Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan menalar manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang


merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawadan setelah itu manusia harus hidup berbekal
pengetahuan ini. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan
mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia
dipaksa harus mengambil pilihan. Mana yang benar dan mana yang salah, mana tindakan
yang baik mana tindakan yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam
melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan.

Manusia adalah satu-satunya mahkluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara


bersungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini
terbatas untuk kelangsungan hidupnya (Survival). Namun ini sangat berbeda dengan tujuan
pendidikan manusia,

Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup


ini. Dia memikirjan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia
memberi makna kepada kehidupan, manusia “memanusiakan” diri dalam kehidupannya.
Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuan dan pengetahuan ini juga
yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.

Pengetahuan ini mampu dikembangkan oleh manusia disebabkan dua hal :

1. Manusia mempunyai Bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan


pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
2. Kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara
berpikir seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berpikir tapi tidak mampu berpikir
nalar.
B. Rumusan Masalah
Apa ciri masalah filsafat ?
Apa ciri manusia yang berfilosofis?
Apa karakteristik berfikir filsafat ?

1
Aspek apa saja yang harus di perhatikan dalam mempelajari filsafah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami Masalah filsafat
2. Mengetahui ciri Manusia yang berfikir filsafat
3. Karakterisitk berfikir filsafat
4. Memahami metode tahapan dalam filsafat ilmu.

D. Manfaat Pembahasan
Agar menjadi pedoman pedoman dalam pemahaman mengenai Ciri masalah filsafat,
mengetahui ciri-ciri manusia yang berfikir filsafat, karakter berfikir filsafat dan
memahami metode tahapan dalam filsafat ilmu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masalah Filsafat

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum, merasa tidak puas, merasa ingin
tahu, dan merasa ragu-ragu. Pada tahap awalnya kegaguman itu terarah kepada gejala-gejala
alam, misalnya gempa bumi, hujan, banjir melihat laut yang luas. Orang yang heran berarti
dia merasa tidak tahu, atau dia menghadapi persoalan. Persoalan inilah yang ingin diperoleh
jawabannya oleh filsuf. Jawaban itu diperoleh dengan melakukan kontemplasi, yakni berpikir
dan merenung yang sedalam-dalamnya, melakukan refleksi, yaitu berpikir tentang pikiranya
sendiri atau intropeksi. Dalam hal ini tidak semua persoalan itu persoalan filsafat. Persoalan
filsafat berbeda dengan persoalan nonfilsafat. Perbedaannya terletak pada materi dan ruang
lingkupnya. ciri persoalan filsafat adalah sebagai berikut :

1. Bersifat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek


khusus.
2. Tidak menyangkut fakta. Persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan yang
dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah yaitu
pengetahuan yang menyangkut fakta.
3. Bersangkutan dengan nilai-nilai (Value), Persoalan kefilsafatan bertalian dengan
penilaian baik nilai moral-etika, estetika, agama, dan social. Nilai dalam pengertian ini
adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada suatu hal.
4. Bersifat kritis, Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-
arti yang biasa diterima begitu saja.
5. Oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis
6. Bersifat synopsis, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara
menyeluruh. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai
keseluruhan.
7. Bersifat imlikatif artinya persoalan kefilsafatan sudah terjawab, maka dari jawaban
tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawaban yang
mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia
(Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1996: 11-12)

3
B. Manusia Berfikir Filsafat

Manusia memiliki pola berpikir yang lebih kritis dibandingkan dengan mahluk
lainnya, sehingga manusia dikatakan sebagai mahluk yang sempurna. Beberapa ciri-ciri
manusia yang berpikir filosofi

1. Berpikir secara menyeluruh. Artinya, Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri
dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin
mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu - ilmu yang lain, hubungan ilmu
dan moral, seni dan tujuan hidup.
2. Berpikir secara mendasar. Seorang filosof tidak percaya begitu saja kebenaran ilmu yang
diperolehnya. Ia selalu ragu dan mempertanyakannya; Mengapa ilmu dapat disebut
benar?, Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?, Apakah
kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran dan
pertanyaan-pertanyaan pun selalu muncul secara bergantian. Artinya, pemikiran yang
dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya
sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak
hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya.
3. Berpikir secara spekulatif. Seorang filosof melakukan spekulasi terhadap kebenaran. Sifat
spekulatif itu pula seorang filosof terus melakukan uji coba lalu melahirkan sebuah
pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan terhadap kebenaran yang dipercayainya.
4. Berpikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para
filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-
pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan
tertentu.
5. Berpikir dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama
adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan
untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah
bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang
lain serta dipertanggungjawabkan.
6. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah
berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir
secara runtut.

4
C. Berfikir Filsafat

Berpikir Kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari


bidang ilmu lain :

1. Radikal artinya berpikir sampai keakar-akarnya, sehingga sampai pada hakikat atau
subtansi yang dipikirkan
2. Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
3. Konseptual artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
Misalnya : Apakah seni itu? Apakah keindahan itu?
4. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir
logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Komprehensif artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan
merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan
merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial,
historis, kultural, bahkan religius.
8. Bertanggungjawab artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir
sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya sendiri. (Mustansyir dan Munir, 2001:5)

Kedelapan cirri berfikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengen ciri
berfikir ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukanfilsafat sebagai bidang keilmuan
yang netral, terutama pada ciri ke tujuh.

D. Metode Filsafat Ilmu

Untuk memperoleh ilmu ilmu salah satu yang harus di pahami oleh seorang ilmuan
adalah mengetahui cara apa yang harus digunakan. Ilmu dapat di gali a=menggunakan
prsedur yang disebut metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu,
karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Syarat-syarat tertentu dalam mendapatkan ilmu yang

5
dimaksud kan adalah metode ilmiah. Metode dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara
mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematik.

Langkah sebagai alur berpikir yang mencakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan
dalam suatu prosedur yang mencerminkan tahapan-tahapan dalam kegiatan ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan Logico-hypotetico-verifikatif- ini pada dasarnya terdiri dari
langkah-langkah sebagai berikut :

1. Rumusan Masalah, ini merupakan langkah pertama alam metode ilmiah berisi pertanyaan
mengenai obejk empiris yang jelas batas-batasnya dan dapat di indetifikasi factor-faktor
yang terkait di dalamnya.
2. Menentukan khasanah pengetahuan ilmiah, ini merupakan langkah kedua dalam metode
olmiah berisi kumpulan informasi ilmiah yang digali melalui berbagai literature ilmiah,
jurnal ilmiah, diskusi ilmiah, wawancara dengan narasumber atau pakar bidang keilmuan
terkait dengan permasalahan yang akan dicarikan solusinya.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis, ini merupakan langkah ketiga
dalam metode ilmiah berisikan argumentasi yang dibangun berdasarkan khasanah ilmu
pengetahuan ilmiah yang di ambil sebagai landasan teori sehingga dapat menjelaskan
hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai factor yang saling terkait dan
membentuk konstelasai permasalahan atau hubungan antara variable bebas dan variable
terikat.
4. Penyusunan Hipotesis, ini merupakan langka ke empat dalam metode ilmiah yang
berisikan jawaban sementara atau dugaan semetara terhadap pertanyaan yang diajukan
dalam perumusan masalah, sedangkan rumusan hipotesis ini materi yang dibuat berupa
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
5. Pengujian hipotesis, ini merupakan langkah kelima dalam metode ilmiah yang berisikan
kegiatan pengumpulan fakta atau data-data empiris yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan, kemudian dilakukan analisis menggunakan uji statistic, sedangkan hasilnya
dapat di jadikan sebagai data untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung tersebut atau tidak.
6. Penarikan kesimpulan, ini merupakan langkah ke enam dalam metode ilmiah berikan
penilaian apakah hipotesis yang diajukan berdasarkan data yang ditemukan di lapangan
diterima atau di tolak. Bila dalam proses pengujian terdapat fakta-fakta yang cukup dan
mendukung hipotesis maka hipotesis yang diajukan dapat diterima. Sebaliknya, bila data-
data yang dikumpulkan dari lapangan ternyata tidak mendukung hipotesis yang diajukan

6
maka hipotesis yang diajukan ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap
menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah karena memenuhi persyaratan keilmuan, yaitu
mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya
serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini baru ditafsirkan secara
pragmatis, artinya bahwa samoau saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan
sebaliknya.

E. Contoh Berfikir Filsafat dan Deskripsi

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-
ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat di dorong untuk mengetahui apa
yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa
tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang akan terbatas. Demikian
juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang seberapa
jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

Berfilsafat dengan ilmu berarti kita harus berterus terang kepada diri kita tentang
apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu? Dan apakah ciri-ciri ilmu ? apakah cirri-
ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan laiinya yang bukan
ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa
yang akan kita gunakan dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa kita mesti
mempelajari ilmu?

Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan


yang telah kita ketahui apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya
saya ketahui dalam kehidupan ini? Dibatas manakah ilmu dimulai dan dibatas manakah dia
berhenti?

Seorang yang berfikir berfilsafat dapat di umpamakan seorang yang berpijak dibumi
sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat diriny dalam semesta
galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di
bawahnya. Dia ingin menyimak kehadiranya dengan kesemestaan yang di tatapnya.
Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah Sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak
puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat
ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lain. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral.

7
Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada
dirinya.

Kerendah hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang
yang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak
secara fundamental. Inilah karakterisitik berfikir filsafat yang kedua bersifat Mendasar. Dia
tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar?
Bagaimana proses penilaian berdasarkan Kriteria tersebut dilakukan? Apakah criteria itu
sendiri benar?.

“Ah, Horatio,” desis hamlet, “masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang
terjaring dalam filsafatmu.”1 Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita
menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal
yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan
inilah yang merupakan ciri filsafat yang ke tiga yakni bersifat Spekulatif.

Kita mulai bingung dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: Bukankah spekulasi ini
suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab : memang, namun
hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik
bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam
analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak dapat di andalkan. Dan tugas utama filsafat adalah
menetapkan dasar-dasar yang dapat di andalkan. Apakah yang disebut logis?Apakah yang
disebut benar? Apakah yang disebut Sahih? Apakah alam itu teratur atau kacau? Apakah
hidup ini ada tujuan atau Absurd (Sia-sia)? Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap
sarwa kehidupan ?

Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan
spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat
diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menentapkan
kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang
diatas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita
mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau
jelek maka tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.

1
William Shakespeare,Hamlet, Babak I, Adegan 5.

8
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam mempelajari falsafah ilmu pengetahuan

1. Pengertian Ontologi yaitu Ontologi merupakan hakekat atau dasar dari pengetahuan yang
dikaji. Ontologi adalah salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkrit
2. Pengetian Epistemologo merupakan bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan yang
benar
3. Pengertian Aksiologi yaitu merupakan nilai kegunaan dari ilmu itu sendiri mencakup
tentang nilai guna ilmu itu sendiri.

9
KESIMPULAN

1. Tidak semua masalah termasuk Filasafat


2. Berfilsafat adalah suatu aktivitas yang menggunakan potensi akal seluas-luasnya dan
sebebas-bebasnya tanpa dibatasi oleh sesuatu apapun secara radikal, tersistematis,
universal dan menyeluruh serta bersifat spekulatif dan mendasar dalam mengungkap
hakikat suatu kebenaran. Artinya, hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi
pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk
menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil
pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian
3. Kedelapan ciri berfikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan ciri
berfikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang
yang netral
4. Kerangka berpikir ilmiah adalah Rumusan Masalah, Menentukan khasanah pengetahuan
ilmiah, Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis, Penyusunan
Hipotesis, Pengujian hipotesis, Penarikan kesimpulan.
5. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam mempelajari falsafah ilmu pengetahuan:
Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri, 2007. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Drs. H. A. Fuad Ihsan, 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT. Rineka Cipta

http://www.wasiwa.com/2014/03/ciri-ciri-manusia-berpikir-filosofi.html Diakses pada 26 Agustus


2015

http://www.desabombana.com/2014/07/ciri-ciri-berpikir-kefilsafatan.html Diakses pada 26 Agustus


2015

11
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
Dr. Samsidar Tanjung, M.Pd

CIRI-CIRI BERFIKIR FILSAFAT DAN KEFILSAFATAN

OLEH :
KELOMPOK II

HAMIDAH : 8156122010
IBRAHIM : 8156122012
SRI PUTRI : 8156122030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
12

Anda mungkin juga menyukai