Anda di halaman 1dari 14

MODUL GANGGUAN PENGLIHATAN

Laporan Skenario 2

Ruang 10 Semester 6
MISEAL TOOY 13011101257
AGUNG TAKA EKA HIDAYANI 13011101033
FELISIA ONG 13011101044
KARTIKA MARIA WOWOR 13011101174
ALDIRA BAYU PRATAMA 13011101145
HARSA TAHIR SIMBOLON 13011101173
GENUINE GENESIS EVILIA TENDEAN 13011101093
REGINA SOFIA TULUNGEN 13011101085
REUNITA CONSTANTIA AMIMAN 13011101246
IMANUEL TAFATI GEA 13011101181
DARELL ALFREDO HIZKIA PARUNTU 13011101245
REGGIE CHRISTIAN GAUTAMA 13011101140

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2016
SKENARIO 2
Pria, 35 tahun, pekerjaan polisi, dating berobat dengan keluhan mata kanan merah,
berair, terasa berpasir. Keluhan tersebut semakin bertambah saat siang hari. Pada
pemeriksaan oftalmoskop didapatkan VOD 6/10, VOS 6/6, didapati jaringan
berbentuk segitiga didaerah konjungtiva bulbi dengan puncaknya sudah mencapai
setengah pupil.

KATA KUNCI
- Pria, 35 tahun
- Pekerjaan sebagai polisi
- Mata kanan merah, berair, terasa berpasir
- Jaringan berbentuk segitiga didaerah konjungtiva bulbi dengan puncak
mencapai setengah pupil
- Keluhan semakin bertambah pada siang hari
- Pemeriksaan refraksi: VOD 6/10 ; VOS 6/6

PEMBAHASAN:

ANAMNESIS

1. Identitas
- Nama
- Umur
- Pekerjaan
- Alamat
2. Keluhan Utama (mata kanan merah, berair dan terasa berpasir)
3. Keluhan pernyerta
- apakah terdapat kotoran mata yang berlebihan?
- apakah terdapat gangguan pergerakan bola mata?
4. Riwayat penyakit dahulu
- apakah pernah mengalami penyakit serupa?
- apakah pernah menjalani operasi mata?
- riwayat memakai kacamata?
- riwayat trauma?
- riwayat alergi?
- riwayat penyakit sistemik (hipertensi, diabetes)?
5. Riwayat pengobatan
- obat apa?
- apakah pernah menggunakan obat tetes mata?
6. Riwayat keluarga
7. Kebiasaan sehari-hari pasien
8. Riwayat gizi
9. Status sosial ekonomi pasien

PEMERIKSAAN FISIK
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien.
Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor
risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang menunjang anamneses cukup untuk
membuat suatu diagnosa pterygium.

Dapat dilakukan pemeriksaan Inspeksi Segmen anterior mata, visual aucity dan
menggerakkan bola mata ke arah yang berlawanan dari lesi.

Pemeriksaan Slit Lamp

Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan bahwa
lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding lain.
Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari lensa
pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan
magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar untuk terlihat
dengan jelas.

Pemeriksaan Histopatologi

Morfologi:

Lesi pterygium mempunyai 7 bagian (Tradjutrisno, 2009), jika dilihat dari bagian
yang berada (paling dekat) pada kornea sampai ke bagian konjungtiva, maka terdapat:

1. Hood:

Didepan bagian kepala. Berbentuk sabit, avaskular, berwarna abu-abu.

2. Fuchs’ patches:

Terdapat pada bagian hood, terlihat seperti bercak berwarna abu-abu dan berada
dibawah epitel kornea.

3. Stocker’s Line:

Suatu garis halus berwarna kuning-hijau, bentuk bulan sabit, terletak pada bagian
apex (head). Merupakan suatu marker untuk pterygiumkronis.
4. Apex(head): Bagian dari pterygium yang menginvasi kornea. Berwarna putih,
menonjol (raised), berikatan dengan kuat dengan korena. Menyebabkan perubahan
kecembungan dari kornea.

5. Colarette(collar):

Terdapat pada semua pterygium (kronis atau rapid). Ditemukan pada bagian limbus.

6. Body:

Lipatan atau strip dari jaringan yang kaya vaskularisasi. Berbentuk trapezoid dan
memanjang sampai area plica semilunaris.

7. Edge :

Dibentuk oleh lipatan konjungtiva yang menandakan batas antara body pterygium dan
konjungtiva sekitarnya.

Penampkan translusensi dari bagian body pterygium pada saat pemeriksaan slit

lamp:

1. T1 (Atrophic):

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.

2. T2 (Intermediate)

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau
terlihat secara parsial.

3. T3 (Fleshy)

Lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali.

Pterygium juga dapat diklasifikasi berdasarkan lokasi nya pada bola mata. Lesi dapat
ditemukan pada sisi medial yang disebut area nasal (di dekat hidung), di sisi lateral
yang disebut area temporal (di dekat temple) atau pada kedua sisi, yang disebut
duplex.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor risiko seperti
pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien.
Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut.
Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan
fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu diagnosa
pterygium..
3. Pemeriksaan Slit Lamp

Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk


memastikan bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya
dari diagnosa banding lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan
menggunakan alat yang terdiri dari lensa pembesar dan lampu sehingga
pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan magnifikasi dan
pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar untuk terlihat dengan
jelas.

Sampat saat ini, tidak terdapat sistem klasifikasi yang telah distandarisasi
untuk pterygium. Selain itu, Klasifikasi dan grading seroing digunakan secara
sinonim terhadap pterygium. Saat ini, yang sering digunakan adalah sistem
grading klinis yang dikemukakan oleh Donald H.Tan, yang didasarkan dengan
penampkan translusensi dari bagian body pterygium pada saat pemeriksaan slit
lamp:
1. T1 (Atrophic):
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.
2. T2 (Intermediate)
Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat
secara parsial.
3. T3 (Fleshy)
Lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali.
Pterygium juga dapat diklasifikasi berdasarkan lokasi nya pada bola mata.
Lesi dapat ditemukan pada sisi medial yang disebut area nasal (di dekat hidung),
di sisi lateral yang disebut area temporal (di dekat temple) atau pada kedua sisi,
yang disebut duplex.

DIAGNOSA BANDING

Penyakit Penyebab Morfologi Lesi Perbedaan

Phylctenular Terkait dengan Neo-formasi pada Penyingkiran


Keratoconjunctiv reaksi konjunctiva yang dengan melihat
itis hipersensitivitas berbatas tegas. morfologi lesi.
tipe lambat Terlihat seperti gel Pemeriksaan
(delayed (gel-like
untuk TB dapat
hypersensitivity) appearance) yang
terhadap bakteri dikelilingi oleh dilakukan
(terutama kapiller.
Staphylococcus Sering
& TB) atau menyebabkan
protein pada hiperemi pada
makanan. konjunctiva
Sering terjadi
pada anak-
anak.

Squamous-Cell Paparan kronis Permukaan Oleh pemeriksaan


Carnicoma terhadap radiasi seperti jelly histopatologi,
(SCC) pada UV, HPV tipe (gelatinous), terdapat:
Konjunctiva 16 & 18, berisi jaringan Epitel 2-3mm
inflamasi fibrovaskuler, lebih tebal
kronis dll. terlihat seperti daripada epitel
papilla. konjunctiva
Lokasi paling normal (terdapat
sering pada zona acanthosis).
infero-temporal
dari limbus.

Pinguecula Bulat, menonjol, Merupakan


berwarna putih- diagnosis banding
kekuningan. dari pterygium
Lokasi paling tipe I. Dapat
sering pada dibedakan dari
limbus, terdapat morfologi lesi.
simpul kapiler.
Pseudopterygium Akibat proses Sangat mirip Anamnese pasien
perbaikan dengan tentang riwayat
(repair) dari morfologi terjadinya ulkus
ulkus atau pterygium. atau inflamasi.
inflamasi pada
limbus.

Conjunctival Sering akibat Lesi Dari morfologi


Lymphoma infeksi virus subkonjungtival lesi dan
yang pemeriksaan
bervaskularisasi histopatologi.
rendah dan
berwarna merah
muda
Lesi rata (flat).
Lokasi tersering
pada bagian
inferior
konjunctiva
bulbi.
Nodular Inflamasi pada Nodul merah Dari morfologi
Episcleritis episklera terang yang rata. lesi.
Terdiri dari Pemeriksaan
simpul kapiler histopatologi,
konjunctiva dan terdapat:
episklera. Inflamasi non-
granulomatosa
disertai dengan
infiltrasi
perivaskuler
serta
vasodilatasi.

Epibulbar Keadaan Neo-formasi Dari morfologi


Dermoid patologis yang terletak lesi.Terdapat
kongenital. antara limbus jaringan
dan tepi dari epidermal.
kornea. Tidak Permukaan
terdapat terdiri dari
vaskularisasi epitel
abrnomal konjunctiva atau
kornea.
Conjunctival Beraral dari infeksi Neo-formasi aktif Dapat lewat
Papilloma virus (terutama dengan bentuk morfologi lesi,
HPV). seperti kembang tapi untuk
kol (cauliflower). diagnosa
Sangat vascular dan definitif
dapat berdarah diperlukan
dengan mudah. pemeriksaan
histopatologi

Pterygium dapat tidak didiagnosa ataupun salah didiagnosa oleh dokter


akibat akibat keserupaannya dengan penyakit lain yang terdapat pada permukaan
mata, terutama dengan suatu penyakit yang disebut dengan pinguecula. Tabel 2.1.
memberikan gambaran tentang perbandingan antara pterygium dengan penyakit
mata lain, dari segi penyebab, morgologi dan hasil dari pemeriksaan yang
membedakannya dari penyakit mata lain yang mempunyai morfologi atau
penyebab yang serupa.

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

ETIOLOGI
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi. Diduga karena adanya iritasi kronis akibat debu, cahaya
matahari dan udara yang panas.

FAKTOR RESIKO

Faktor Resiko untuk pterigium meliputi

( 1 ) peningkatan paparan sinar ultraviolet, termasuk tinggal di iklim subtropis dan


tropis

( 2 ) terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan sehingga


berisiko terpapar pajanan sinar matahari, cahaya ultraviolet (UV), debu, asap, angin,
serta lingkungan yang kering.
EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim


panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering dan meningkat
pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan tempat
tinggal (Varssano, et al., 2002). Daerah ekuator adalah daerah yang terletak kurang
370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah
dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang.
Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu
13,1%.
Penduduk daerah tropis seperti Indonesia dengan paparan sinar matahari
tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar daripada penduduk non tropis. Hasil
survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mendapatkan prevalensi pterigium di
Indonesia pada kedua mata sebesar 3,2% dan prevalensi pterigium satu mata sebesar
1,9%. Prevalensi pterigium kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat yaitu
sebesar 9,4% dan prevalensi pterigium satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara
Barat yaitu sebesar 4,1%. Prevalensi pterigium satu mata di Bali didapatkan sebesar
2,2% dan pterigium kedua mata didapatkan sebesar 4,4% (Erry, et al., 2011).
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi
pterigium meningkat pada dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan (Gazzard, et al., 2002).
Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Prevalensi pterigium pada usia >40 tahun
sebesar 16,8%. Laki-laki beresiko 4x lebih besar daripada perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah. Lokasi pterigium lebih sering ditemukan pada konjungtiva bulbi nasal
daripada temporal (Varssano, et al., 2002).

PATOFISOLOGI
Sinar Ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini
akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinar ultraviolet yang tidak tampak ini
sangat berbahaya jika mengenai bagian tubuh terutama pada permukaan luar mata
yang diliputi oleh epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel
bagian tubuh kita yang lain, khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat
paparan ultraviolet, karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar
(Keratin).

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal
stem cell. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.

Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh Ultraviolet secara
berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan
merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari
konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal
inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap
paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.

Pada keadaan terpapar sinar UV juga terjadi Defisiensi limbal stem cell.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Akibat paparan sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal
stem cell di daerah interpalpebra.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik


menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. (Jaringan ini juga
bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase)

Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel


gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini
membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini meluas ke
dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas.
Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan
penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung
pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan
elastis.

Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka


fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Kondisi pterygium akan terlihat dengan
pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus,
pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye
syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan
ini didiamkan lama akan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan bahkan sampai
hilangnya penglihatan si penderita.

PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal berupa tindakan konservatif seperti
penyuluhan pada pasien untuk menghindari asap dan debu,kemudian
mengurangi iritasi maupun paparan sinar UV dengan menggunakan kacamata
anti UV.Beberapa obat opikal seperti lubrikans,vasokonstriktor, dan
kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan 1 gejala utama pada derajat 1
dan 2.
b. Tindakan Opratif
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi
adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-
4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual,
adanya gangguan pergerakan bola mata.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

1. Distorsi ata penurunan penglihatan sentral

2. Kemerahan

3. Iritasi

4. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

5. Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia

6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

7. Gangguan pergerakan bola mata.

Komplikasi post-operasi pada pterygium :

1. Infeksi

2. Rekurensi

3. Perforasi pada bola mata, pendarahan pada vitreous, retinal detachment.

PROGNOSIS
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
embran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali. Umumnya prognosis baik.
EDUKASI

 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta


komplikasi yang dapat terjadi.

Pterygium adalah kondisi mata yang ditandai dengan tumbuhnya selaput yang
menutupi bagian putih pada bola mata. Kondisi ini dapat terjadi pada salah satu atau
kedua mata sekaligus. Kondisi ini berkembang secara perlahan, sifatnya jinak, dan
pada umumnya tidak berbahaya.

Rencana pengobatan :

Pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium yang mengalami
inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes anti inflamasi golongan steroid dan
nonsteroid seperti indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%. Diperhatikan juga
bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea

Selain penatalaksanaan secara konservatif, pterigium dapat pula dilakukan tindakan


bedah atas indikasi. Indikasi operasinya adalah:

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus


2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Soewono dkk, 2006).

Interpretasi Hasil Pemeriksaan

 Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima


 atau enam meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan
dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap
hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf
pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada
jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk
sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf
 yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter, sehingga huruf ini
pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2009).
 Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan
 atau kemampuan melihat seseorang, seperti :
- Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak
enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak
enam meter.
- Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka
30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
- Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka
50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak
enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60
meter.
- Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada
jarak 60 meter.
- Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang
berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
- Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan
atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat
lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah
1/300.
- Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan
1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
- Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).
 Hal diatas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang dewasa
secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan berkembang
normal adalah dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal akan dapat
berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai kemampuan untuk dapat
mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil sudah mulai terbentuk
sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan fungsi
penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang lebih besar
dapat dipakai benda-benda yang lebih besar dan berwarna untuk digunakan
dalam pengujian penglihatannya (Ilyas, 2009).
 Untuk mengetahui sama tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata
dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup
akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada sikap anak, yang berarti ia
sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding
dengan mata lainnya (Ilyas, 2009).

KESIMPULAN
Seorang pria berumur 35 tahun dengan pekerjaan sebagai polisi, datang
dengan keluhan mata merah, berair, terasa berpasir didiagnosis dengan Pterigium.
Dengan prognosis pada umumnya baik apabila dilakukan penatalaksanaan atau
operasi yang tepat dan cepat ditangani.

Reference:

Fisher, J.P., 2009. Pterygium. Medscape.

Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102–104.

Ilyas, H. Sidarta & Yulianti, Sri Rahayu.2015.Ilmu Kesehatan Mata Edisi


Kelima.Jakarta:Badan Penerbit FKUI

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-clinical#b5

http://www.snec.com.sg/about/international/menuutama/kondisimataandperawatan/common-
problems/Pages/Pterygium.aspx

Anda mungkin juga menyukai