Laporan Skenario 2
Ruang 10 Semester 6
MISEAL TOOY 13011101257
AGUNG TAKA EKA HIDAYANI 13011101033
FELISIA ONG 13011101044
KARTIKA MARIA WOWOR 13011101174
ALDIRA BAYU PRATAMA 13011101145
HARSA TAHIR SIMBOLON 13011101173
GENUINE GENESIS EVILIA TENDEAN 13011101093
REGINA SOFIA TULUNGEN 13011101085
REUNITA CONSTANTIA AMIMAN 13011101246
IMANUEL TAFATI GEA 13011101181
DARELL ALFREDO HIZKIA PARUNTU 13011101245
REGGIE CHRISTIAN GAUTAMA 13011101140
KATA KUNCI
- Pria, 35 tahun
- Pekerjaan sebagai polisi
- Mata kanan merah, berair, terasa berpasir
- Jaringan berbentuk segitiga didaerah konjungtiva bulbi dengan puncak
mencapai setengah pupil
- Keluhan semakin bertambah pada siang hari
- Pemeriksaan refraksi: VOD 6/10 ; VOS 6/6
PEMBAHASAN:
ANAMNESIS
1. Identitas
- Nama
- Umur
- Pekerjaan
- Alamat
2. Keluhan Utama (mata kanan merah, berair dan terasa berpasir)
3. Keluhan pernyerta
- apakah terdapat kotoran mata yang berlebihan?
- apakah terdapat gangguan pergerakan bola mata?
4. Riwayat penyakit dahulu
- apakah pernah mengalami penyakit serupa?
- apakah pernah menjalani operasi mata?
- riwayat memakai kacamata?
- riwayat trauma?
- riwayat alergi?
- riwayat penyakit sistemik (hipertensi, diabetes)?
5. Riwayat pengobatan
- obat apa?
- apakah pernah menggunakan obat tetes mata?
6. Riwayat keluarga
7. Kebiasaan sehari-hari pasien
8. Riwayat gizi
9. Status sosial ekonomi pasien
PEMERIKSAAN FISIK
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien.
Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor
risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang menunjang anamneses cukup untuk
membuat suatu diagnosa pterygium.
Dapat dilakukan pemeriksaan Inspeksi Segmen anterior mata, visual aucity dan
menggerakkan bola mata ke arah yang berlawanan dari lesi.
Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan bahwa
lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding lain.
Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari lensa
pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan
magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar untuk terlihat
dengan jelas.
Pemeriksaan Histopatologi
Morfologi:
Lesi pterygium mempunyai 7 bagian (Tradjutrisno, 2009), jika dilihat dari bagian
yang berada (paling dekat) pada kornea sampai ke bagian konjungtiva, maka terdapat:
1. Hood:
2. Fuchs’ patches:
Terdapat pada bagian hood, terlihat seperti bercak berwarna abu-abu dan berada
dibawah epitel kornea.
3. Stocker’s Line:
Suatu garis halus berwarna kuning-hijau, bentuk bulan sabit, terletak pada bagian
apex (head). Merupakan suatu marker untuk pterygiumkronis.
4. Apex(head): Bagian dari pterygium yang menginvasi kornea. Berwarna putih,
menonjol (raised), berikatan dengan kuat dengan korena. Menyebabkan perubahan
kecembungan dari kornea.
5. Colarette(collar):
Terdapat pada semua pterygium (kronis atau rapid). Ditemukan pada bagian limbus.
6. Body:
Lipatan atau strip dari jaringan yang kaya vaskularisasi. Berbentuk trapezoid dan
memanjang sampai area plica semilunaris.
7. Edge :
Dibentuk oleh lipatan konjungtiva yang menandakan batas antara body pterygium dan
konjungtiva sekitarnya.
Penampkan translusensi dari bagian body pterygium pada saat pemeriksaan slit
lamp:
1. T1 (Atrophic):
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.
2. T2 (Intermediate)
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau
terlihat secara parsial.
3. T3 (Fleshy)
Lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali.
Pterygium juga dapat diklasifikasi berdasarkan lokasi nya pada bola mata. Lesi dapat
ditemukan pada sisi medial yang disebut area nasal (di dekat hidung), di sisi lateral
yang disebut area temporal (di dekat temple) atau pada kedua sisi, yang disebut
duplex.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor risiko seperti
pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien.
Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut.
Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan
fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu diagnosa
pterygium..
3. Pemeriksaan Slit Lamp
Sampat saat ini, tidak terdapat sistem klasifikasi yang telah distandarisasi
untuk pterygium. Selain itu, Klasifikasi dan grading seroing digunakan secara
sinonim terhadap pterygium. Saat ini, yang sering digunakan adalah sistem
grading klinis yang dikemukakan oleh Donald H.Tan, yang didasarkan dengan
penampkan translusensi dari bagian body pterygium pada saat pemeriksaan slit
lamp:
1. T1 (Atrophic):
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.
2. T2 (Intermediate)
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat
secara parsial.
3. T3 (Fleshy)
Lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali.
Pterygium juga dapat diklasifikasi berdasarkan lokasi nya pada bola mata.
Lesi dapat ditemukan pada sisi medial yang disebut area nasal (di dekat hidung),
di sisi lateral yang disebut area temporal (di dekat temple) atau pada kedua sisi,
yang disebut duplex.
DIAGNOSA BANDING
ETIOLOGI
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi. Diduga karena adanya iritasi kronis akibat debu, cahaya
matahari dan udara yang panas.
FAKTOR RESIKO
PATOFISOLOGI
Sinar Ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini
akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinar ultraviolet yang tidak tampak ini
sangat berbahaya jika mengenai bagian tubuh terutama pada permukaan luar mata
yang diliputi oleh epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel
bagian tubuh kita yang lain, khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat
paparan ultraviolet, karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar
(Keratin).
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal
stem cell. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.
Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh Ultraviolet secara
berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan
merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari
konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal
inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap
paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.
Pada keadaan terpapar sinar UV juga terjadi Defisiensi limbal stem cell.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Akibat paparan sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal
stem cell di daerah interpalpebra.
PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal berupa tindakan konservatif seperti
penyuluhan pada pasien untuk menghindari asap dan debu,kemudian
mengurangi iritasi maupun paparan sinar UV dengan menggunakan kacamata
anti UV.Beberapa obat opikal seperti lubrikans,vasokonstriktor, dan
kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan 1 gejala utama pada derajat 1
dan 2.
b. Tindakan Opratif
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi
adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-
4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual,
adanya gangguan pergerakan bola mata.
KOMPLIKASI
2. Kemerahan
3. Iritasi
5. Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia
1. Infeksi
2. Rekurensi
PROGNOSIS
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
embran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali. Umumnya prognosis baik.
EDUKASI
Pterygium adalah kondisi mata yang ditandai dengan tumbuhnya selaput yang
menutupi bagian putih pada bola mata. Kondisi ini dapat terjadi pada salah satu atau
kedua mata sekaligus. Kondisi ini berkembang secara perlahan, sifatnya jinak, dan
pada umumnya tidak berbahaya.
Rencana pengobatan :
Pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium yang mengalami
inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes anti inflamasi golongan steroid dan
nonsteroid seperti indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%. Diperhatikan juga
bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea
KESIMPULAN
Seorang pria berumur 35 tahun dengan pekerjaan sebagai polisi, datang
dengan keluhan mata merah, berair, terasa berpasir didiagnosis dengan Pterigium.
Dengan prognosis pada umumnya baik apabila dilakukan penatalaksanaan atau
operasi yang tepat dan cepat ditangani.
Reference:
Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102–104.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-clinical#b5
http://www.snec.com.sg/about/international/menuutama/kondisimataandperawatan/common-
problems/Pages/Pterygium.aspx