Perlunya Universitas Islam Internasional Di Pulau Seribu Masjid
Perlunya Universitas Islam Internasional Di Pulau Seribu Masjid
Ada aura tersendiri ketika orang baru pertamakali datang ke Lombok. Ada nuansa
relijiusitas masyarakat yang kental disatu sisi; serta pesona masjid-masjid dengan ragam corak
arsitektural yang indah disisi lainnya. Sejuk dan menenangkan. Kesejukan itu lebih terasa ketika
perhelatan MTQ tingkat nasional di Mataram baru-baru ini. Dalam salah- satu isi pidatonya,
presiden Joko Widodo mengatakan perlu adanya universitas Islam bertaraf internasional di
Indonesia. Pidato tersebut merupakan respon pemerintah Indonesia atas usulan pemerintah
Inggris; yang mengusulkan pada Indonesia untuk mendirikan universitas Islam internasional-
yang mencerminkan Islam moderat. Sejatinya, berbicara tentang universitas Islam internasional
lebih merupakan desakan kebutuhan internal umat Islam itu sendiri; dibandingkan dengan
desakan eksternal pihak asing. Universitas Islam internasional merupakan konsekuensi logis dari
ajaran Islam ketika berbenturan dengan kompleksitas realitas kehidupan. Walaupun ada tendensi
intervensi dan ditengarai ada agenda terselubung dalam menangkal terorisme yang menyerang
kepentingan Barat; kita sepakat dengan ide besarnya; pendirian universitas Islam internasional,
sebuah universitas yang menjadi corong dari Islam pertengahan yang menjauhi ektremitas dan
terorisme.
Universitas Islam internasional merupakan refresentasi dari ide besar islamisasi ilmu
pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui, ilmu pengetahuan tidaklah netral dan bebas nilai.
Walaupun ilmu pengetahuan bisa netral dari ideologi, tapi tetap tidak netral dari worldview
(pandangan hidup). Ilmu pengetahuan yang semata-mata berlandaskan paham materialisme dan
sekulerisme akan menolak keberadaan Tuhan. Worldview ateisme akan melahirkan ilmu
pengetahuan yang ateis pula. Seperti itulah logikanya.
Adalah Syed Muhammad Naquib al Attas, Ismail Raji’ al Faruqi dan Ziauddin Sardar –
cendekiawan Islam yang getol berbicara tentang perlu dan mendesaknya agenda islamisasi ilmu
pengetahuan. Tapi yang paling jenius dari ketiganya menurut Fazlur Rahman adalah Syed
Muhammad Naquib al Attas. Bukan hanya berwacana dalam tataran filosofis – teoritikal, al
Attas melangkah lebih jauh; mendirikan universitas Islam internasional Malaysia untuk
menampung gagasan-gagasan futuristiknya tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Terbukti
berdirinya ISTAC-IIUM di Malaysia dapat membendung arus deras liberalisme, pluralisme dan
sekularisme yang mengekspansi negara-negara Islam terutama di kawasan Asia Tenggara.
Sekularisasi, lebih tepatnya deislamisasi ilmu pengetahuan tidak mempunyai basis dalam tradisi
cendekiawan islam klasik. Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Kindi merupakan tipikal cendekiawan
polymatch, yang tidak terkungkung terspesialisasi dalam satu bidang ilmu saja. Itulah kenapa
aktifitas belajar mahasiswa kita sebut kulliyah, bukan juz’iyyah. Universitas Islam
mengintegrasikan “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Karena secara substansi, Islam tidak
mengenal secara distingtif, dikotomi ilmu agama dan umum seperti sekarang ini. Karena pada
hakekatnya semua bidang kehidupan terkait dan terintegrasi dengan ajaran Islam; apakah itu
pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan adanya universitas Islam diharapkan
dapat membentengi umat Islam dari paham-paham yang menyesatkan seperti liberalisme,
pluralisme, sekularisme dan ateisme sekaligus mencegah gerakan radikal yang reaktif; serta
tindakan terorisme dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri.
Universitas Islam internasional tidak asal jadi dengan tembok-tembok dingin yang kaku. Tapi
universitas Islam didirikan dalam lingkungan yang terintegrasi secara keilmuan dan ruhiyah;
dimana ketika kita berada di dalamnya merasakan atmosfir ekstase-spritualitas. Dan itu disini,
di Lombok ini, ditanah para Tuan Guru!.
Wallaahu a’lam bishshawaab.
BIODATA