Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan
salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing.
Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya
adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor.
Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris dapat juga
menimbulkan penyumbatan.

Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara berkembang, namun
dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap
100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan
pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data
epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai
puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang
dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yan tinggi
ini menurun pada pria.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang dominan dan
merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang merupakan flora normal
pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman terbanyak penyebab
apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli.

Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis;
merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain adalah salah cerna akibat
makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa
nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri yang
disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan kosong akibat
makan tidak teratur yang pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada lambung.
Gangguan lain pada lambung adalah gastritis atau peradangan pada lambung. Dapat pula
apendiks terinfeksi sehingga terjadi peradangan yang disebut apendisitis.

Di dalam makalah ini kami akan membahas seputar gangguan pencernaan pada apendiks atau
biasa dikenal dengan apendisitis yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasinya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apendiks Vermiformis

2.1.1 Pengertian Apendiks


Apendiks atau umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada
proximal colon. Apendix dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, ditemukan
pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Apendiks pada awalnya dianggap
sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi
apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi
immunoglobin (Ig-A) walaupun dalam jumlah kecil. Apediks berisi makanan dan mengosongkan
diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya
kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi.
2.1.2 Anatomi

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10cm dan
berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus ileum kuadran kanan bawah.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir,
apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak,
pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada
apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam
menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal
(74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal
(1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawa arteri
ileocolica. Arteri apendiks termasuk akhir arteri. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe
melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.

Anatomi lokasi apendiks :


2.1.3 Fisiologis

Walaupun apendiks kurang memiliki fungsi, namun apendiks dapat berfungsi seperti organ
lainnya. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml perhari. Lendir dicurahkan ke caecum. Jika terjadi
hambatan maka akan terjadi patogenesa apendisitis akut. GALT (Gut Associated Lymphoid
Tissue) yang terdapat pada apendiks menghasilkan Ig-A. Namun demikian, adanya
pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah
jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada
saluran cerna lain.

2.2 Apendisitis Akut

2.2.1 Pengertian
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma. Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul secara mendadak,
apendisitis disebabkan oleh berbagai faktor.

2.2.2 Sejarah
Ada beberapa fakta – fakta dalam buku ilmiah bahwa pada tahun 1500an para ahli mengakui
adanya hubungan yang sebenarnya dengan inflamasi yang membahayakan dari daerah sekum
yang disebut “pertyphilitist”. Meskipun dilaporkan keberhasilan apendiktomi pertama pada tahun
1776, pada 1886 baru Reginal Flitz yang membantu membuat aturan bedah dalam pengangkatan
apendiks yang meradang sebagai pengobatan, yang sebelumnya dianggap fatal. Pada tahun 1889,
Charles McBurney mengenalkan laporan lama sebelum New York Surgical Society
mengemukakan akan pentingnya operasi apendisitis akut dini serta kelembapan titik maksimum
dari perut yang ditentukan dengan menekan satu-tiga jari di garis yang menghubungkan antara
spina iliaca anterior superior dengan umbilicus. Lima tahun kemudian ia menemukan pemisahan
otot dengan pemotongan yang kini dikenal dengan namanya.

2.3 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor
apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari
kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya :

1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh
infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35%
karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-
macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus
sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.

2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith
dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena
terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak
ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-
bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.

3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang
terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal
ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang
dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola
makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang
dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.

5. Faktor infeksi saluran pernapasan


Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis,
jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

2.4 Patofisiologi
Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi appendisitis.
Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini lumen appendiks masih utuh
walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid.
Agen infeksi seperti virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen appendiks
yang sempit sehingga timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi mukosa yang terus
menerus dan eksudat inflamasi akan meningkatkan tekanan intraluminal, ini akan menghambat
aliran limfa. Luminal Capacity Appendic adalah 0.1 ml, bila sekresinya 0.5ml sahaja distal
terhadap obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal 50cm H20.5,6

Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana ia masih dapat menghasilkan sekresi
pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan
merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya
dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan
difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari Thorakal 10
yang lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu Reffered Pain.5,6

Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga menimbulkan nyeri
kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan Mucocele Appendiks. Selain faktor-
faktor ini kuman komensal dalam appendiks yang bermultiplikasi juga akan meningkatkan
distensi dari appendiks. Pada kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan
antibiotik. Apabila penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan
menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks.

Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan
menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan
menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan
muntah diikuti dengan nyeri viseral ynag semakin meningkat.

Selanjutnya apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis
Hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila
invasi dari bakteri bertambah dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan
leukositosis akibat absorbsi toxin bakteri dan produk dari jaringan yang mati.

Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat dikwatirkan pada appendisitis akut. Peritonitis
terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding appendiks yang iskemik, perforasi gangren
appendiks atau melalui abses appendiks yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya peritonitis adalah usia lanjut, immunosupresi, diabetes mellitus, obstruksi fecalit pada
lumen appendiks, pelvic appendic dan riwayat operasi abdomen, karena ini mengurangi
kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan peritonitis.

Pasien dengan faktor-faktor di atas lebih mudah mengalami perburukan klinis yang berakhir
dengan peritonitis diffuse dan Sindroma Septik Sistemik.
2.4.1 Apendisitis Akut Katarhalis
Bila terjadi obstruksi, sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks, terjadi peninggian
tekanan dalam lumen, tekanan ini mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal,
edem dan kemerahan. Pada apendiks edema mukosa ini mulai terlihat dengan adanya luka-luka
kecil pada mukosa.

2.4.2 Apedisitis Akut Purulenta


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah yang disertai edema, menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan thrombus. Hal ini akan memperberat
iskemik dan edema pada apendiks. Bakteri yang dalam normal terdapat di daerah ini berinvasi ke
dalam dinding, menimbulkan infeksi serosa, sehingga serosa jadi suram, karena dilapisi eksudat
dan fibrin. Karena infeksi akan terbentuk nanah terjadi peritonitis lokal.

2.4.3 Apendisitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu terutama bagian
ante mesentrial yang peredarannya paling minimal, hingga terjadi infrak dan ganggren.

2.4.4 Apendisitis Perforata


Bila apendiks yang sudah ganggren itu pecah, terjadilah perofasi.

2.4.4 Apedisitis Infiltrat yang Fixed


Perforasi yang terjadi pada daerah ganggren sehingga nanah dan produksi infeksi mengalir ke
dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis generalisata serta abses sekunder. Bila
mekanisme pertahanan tubuh cukup baik, tubuh berusaha melokalisir tempat infeksi tersebut
dengan cara membentuk “walling off” oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum,
yaitu membentuk gumpalan masa phlegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. Dalam
keadaan ini tubuh berhasil melokalisir daerah infeksi secara sempurna.

2.4.5 Apendisitis Abses


Bila masa lokal yang terbentuk berisi nanah.

2.4.6 Apendsitis Kronis


Jika apendisitis infiltrat menyembuh dengan adanya gejala hilang timbul.

2.5 Gambaran Klinis


Perjalanan penyakit apendisitis akut memiliki gejala yang sangat luas. gejalanya berupa gejala
nyeri perut yang difus yang sering berlokasi di epigastrium atau periumbilical area yang diikuti
muntah. Setelah 4-6jam nyeri berlokasi di kuadran kanan bawah. Namun lokasi nyeri berbeda
untuk tiap – tiap orang karena perbedaan letak anatomis tiap orang.

Sebelum pemeriksaan fisik dimulai, pasien harus ditanya titik area nyeri dan mengamati tekanan
jari yang diperlukan untuk menimbulkan atau memperkuat sakitnya. Hasilnya tindakan ini sering
memberikan bukti tegas bagi iritasi peritoneum lokalisata. Anoreksia hampir selalu ditemui pada
apendisitis yaitu sekitar 95% dari pasien dan kemudian baru diikuti nyeri perut. Jika tidak ada
anoreksia, diagnose pasien akan tetap dipertanyakan. Mual ditemukan sekitar 75% dari pasien,
mulanya tidak bersifat terus-menerus tapi mulanya hanya satu sampai dua kali. Ada sebagian
pasien sebelum nyeri perut dadahului oleh obstipasi dan merasakan nyeri berkurang dengan cara
buang air besar.

Tanda yang dapat kita temukan pada pemeriksaan fisik adalah sikap penderita yang dating
dengan posisi membungkuk dan bila berbaring kaki kanan sedikit ditekuk. Kita akan
menemukan peningkatan suhu ringan yaitu sekitar 37,50-38,50. Jika lebih maka ditemukan
perforasi. Pasien apendisitis cenderung untik tidur menelungkup, memegang erat sebelah kanan,
setiap gerakan akan meningkatkan nyeri dan jika diminta bergerak, akan dilakukan secara
perlahan-lahan.

Pada inspeksi tidak ditemukan adanya gambaran spesifik, pada peeriksaan abdomen selelu harus
dilakukan dengan lembut untuk mendapat kepercayaan pasien dan memungkinkan deteksi
peritoneum. Pemeriksaan dari kiri ke kanan untuk menilai ridgiditas atau defans muskuler
ringan. Palpasi lembut demikian tidak akan mengeksarsbasi nyeri. Tujuan palpasi abdomen
untuk mementukan apakah pasien menderita iritasi peritoneum atau tidak. Tanda iritasi
peritoniumadalah nyeri tekan lokalisata ; ridgiditas atau atau defans muskuler serta nyeri lepas.
Nyeri lepas merupakan tanda yang bermakna bagi dokter. Kalau disuruh batuk akan terasa nyeri
diperut sebelah kanan dan penderita dapat menunjukan nyeri dari umbilicus dan pindah serta
menetap pada perut sebelah kanan bawah. Ada ditemukan beberapa macam tanda diantaranya
McBurney’s Sign, Rovsing’s Sign, Psoas Sign, Obturator Sign dan Mefadden’s Sign. Letak nyeri
pada apendisitis akut diproyeksikan dengan dengan titik McBurney, titik ini terletak pada 5-2
inch dari procesus spinosus anterior pada ileum diatas garis lurus yang menghubungkan antara
procesus dengan umbilicus.

Pada Rovsing’s Sign nyeri pada saat palpasi pada kuadran kanan dan kiri bawah, karena terjadi
penekanan oleh udara yang menunjukan adanya iritasi peritoneal. Ketahanan otot pada saat
palpasi sering dihubungkan dengan tingkat keparahan proses radang. Tanda psoas dilakukan
dengan cara penderita berbaring, paha difleksikan akan terasa nyeri karena otot psoas berkontak
dengan peritoneum dekat apendiks. Keadaan ini khas pada difleksikan dan diemdorotasikan
dengan otot obturator interna. McFaden Sign dilakukan dengan cara apendiks posisis pelvis bisa
merangsang kandung kening, sering pada anak –anak terjadi miksi setelah nyeri.

Tanda –tanda yang dapat kita temukan pada pemeriksaan fisik adalah sikap penderita yang
datang dengan posisi membungkuk dan bila berbaring kaki kanan sedikti ditekuk. Kita akan
menemukan peningkatan suhu ringan yaitu sekitar 37,5-38,5 0C. Jika lebih maka akan terjadi
perforasi. Pasien apendisitis cenderung untuk tidur menelungkup, memegang erat sebelah kanan,
setiap gerakan akan meningkatkan nyeri dan jika diminta bergerak, akan dilakukan secara
perlahan-lahan.

Pada inspeksi tidak ditemukan adanya gambaran spesifik. Pemeriksaan fisik abdomen selalu
harus dilakukan dengan lembut untuk mendapatkan kepercayaan pasien dan memungkinkan
untuk deteksi tanda peritoneum. Pemeriksaan dari kiri ke kanan dapat menilai rigiditas atau
defans meskuler ringan. Palpasi lembut demikian tidak mengeksaserbasi nyeri-nyeri dalam area
nyeri tekan maksimum. Tujuan palpasi abdomen untuk menentukan apakah pasien menderita
iritasi peritoneum atau tidak. Tanda iritasi peritoneumadalah nyeri tekan lokalisata, rigiditas atau
defans muskuler serta nyeri lepas. Nyeri lepas merupakan tanda yang bermakna bagi dokter.

Jika batuk akan terasa nyeri di perut sebelah kanan dan penderita dapat menunjukkan nyeri dari
umbilicus dan pindah serta menetap pada perut kanan bawah. Ada ditemukan beberapa macam
tanda diantaranya Mc Burney’s Sign, Rovsing’s Sign, Psoas Sign, Obturator Sign dan Mc
Fadden Sign. Letak nyeri pada apendisitis akut diproyeksikan dengan titik Mc Burney, dimana
titik ini terletak pada 5-2 inchi dari procesus dengan umbilicus. Pada Rovsing’s nyeri pada saat
palpasi pada quadrant kanan dan kiri bawah, karena terjadi penekanan oleh udara menunjukkan
adanya iritasi peritoneal. Ketahanan otot pada saat palpasi sering dihubungkan dengan tingkat
keparahan proses radang. Tanda psoas berkontak dengan peritoneum dekat apendik. Keadaan ini
khas pada difleksikan dan diendorotasikan, akan terasa nyeri karena terjadi kontak apendiks
denagn otot obrurator interna. Mc Fadden’s Sign dilakukan denagn cara pada apendiks posisi
pelvis bisa merangsang kandung kencing, sering pada anak-anak terjadi miksi setelah nyeri.

Diagnosis klinis apendisitis akut masih bisa salah 15%-20% walaupun telah dilakukan
pemeriksaan dilakukan dengan teliti dam cermat. Angka ini tinggi untuk pasien perempuan
dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan yang masih muda sering memiliki gejala yang
mirip apendisitis akut. Keluhan itu biasanya berasal dari genetalia internal oleh karena ovulasi,
radang perlvis dan lain-lain.
Untuk lebih memudahkan diagnosis klinis apendisitis, para klinisi telah berhasil
mengembangkan berbagai metode diagnosis. Salah satunya adalah dengan menggunakan indeks
alvarado, berikut adalah indeks alvarado:
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah setiap skor, kemudian
kemungkinan diagnosis apendisitis adalah berdasarkan pembagian interval nilai yang diperoleh
tersebut.

1. Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat langsung diambil
tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian perlu dilakukan konfirmasi
dengan pemeriksaan patologi anatomi.

2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini sbaiknya
dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen ataupun CT scan.

3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu untuk
di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan catatan tetap dilakukan follow up
pada pasien ini.

Diagnosa klinis intra apendisitis akut, menurut Cloud dan Boyd dapat dibagi menjadi beberapa
tingkat sesuai dengan perubahan dan tingkat peradangan apendiks, yaitu:

1. Apendisitis Akut Sederhana


Gejalanya diawali dengan rasa kurang enak di ulu hati / daerah pusat, mungkin disertai dengan
kolik, muntah, kemudian anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada fase ini seharusnya
didapatkan adanya leukositosis. Pada fase ini apendiks dapat terlihat normal, hiperemi atau
udem, tak ada eksudet serosa.

2. Apendisitis Akut Supurativa


Ditandai dengan adanya rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
McBurney, adanya defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat teIjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda periotnitis umum, seperti
demam tinggi. Bila perforasi barn terjadi, Leukosit akan pergi ke jaringan-jaringan yang
meradang tersebut, maka mungkin kadar leukosit di dalam darah dapat turun, sebab belum
sempatnya tubuh merespon kebutuhan leukosit yang tiba-tiba meninggi.

Namun setelah tubuh sempat merespon kebutuhan ini maka jumlah leukosit akan meninggi di
dalam darah tepi. Apendisitis akut supurativa ini kebanyakan terjadi karena adanyaobstruksi.
Apendiks dan meso apendiks udem, hiperemi, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.

3. Apendisitis Akut Gangrenosa


Tampak apendiks udem, hiperemis, dengan gangren pada bagian tertentu, dinding apendiks
berwama ungu, hijau keabuan atau merah kehitamann. Pada apendiksitis akut gangrenosa ini bisa
terdapat mikroperforasi.

4. Apendisitis Akut Perforasi


Pada dinding apendiks telah teIjadi ruptur, tampak daerah perforasi yang dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.

5. Apendisitis Akut Abses


Abses akan timbul di fossa iliaka kanan lateral dekat caecum, retrocaecal dan pelvis.
Mengandung pus yang sangat banyak dan berbau.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri
dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus.

1. Perforasi
Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap paslen apendisitis akut. Perforasi
disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar 38,3 0C). Biasanya perforasi
tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang
dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi . Akibat
perforasi ini sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil
yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya.

2. Peritonitis
Peritonitis lokal dapat disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis umum dikarenakan
telah terjadinya perforasi yang nyata. Bertambahnya nyeri dan kekakuan otot, ketegangan
abdomen dan adinamic ileus dapat ditemui pada pasien apendisitis dengan perforasi.

3. Apendikal abses (massa apendikal)


Perforasi yang bersifat lokal dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi oleh omentum dan
viseral yang berdekatan . Manifestasi kliniknya sarna dengan apendisitis biasa disertai dengan
ditemukannya massa di kwadran kanan bawah. Pemeriksaan USG dan CT scan bermanfaat untuk
menegakan diagnosis.

4. Pielofleblitis
Pielofleblitis adalah trombofleblitis yang bersifat supuratif pada sistem vena portal. Dernam
tinggi, menggigil, ikterus yang samar-samar, dan nantinya dapat ditemukan abses hepar,
merupakan pertanda telah tetjadinya komplikasi ini. Pemeriksaan untuk menemukan trombosis
dan udara di vena portal yang paling baik adalah CT scan.

Pada beberapa keadaan apendisitis akut agak sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi kornplikasi misalnya:

- Pada anak, biasanya diawali dengan rewel, tidak mau makan, tidak bisa melukiskan nyerinya,
sehingga dalam beberapa jam kemudian terjadi muntah-muntah, lemah dan letargi. Gejala ini
tidak khas pada anak sehingga apendisitis diketahui setelah terjadi komplikasi.

- Pada wanita hamil, biasanya keluhan utamanya adalah nyeri perut mual dan muntah. Pada
wanita hamil trimester pertama juga terjadi mual muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan
apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi ke regio lumbal kanan.

- Pada usia lanjut, gejalanya sering samar-samar sehingga sering terjadi terlambat diagnosis.
Akibatnya lebih dari separuh penderita yang datang mengalami perforasi.

Hal yang dilakukan untuk mendiagnosa apendisitis adalah pemeriksaan melalui anus.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fisik yang paling akhir dilakukan, karena kurang
penting dibandingkan dengan pemeriksaan abdomen. Dapat untuk menduga posisi apendiks yang
meradang tersebut.

Pemeriksaan masih diperlukan untuk apendisitis akut. Tes laboratorium untuk apendisitis akut
bersifat nonspesifik. Nilai hitung leukosit pada 90% pasien apendisitis akut yang lebih dari
100.000 permikroliter dan kebanyakan juga pergeseran ke kiri dalam hitung jenis (Sabiston,
1994). Nilai ambang untuk leukosit yaitu sekitar 10.000 sampai 18.000 mm3. jika nilai lebih dari
nilai ambang yang di atas maka berkemungkinan terjadinya apendisitis yang perforasi dengan
abses ataupun tanpa abses.

Seringkali penelitian sebelumnya, penghitungan sel darah putih yang normal bisa didapat pada
awal penyakit dan peningkatan mungkin diantisipasi sesuai dengan keparahan penyakit. karena
alasan ini, ukuran berkala dari penghitungan sel darah putih bisa meragukan pembuktian dari
keakutan dari tes. Berdasarkan keadaan klinis, harusnya diperlihatkan secara rutin yaitu:
a. Analisa urin
Test ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi kemungkinan dari infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

b. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan kuadrant
kanan atas.

c. Serum B-HCG untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

d. Pemeriksaan radiologi terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada


pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.

Kebanyakan kasus apendisitis akut didiagnosa tanpa memperlihatkan kelainan radiologi.


Kelainan rongtenollogi yang menggambarkan apendisitis akut dini adalah deus ringan
apendikolitiasis. Foto polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan
bawah, bayangan psoas kanan abnormal, gas dalam lumen apendiks dan ileus lebih menonjol.
Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan patologi yang
meniru apendisitis akut. Contohnya udara bebas intra . peritoneum yang mendokumentasi
perforasi berongga seperti duodenum atau kolon.

Kelainan berupa radioopaq, benda asing serta batas udara cairan di dalam usus yang
menunjukkan obstruksi usus. Sejumlah laporan tentang manfaat enema barium telah jelas
mencakup beberapa komplikasi. Pemeriksaan enema barium jelas tidak diperlukan dalam
kebanyakan kasus apendisitis akut dan mungkin harus dicadangkan bagi kasus yang lebih rumit,
terutama yang dengan resiko operasinya berlebihan.

2.6 Differensial Diagnosa


Diagnosis appendisitis memiliki kemiripan dengan diagnosa penyakit lainnya, karena itulah pada
sekitar 15-20% kasus terjadi kesalahan diagnosis klinis. Penyakit yang memiliki gejala mirip
antara lain:

2.6.1 Gastroenteritis
Terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan terbatas tegas.
Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis
akut. laboratorium biasanya normal karena hitung normal.

2.6.2 Limfedenitis Mesenterika


Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut, terutama kanan
disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama kanan.

2.6.3 Demam Dengue


Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif untuk Rumple
Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat.

2.6.4 Infeksi Panggul


Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi
daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada gadis dapat dilakukan pemeriksaan melalui
dubur jika perlu untuk diagnosis banding. Rasa nyeri pada pemeriksaan melalui vagina jika
uterus diayunkan.

2.6.5 Gangguan alat kelamin perempuan


Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus
menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu dalam 24 jam, tetapi
mungkin dapat mengganggu selama dua hari, pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul
lebih dahulu.

2.6.6 Kehamilan di luar kandungan


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan tidak yang tidak menentu Ruptur tuba,
abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan maka akan timbul nyeri mendadak difus di
pelvis dan bisa terjadi syok hipovolemik. Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada
pemeriksaan vaginal dan didapatkan pada kuldosintesis.

2.6.7 Divertikulosis Meckel


Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan sebelum operasi hanya
teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang rnirip
pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

2.6.8 Intussusception
Ini harus dibedakan dengan apendisitis akut karena pengobatan berbeda umur pasien sangat
penting, apendisitis jarang pada umur di bawah 2 tahun sedangkan hampir seluruh Intususception
idiopatik terjadi di bawah umur 2 tahun.

2.6.9 Ulkus Peptikum yang Perforasi


Ini sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum terbalik mengendap turun ke daerah
usus bagian kanan (Saekum).

2.6.10 Batu Ureter


Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis retrocecal. Nyeri
menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau demam atau leukosotosis membatu.
Pielography biasanya untuk mengkofirmasi diagnosa.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi
medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana
pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat
terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis
saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi
yang tinggi.
Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa
antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society
menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5
jam untuk apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan
pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.

1. Cairan intravena
cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena,
jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang
pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer
laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan
darah serta pengeluaran urin
pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan
secara bersamaan.

2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial
diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin– sulbaktam, dll, dan metronidazol
atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan
kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal
leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.

Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk
mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan
larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi
cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal
tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai
rongga peritonium dalam kadar bakterisid.

Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml
larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini antibiotik bersifat
bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada
permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat
lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh
cairan harus diaspirasi.

Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka


merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau
Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal
untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum
apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena
dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya,
kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah sukses dilakukan
pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik
apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port
kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang
berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran
kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri
bawah. Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam
metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices.

Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari
abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa
keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi
pascabedah. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga
mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain
mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari
apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan
pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan
intra-abdomen yang signifikan.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra abdominal/pelvis,
sepsis, syok, dehisensi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas maupaun perforasi pada
apendiks yang telah mengalami pendindingan, sehingga membentuk massa yang terdiri dari
kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi
utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.

2.9 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara umum angka kematian
pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan komplikasi penyakitnya
daripada akibat intervensi tindakan.

PENUTUP
Dari pengertian diatas dapat simpulkan bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah satu
organ sistem pencernaan yang terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi
sebagai imun. Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan oleh
fekalit (massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam tubuh, namun ulserasi mukosa
oleh parasit E.

Histolytica juga dapat menyebabkan apendisitis. Gaya hidup individu pun dapat menyebabkan
terjadinya apendisitis, kebiasaan individu mengkonsumsi makanan rendah serat dapat
menyebabkan konstipasi yang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa dan terjadilah apendisitis.

Dalam menangani usus buntu sebaiknya jangan terlalu banyak makan zat non hidrohenik, seperti
cabai-cabaian. Bila sering makan satu cabai, maka zat ini akan awet dalam tubuh sampai
meninggal dunia, tidak keluar; kenyang terus; sehingga tidak ada gantian zat. Tetapi bila cabai
dibuat sambal dengan seluruh jenis cabai merah, cabai hijau, cabai kuning; cabai hitam dan lain-
lain, maka tidak berpengaruh terhadap kesehatan tubuh. Pasca operasi hindari makan makanan
yang dapat menyebabkan alergi, konsumsi makanan anti-oksidan (tomat, dll.) Hindari konsumsi
makanan yang menstimulasi (kopi, alkohol, rokok), dan minum air 6-8 gelas/hari.
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama :JS
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.RM : 053756
Usia : 80 Tahun
Berat Badan : 50 Kg
Diagnosa : DM Tipe II + Anemia + Hipoalbuminemia + Abses
Perineal + Ulkus Diabetikum
Tindakan : Debridement

3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2017 pukul 13.00 Wib, saat kunjungan
pra anesthesia. Informasi diberikan oleh anak pasien :
Keluan utama : Nyeri di bagian paha kanan atas dan daerah
genital pasien.
Telaah : Pasien datang ke RS Royal Prima dibawa
keluarga dengan keluhan nyeri dibagian paha kanan
atas dan daerah genital.
RPT : Diabetes Melitus Tipe II
RPO : Metformin 500mg 2x1
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
3.3. Pemeriksaan Fisik
B1 : Aiway Clear, Nafas spontan, RR = 22 x/menit, Suara nafas tambahan
(-), Tanda obstuksi jalan nafas (-), Mallampati = 1, Bukaan mulut = 3
jari pasien, Jarak Tiromental = 3 jari pasien
B2 : Akral hangat/ merah/ kering, HR = 82 x/menit, regular, Tidak
ditemukan Gallop dan Murmur
B3 : Kompos mentis, Defisit neurologis (-), Pupil = Iskor, Refleks cahaya
(+)
B4 : BAK (+), Kateter urin (-)
B5 : Palpasi = Soepel, Distensi abdomen (-), Peristaltik (+) Normal
B6 : Fraktur (-), Penyakit tulang (-).

3.4. Hasil Lab


a. Pemeriksaan Darah Lengkap
b. X-ray Thorax
c. Hasil Gula Darah
Albumin = 1,1 g/dL

3.5. Status Lokalisata


Ulkus femur dekstra dan abses perineal.

3.6. Kesimpulan Status Fisik ASA


ASA 3 dengan Sepsis Berat dan Diabetes Melitus tipeII yang tidak terkontrol.

3.7. Laporan Anestesi


Diagnosa : DM Tipe II + Anemia + Hipoalbuminemia + Abses
Perineal + Ulkus Diabetikum
Jenis tindakan : Debridement
Jenis anestesi : Spinal Anastesi
Masuk ruang OT : Pukul 12.00 WIB
Posisi : Terlentang
Premedikasi : Mulai jam 12.10 WIB selesai 12.15 WIB
- Ranitidin 1 ampul
Induksi : Mulai jam 12.30 WIB selesai 12.35 WIB
- Bupivakain 0,5 % 10 mg
Vital sign : Setelah induksi
TD = 98/57 mmHg
HR = 84 x/menit
RR = 22 x/menit
SpO2 = 100 %
Operasi : Mulai pukul 12.50 WIB, selesai 14.00 WIB
Cairan : Pre operatif = NaCl 250 ml
PRC = 525 cc
Recovery room : Masuk ruang pemulihan 14.05 WIB
(Aldrete Score) Warna Kulit : 2 (kemerahan/normal)
Aktifitas Motorik : 1 (gerak 2 anggota tubuh)
Pernafasan : 2 (nafas dalam)
TD : 2 (± 20 mmHg dari pre
operasi)
Kesadaran : 02 (sadar penuh,mudah
dipanggil)
TOTAL :9

Pasien kembali ke ruangan pada pukul 14.30 WIB, 12 Agustus 2017

Terapi pasca bedah : Instruksi yang diberikan pasca bedah


- Bila kesakitan diberikan Pronalges supp II
- Bila mual/muntah diberikan ondansetron 4mg/ 8jam
- Infus NaCl 20 gtt / i
- Makan dan minum bisa langsung diberikan.
BAB 4
DISKUSI KASUS

Pasien berinisial J.S. umur 80 tahun datang ke IGD RS Royal Prima pada tanggal 11
Agustus 2017 dengan keluhan nyeri pada paha kanan dan juga pada bawah genital, pasien
mempunyai riwayat DM yang dikontrol dengan menggunakan obat metformin 2x1 500mg.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya ulkus pada daerah perineum dan juga
femur dextra, skala nyeri 4, dan dari pemeriksaan lab didapatkan leukopenia dengan WBC =
4100/mm3, anemia dengan Hb = 6 mg/dl. dan hematokrit rendah (17,7%). Didapatkan nilai ASA
III karena adanya penyakit sistemik sepsis berat dan DM yang tidak terkontrol.

Pasien direncanakan operasi debridement pada tanggal 12 Agustus 2017 jam 12.00, maka
untuk persiapan operasi, dikoreksi hemodinamik pasien dengan cara diberikan transfusi PRC 3
bag, dan koreksi albumin 4 Fls.

Pasien masuk ke ruang OT pada tanggal 12 Agustus 2017 jam 12.00, diberikan premed
ranitidin untuk mencegah terjadinya iritasi lambung oleh karena produksi asam lambung
berlebihan yang disebabkan oleh stress fisik. Setelah itu dilakukan induksi dengan bupivakain
0,5% 10 mg sebab operasi yang dijalani berada dibawah pinggang dan singkat. Maka
penggunaan anastesi spinal lebih efektif pada kasus ini.
Operasi siap pada pukul 14:00, pasien dipindahkan ke PACU dan diobservasi, pasien
dipindahkan ke ruangan pada pukul 14:30 dengan nilai Aldrete Score = 9.

BAB 5
KESIMPULAN

Kriteria untuk menentukan sepsis dapat ditetapkan berdasarkan SOFA(Sequential Organ


Failure Assesment), tanda SOFA ≥ 2 dan adanya source of infection menandakan sedang
berlangsungnya sepsis. Dilakukan penelusuran source of infection dan pemeriksaan lab untuk
melihat fungsi-fungsi dari organ.
Untuk tatalaksana sepsis, digunakan guideline terbaru dari SSC(Sepsis Survival
Campaign) 2016. Yang terdiri dari : terapi inisial, diagnosa, pemberian antimikroba, source
control, vasopressor, kontrol glukosa darah, dll.
Anastesi Spinal sangat efektif untuk operasi di bagian perut, pelvis dan ekstremitas
bawah. Disertai dengan efek sistemiknya yang lebih kecil dari GA dan juga kemungkinan
komplikasi yang lebih kecil. Anastesi spinal memerlukan jumlah obat yang lebih sedikit dengan
efek blok yang lebih nyata dalam jangka waktu singkat, sehingga potensi toksisitas lebih kecil
pada anastesi spinal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Society of Critical Care Medicine. 2016. The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
https://www.sccm.org/SiteCollectionDocuments/Quality-Sepsis-Definitions-SCCM-ESICM-
Joint-Session-Critical-Care-Congress.pdf pada tanggal 12 Agustus 2017.
2. Maggio M.P. 2016. Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://www.merckmanuals.com/professional/critical-care-medicine/sepsis-and-septic-
shock/sepsis-and-septic-shock pada tanggal 12 Agustus 2017.
3. LIFTL. 2017. Sepsis Definitions and Diagnosis. Diakses dari alamat web :
https://lifeinthefastlane.com/ccc/sepsis-definitions/ pada tanggal 13 Agustus 2017.
4. Remik G.D. 2007. Pathophysiology of Sepsis. Diakses dari alamat web :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1854939/ pada tanggal 13 Agustus 2017.
5. Davis P.C. 2017. Sepsis (Blood Poisoning). Diakses dari alamat web :
http://www.medicinenet.com/sepsis/article.htm pada tanggal 13 Agustus 2017.
6. Kalil A. 2016. Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview pada tanggal 13 Agustus 2017.
7. Society of Critical Care Medicine. 2016. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock 2016. Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/Guidelines/Pages/default.aspx pada tanggal 13 Agustus
2017.
8. SJM Health System. 2013. Suriving Sepsis Campagin Bundle. Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Protocols-Pocket-Card-
StJoseph.pdf pada tanggal 13 Agustus 2017.
9. British Medical Journal. 2017. Sepsis in Adults Complications. Diakses dari alamat web :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/245/follow-up/complications.html
pada tanggal 14 Agustus 2017.
10. British Medical Jounral. 2017. Sepsis in Adults Prognosis. Diakses dari alamat web :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/245/follow-up/prognosis.html pada
tanggal 14 Agustus 2017.
11. Sterling A.S, Miller R.W, Pryor J. 2015. The Impact of Timing of Antibiotics on Outcomes
in Severe Sepsis and Septic Shock: A Systematic Review and Meta Analysis. Diakses dari
alamat web : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4597314/ pada tanggal 14
Agustus 2017.
12. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2001. Petunjuk Praktis Anastesiologi Ed 2. Jakarta.
Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI
13. Dobson MB. 2009. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19162/Chapter%20II.pdf?sequence=4

http://iloveunair.blogspot.co.id/2010/12/appendicitis-tugas-makalah.html

http://digilib.unila.ac.id/20879/15/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai