Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PNEUMONIA
Disusun oleh
1306403724
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
PNEUMONIA
Dinding bronkus primer, sekunder, dan tersier mengandung tulang rawan yang secara
progresif kurang. Pada bronki sekunder dan tersier, kartilago membentuk pelat yang disusun
di sekitar lumen. Kartilago ini melayani tujuan struktural yang sama seperti cincin tulang
rawan di trakea dan bronkus primer. Seiring jumlah tulang rawan menurun, jumlah otot polos
meningkat. Dengan dukungan kurang kartilagin, jumlah ketegangan pada otot polos memiliki
efek yang lebih besar pada diameter bronkial dan ketahanan terhadap aliran udara. Sekitar
6500 terminal bronkiolus timbul dari masing-masing bronkus tersier. Lumen masing-masing
bronchiole terminal memiliki diameter 0,3 0,5 mm. Dinding bronchioles kekurangan tulang
rawan namun didominasi oleh jaringan otot polos.
Pulmo terletak pada rongga dada dan tepatnya di atas diafragma yang merupakan sekat yang
membatasi rongga dada dan rongga perut. Pulmo mempunyai selaput elastis yang menyelubunginya
yang disebut dengan pleura . Paru – paru mempunyai dua terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri.
Paru-paru kiri ini lebih rentan terserang penyakit karena hanya memiliki dua gelambir saja,
sedangkan paru-paru kanan terdiri dari tiga gelambir. Pulmo merupakan tempat terdapatnya bronkus
dan bronkiolus. Bronkiolus terhubung ke alveoli individu dan beberapa alveoli di sepanjang daerah
yang disebut saluran alveolar. Saluran alveolar berakhir pada kantung alveolar, umumnya setiap yang
terhubung dengan alveoli individu. Setiap paru mengandung sekitar 150 juta alveoli.
Alveoli merupakan jaringan epitel alveolar terutama terdiri dari epitel skuamosa sederhana. Sel
epitel skuamosa, yang disebut pneumosit tipe I, sangat tipis dan merupakan lokasi difusi gas. Alveolar
Makrofag melakukan fagositosis terhadap partikel yang lolos dari pertahanan lain. Pneumocytes tipe
II yang besar, juga disebut sel septum, tersebar di antara sel skuamosa. Pneumocytes type II yang
menghasilkan surfaktan berupa sekresi berminyak yang mengandung fosfolipid dan protein. Mereka
mensekresikan surfaktan ke permukaan alveolar, di mana ia membentuk lapisan superfisial di atas
lapisan tipis air. Surfaktan memainkan peran kunci dalam menjaga alveoli terbuka. Ini mengurangi
tegangan permukaan pada lapisan cairan permukaan alveolar. Pada membran pernafasan, jarak yang
sangat pendek memisahkan udara alveolar dari darah. Jarak total bisa sesedikit 0,1 m, tapi rata-rata
sekitar 0,5 m. Difusi berlangsung dengan sangat cepat melintasi membran respirasi karena jaraknya
pendek dan oksigen dan karbon dioksida kecil, molekul larut dalam lemak. Selaput plasma sel epitel
dan endotel tidak mencegah oksigen dan karbon dioksida berpindah antara darah dan udara alveolar.
- Merokok
- Infeksi saluran pernafasan atas
- Intubasi trakea
- Immobilisasi yang lama
- Terapi immunosuppressive
- System imun yang tidak berfungsi
- Malnutrisi
- Dehidrasi
III. Manifestasi Klinis
Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala, iritabel,
gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.Tanda dan gejala yang
ditemukan pada penderita pneumonia:
- Demam,
- Sesak napas,
- Takikardi
- Dahak / Sputum berwarna kehijauan seperti karet.
- Retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernapas,
- Takipnea
- Perkusi pekak,
- Fremitus melemah,
- Suara napas melemah, dan terdengar ronki.
IV. Patofisiologi
Menurut Corwin (2009) mekanisme pneumonia berawal dari rusaknya jaringan paru-
paru akibat dari bakteri yang berkembang biak. Selanjutnya terjadi reaksi imun dan inflamasi.
Bakteri mengeluarkan toksik sehingga dapat merusak sel-sel sistem pernafasan bawah seperti
produksi surfaktan sel alveoli.
Menurut Corwin (2009) pneumonia menyebabkan respon imun dan inflamasi.
Mekanisme pneumonia berawal dari hiperemia paru yakni respon inflamasi di daerah paru-
paru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia paru terjadi karena pelepasan mediator inflamasi seperti
prostaglandin dan histamin. Selain itu, terjadinya degranulasi sel mast sehingga mengaktifkan
sistem komplemen. Kerja sistem komplemen sama seperti histamin dan prostaglandin untuk
vasodilatasi pada otot polos paru sehingga dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas
kapiler. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan perpindahan eksudat lasma ke ruang
interstisial sehingga terjadi pembengkakan dan edema antara kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus mengakibatkan penurunan kecepatan difusi
gas karena jarak antara alveolus dan kapiler menjadi berjauhan akibat cairan tersebut. Selain
itu, pneumonia menyebabkan saturasi oksigen hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh oksigen
kurang larut dalam darah. Pada tahap hiperemia, infeksi menyebar ke jaringan sekitar paru-
paru akibat dari peningkatan aliran darah. Selanjutnya terjadi kerusakan alveolus dan
membran kapiler akibat dari infeksi dan proses inflamasi.
Menurut Corwin (2009) Pada tahap kedua yaitu hepatisasi merah. Pada tahap ini,
alveolus terisi sel darah merah, eksudat dan fibrin. Hal ini merupakan bagian dari reaksi
inflamasi. Selanjutnya tahap ketiga yaitu hepatisasi kelabu yaitu leukosit menuju ke sel yang
terinfeksi. Selanjutnya terdapat endapan fibrin pada daerah inflamasi kemudian teradi
fagositosis sel debris. Pada tahap keempat terjadi stadium resolusi yaitu meredanya respon
imun dan inflamasi seperti sel debris; fibrin; tercernanya fagosit dan makrofag.
Patogen mencapai paru melalui udara. Selanjutnya tubuh yang sehat akan melakukan
mekanisme pertahanan diri seperi refleks batuk, klirens mukosiliaris dan fagositosis
makrofag alveolus. Jika individu rentan terhadap penyakit, patogen akan masuk ke dalam
tubuh. Selanjutnya akan memperbanyak diri, melepaskan zat toksin yang bersifat merusak
dan menstimulasi respons inflamasi dan respon imun. Reaksi antigen-antibodi dan endotoksin
yang dilepaskan oleh beberapa miroorganis yang merusak membran mukosa bronkus dan
membran alveokapler. Inflamasi dan edema menyebabkan sel-sel acini dan bronkiolus
terminalis terisi oleh debris infeksi dan eksudat, sehingga dapat menyebabkan abnormalitas-
perfusi.
Jika pneumonia disebabkan oleh Staphylococcus pneumoniae dapat menyebabkan
nekrosis parenkim paru. Pneumonia pneumokokus adalah mikroorganisme Streptococcus
pneumoniae yang merangsang respon inflamasi, eksudat inflamasi yang menyebabkan edema
alveolusi sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi alveolus. Pneumonia viral yakni
pneumonia yang disebabkan oleh virus. Pneumonia bersifat ringan dan self-limited namun
dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri sekunder melalui lingkungan dengan merusak
epitel silia. Menurut Corwin (2009) Orang lansia berisiko tinggi mengalami pneumonia. Hal
ini disebabkan oleh penyakit yang dialami, nutrisi dan penurunan respon imun. Risiko
pneumonia dapat dikurangi melalui vaksinasi.
V. Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi dari pneumonia (Mayo Clinic Staff, 2017):
a. Bakteri dalam aliran darah (bakteremia)
Bakteri yang masuk ke aliran darah dari paru-paru Anda bisa menyebarkan infeksi ke
organ lain, berpotensi menyebabkan kegagalan organ.
b. Sulit bernafas
Jika pneumonia memburuk atau menderita penyakit paru kronis, penderita mungkin
mengalami kesulitan bernapas dalam kandungan oksigen yang cukup.
c. Akumulasi cairan di sekitar paru (pleural effusion)
Pneumonia dapat menyebabkan cairan terbentuk di ruang tipis antara lapisan jaringan
yang melapisi paru-paru dan rongga dada (pleura). Jika cairan menjadi terinfeksi, Anda
mungkin perlu meminumnya melalui tabung dada atau dikeluarkan dengan operasi
d. Abses Paru
Abses terjadi jika nanah terbentuk di rongga di paru-paru. Abses biasanya diobati dengan
antibiotik. Terkadang, operasi atau drainase dengan jarum atau tabung panjang yang
ditempatkan ke dalam abses diperlukan untuk mengeluarkan nanah.
VI. Pengkajian
Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu dikaji:
a. Riwayat penyakit
Demam, batuk, pilek, anoreksia, badan lemah/tidak bergairah, riwayat penyakit
pernapasan, pengobatan yang dilakukan di rumah dan penyakit yang menyertai.
b. Tanda fisik
Demam, dyspneu, tachipneu, menggunakan otot pernafasan tambahan, faring hiperemis,
pembesaran tonsil, sakit menelan.
c. Faktor perkembangan:
Tingkat perkembangan, kebiasaan sehari-hari, mekanisme koping, kemampuan mengerti
tindakan yang dilakukan.
d. Pengetahuan pasien/ keluarga
Pengalaman terkena penyakit pernafasan, pengetahuan tentang penyakit pernafasan dan
tindakan yang dilakukan
e. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan kelainan sebelum hal ini dapat ditemukan secara
pemeriksaan fisik. Pada bronchopneumonia bercak – bercak infiltrat didapatkan pada
satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsosolidasi pada
satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu
atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi pada satu
atau beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
pleuritis, abses paru, perikarditis dll.
f. Pemeriksaan laboratorium
VII. Masalah Keperawatan dan Diagnosa yang Mungkin Muncul (Doengoes, 2010)
Bersihan jalan napas tidak efektif kemungkinan b.d inflamasi trakeabranchial,
pembentukan edema, peningkatan produksi sputum
Gangguan pertukaran gas kemungkinan b.d perubahan membran alveolar-kapiler
Hipertermi kemungkinan b.d. proses infeksi
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan kemungkinan b.d.peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi
Resiko kekurangan volume cairan kemungkinan b.d. intake cairan oral tidak adekuat,
kehilangan cairan aktif
b. Terapi Oksigen
Menurut Price & Wilson (2005) Terapi oksgien digunakan untuk mempertahankan
oksigen seluler dan mencegah keruakan sel baik di otot maupun organ lainnya. Manfaat
oksigen diantarnya ialah mengurangi sesak napas, memperbaiki aktivitas dan
neuropsikiatri, mengurangi hipertensi, pulmonal dan vasokontriksi dan hematokrit, dan
meningkatkan kualitas hidup. Terapi Oksigen terdiri atas beberapa macam, diantaranya
pemberian oksigen jangka panjang, pemberian oksigen pada waktu aktivitas, pemberian
oksige pada waktu timbul sesak mendadak dan pemberian oksigen secara intensif pada
waktu gagal napas. Terapi Oksigen dapat dilakukan di rumah ataupun di rumah sakit.
Pemberian oksigen dibantu menggunakan alat seperti nasal kanul, sungkup venturi,
rebreathing dan nonbreathing dan bertujuan untuk mengetahui kondisi analisis gas darah
pada waktu tersebut. Efek samping dar terapi oksigen diantaranya hidung menjadi kering
dan berdarah, iritasi kulit karena penggunaan masker oksigen, rasa gelisah dan kelelahan
dan sakit kepala dipagi hari.
Referensi:
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Medical Surgical Nursing; Clinical management for
positive outcomes. (2009). Singapura: Elsevier Pte Ltd
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, Marilynn E. (2010). Nursing care plans: Guidelines for individualizing client care
across the life span (8th Ed). Philadelphia: F.A Davis Company.
Porth, C. M. & Matfin, G. (2009). Pathophysiology: Concepts of altered health states, 8th
edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health
Martini, F.H., Nath, J. L., Bartholomew, E.F. (2012). Fundamental of Anatomy & Physiology,
Ninth Edition. USA: Pearson Education, Inc.
Mayo Clinic Staf. (2017). Pneumonia. Retrieved from http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/pneumonia