3. Perinhalasi
Obat anestesi dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan
sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat yang digunakan :
- Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4ltr/mnt atau campuran N2O : O2 = 3:1.
- Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi. Seperti dengan halotan konsentrasi
dipertahankan sesuai kebutuhan.
- Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam
saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk
kedalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan
menyebar kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak
atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh
darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan
sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.
Tahapan Tindakan Anestesi Umum
i. Penilaian Pra Bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan
lebih baik.
Pemeriksaan Fisik
Periksaan Mallampati :
- Kelas I : pallatum mole, tenggorokan, uvula dan pilar tonsil dapat terlihat.
- Kelas II : pallatum mole, tenggorokan, uvula dapat terlihat.
- Kelas III : pallatum mole dan dasar dari uvula dapat terlihat.
- Kelas IV : pallatum mole tidak dapat terlihat.
Penilaian kebugaran fisik pasien yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA) :
- Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
- Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
- K e l a s I I I : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
- Kelas IV :Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
- Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Premedikasi :
Sebelum pasien diberi obat anestesia, dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi.
Obat yang sering digunakan :
Golongan Narkotika
analgetika sangat kuat.
Jenisnya : petidin, fentanyl, dan morfin.
Tujuan: mengurangi rasa nyeri saat pembedahan.
Efek samping: mendepresi pusat nafas, mual-muntah, Vasodilatasi
pembuluh darah hipotensi
diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan sifat analgesik
rendah, misalnya: halotan, tiopental, propofol.
Induksi Intravena
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen.
Obat Induksi intravena :
Tiopental (pentotal, tiopenton) → amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7mg/kgBB disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan dapat melindungi
otak akibat kekurangan O2.
Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Dosis bolus untuk
induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anesthesia intravena total
4-12 mg/kg/jam.
Ketamin (ketalar)
Sering menimbulkan takikardia,hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk . Dosis bolus 1-2 mg/kg
dan untuk intramuscular 3-10 mg.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan
jantung. Untuk anesthesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secaraintramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
Induksi Inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%.Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.
Isofluran (foran / aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6,0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Sefofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.
B. ANESTESI REGIONAL
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada
impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara
(reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap
sadar.
Dapat dibagi menjadi :
Blok sentral (blok neuroaksial)
Yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.
Blok perifer (blok saraf)
Misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan dan analgesia regional
intravena.
1) Anestesi Spinal
Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Tabel. 1.1 Obat Analgesi Spinal
2) Anestesi Epidural
Ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).
Obat bekerja secara langsung pada akar saraf spinal yang terletak di bagian lateral.
Tabel. 1.2 Obat Analgesi Spinal
3) Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal merupakan jenis anestesi epidural yang diberikan secara lokal pada dasar
tulang belakang. Efek anestesinya hanya mempengaruhi daerah pelvis dan kaki.
C. ANESTESI LOKAL
Ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada
dinding saraf secara sementara terhadap transmisi sepanjang saraf.
Anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Golongan ester
Kokain, benzokain, ametokain, prokain, tetrakain, kloroprokain
b. Golongan amida
Lidocain, mepivakain, prilokain, bupivacain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupivakain
Tabel 1.3 Obat Anestesi Lokal
2. NYERI
Definisi
Nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP), adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau
ancaman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari
komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional
dan psikologis).
Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi berdasarkan mekanisme nyeri banyak dipakai diklinik, yaitu :
a. Nyeri nosiseptif yaitu nyeri yang timbul bila reseptor nyeri (nociceptor) teraktivasi.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensoris dan simpatik. Umumnya nyeri hilang tanpa pengobatan atau dengan
analgetik ringan.
b. Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau pada perabaan rasanya tidak enak. Nyeri neuropatik dapat menyebabkan
terjadinya allodynia dan hiperalgesia. Ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvesional.
c. Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang dikeluhkan tanpa terdeteksi adanya kelainan
organic. Ditimbulkan karena abnormalitas atau gangguan fungsi system saraf pusat
yang berupa peningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus. Berhubungan
dengan gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila
keadaan kejiwaan pasien tenang. Contoh lain nyeri fungsional antara lain
fibromyalgia, nyeri kepala, tegang otot dan sebagainya.
d. Nyeri campuran yaitu gabungan dari nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik.
Contohnya: Low back pain with radiculopathy, Cervical radiculopathy, Cancer pain
dan Carpal tunnel syndrome.
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi :
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membrane mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka,
tulang, sendi dan jaringan ikat.
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membrane yang menutupinya (pleura
parietalis, pericardium, peritoneum).
Patofisiologi
Bila terjadi kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat
kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri akan terjadi
pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler
yang lain, seperti metabolit elcosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.
Table 1.10 Neurotransmitter yang berperan dalam menimbulkan nyeri
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Thrombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histramin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat Sensitisasi
dan sel rusak
Lekotrien Asam arakidonat Sensitisasi
dan sel rusak
Substansi P Afek primer Sensitisasi
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi
yaitu :
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-
ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotriene,
substansi P, potassium, histamine, asam laktat dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas
serat afferent A delta dan C. reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum
dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik
yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat.
Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A delta dan C serabut yang menyusul
proses tranduksi. Oleh karena afferent A delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Serat afferent A delta dan C berfungsi
meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A delta menghantarkan
impuls lebih cepat (12-30 m/detik) dibandingkan dengan serat C (0,5-5 m/detik). Sel-sel neuron
di medulla spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron
nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat afferent A delta dan C
diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medulla spinalis. Aktifasi
sel-sel neuron di kornu anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot
skelet didaerah cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara system analgesic endogen (endorphin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A delta dan C
ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuana diteruskan ke sentral
lewat traktus spinotalamikus. Daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan
system inhibisi, baik system inhibisis endogen maupun system inhibisi eksogen. Tergantung
mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan
merasakan sensible nyeri. Sedangkan bila efek system inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
tidak akan merasakan sensible nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensible nyeri. Hasil akhir
dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri.
Gejala Klinis
i. Gejala Klinis Nyeri Nosiseptif
Nyeri akut memperlihatkan respons neurologic yang terukur yang disebabkan oleh
stimulus simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom sehingga memperlihatkan
takikardi, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah dan
dibebaskannya katekolamin. Prototipe untuk nyeri akut adalah nyeri pasca operasi. Kualitas,
intensitas, dan durasi nyeri berkaitan dengan sifat prosedur bedah. Setiap trauma, termasuk
trauma bedah menyebabkan kerusakan jaringan. Zat-zat yang menimbulkan nyeri yang
dibebaskan ke dalam jaringan yang cedera menurunkan ambang nyeri.
Nyeri somatik superficial berasal dari struktur-struktur superficial kulit dan jaringan
subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan
mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan
sebagai menyengat, tajam, mengiris atau seperti terbakar tetapi apabila pembuluh darah ikut
berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut. Kulit memiliki banyak saraf
sensoris sehingga kerusakan di kulit menimbulkan sensasi yang lokasinya lebih akurat dan
presisi yang lebih luas dibandingkan di bagian tubuh lain. Contohnya nyeri akibat tertusuk jarum
atau teriris benda tajam.
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum,
tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga
lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus daripada nyeri kulit dan cenderung
menyebar ke daerah sekitarnya. Nyeri akibat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi
yang jelas dan biasanya dirasakan sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Contohnya
pada arthritis, yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang disertai tertusuk apabila sendi
bergerak. Nyeri tulang berasal dari reseptor nyeri di periosteum dan lokalisasi nyeri relative
kurang jelas, nyeri ini dirasakan sebagai rasa pegal-tumpul atau linu.
Nyeri viscera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ tubuh. Reseptor nyeri
viscera lebih jarang dibandingkan resptor nyeri somatik. Parenkim viscera relative tidak sensitive
terhadap sayatan, panas, atau cubitan. Mekanisme yang menimbulkan nyeri adalah peregangan
atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, dan peradangan. Reseptor nyeri pada
organ viscera tidak hanya berespon pada distensi ataupun peregangan tetapi juga pada zat-zat
kimia hasil inflamasi. Aferen visera biasanya serat tipe C dan sensasi nyeri yang dihasilkan
biasanya memiliki kualitas tumpul atau pegal.
Diagnosis
Nyeri merupakan suatu keluhan. Berkenaan dengan hal ini diagnostic nyeri sesuai
dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan
imagin. Dengan demikian diagnostic terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan
menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang.
a. Anamnesis yang teliti
Dengan melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengetahui bagaimana riwayat
klinik (awitan nyeri, perjalanan penyakit, mencari penyakit dasar, riwayat pengobatan), sifat
keluhannya, kualitas nyeri yang diderita dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui
penyebab nyeri, factor yang meringankan atau memperberat nyeri, dan anamnesis psikologis
(kecemasan, depresi, gangguan tidur) apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian
tubuh tertentu. Intensitasnya nyeri juga penting ditanyakan atau memperingan nyeri. Tanyakan
pula tentang penyakit sebelumnya, pengobatan yang pernah dijalanni dan alergi obat.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri.
Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan
intensitas nyeri karena menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan
hipertensi. Pemeriksaan Glascow coma scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada
proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan
alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neuropatik.
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat factor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang
subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan
seksama agar dapat menguraikan factor-faktor kejiwaan yang menyertai. Dari kesadaran, saraf-
saraf kranial, motoric, sensorik, otonom, dan fungsi luhur. Test yang biasanya digunakan untuk
menilai psikologis pasien berupa The Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).
Dalam mengetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan
obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab dari
nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium (darah rutin, urin dan
pemeriksaan cairan serebrospinalis) dan pemeriksaan elektrofisiologis motoric, sensorik dan
quantitative sensory testing, neuroimaging seperti foto polos, USG, CT scan, MRI atau bone-
scan.
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS. Terdapat
tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis dan agonis-
antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau koanalgesik. Nyeri akut dan
nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan
obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping
obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping
obat. Istilah 3pukul dulu, urusan belakang ́ tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = 7-
10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada
nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien
dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah
mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri
kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic
ladder.
Secara umum ada 2 kelompok obat yang dipergunakn untuk mengatasi nyeri yaitu opiat
dan non opiat.
a) Opiat
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yag sering
digunakan untuk anestesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
pasca pembedahan. Opiat adalah obat yang dibuat dari opium.
Mekanisme kerja :
Reseptor opiat sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, talamus, hipotalamus,
korpus striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu di substansia
gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida
endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin
dan menghasilkan efek. Reseptor opioid diidentifikasi menjadi 5 golongan :
- Reseptor µ (mu) : µ-1, analgesia supraspinal, sedasi
: µ-2, analgesia spinal, depresi napas, eforia
Ketergantungan fisik, kekakuan otot.
- Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen
- Reseptor κ (kappa) : κ-1 analgesia spinal
κ-2 tidak diketahui
κ-3 analgesia supraspinal
- Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung
- Reseptor ε (epsilon) : respons hormonal
Pada sistem supraspinal, tempat kerja opiat adalah di reseptor substansia grisea, yaitu
di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal tempat kerjanya
di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor µ
dan sisanya di reseptor κ. Opiat digolongkan menjadi2 :
- Agonis
Mengaktifkan reseptor, contoh : morfin, papaveretum, petidin, fentanil,
alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
- Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor, contoh : nalokson, naltrekson.
Klasifikasi Opiat :
- Agonis
Morfin
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin mengakibatkan efek klinik dan efek
samping, berupa :
a) Sistem saraf pusat
Terhadap sistem saraf pusat mempunyai dua sifat, yaitu depresi dan stimulasi.
Depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif refleks spinal,
konvulsi dan sekresi hormon antidiuretik (ADH).
b) Jantung
Terhadap sistem jantung, sirkulsi dosis besar merangsang vagus dan berakibat
bradikardi. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
c) Respirasi
Terhadap sistem respirasi, morfin dapat melepaskan histamin sehingga
menyebakan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu dikontraindikasikan pada kasus
asma dan bronkitis kronis.
d) Saluran cerna
Terhadap saluran cerna, morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga terjadi
konstipasi. Kejang sfingter oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak
dianjurkan digunakan pada gangguan empedu.
e) Ginjal
Terhadap sistem ekskresi ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-
buli yang berakbat retensio urin.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2
mg/kgBB, subkutan, intramuskular dapat di ulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk
mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg
epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal, dan dapat diulang 6-12 jam
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati
sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut :
a) Petidin lebih larut dalam lemak
b) Metabolisme oleh hepar lebih cepat
c) Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia
d) Seperti morfin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan
e) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetran pasca bedah yang tidak ada
hubunannya dengan hipotermi degan dosis 20-2 mg Iv pada dewasa. Morfin
tidak.
f) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap
3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena
iritasi. Untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Dimetabolisme di hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin. Efek depresi nafasnya lebih lama dibanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar
50-150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anestesia.
Tramadol
Tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor µ dan
kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan secara
oral, Im, Iv, dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg/hari.
- Antagonis
Nalokson
Nalokson adalah antagonis opiat dan bekerja pada reseptor µ,δ,κ,σ. Pemberian
nalokson pada pasien setelah mendapatkan morfin akan terlihat laju napas
meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan
dengan dosis 1-2 µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit. Dosis
intramuskular 2 x dosis intravena. 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10
ml, sehingga setiap ml mengandung 0,04 mg.
Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberkan per
oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Pemberian per oral dapat bertahan
sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus mual dan
muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghiangkan efek
analgesinya.
b) Non – Opiat
Banyak obat memiliki sifat anlgetik yang tidak berkaitan dengan reseptor opioid
misalnya analgesik non-narkotik (asetaminofen), NSAID (nonsteroidal anti
inflamatory drug). Golongan obat analgetik non opioid dianggap kurang meyakinkan
untuk mengurangi nyeri pasca bedah, kecuali kalau sifat nyeri pasca bedah tersebut
nyeri ringan atau nyeri sedang. Golongan obat analgetik non opioid digunakan
sebagai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping
opioid yaitu depresi pernapasan.
Mekanisme kerja :
Kerja obat analgetik non opioid ini menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase,
sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin
dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah.
Prostaglandin sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan
respons terhadap inflamasi, sehingga mengurangi nyeri perifer.
- Acetaminofen
Acetaminofen (paracetamol, panadol) tidak punya sifat antiinflamasi dan sifat
inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah. Biasanya untuk nyeri
ringan dan dikombinasikan dengan analgetik lain. Dosis oral 500-1000 mg/4-6
jam, dosis maksimal 4000 mg/hari. Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis
hati, karena ia dirusak oleh enzim mikrosomal hati. Acetaminofen lebih disukai
dibanding aspirin karena efek samping terhadap lambung dan gangguan
pembekuan darah minimal.1
3. Sepsis
1.1.Definisi Sepsis
Berdasarkan definisi terbaru dari Society of Critical Care Medicine, sepsis adalah
disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh disregulasi respon penderita
kepada infeksi. Sedangkan Shock sepsis adalah bagian dari sepsis dimana terjadi gangguan
sirkulasi, seluler, dan metabolik yang berasosiasi dengan mortalitas lebih tinggi daripada sepsis
sendiri karena dapat terjadinya gagal organ multipel.1,2
1.2.Etiologi Sepsis
Kebanyakan sepsis disebabkan oleh hospital-acquired basil gram negatif dan coccus
gram positif dan juga sering terjadi pada pasien dengan keadaan immunocompromised atau
dengan penyakit yang kronis dan melemahkan tubuh. Jarang disebabkan oleh Candida atau fungi
lain. Infeksi post-operasi harus di pertimbangkan pada pasien sepsis yang baru menjalani
operasi.2
1.3. Faktor Predisoposisi Sepsis
a. Diabetes Mellitus
b. Sirosis Hati
c. Leukopenia (terutama yang berasosiasi dengan kanker dan pengobatan dengan obat
sitotoksik)
d. Pemasukan Alat invasif (Endotracheal tube, Kateter vaskular atau urin, drainase, dll)
e. Penggunaan kortikosteroid.2
Sepsis ditandai dengan adanya disfungsi dari organ yang dinilai dengan menggunakan
skor SOFA(Sequential Organ Failure Assessment), adanya 2 atau lebih poin yang positif,
menandakan ada terjadinya disfngsi organ. Skor SOFA :
a. Hipotensi : Tekanan darah sistol lebih rendah dari 100mmHg
b. Alterasi status mental : GCS lebih rendah dari 15
c. Takipnea : RR lebih dari 22
Syok Sepsis ditandai dengan gejala sepsis + abnormalitas sirkulasi dan seluler/metabolik
(Meskiun resusitasi yang diberikan telah adekuat, tetap teradi hipotensi persisten dan kpadar
laktat yang tinggi
a. Hipotensi Persisten memerlukan vasopressor untuk menjaga MAP >65 mmHg
b. Kadar laktat >2 mmol/L
Gambar 1. Kriteria SIRS
Pada pasien sepsis akan terjadi berbagai perubahan fungsi tubuh yang disebabkan oleh
bakteri patogen dan juga toxin-toxin yang dilepasnya, contoh disreglasi yang dapat disebabkan
patogen-patogen tersebut : Aktivasi platelet, aktivasi koagulasi, dan pelepasan mediator-mediator
inflamasi dalam jumlah banyak yang dapat merusak endotel-endotel pembuluh darah dan
menyebabkan vasodilatasi.
Pasien dengan sepsis diketahui juga akan mengalami resistensi insulin dan hiperglikemia,
kondisi yang disebut dengan diabetes oleh karena stress. Kadar gula darah yang tinggi ini akan
menyebabkan pengurangan fungsi dari polimorfonukleat neutrofils, termasuk pengurangan efek
bakterisidal.4
a. Takikardi
b. Demam
c. Ansietas
d. Takipnea
e. Fatigue, malaise
f. Hipotensi
g. Disfungsi dari 1 atau lebih organ
h. dll.5
1.7.Diagnosis Sepsis
Diagnosis sepsis bisa didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pada anamnesis bisa didapatkan riwayat penyakit kronis yang dapat menurunkan
imun tubuh pasien dan bisa juga ditanyakan apakah ada menjalani operasi beberapa hari
yang lalu, karena awal sepsis kebanyakan adalah kontaminasi bakteri pada lesi luka dari
ruang operasi.2
Pada pemeriksaan fisik untuk syok sepsis paling utamanya adalah didapatkan
hipotensi yang menetap walaupun dengan pemberian cairan yang telah adekuat, disertai juga
dengan penurunan kesadaran dan gejala-gejala disfungsi organ lain seperti : jaundice,
hematuria, dll. Pada pemeriksaan fisik juga difokuskan dalam pencarian source of infection
yang telah dibahas dalam poin 2.6.2 diatas.
Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, studi
koagulasi (prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), kadar
fibrinogen), kimia darah (sodium, chlor, magnesium, kalsium, fosfat, glukosa, laktat), fungsi
renal dan hepar (kreatinin, ureum, bilirubin, alkaline fosfatase, albumin, dll), kultur darah,
gram staining atau kultur sekret dan jaringan. Bisa juga dengan pemeriksaan radiologi
seperti x-ray dada dan USG abdomen yang berfungsi terutama untuk mencari sumber
infeksi.6
1.8.Penatalaksanaan Sepsis
1.8.1. Resusitasi Inisial
1.8.7. Kortikosteroid
Penggunaan IV hydrocortisone untuk tatalaksana pasien sepsis tidak diperlukan
bila terapi cairan yang adekuat dengan bantuan vaspresor dapat mengembalikan
stabilitas hemodinamik. Bila tidak bisa dicapai stabilitas, maka digunakan
hydrocortisone IV dosis 200 mg / hari. 7
1.8.9. Immunoglobulin
Tidak direkomendasikan untuk pemberian immunoglobulin IV pada pasien
dengan sepsis dan syok sepsis. Telah dilakukan penelitan perbandingan dengan
penggunaan immunoglobulin dan tidak dan didapatkan hanya memiliki perbedaan
sedikit sampai tidak ada. 7
1.8.11. Antikoagulan
Tidak dianjurkan pemberian antikoagulan untuk tatalaksana sepsis dan syok
sepsis dikarenakan telah dilakukan beberapa penelitian dan tidak ditemukan adanya
penurunan mortalitas dan juga ada resiko terjadinya perdarahan terutama pada
penggunaan antithrombin, dan lebih minim pada penggunaan heparin. 7
1.8.12. Ventilasi Mekanik
a. Direkomendasikan untuk menggunakan tidal volume 6mL/kgBB pada pasien sepsis
dengan ARDS(Acute Respiratory Distress Syndrome)
b. Direkomendasikan untuk menggunakan posisi pronasi daripada supinasi karena
dapat meningkatkan oksigenasi ke jaringan, tetapi meningkatkan kemungkinan
terjadinya dekubitus.
c. Disugestikan penggunaan medikasi muscle relaksan <48 jam pada pasien sepsis
dengan ARDS dan rasio PaO2/FiO2 <150 mmhg
d.Tidak direkomendasikan penggunaan β-2 Agonis pada tatalaksana pasien ARDS
tanpa bronkospasme yang diinduksi sepsis karena didapatkan penurunan mortalitas
sedikit dan dapat terjadi efek samping berupa takikardi and aritmia.
e. Bed pasien yang menggunakan ventilasi mekanik untuk dinaikkan 30 o-45o untuk
mengurangi resiko aspirasi.
f. Direkomendasikan untuk dilakukan tes bernafas spontan pada pasien sepsis yang
sudah siap. 7
1.9.Komplikasi Sepsis
a. Disfungsi renal
b. Acute Respiratory Distress Syndrome
c. Disfungsi dan gagal miokard
d. Hepatik ensefalopati
e. Disseminated Intravascular Coagulation
f. Gagal sistem organ multipel
g. Kematian.9
Mortalitas pada pasien sepsis berdasarkan beberapa studi adalah diantara 28-50%, dari
laporan SSC didapatkan sebesar 31%. Pasien sepsis yang dirawat di ruangan ICU didapatkan
mortalitas 27-32%, dan 50-70% pada syok sepsis, dibandingkan penyakit laen sebesar 14%.
Kecepatan pemberian antibiotik untuk etiologi sepsis menentukan mortalitas dari pasien.
Semakin lama onset pemberian maka semakin tinggi mortalitas yang akan terjadi.10,11
B. Natrium (Na+)
1) Hiponatremia
- Beberapa penyebab yang mungkin antara lain :
Hiperglikemia
Defisit natrium yang berhubungan dengan hipovolemia : kehilangan melalui
renal, GI, ruang ketiga, keringat berlebihan, penyakit Addison
Defisit natrium yang berhubungan dengan normovolemia : insufisiensi
adrenal, hipotiroidisme, SIADH, polidipsi psikogenik
Defisit natrium yang berhubungan dengan hipervolemia : gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis sirosis hepatis, sindrom nefrotik, gagal ginjal.
- Manifestasi klinis
Gejala bergantung derajat kehilangan natrium dan kadar sodium serum
Letargi, bingung, disorientasi, agitasi, depresi, psikosis, kejang koma,
kematian
Hiponatremia tidak berhubungan dengan perubahan EKG
- Penatalaksanaan
Penanganan disesuaikan dengan status volume pasien
Pasien hiponatremia memerlukan asupan natrium oral atau intravena. Larutan
garam fisiologis dapat digunakan pada awalnya kemudian diganti dengan
larutan hipotonik seprti NaCl 0,45% apabila hipovolemia sudah terkoreksi
Pasien dengan volume normal atau hipervolemia biasanya ditangani dengan
restriksi cairan. Jika terjadi overload yang signifikan maka dapat diberikan
diuretik.
2) Hipernatremia
- Kemungkinan penyebab : keringat berlebih, luka bakar, diare, suction melalui
pipa nasogastrik, muntah, kehilangan cairan melalui thrid place (ileus,
pankreatitis, atau obstruksi usus)
- Manifestasi klinis
Gejala umumnya bermanifestasi pada sistem saraf pusat seperti perubahan
status mental, agitasi, defisit neurologis fokal, kejang, dan koma
Kelemahan, tremor, agitasi, dan peningkatan reflex tendon dalam
Hipernatremia tidak berhubungan dengan perubahan EKG
- Penatalaksanaan
Ganti kehilangan cairan melalui oral atau melalui pipa nasogastrik jika pasien
stabil dan asimptomatik
NaCl 0,9% atau NaCl 0,9% dalam dekstrosa 5% untuk menggantikan volume
cairan ekstraseluler pada pasien hipovolemik. Hindari pemberian dekstrosa
5% saja karena akan menurunkan kadar natrium terlalu cepat.
.
Water defisit = Na yang terukur – 140 x TBW
140
Tabel 1.11. Sediaan Obat yang Digunakan dalam Penanganan Gangguan Keseimbangan
Elektrolit
KCL Sediaan : Injeksi, konsentrasi 7,46%, vial 25 ml (25 mEq)
Kalsium Sediaan :
aspartat - Tab 300 mg
- Tab SR 600 mg
- K-L-aspartat 300 mg, Mg L-aspartat 100 mg, untuk
suplementasi K dan Mg pada penyakit jantung dan hati,
untuk hipokalemia dan hipomagnesemia akibat
penggunaan diuretik jangka panjang
Ca polystriene Untuk hiperkalemia akibat gagal ginjal akut dan kronis.
sulfonate Dosis : dewasa 15-30 gr oral, larutkan dalam 30-50 ml air,
dosis terbagi 2-3 kali sehari. Anak ½ dosis dewasa
Sediaan : serbuk 5 gr
Kayexelate Sediaan : bubuk oral 454 gr, Susp oral 15 gr/ 60 ml, rektal susp
15 gr/ 60 ml
Cara pemberian : bubuk oral tiap 1 gr campur dengan 4 ml air,
rektal larutkan 100-200 ml larutan dalam pelarut (sorbitol 25%,
dekstrose 10%), hangatkan sampai sesuai suhu tubuh, berikan
klisma dulu, lalu masukkan susp rektal ke kolon selama 45
menit atau lebih
Natrium Sediaan :
bikarbonat - Injeksi, konsentrasi 8,4 %, vial 25 ml
- Tab 500 mg
Magnesium Sediaan : Konsentrasi 20% dan 40% dalam ampul 25 ml
sulfat
Natrium klorida Sediaan :
- Infus konsentrasi 0,45%, kolf 500 ml
- Infus konsentrasi 3%, kolf 500 ml (513 mEq/L)
- Infus konsentrasi 5%, kolf 500 ml (855 mEq/L)
Calsium Sediaan : ampul 10 ml, mengandung calsium gluconate 100
gluconate mg/ml
Calsium chloride Sediaan : ampul 100 mg/ml
C. Hipoalbumin
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau keadaan
dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL. Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino
yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh
hati.
Terapi Hipoalbuminemia
1. Terapi diet
Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan
mempertahankan status gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta mencegah
seminimal mungkin penurunan kadar albumin untuk mencegahkomplikasi.
Kebutuhan energi pada hipoalbuminemia diupayakan terpenuhi karena apabila asupan
energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadipembongkaran protein tubuh untuk
diubah menjadi sumber energi sehinggaberesiko memperburuk kondisi
hopoalbuminemia. Oleh karena itu pada pasien-pasien hypoalbumin diberikan diet
TKTP, kalau perlu diberikan ekstra putih, ekstra ikan gabus, dan atau modisco putih
telur (MPT).Kombinasi MPT komposisinya antara lain: agar-agar dengan variasirasa,
putih telur ayam, gula pasir, susu skim dengan berat 80 gr.
2. Terapi medis
Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan
hipoalbumin seperti kasus-kasus di atas dari team medis diberikantransfusi FFP dan
atau human albumin. Untuk pemberian kedua transfusitersebut pada kasus yang
kadar albumin dalam darah ≤ 2,5 gr/dl (Hill, 2000).Namun kedua therapi medis
tersebut perlu beberapa pertimbangan antaralain : pertimbangan harga yang cukup
mahal, tidak mudah untukmendapatkannya.
5. JENIS-JENIS CAIRAN
a) Cairan isotonik
Adalah cairan infuse yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan
Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
b) Cairan hipotonik
Adalah cairan infuse yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi
ion Na+lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, danmenurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai
akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45%danDekstrosa 2,5%.
c) Cairan hipertonik
Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%,
NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk
darah (darah), dan albumin.
d) Kristaloid
Cairan dengan berat molekul rendah (< 8000 dalton) dengan atau tanpa glukosa,
mempunyai tekanan osmotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang
ekstrasluler, dan mengandung elektrolit. Cairan kristaloid memiliki komposisi mirip cairan
ekstraseluler, dan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial. Kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Kristaloid di bagi menjadi :
1) Larutan mengandung ion
- Contohnya : ringer laktat, ringer asetat, NaCl 0,9%, dll
- Kebanyakan bersifat iso-osmolar/ isotonik
- Murah dan mudah diperoleh
- Tidak menyebabkan reaksi imun
- Utamanya mengisi ruang ekstraseluler
2) Larutan tidak mengandung ion
- Contohnya : dekstrosa 5%, 10%
- Utamanya mengisi ruang intraseluler
Tabel 1.10. Jenis-jenis Cairan Kristaloid yang Sering Digunakan dan Komposisinya
Nama Elektrolit
Tek Osmotik
Total kalori
(mOsm/L)
Dekstrosa
(mEq/L)
(kkal/L)
Laktat
(gr/L)
Ca++
Na+
Cl-
K+
NaCl 0,9 % 154 - - 154 - - - 308
Ringer Laktat 131 5 2 111 29 - - 278
Ringer Asetat 130 4 3 109 28 - - 278
Dekstrosa 5% - - - - - 50 200 278
Dekstrosa 10% - - - - - 100 400 556
Maltosa 10% - - - - - Maltosa 284
100 gr
KA-EN 1B 38,5 - - 38,5 - 37,5 150 285
KA-EN 3A 60 10 - 50 20 27 108 290
KA-EN 3B 50 20 - 50 20 27 108 290
KA-EN 4A 30 - - 20 10 40 160 284
KA-EN 4B 30 8 - 28 10 37,5 150 284
KA-EN MG3 50 20 - 50 20 100 400 695
e) Koloid
Cairan dengan berat molekul tinggi (> 8000 dalton), merupakan larutan yang terdiri dari
molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti
cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih
panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal. Mekanisme secara umum memilki
sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap
berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh
darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah
volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmosis
plasma. Contohnya : plasma, albumin, koloid artifisial/ plasma expander (gelatin,
polisakarida, HES/ hydroxyethyl strach).
a. Darah
1) Whole blood
- Isi : eritrosit, trombosit dan plasma (450 ml) serta antikoagulan CPDA (63 ml)
- Disimpan antara suhu +20C hingga +60C di pendingin bank darah
- Transfusi sebaiknya dilakukan dalam 30 menit setelah darah dikeluarkan dari
pendingin
- Pemberian 1 nit (500ml) menaikkan Hb kira-kira 1 gr% atu hematokrit 3-4%
- Indikasi pemberian : perdarahan > 30% TBV, pada bayi > 10% TBV, bedah mayor
dengan perdarahan > 1500 ml
- Ada tiga jenis :
i. Darah segar
< 6 jam dari pengambilan, faktor pembekuan masih lengkap termasuk faktor
labil (V & VIII), fungsi eritrosit masih relatif baik.
ii. Darah baru
6 jam – 6 hari sesudah pengambilan, faktor pembekuan sudah hampir habis,
peningkatan tingkat kadar kalium, amonia, dan asam laktat.
iii. Darah simpan
>6 hari, faktor pembekuan sudah habis, penurunan kadar 2,3 DPG sehingga
afinitas Hb tinggi, oksigen sukar diepas ke jaringan, kadar kalium, amonia,
dan asam laktat tinggi.
2) Packed Red Cell (PRC)
- 1 unit biasanya 300 ml dimana 2/3 nya (200 ml) adalah sel eritrosit
- 1 unit PRC, menaikkan hematokrit 2-3% (Hb naik 1,3-1,4 gr/dl)
- PRC 10 ml/kgBB, menaikkan Hb 3 gr/dL dan Ht 10% (Hb 1 gr/dL perlu PRC 4
ml/kgBB)
- Indikasi pemberian : anemia tanpa penurunan volume dan yang disertai “oxgen
need”
- Sebaiknya transfusi selesai dalam 4 jam
Volume RBC yang diperlukan = (Ht yang dinginkan – Ht sekarang) x EBV
Ht RBC
3) Konsentrat Trombosit
- 1 unit berisi 5-7 x 1010 trombosit dalam 35 cc plasma
- 1 unit meningkatkan 10.000/ µl
- Hanya bertahan 2-3 hari
- Manfaat : pada kasus trombositopenia karena gangguan produksi
4) Fresh Frozen Plasma
- Volume 200 cc
- Isi : semua faktor koagulasi
- Manfaat : pergantian defisiensi faktor koagulasi seperti penyakit hati, overdosis
warfarin, deplesi faktor koagulasi, terapi TTP (Thrombotic Thrombocytopenic
Purpura), DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
- Kriteria pemberian :
i. Perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan jahitan bedah kauter
ii. Peningkatan PT atau APTT minimal 1,5 kali dari normal
iii. Hitung trombosit > 70.000/mm
5) Cryoprecipitate
- Dibuat dari pemisahan FFP yang dicairkan pada suhu 40C dengan metode
pemutaran dengan waktu dan kecepatan tertentu
- Volume : 200 cc
- Isi : 250 mg fibrinogen & 80-100 unit F.VIII dan F.Von Willebrand
- 1 unit dapat menaikkan fibrinogen 8 mg/dl
- Indikasi pemberian : Hemofilia A (defisiensi F.VIII), penyakit Von Willebrand,
Hipofibrinogemia, Defisiensi F.VIII yang didapat (DIC dan transfusi masif dilusi)
6) Komponen granulosit
- Berasal dari ABO-matched donors
- Dianjurkan untuk HLA-matching
- Diradiasi 1500 gy untuk mematikan limfosit (penyebab Graft Versus Host Diease/
GVHD), tanpa merusak granulosit
- Indikasi : neutropenia berat (<100 /µl), sepsis akibat kuman gram (-), inflamasi
jaringan lunak yang progresif.
2. Jenis-Jenis Cairan
Jenis-jenis cairan adalah sbb:
f) Cairan isotonik
Adalah cairan infuse yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan
Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). 17,18
g) Cairan hipotonik
Adalah cairan infuse yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion
Na+lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, danmenurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai
akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.17,18
h) Cairan hipertonik
Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%,
NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk
darah (darah), dan albumin.1,2
i) Kristaloid
Cairan dengan berat molekul rendah (< 8000 dalton) dengan atau tanpa glukosa, mempunyai
tekanan osmotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstrasluler, dan
mengandung elektrolit.1 Cairan kristaloid memiliki komposisi mirip cairan ekstraseluler, dan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitial. Kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi
defisit cairan di ruang interstitial. Kristaloid di bagi menjadi17 :
3) Larutan mengandung ion
- Contohnya : ringer laktat, ringer asetat, NaCl 0,9%, dll
- Kebanyakan bersifat iso-osmolar/ isotonik
- Murah dan mudah diperoleh
- Tidak menyebabkan reaksi imun
- Utamanya mengisi ruang ekstraseluler
4) Larutan tidak mengandung ion
- Contohnya : dekstrosa 5%, 10%
- Utamanya mengisi ruang intraseluler
Tek Osmotik
Total kalori
(mOsm/L)
Dekstrosa
Nama (mEq/L)
(kkal/L)
Laktat
(gr/L)
Ca++
Na+
Cl-
K+
11) Cryoprecipitate17
- Dibuat dari pemisahan FFP yang dicairkan pada suhu 40C dengan metode
pemutaran dengan waktu dan kecepatan tertentu
- Volume : 200 cc
- Isi : 250 mg fibrinogen & 80-100 unit F.VIII dan F.Von Willebrand
- 1 unit dapat menaikkan fibrinogen 8 mg/dl
- Indikasi pemberian : Hemofilia A (defisiensi F.VIII), penyakit Von Willebrand,
Hipofibrinogemia, Defisiensi F.VIII yang didapat (DIC dan transfusi masif dilusi)
12) Komponen granulosit17
- Berasal dari ABO-matched donors
- Dianjurkan untuk HLA-matching
- Diradiasi 1500 gy untuk mematikan limfosit (penyebab Graft Versus Host Diease/
GVHD), tanpa merusak granulosit
- Indikasi : neutropenia berat (<100 /µl), sepsis akibat kuman gram (-), inflamasi
jaringan lunak yang progresif.
6. DEHIDRASI
Definisi
Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang disertai “output” yang
melebihi dari “intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang. Berkurangnya volume total
cairan tubuh menyebabkan penurunan volume cairan intrasel dan ekstrasel. Manifestasi klinis
dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan intravaskuler. Proses dehidrasi yang
berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia yang akan menyebabkan gagal organ dan
kematian.
Klasifikasi
Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi
dibedakan menjadi tiga tipe yaitu:
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe ini merupakan yang paling sering (80%). Pada
dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding dengan jumlah natrium yang hilang, dan
biasanya tidak mengakibatkan cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler.
Kadar. natrium dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas
efektif serum 275-295 mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik). Natrium hilang yang lebih banyak daripada air.
Penderita dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum
(kurang dari 135 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mOsml/L).
Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler,
sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler. Hiponatremia berat dapat memicu
kejang hebat; sedangkan koreksi cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam) terkait
dengan kejadian mielinolisis pontin sentral.
3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). Hilangnya air lebih banyak daripada natrium.
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145
mmol/L) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L). Karena
kadar natrium serum tinggi, terjadi pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang
intravaskuler. Untuk mengkompensasi, sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik
osmol) yang akan menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan
dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia,
peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut akan menyebabkan infl uks cairan
berlebihan yang dapat menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel; edema serebral
adalah konsekuensi yang paling fatal. Rehidrasi secara perlahan dalam lebih dari 48
jam dapat meminimalkan risiko ini.
Derajat Dehidrasi
Tabel 1.4 Derajat dehidrasi berdasarkan persentase kehilangan air dari berat badan
Derajat dehidrasi Dewasa Anak
Dehidrasi Ringan 4% dari berat badan 5% dari berat badan
Dehidrasi Sedang 6% dari berat badan 10% dari berat badan
Dehidrasi Berat 8% dari berat badan 15% dari berat badan
Klasifikasi
Perdarahan dapat terjadi di dalam tubuh (perdarahan internal) dan diluar tubuh
(perdarahan external).
Tabel 1.7 Lokasi dan Estimasi Perdarahan
Lokasi Estimasi Perdarahan
Hemothorax 2 liter
Penatalaksanaan
Larutan elektrolit isotonic hangat, misalnya Ringer Laktat atau normal saline, digunakan
untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume intravascular dalam waktu yang singkat
dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta
yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Alternative cairan awal adalah dengan
larutan garam hipertonik, walaupun menurut kepustakaan terbaru belum tentu menguntungkan.
Tahap awal, bolus cairan hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter
untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak. Perhitungan kasar untuk menggantikan jumlah
cairan krristaloid yang dibutuhkan secara adalah dengan mengganti 1 ml darah yang hilang
dengan 3 ml cairan kristaloid.
Resusitasi yang adekuat adalah produksi urin 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1
ml/kg/jam untuk ank-anak dan bayi (kurang 1 tahun) 2 ml/kg/jam.
Respon pasien terhadap pemberian cairan awal adalah kunci untuk menentukan terapi
selanjutnya. Respon pasien terbagi atas :
1. Respon cepat
Hemodinamis kembali cepat setelah bolus cairan awal selesai dan diteruskan dengan
cairan maintenance. Tidak ada indikasi penambahan bolus cairan atau pemberian
darah, tetapi pemeriksaan golongan darah dan crossmatch-nya harus tetap dikerjakan.
2. Respon sementara
Pasien memberikan respon pada pemberian cairan awal, namun bila dilanjutkan
pemberian maintenance, maka hemodinamik pasien akan langsung menurun kembali.
Pemberian bolus cairan tambahan dan transfuse darah diperlukan pada pasien ini.
3. Respon minimal atau tidak ada respon
Tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan darah menandakan perlunya
tindakan intervensi secepatnya (operasi atau angioembolization) untuk menghentikan
perdarahan. Pada kasus jarang, tidak adanya respon ini dapat terjadi karena gagalnya
pompa jantung akibat trauma tumpul jantung, cardiac tamponade, atau tension
pneumothorax.
1. British Medical Jounral. 2017. Sepsis in Adults Prognosis. Diakses dari alamat web :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/245/follow-up/prognosis.html pada
tanggal 07 November 2017.
2. British Medical Journal. 2017. Sepsis in Adults Complications. Diakses dari alamat web :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/245/follow-up/complications.html
3. pada tanggal 07 November 2017.
4. Davis P.C. 2017. Sepsis (Blood Poisoning). Diakses dari alamat web :
http://www.medicinenet.com/sepsis/article.htm pada tanggal 07 November 2017.
5. Hamill, RJ. The assessment of pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management. New
york: McGrow-Hill Inc; 1994. P13-25.
6. Kalil A. 2016. Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview pada tanggal 07 November 2017.
7. Kumar H.K. Elavarasi P. 2016. Definition of pain and classification of pain disorders.
Diakses dari alamat web : http://jcri.net/eJournals/_ejournals/112_Review%20Article.pdf
pada tanggal 07 November 2017.
8. LIFTL. 2017. Sepsis Definitions and Diagnosis. Diakses dari alamat web :
https://lifeinthefastlane.com/ccc/sepsis-definitions/ pada tanggal 07 November 2017.
9. Maggio M.P. 2016. Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://www.merckmanuals.com/professional/critical-care-medicine/sepsis-and-septic-
shock/sepsis-and-septic-shock pada tanggal 07 November 2017.
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and Electrolyte
Disturbances. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:Lange Medical Books/McGraw-
Hill Medical Publishing Division; 2006; 28:662-689
11. Morgan GE. Pain management, In: Clinical Anesthesiology 2nded. Stamford: Appleton and
Lange; 1996. P274-316.
12. Pain. The American journal of managed care. June; 2006. 12: S256-62.
13. Remik G.D. 2007. Pathophysiology of Sepsis. Diakses dari alamat web :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1854939/ pada tanggal 07 November 2017.
14. SJM Health System. 2013. Suriving Sepsis Campagin Bundle. Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Protocols-Pocket-Card-
StJoseph.pdf pada tanggal 07 November 2017.
15. Society of Critical Care Medicine. 2016. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock 2016. Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/Guidelines/Pages/default.aspx pada tanggal 07 November
2017.
16. Society of Critical Care Medicine. 2016. The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
https://www.sccm.org/SiteCollectionDocuments/Quality-Sepsis-Definitions-SCCM-ESICM-
Joint-Session-Critical-Care-Congress.pdf pada tanggal 07 November 2017.
17. Sterling A.S, Miller R.W, Pryor J. 2015. The Impact of Timing of Antibiotics on Outcomes
in Severe Sepsis and Septic Shock: A Systematic Review and Meta Analysis. Diakses dari
alamat web : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4597314/ pada tanggal 07
November 2017.
18. Stöppler MC. Electrolytes. Available from:
http://www.medicinenet.com/electrolytes/article.html.
19. UWS. 2017. Classification of Pain. Diakses dari alamat web :
http://projects.hsl.wisc.edu/GME/PainManagement/session2.4.html pad tanggal 07
November 2017.