunakan landak membujur melintang 132 jam/ha
sedangkan penyiangan secara mekanis dengan menggunakan power weeder
membutuhkan waktu 15 – 27 jam/ha.

Efektivitas Penyiangan
Efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat untuk meperoleh
hasil yang optimal. Dapat diartikan bahwa efektivitas menunjukkan tingkat
keberhasilan dari suatu pekerjaan. Didalam kegiatan penyiangan yang dapat
menentukan tingkat keberhasilan yaitu banyaknya gulma yang tersiangi karena
penyiangan diperlukan guna mengurangi persaingan antara gulma dengan
9

tanaman pokok. Adanya persaingan gulma dapat mengurangi kemampuan


tanaman untuk berproduksi. Persaingan antara gulma dengan tanaman dalam
mengambil unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah dan penerimaan cahaya
matahari untuk proses fotosintesis, menimbulkan kerugian-kerugian dalam
produksi baik kualitas maupun kuantitas. Besar kecilnya (derajad) persaingan
gulma terhadap tanaman pokok akan berpengaruh terhadap baik buruknya
pertumbuhan tanaman pokok dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya hasil tanaman pokok. Besar kecilnya persaingan antara gulma
dan tanaman pokok di dalam memperebutkan air, hara dan cahaya atau tinggi
rendahnya hambatan terhadap pertumbuhan atau hasil tanaman pokok jika dilihat
dari segi gulmanya, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini
(Subagiya, 2009):
Kerapatan gulma
Semakin rapat gulmanya, persaingan yang terjadi antara gulma dan tanaman
pokok semakin hebat, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan
hasilnya semakin menurun. Hubungan antara kerapatan gulma dan pertumbuhan
atau hasil tanaman pokok merupakan suatu korelasi negatif.
Macam gulma
Masing-masing gulma mempunyai kemampuan bersaing yang berbeda,
hambatan terhadap pertumbuhan tanaman pokok berbeda, penurunan hasil
tanaman pokok juga berbeda. Sebagai contoh kemampuan bersaing jawan
(Echinochloa crusgalli) dan tuton (Echinochloa colonum) terhadap tanaman padi
tidak sama atau berbeda.
Saat kemunculan gulma
Semakin awal saat kemunculan gulma, persaingan yang terjadi semakin
hebat, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin
menurun. Oleh karena itu penyiangan sebaiknya dilakukan pada saat awal
pertumbuhannya.
Lama keberadaan gulma
Semakin lama gulma tumbuh bersama dengan tanaman pokok, semakin
hebat persaingannya, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan
10

hasilnya semakin menurun. Sehingga penyiangan sebaiknya dilakukan sebanyak 2


kali.
Kecepatan tumbuh gulma
Semakin cepat gulma tumbuh, semakin hebat persaingannya, pertumbuhan
tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin menurun.
Habitus gulma
Gulma yang lebih tinggi dan lebih lebat daunnya, serta lebih luas dan dalam
sistem perakarannya memiliki kemampuan bersaing yang lebih, sehingga akan
lebih menghambat pertumbuhan dan menurunkan hasil tanaman pokok.
Efektivitas penyiangan ditentukan antara lain dari kerapatan pertumbuhan
gulma. Kerapatan pertumbuhan gulma terdiri dari beberapa kategori :
pertumbuhan gulma ringan (kurang dari 10% weed cover), pertumbuhan gulma
sedang (antara 10 – 20% weed cover) dan 100% weed cover apabila seluruh areal
ditutupi gulma (anonim). Apabila sebelum dilakukan penyiangan, weed cover
mencapai 100% dan setelah dilakukan penyiangan pertumbuhan gulma menjadi
50% (weed cover), maka dapat dikatakan bahwa efektivitas penyiangan tersebut
masih rendah. Penyiangan yang efektif juga ditandai dengan pertumbuhan
tanaman padi, yaitu pertumbuhan anakan semakin banyak karena tidak terjadi
persaingan perebutan unsur hara dengan gulma.

Pertanian Organik
Dalam beberapa tahun dekade terakhir, pemerintah dan masyarakat mulai
memperhatikan persoalan lingkungan dan ketahanan pangan yang dilanjutkan
dengan melaksanakan usaha-usaha yang terbaik untuk menghasilkan pangan tanpa
menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah, air dan udara. Kini mereka
menerapkan sistem pertanian tanpa bahan kimia sintetik atau yang dikenal dengan
pertanian organik. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-
produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan
konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Sistem ini diyakini tidak
menurunkan kemampuan dan kualitas produksi.
11

Dalam prinsip-prinsip budidaya padi organik terdapat salah satu kegiatan


pertanian yang harus dilakukan, yaitu pemberantasan gulma. Kegiatan
pemberantasan gulma ini juga harus dilakukan secara konvensional atau tanpa
menggunakan bahan kimia. Pemberantasan gulma menggunakan alat (semi
mekanis sampai mekanis) telah dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dengan dukungan teknologi tersebut diharapkan penggunaan herbisida kimia
tidak dipergunakan lagi sehingga akan tercapai ketahanan pangan nasional.
Prospek pertanian organik di masa mendatang mempunyai peluang usaha
yang sangat baik dan cerah, karena kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi
sumber makanan yang sehat dan bergizi semakin meningkat. Hasil produksi dari
pertanian organik ternyata lebih bermutu dibanding dengan budidaya pertanian
biasa. Melalui pertanian organik keberlanjutan produksi dapat dicapai.

Perkembangan Alat Penyiang

Penyiangan Manual (Handweeding)


Di Indonesian pemberantasan gulma masih banyak dilakukan dengan cara
manual yaitu mencabut gulma dengan tangan (Gambar 2). Selama masa
pertumbuhan padi biasanya dilakukan 2 kali penyiangan yaitu penyiangan
pertama pada waktu padi berumur 15 -17 hari dan penyiangan kedua pada waktu
padi berumur 30 - 40 hari setelah tanam. Kegiatan penyiangan yang dilakukan
secara manual (hand weeding) membutuhkan waktu 172 jam/ha dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 25 orang/ha (Haryono, 2007).
Sistem penyiangan manual yang biasa dilakukan masyarakat yaitu dengan
mencabuti rerumputan yang tumbuh subur diantara tanaman padi kemudian
membuangnya dari areal persawahan atau dibenamkan ke dalam tanah.

Gambar 2. Penyiangan secara manual (hand weeding)


12

Alat Penyiang Semi Mekanis


Sejak 20 tahun yang lalu penyiangan sudah dilakukan dengan menggunakan
alat. Alat penyiang gulma sederhana yang banyak digunakan oleh petani yaitu alat
penyiang gasrok/landak terbuat dari kayu dan cakar penyiangan menggunakan
beberapa kumpulan paku yang terletak pada dasar penyiang. Pengoperasian alat
ini dengan cara didorong menggunakan tenaga manusia melalui tangkai
pendorong. Cara pengoperasian alat penyiang gasrok dapat dilihat pada Gambar 3.
Penyiang landak ini membutuhkan tenaga kerja sebanyak 7 orang dan waktu 3
hari dalam luasan 1 ha sawah. Disini membutuhkan tenaga manusia untuk
mendorong tangkai penyiang.

Gambar 3. Alat penyiang gasrok

Bila penyiangan dilakukan dengan alat penyiang landak, di samping


memberantas gulma juga berfungsi penggemburan tanah
Salah satu peneliti dari India (Rajvir Yadav et al.), mencoba
mengembangkan alat penyiang semi mekanis yang menggunakan roda dan
implemen jari penyiang seperti Gambar 4 berikut :
13

Gambar 4. Alat penyiang semi mekanis (Rajvir Yadav et al. 2007)

Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa weeder ini dapat bekerja pada
kedalaman di atas 3 cm dengan efisiensi lapang 0.048 ha/jam dan efisiensi
penyiangan tertinggi mencapai 92.5 %. Waktu istirahat operator setelah bekerja
dan untuk memperoleh kondisi normal kembali selama 14 menit. Nilai heart rate
tertinggi diperoleh 142 sampai 150 beats per menit (Rajvir Yadav at al. 2007).
Singh (1992) juga telah mengembangkan dengan memperhatikan aspek
ergonomik pada desain jari penyiang, dari hasil penelitian diperoleh kapasitas
kerja penyiangan 60 – 110 man-jam/ha pada lahan sawah black heavy soil dan 25
man-jam/ha pada lahan light soil.
Semua studi tentang ergonomik beberapa alat penyiang telah banyak
dilakukan, namun itu juga harus merupakan teknologi yang spesifik disesuaikan
dengan kondisi wilayah; jenis tanah, tanaman, areal jangkauan gulma dan
ketersediaan sumber daya lokal.
Di negara maju seperti Jepang pengembangan suatu alat sangat
memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan pengguna/operatornya. Hal ini
penting untuk peningkatan produktivitas. Seperti halnya pengembangan alat
penyiang semi mekanis buatan Jepang yang terlihat pada Gambar 5. Alat
penyiang semi mekanis ini terbuat dari plat stainless steel ringan dilengkapi
dengan 2 cakar penyiang dan pada bagian depan dibuat furrow opener yang juga
berfungsi sebagai pelampung. Diharapkan pengembangan alat penyiang ini dapat
digunakan pada kondisi lahan padi sawah dengan tingkat pelumpuran normal.
14

Gambar 5. Alat penyiang semi mekanis buatan Jepang

Cara pengoperasian alat penyiang semi mekanis buatan Jepang sama seperti
penyiangan menggunakan gasrok yaitu dengan menggasrok atau mendorong ke
depan dan belakang sehingga gulma tercabut dan terpendam dalam tanah.

Alat Penyiang Mekanis


Salah satu alternatif pengembangan alat penyiang yang dapat dilakukan
adalah dengan menggunakan mesin pemotong rumput dimana selain dapat
memotong rumput alat ini bisa dimodifikasi dan dikembangkan menjadi alat
penyiang padi sawah (Gambar 6). Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam
penyiang padi sawah maka diperlukan suatu mata penyiang yang paling efektif
guna meringankan kerja petani. Penyiangan menggunakan alat penyiang padi
dengan penggerak mesin potong rumput ini memiliki satu buah mata penyiang
dengan kapasitas kerjanya 0.020 ha/jam (Imran et al. 2006).

Gambar 6. Alat penyiang mekanis


15

Cara kerja alat ini sama dengan mesin pemotong rumput, hanya dengan
mengganti pisau pemotong menjadi piring atau mata penyiang yang terdapat
paku-paku berupa mur dan baut. Pada saat operasional mata penyiang alat
penyiang padi berputar, paku-paku penyiang yang terdapat pada piring penyiang
akan memotong, mencongkel, memutar, dan menghancurkan gulma beserta tanah
yang ada dibawahnya. Sehingga gulma yang hancur bisa menjadi pupuk bagi
tanaman padi dan diperoleh tanah yang mempunyai porositas yang baik bagi
pertumbuhan tanaman padi. Jumlah operator penyiangan padi di sawah dengan
menggunakan alat penyiang dengan tenaga mesin potong rumput tipe sandang
terdiri dari satu orang (Imran et al. 2006).
Mesin penyiang bermotor (Power Weeder) untuk padi sawah adalah suatu
mesin yang digunakan untuk menyiang atau memberantas gulma atau tanaman
pengganggu yang tumbuh di lahan sawah. Mesin ini dalam pengoperasiannya di
lahan sawah dioperasikan oleh 1 operator yang berjalan dibelakang mesin sambil
memegang stang kemudi, sehingga dinamakan walking type. Alat tersusun atas
beberapa komponen standar dan komponen buatan (fabricated) dengan kontruksi
dapat dibongkar pasang (knock down) sehingga mudah dalam transportasinya.
Kemudi stang yang ketinggiannya dapat diatur sesuai dengan tinggi badan
operator. Ciri khas mesin ini yaitu pada bagian yang aktif untuk penyiangan
menggunakan hexagonal rotor (bentuk segi enam) yang pada keenam sisinya
terpasang cakar-cakar penyiang, hexagonal ini pada saat bekerja di lahan sawah
berputar dengan kecepatan putar 120 - 125 rotasi per menit (rpm) (Pitoyo et al.
2008). Kontruksi yang spesifik lagi yaitu pada bagian transmisi yang
menggunakan pipa dan kopel aluminium sebagai rumah dan poros sekaligus
sebagai rangka utama mesin yang digunakan untuk menopang komponen yang
lainnya. Komponen lain yang tak kalah penting dan spesifik adalah motor
penggerak yang menggunakan motor yang biasa dipakai untuk mesin potong
rumput dengan dilakukan modifikasi pada poros penerus putaran dan dudukan
motor (Gambar 7).
16

Gambar 7. Desain alat penyiang gulma (Power Weeder) padi sawah


(Pitoyo et al. 2008)

Uji coba dan sosialisasi penggunaan mesin penyiang padi sawah telah
dilakukan tahun 2005 di Kec. Delanggu kabupaten Klaten Jawa Tengah selama 1
musim tanam pada padi MK. Pengembangan power weeder ini telah dicoba
diterapkan di beberapa wilayah di daerah Jawa Tengah yaitu : Tegalgondo,
Delanggu dan Sragen. Sebagian besar telah mendapat respon positif dan telah di
pabrikasikan oleh pengrajin lokal. Penggunaan alat power weeder juga dapat
bertujuan untuk meningkatkan aerasi tanah, yang diakibatkan oleh roda
penyiangan. Power weeder ini memiliki ciri khas yaitu pada bagian yang aktif
untuk penyiangan (sebagai roda) menggunakan hexagonal rotor (bentuk segi
enam) yang pada keenam sisinya terpasang cakar-cakar penyiang, hexagonal
inilah yang mengaduk tanah sampai pada perakaran gulma saat bekerja di lahan
sawah sehingga aerasi tanah meningkat serta cukup efektif untuk mengurangi
pertumbuhan gulma. Berdasarkan data teknis yang diperoleh, alat penyiang
bermotor mampu melakukan pekerjaan rata-rata 12.24 jam/ha (Pitoyo et al. 2008).
Sehingga membutuhkan 2 hari untuk melakukan penyiangan dengan luasan 1
hektar. Jika dibandingkan dengan penyiangan secara manual membutuhkan
banyak tenaga kerja dan waktu selama 5 hari bahkan lebih.
Hasil evaluasi dari 3 unit prototipe power weeder model YA-1 dari segi
efektivitas penyiangan cukup baik, efek kerusakan tanaman sangat kecil (Gambar
8). Sedangkan hasil evaluasi teknis terhadap ketahanan komponen selama 1
17

musim tanam dengan waktu pengoperasian selama 30 – 40 hari masih dijumpai


beberapa beberapa kelemahan kecil diantaranya; cakar penyiang masih terlalu
panjang, sistem transmisi dan rangka masih diperlukan modifikasi untuk
mendapatkan kontruksi yang lebih kokoh dan rigid namun cukup ringan. Evaluasi
dari segi eknomi pada beberapa area dengan pertumbuhan gulma padat cukup dan
mampu bersaing dengan upah penyiangan secara manual maupun dengan alat
gasrok/landak (Pitoyo et al. 2008).

Gambar 8. Mesin penyiang padi sawah model YA-1 (Pitoyo et al. 2008)

Gambar 9.Pola kerja pengoperasian Power Weeder di lahan sawah


18

Ergonomika
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, ergo yang artinya kerja dan nomos
yang artinya ilmu. Sehingga kata ergonomi berarti ilmu kerja atau ilmu yang
mempelajari manusia hubungannya dengan lingkungan kerjanya. Ilmu ergonomi
bertujuan untuk mempelajari batas-batas kemampuan manusia dalam lingkungan
kerja untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja dengan menyesuaikan
interaksi manusia dengan produk, sistem dan lingkungan (Syuaib, 2003).
Dalam ilmu ergonomika, kerja diartikan sebagai suatu aktivitas untuk
menghasilkan sesuatu. Manusia menggunakan otot hampir untuk seluruh jenis
pekerjaan, otot manusia sendiri memerlukan energi untuk melakukan kerja fisik.
Energi yang diperlukan otot untuk melakukan kerja berasal dari proses oksidasi
glukosa yang terjadi di dalam tubuh.
Menurut Syuaib (2003), fisiologi kerja adalah salah satu sub disiplin dalam
ilmu ergonomika yang mengkaji tentang kondisi/reaksi fisiologi yang disebabkan
beban atau tekanan (stress) eksternal saat melakukan suatu aktivitas kerja. Kajian
fisiologi kerja sangat terkait dengan indikator-indikator metabolik, yang
diantaranya adalah :
1. Cardiovasculer (Denyut jantung)
2. Respiratory (Pernapasan)
3. Body Temperatur (Suhu tubuh)
4. Muscular Act (Aktivitas otot)
Faktor manusia merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas dan
keselamatan kerja. Suatu alat atau mesin dapat dikatakan berkualitas tinggi jika
nyaman digunakan, yang berarti memiliki kesesuaian antara alat dan manusia
yaitu mudah dioperasikan dan ramah terhadap pemakai.
Fokus utama pertimbangan ergonomi menurut Sanders (1992): dalam
Irawan (2008) adalah mempertimbangkan unsur manusia dalam perancangan
objek, prosedur kerja, dan lingkungan kerja. Sedangkan metode pendekatannya
adalah dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas
pendukungnya, dengan harapan dapat sedini mungkin mencegah kelelahan yang
terjadi akibat sikap atau posisi kerja yang keliru. Karakteristik manusia sangat
19

berpengaruh pada desain dalam meningkatkan produktivitas kerja manusia untuk


mencapai tujuan yang efektif, sehat, aman dan nyaman.
Untuk melaksanakan kajian atau evaluasi (pengujian) bahwa desain sudah
memenuhi persyaratan ergonomis adalah dengan mempertimbangkan faktor
manusia. Karena desain yang baik yaitu memiliki keseimbangan antara
lingkungan, manusia, alat-alat atau perangkat kerja, dengan produk fasilitas
kerjanya. Satu sama lain saling berinteraksi dan memberi pengaruh signifikan
terhadap peningkatan produktivitas, efisiensi, keselamatan, kesehatan,
kenyamanan maupun ketenangan orang bekerja sehingga menghindarkan diri dari
segala bentuk kesalahan manusiawi (human error) yang berakibat kecelakaan
kerja.
Penerapan ergonomika dapat menghasilkan perbaikan kerja, menurunkan
potensi kecelakaan kerja, dan menurunkan resiko penyakit serta peningkatan
kondisi dasar pekerjaan. Oleh karena peranan ergonomi begitu besar dalam
meningkatkan perbaikan lingkungan kerja, maka semestinya dalam proses
perancangan suatu peralatan, mesin, ataupun sistem kerja, faktor manusia harus
dipertimbangkan dengan cermat. Perhatian yang mendalam mengenai faktor
manusia merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas dan
keselamatan. Lingkungan fisik tempat kerja bagi manusia dipengaruhi antara lain
oleh : cahaya, kebisingan, getaran mekanis, beban kerja, kelembaban, warna.
Namun dalam penelitian ini yang akan dikaji seberapa besar efek-efek yang
disebabkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam melakukan kegiatan
penyiangan diantaranya yaitu beban kerja, getaran mekanis, dan kebisingan.

Beban Kerja
Salah satu aspek penting dalam menentukan tingkat kenyamanan kerja yang
berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi kerja adalah menentukan beban
kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik manusia (operator) yang melakukan
pekerjaan. Dengan beban kerja yang sesuai dengan kemampuan kerja maka akan
terjadi kenyamanan kerja yang akhirnya berpengaruh pada kualitas pekerjaan dan
juga kesehatan pekerja (Akbar, 2005).
20

Aktifitas fisik dan faktor lingkungan merupakan sumber ketegangan


fisiologis bagi pekerja yang sangat mempengaruhi kebutuhan energi. Pengeluaran
energi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran tenaga total tubuh atau
lebih dikenal dengan laju metabolisme dan pengeluaran tenaga mekanis yang
merupakan tenaga yang dihasilkan oleh otot dalam melakukan kerja fisik
(Sanders, 1987; dalam Akbar, 2005). Semakin berat suatu beban kerja yang
diterima maka semakin tinggi energi yang dibutuhkan, sehingga akan
mengakibatkan pernapasan semakin cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan
oksigen yang semakin meningkat.
Energi yang diperlukan untuk melakukan kerja dihasilkan melalui proses
metabolisme yaitu melalui proses oksidasi glukosa yang terjadi di dalam tubuh.
Kebutuhan energi untuk melakukan kerja disalurkan oleh darah melalui
pembuluh-pembuluh darah ke seluruh tubuh yang membutuhkan menggunakan
jantung sebagai pemompanya. Setiap peningkatan penggunaan tenaga berarti akan
meningkatkan kerja jantung. Di dalam pengukuran beban kerja fisik dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu : konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan,
suhu tubuh dan denyut jantung. Denyut jantung akan meningkat sesuai dengan
fungsi dari beban kerja dan konsumsi oksigen.
Sanders (1987) dalam Akbar (2005); menyatakan bahwa beban fisik yang
dilakukan dapat diukur berdasarkan tiga variabel, yaitu banyaknya konsumsi O2,
denyut jantung dan suhu tubuh.
Cara termudah untuk melakukan pengukuran beban kerja fisik di lapangan
adalah melalui pengukuran denyut jantung. Denyut jantung mempunyai korelasi
yang tinggi dengan penggunaan energi (konsumsi oksigen), tetapi denyut jantung
dipengaruhi juga oleh beban psikologi (mental), sehingga penggunaan metode
pengukuran denyut jantung untuk mengetahui beban kerja membutuhkan suatu
kalibrasi. Salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk kalibrasi denyut
jantung adalah dengan menggunakan metode step test, yang memiliki komponen
pengukuran yang mudah, selalu tersedia di mana saja dan kapan saja (Herodian,
1997).
Menurut Syuaib (2003), untuk meminimalisir subyektifitas nilai denyut
jantung (HR) yang umumnya sangat dipengaruhi faktor-faktor personal,
21

psikologis dan lingkungan, maka perhitungan nilai HR harus dinormalisasikan


agar diperoleh nilai HR yang lebih obyektif. Normalisasi nilai denyut jantung
dilakukan dengan cara perbandingan HR relatif saat kerja terhadap HR saat
istirahat. Nilai perbandingan HR tersebut dinamakan IRHR (Increase Ratio of
Heart Rate), atau dengan persamaan (Syuaib, 2003) :
HRwork
IRHR = ................................................................................ (1)
HRrest
di mana :
HR work = denyut jantung saat melakukan pekerjaan (beats/minute)
HR rest = denyut jantung saat istirahat (beats/minute)

Metode Step Test


Salah satu metode yang dapat digunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut
jantung adalah menggunakan metode step test (metode langkah), selain dari
pengukuran menggunakan sepeda ergonometer. Metode ini dapat diusahakan
suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku
step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat
dilakukan dilapang. Denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban
kerja dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat
bekerja dengan denyut jantung pada saat step test. Dengan metode ini, beberapa
faktor individual seperti : umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan harus
diperhatikan sebagai faktor untuk menentukan karakteristik individu yang diukur.
Untuk memperoleh Total Energy Cost Step Test (TECST) yaitu total energi yang
digunakan pada step test digunakan persamaan berikut (Irawan, 2008) :
w∗ g ∗2 f ∗h
TEC ST = ................................................................ (2)
4.2 ∗ 10 3
di mana :
TECST = Total Energy Cost saat step test (kkal/menit)
w = Berat badan (kg)
g = Percepatan gravitasi (9.8 m/detik)
f = Frekuensi step test (siklus/detik)
h = Tinggi step bench (meter)
22

4.2*103 = Faktor kalibrasi satuan dari joule menjadi kilokalori


Dari nilai TEC dan IRHR saat step test kemudian dibuat grafik korelasi
sehingga diperoleh persamaan dengan bentuk umum untuk masing-masing subjek
sebagai berikut :
Y = aX + b ................................................................................. (3)
di mana :
Y = TEC (kkal/menit)
X = IRHR
Persamaan ini kemudian digunakan untuk menginterpolasi nilai total energi
(TECw) dengan memasukkan nilai IRHR pada saat melakukan aktivitas
(penyiangan). Untuk mengetahui nilai energi yang dikeluarkan untuk melakukan
pekerjaan (penyiangan) dilakukan perhitungan nilai WEC (Work Energy Cost)
dengan persamaan sebagai berikut (Irawan, 2008)
WEC = TEC − BME KKKKKKKKKKKKKKKKK (4)
di mana :
WEC = Work Energy Cost (kkal/min)
TEC = Total Energy Cost (kkal/min)
BME = Basal Metabolic Energy (kkal/min)

Basal Metabolic Energy

Syuaib, M.F. (2003), Basal Metabolic Energy (BME) atau laju metabolisme
basal adalah energi yang dibutuhkan manusia dalam satuan waktu tertentu untuk
melakukan fungsi dasar organ tubuhnya. Secara umum BME tergantung dari
ukuran atau volume tubuh serta jenis kelamin. Sedangkan ukuran/volume tubuh
diantaranya dapat didekati melalui analisis luas permukaan tubuh. Luas
permukaan tubuh dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Du Bois yaitu :
(Syuaib, 2003).
A = h 0.725 * w 0.425 ∗ 0.007246 .................................................................. (5)
di mana :
A = Luas permukaan tubuh (m2)
h = Tinggi tubuh (cm)
w = Berat tubuh (kg)
23

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Numanjiru (1969)


dalam Syuaib (2003) terdapat korelasi linier antara luas permukaan tubuh (A)
dengan laju konsumsi oksigen (VO2). Korelasi VO2 terhadap luas permukaan
tubuh tersebut disajikan pada Tabel 1. Sanders et.al. (1993), konsumsi oksigen
merupakan salah satu indikasi kebutuhan energi dalam tubuh. Di mana, konsumsi
1 liter oksigen ekuivalen dengan konsumsi tenaga sebesar 5 kal.
Irawan (2008), berat badan seseorang mempengaruhi beban kerja yang
diterima, maka untuk mengetahui nilai beban kerja yang sebenarnya (WEC’) yang
diterima oleh operator pada saat melakukan kerja maka pengaruh berat badan
harus ditiadakan. Untuk mendapatkan nilai WEC’ (Work Energy Cost per Weight)
digunakan persamaan di bawah ini (Irawan, 2008):
WEC
WEC ' = ..................................................................................... (6)
w
di mana :
WEC’ = Work Energy Cost per Weight (kal/kg.menit)
WEC = Work Energy Cost (kkal/menit)
w = Berat badan (kg)

Tabel 1. Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh
1/100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
m2
1.1 136 137 138 140 141 142 143 145 146 147
1.2 148 150 151 152 153 155 156 157 158 159
1.3 161 162 162 164 166 167 168 169 171 172
1.4 173 174 176 177 178 179 181 182 183 184
1.5 186 187 188 189 190 192 193 194 195 197
1.6 198 199 200 202 203 204 205 207 208 209
1.7 210 212 213 215 215 217 218 219 220 221
1.8 223 224 225 228 228 229 230 231 233 234
1.9 235 236 238 240 240 241 243 244 245 246
(*) untuk perempuan, nilai VO2 harus dikalikan 0.95
Sumber : Syuaib M.F., 2003

Getaran Mekanis (vibration)


Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan
oleh alat-alat mekanis. Biasanya gangguan yang dapat ditimbulkan mempengaruhi
24

kondisi bekerja, mempercepat datangnya kelelahan dan menyebabkan timbulnya


beberapa penyakit. Besaran getaran ditentukan oleh lama, intensitas, dan frekuensi
getaran. Sedangkan anggota tubuh mempunyai frekuensi getaran sendiri sehingga
jika frekuensi alami ini beresonansi dengan frekuensi getaran mekanis akan
mempengaruhi konsentrasi kerja, mempercepat kelelahan, gangguan pada anggota
tubuh seperti mata, syaraf dan otot.
Getaran umumnya terjadi karena adanya efek-efek dinamis dari
kerenggangan, kontak-kontak berputar dan bergesek antara elemen-elemen mesin
serta gaya-gaya yang menimbulkan suatu momen yang tidak seimbang pada
bagian-bagian yang berputar. Salah satu fenomena yang tampak akibat getaran
mekanis adalah yang disebut ”Vibration induced finger” atau pemucatan telapak
tangan karena pengecilan pembuluh darah (Mc Cornick, 1972 dalam Mahmudah,
2005).
Menurut Wilson (1989) dalam Mahmudah (2005) getaran dengan tingkat
tinggi dapat menyebabkan kerusakan tulang-tulang sendi, sistem peredaran darah
dan organ-organ lain. Masa getaran yang lama pada semua bagian tubuh atau
getaran pada lengan tangan dapat menyebabkan kelumpuhan atau cacat, masa
getaran yang pendek dapat menyebabkan kehilangan rasa, ketajaman penglihatan
dan lain-lain yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Getaran pada seluruh
tubuh memberikan efek yang lebih komplek mulai dari jantung, peredaran darah
hingga penurunan daya ingat dan konsentrasi seseorang. Batas getaran mekanis
yang boleh diterima operator dibedakan pada titik kontak subyek dengan getaran
tersebut.
Batas nilai percepatan getaran yang aman sebagaimana yang
direkomendasikan OSHA (Occupational Safety and Health Administration) dan
WHO (World Health Organization) adalah 4 m/s2, tetapi belum diketahui berapa
lama waktu bekerja yang aman bagi operator (Adinata, 2003).
Sedangkan menurut Keputusan Menaker No. 51/1999 merekomendasikan
nilai ambang batas getaran yang diperbolehkan selama bekerja seperti pada Tabel
2 berikut :
25

Tabel 2. Nilai ambang batas getaran untuk lengan dan tangan


Nilai percepatan getaran Waktu kerja yang diijinkan
(m/s2) per hari
4 < 8 jam
6 < 4 jam
8 < 2 jam
12 < 1 jam
Sumber : Menaker, 1999

Dampak atau pengaruh getaran terhadap operator adalah timbulnya


sindroma getaran (vibration sindrome) atau lebih populer dengan istilah mati rasa
pada tangan atau jari yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jari-jari
tangan atau tangan operator. Untuk mengurangi efek negatif akibat penggunaan
peralatan yang bergetar dianjurkan agar tidak melakukan kontak dengan getaran
maksimum 50 % dari waktu kerja atau direkomendasikan untuk beristirahat setiap
1 – 1.5 jam dengan gemastik tangan antara 5 – 10 menit (Istigno, 1971 diacu
dalam Satrio, 1991).

Kebisingan (Noise)
Penggunaan alat mekanis akan menimbulkan kebisingan. Menurut Akbar
(2005); Faktor fisik yang berpengaruh terhadap beban kerja adalah kebisingan
yang diterima oleh pekerja (operator). Kebisingan adalah bunyi-bunyi yang tidak
dikehendaki yang didengar sebagai rangsangan pada telinga atau getaran-getaran
melalui media yang elastis. Bunyi dikatakan sebagai bising jika memenuhi kriteria
mengganggu pembicaraan, membahayakan pendengaran dan mengurangi efisiensi
kerja.
Suara atau bunyi dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Sound Level
Meter. Alat ini mengukur intensitas atau kekerasan suara yang dinyatakan dalam
satuan Herzt dan frekuensi atau gelombang suara dalam satuan desibel. Telinga
manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya berkisar
antara 20-20 000 Herzt dan dengan frekuensi sekitar 80 desibel (batas aman).
Pengaruh terhadap suara atau bunyi yang melampaui batas aman diatas dalam
26

waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya ketulian sementara atau


permanen. Kebisingan dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Pengaruhnya
berupa peningkatan sensitivitas tubuh seperti peningkatan sistem kardiovaskular
dalam bentuk kenaikan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung. Apabila
kondisi tersebut tetap berlangsung dalam waktu yang lama, akan muncul reaksi
analogis berupa penurunan konsentrasi dan kelelahan .
Pada umumnya kebisingan sangat mengganggu dan mempengaruhi kerja
operator. Standar tingkat kebisingan yang diperbolehkan oleh lembaga OSHA
(Occupational Safety and Health Administration) dan Keputusan Menaker
ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar tingkat kebisingan


OSHA (dBA) MENAKER (dBA) waktu kerja yang diijinkan (jam)
90 85 8
92 87.5 6
95 90 4
97 92.5 3
100 95 2
105 100 1
110 105 0.5
115 110 0.25
Sumber : Sudirman, 1992 dalam Wijaya, 2005; Menaker, 1999

Dalam menghitung waktu maksimum yang diperbolehkan bagi pekerja


untuk berada pada tempat kerja dengan tingkat kebisingan yang dianggap tidak
aman dapat menggunakan Formula DOD (The U.S. Department of Defense
Standard) :
8
Waktu( jam) = ( L−84) / 4
KKKKKKKKKKKKKKKK (7)
2
di mana : L = tingkat kebi sin gan(dB ) yang dianggap berbahaya

Untuk tingkat kebisingan 90 dBA direkomendasikan oleh OSHA boleh


bekerja selama kurang dari 8 jam sedangkan standar Menaker merekomendasikan
waktu bekerja tersebut hanya pada tingkat kebisingan 85 dBA. Intensitas bunyi
akan semakin berkurang jika jarak sumber bising semakin jauh. Namun tingkat
kebisingan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (indoor dan outdoor).
27

Standar - standar dari ISO dan Masyarakat Jepang untuk Kesehatan Pekerjaan
men-spesifikasikan bahwa 90 dBA adalah sebagai tingkat toleransi untuk 8 jam
terekspose terhadap getaran-getaran di lingkungan kerja.

Analisis
Analisa Logika Fuzzy
Dalam proses pemilihan, pengambilan keputusan seringkali dihadapkan
pada kondisi ketidak-pastian dan ketidak-jelasan (fuzzy). Keadaan ini agaknya
cukup menyulitkan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
pilihan yang terbaik terutama bila dalam persoalannya terkandung data yang
sifatnya kualitatif.
Schmoldt cit. Center dan Verma (1997) dalam Akbar (2005), menyatakan
bahwa model kualitatif memiliki sifat-sifat yang analog dengan model kuantitatif,
dimana keduanya menghasilkan nilai peubah tertentu (dependent variable)
melalui keterkaitan diantara peubah model. Hanya pada model kualitatif, peubah
model harus dideskripsikan lebih umum.
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan sistem yang komplek adalah
menggunakan teknik pemodelan fuzzy. Metode tersebut walaupun dalam
aplikasinya cukup rumit namun mengacu kepada konsep bahwa metode
pengambilan keputusan yang baik salah satunya dimaksudkan untuk mendapatkan
keunikan dan konsistensi dalam mengambil keputusan.
Konsep fuzzy logic pertama kali dikembangkan oleh Zadeh pada tahun 1965
sebagai salah satu alternatif metode untuk menganalisis sistem pengetahuan sosial
dan biologi yang komplek. Teori fuzzy logic adalah pemetaan sebuah ruang input
ke dalam ruang output dengan menggunakan IF-THEN rules. Urutan rules bisa
sembarang. Pemetaan dilakukan dalam suatu Fuzzy Inference System (FIS). FIS
mengevaluasi semua rule secara simultan untuk menghasilkan kesimpulan. Skema
dibawah ini merupakan konsep umum fuzzy set (Gambar 10).
28

Gambar 10. Konsep Umum Fuzzy Logic

Logika fuzzy atau seringkali disebut dengan Fuzzy Logic merupakan suatu
sistem yang dapat digunakan dalam menangani konsep kebenaran parsial, yaitu
kebenaran yang ada diantara sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Jika pada
logika klasik dikenal dua nilai 0 dan 1, maka pada logika fuzzy yang digunakan
adalah nilai dalam interval [0 1], jadi konsep ini merupakan perluasan dari konsep
kebenaran mutlak boolean 0 dan 1. Logika fuzzy yang merupakan bagian dari
Artificial Intelligence juga banyak memberikan kontribusi di bidang manajemen.
Adanya sistem penunjang keputusan atau lebih sering disebut dengan Decision
Support System dan sistem informasi manajemen juga menjadi bagian dari
kecerdasan buatan. Dalam hal sistem penunjang keputusan, logika fuzzy
memberikan kontribusi lewat kemampuannya melakukan analisa secara langsung
tanpa proses. Dalam operasi fuzzy logic menggunakan korespondensi AND yang
merupakan fungsi minimum, OR yang merupakan fungsi maksimum dan NOT
yang merupakan komplemen penambahan (Naba, 2009).

Anda mungkin juga menyukai