Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini
sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya industri, maka terbukalah
lapangan kerja bagi masyarakat, daerah di sekitar perindustrian juga turut berkembang dalam
bidang sarana transportasi, komunikasi, perdagangan dan bidang lain. Semua hal ini akan
mendorong taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Di lain pihak, kemajuan ekonomi merangsang
timbulnya industri baru yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.
Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat meningkatkan taraf hidup, tetapi
berbagai dampak negatif juga bisa terjadi pada masyarakat. Salah satu dampak negatif adalah
terhadap kualitas fungsi pernafasan bagi para pekerja dan masyarakat di sekitar daerah
perindustrian.
Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan.
Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan
ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk
hidup secara optimal.
Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu
mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan
Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari
sepuluh program unggulan.
Debu di sekitar tempat kerja yang berasal dari pabrik industri, misalnya, dapat
menyebabkan sesak nafas hingga sakit pernafasan atau penyakit paru yang serius. Penyakit paru
ini termasuk penyakit yang banyak diderita masyarakat kita. Ada beberapa jenis debu yang di
antaranya bisa menyebabkan penyakit pernafasan atau paru. Yakni debu organik dan anorganik.
Debu organik dapat menyebabkan penyakit pernafasan. Ini karena kepekaan dari saluran
nafas bagian bawah terutama alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang
mengakibatkan penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran udara yang keluar
masuk paru dan akibatnya sesak nafas.

1
Banyak jenis debu organik dihasilkan oleh industri tekstil mulai dari proses awal yakni
pembuatan biji kapas sampai penenunan. Waktu untuk timbulnya penyakit ini cukup lama.
Waktu yang terpendek adalah 5 tahun. Berdasarkan penelitian, angka kesakitan bisa mencapai
60% dan angka tertinggi terjadi pada mereka yang bekerja di bagian pemintalan.
Debu anorganik bila terhirup dalam jumlah banyak dapat menimbulkan gangguan paru
pula. Debu ini banyak menyerang para pekerja di pabrik semen, asbes, keramik, tambang emas
atau besi. Debu ini mengandung partikel-partikel besi, timah putih, asbes dan lainnya.
Kemampuan debu untuk bisa masuk ke dalam paru tergantung dari besar kecilnya partikel
tersebut.
Selain debu fator fisik lainnya yaitu kebisingan yg juga dapat dapat mengganggu
kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Kebisingan adalah bunyi yang didengar sebagai
rangsangn-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala
bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki.

Berdasarkan Kepmenaker, kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang


bersumber dari alat-alat, proses produksi yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan pendengaran.

Sumber bising ialah sumber bunyi yang kehadirannya dianggap mengganggu


pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan
dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat
pengangkut dan kegiatan rumah tangga.

Faktor fisik berikutnya adalah penerangan ditempat kerja yang merupakan jumlah
penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksakan kegiatan secara efektif.
Penerangan dapat berasal dai cahaya alami dan buatan. Penerangan adalah penting sebagai suatu
faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikan mengenai hubungan
antara produktivitas dengan penerangan telah memperlihatkan, bahwa penerangan yang cukup
dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan dapat menghasilkan produksi maksimal dan penekanan
biaya. Berdasarkan peraturan pemerintah (1999) tentang persyarataan kesehatan lingkungan
kerja.

2
Penerangan yang baik dapat memberikan keuntungan pada tenaga kerja, yaitu
peningkatan produksi dan menekan biaya, memperbesar kesempatan dengan hasil kualitas yang
meningkat, menurunkan tingkat kecelakaan, memudahkan pengamatan dan pengawasan,
mengurangi ketegangan mata, mengurangi terjadinya kerusakan barang-barang yang dikerjakan.
Penerangan yang buruk dapat berakibat kelelahan mata, memperpanjang waktu kerja, keluhan
pegal didaerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan indra mata, kelelahan mental dan
menimbulkan terjadinya kecelakaan.

1.2 Permasalahan
Terdapatnya bahaya potensial yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan
pekerja yang bekerja di PT. Bina Busana Internusa.

1.3 Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami kinerja program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di PT. Bina Busana Internusa.

1.3.2.Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui alur produksi di PT. Bina Busana Internusa.
2. Untuk mengetahui bahaya potensial terutama faktor risiko dan risiko kecelakaan kerja
di PT. Bina Busana Internusa.
3. Untuk mengetahui bahaya potensial fisik akibat debu kain, kebisingan dan
pencahayaan di lingkungan kerja PT. Bina Busana Internusa.
4. Untuk mengetahui masalah dalam pelaksanaan program Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di PT. Bina Busana Internusa.
5. Untuk mengetahui usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam
mengatasi masalah yang ada akibat bahaya potensial debu kain yang didapatkan di
PT. Bina Busana Internusa.

BAB II
HASIL KUNJUNGAN

3
2.1. Informasi Umum
2.1.1. Profil Perusahaan
Berdiri : 10 november 1989
Produk : mens shirt
: hospital uniform
: office uniform
: working uniform
Lokasi : Pabrik I
Kawasan Berikat Nusantara Jl. Madura III Blok D No. 19A
Cakung, Cilincing, Jakarta 14140 Indonesia
: Pabrik II
Jl. Pulo Buaran II blok Q No. 1
Pulogadung, Jakarta 13920, Indonesia
Luas wilayah : Pabrik I : 5.400 m2
Pabrik II : 1.680 m2
Telepon : Pabrik I : 021-440308
: Pabrik II : 021-46820820
Fax : Pabrik I : 021-46820820
: Pabrik II : 021-4626086
Kapasitas / tahun : Pabrik I : 18 lajur = 1.920.000 potong / tahun
: Pabrik II : 8 lajur = 840.000 potong / tahun
Pekerja : Pabrik I : 984 orang
: Pabrik II : 582 orang
: Penjual II : 582 orang
: Penjualan : 399 orang
: Administrasi : 59 orang
Pasar : Jepang
: Inggris
: Pasar Lokal

4
Pembeli : Nagai, Cosalt, departement store, institusi
(Sumber kunjungan lapangan di PT BBI dan Wawancara dengan Manager Human Resource
Departement serta company profile PT BBI)

2.2. Gambaran Umum


1.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan
Pada tanggal 16 oktober 1989 berdiri PT Mitracorp Pasifik Nusantara, yang merupakan
head office dari beberapa anak perusahaan, diantaranya adalah PT Bina Busana Internusa dan PT
Kharismitra Sukses. PT Bina Busana Internusa berdiri pada tanggal 10 november 1989, yang
memproduksi kemeja Valino dan produksi garmen lainnya. PT Kharismitra Sukses berdiri pada
tanggal 6 april 1990 dan bergerak sebagai marketing dan distribution kemeja Valino.
Pada tanggal 2 januari 1997 PT Bina Busana Internusa dan PT Kharismitra Sukses
digabungkan menjadi PT Bina Busana Internusa, PT Bina Busana Internusa memiliki 2 buah
pabrik.
 PT Bina Busana Internusa I
Lokasi : jl. Madura III Blok D No. 19A kawasan berikut Nusantara Cakung Cilincing Jakarta
14140, Indonesia.
Pada saat ini PT Bina Busana Internusa I memproduksi seragam rumah sakit yang di
pesan oleh Nagai Leben Jepang dan pakaian kerja oleh Cosalt Inggris, space yang
dipergunakan untuk lokasi ini adalah 5.400 m2, dengan kapasitas produksi 18 line dan
menghasilkan 1.920.000 pieces pertahun mempekerjakan sebanyak 984 orang untuk bagan
produksi, 3 orang bagian marketing dan 3 orang untuk tenaga administrasi. Untuk sementara
ini PT BBI I hanya menerima pesanan dari Nagai Leben dan Cosalt Inggris serta beberapa
pekerjaan yang bersifat subkontraktor.
 PT Bina Busana Internusa II
Lokasi : Jl. Pulo Buaran II Blok Q No. I Kawasan Industri Pulo Gadung, Pulo Gadung
Jakarta 13920, Indonesia
PT Bina Busana Internusa II memproduksi kemeja Valino, Harry Martin, Cristian Kent,
Vissuto, Sierra Morena, Compagnon, dan Bergamo. Kemudian di distribusikan ke
departement store yang ada di seluruh Indonesia. Untuk sementara ini counter Valino
memiliki 133 outlet, Harry Martin 154 outlet, Christian Kent 17 outlet, Vissuto 12 outlet,
Sierra Morena 59 outlet, Compagnon 30 outlet, dan Bergamo 8 outlet. Luas untuk lokasi ini
adalah 1.680 m2. Kapasitas produksi mempunyai 8 line serta dapat memproduksi sekitar

5
840.000 pieces pertahun. Mempekerjakan sebanyak 582 untuk bagian produksi, 601 orang
bagian marketing, dan 61 orang untuk tenaga administrasi, untuk sementara ini kemeja yang
di produksi oleh PT BBI II hanya didistribusikan ke departement store dan institusional.

1.2.2. Falsafah Perusahaan


Komitmen PT Bina Internusa adalah memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.
Selain itu juga mempunyai visi ke depan sebagai perusahaan yang memimpin produksi kemeja
formal pria di tahun 2015, dengan tekad menjadi yang terbaik dan terbesar sebagai produsen
kemeja yang berstandar internasional. Gabungan antara pelayanan yang handal, profesionalisme,
teknologi serta didukung oleh pengelolaan usaha serta pemasaran yang mengena pada sasaran.
PT Bina Busana Internusa mendukung sepenuhnya pembangunan di Indonesia dengan
memberikan pelayanan terbaik serta menghasilkan produk yang bermutu tinggi, PT Bina Busana
Internusa berusaha meningkatkan citra sebagai perusahaan yang bergerak di bidang garmen yang
terkemuka dengan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Sesuai dengan motto
perusahaan “Menjadi No. I dengan Memberikan Pelayanan yang Terbaik Kepada Pelanggan dan
Pelanggan Adalah Aset Perusahaan “.
Untuk mewujudkan PT Bina Busana Internusa akan memperbanyak produknya yang
banyak di jual di seluruh Indonesia. Pada saat ini produksi kemeja yang dihasilkan oleh PT Bina
Busana Internusa adalah : Valino, Harry Martin, Christian Kent, Vissuto, Sierra Morena,
Compagnon, dan Bergamo. Banyaknya produk kemeja yang diproduksi oleh PT Bina Busana
Internusa dengan demikian kebutuhan kemeja yang diinginkan oleh konsumen dari seluruh
lapisan masyarakat akan terpenuhi.

2.2.3. Alur Poduksi


Adapun alur produksi dari PT. Bina Busana Interusa adalah sebagai berikut :
1. Pembuatan Sampel
Alur produksi PT. Bina Busana Interusa dimulai dengan pembuatan sampel. Sampel berupa
model pakaian diajukan ke design product developer. Jika disetujui, sampel tersebut akan
dibuatkan pola dan modelnya.

6
2. Pemesanan Bahan
Melalui bagian marketing, PT. BBI memesan bahan dalam jumlah yang telah ditentukan ke
host yang selanjutnya bahan yang telah datang disimpan di gudang penyimpanan. Di dalam
gudang terasa panas dengan ventilasi yang kurang.

3. Inspeksi Bahan
Inspeksi dilakukan di gudang penyimpanan. Bahan harus memenuhi 28 persyaratan untuk
memenuhi standar. Jika ditemukan cacat pada bahan maka akan ditandai dengan stiker tanda
panah merah. Petugas pada tahap ini berjumlah tiga orang. Sarana yang digunakan adalah
meja dengan tinggi kurang lebih 1 meter dengan kemiringan 45°. Bahan yang akan diperiksa
ditaruh diatas meja yang secara otomatis bahan akan melewati meja dan tergulung kembali.
Pekerja menginspeksi bahan secara seksama untuk melihat adanya cacat. Hal ini dilakukan
dalam waktu yang singkat dan berulang-ulang sehingga akan terdapat gerakan bola mata
yang repetitif. Pekerja melakukan inspeksi dalam posisi berdiri tegak dengan pencahayaan
bersumber dari lampu neon 40 watt yang ada dibalik meja dan ruangan. Setelah bahan
melewati proses inspeksi, kemudian bahan yang memenuhi syarat akan masuk ke dalam
proses produksi.
Pada bagian ini terdapat berbagai bahaya potensial yang dapat timbul, baik dari segi fisik,
kimia, ergonomi, maupun psikologis. Yang pertama adalah bahaya potensial dari debu, baik
debu yang berada di dalam ruangan maupun debu bahan. Debu yang berasal dari bahan
berupa debu kain alami (bahan katun) dan debu sintetik (polyester). Bahaya fisik lain adalah
cahaya berlebih dari lampu neon TL 40 watt yang dapat menyilau mata. Kondisi gudang
yang kurang ventilasi juga menyebabkan terbatasnya sirkulasi udara bagi para pekerja di
tempat ini.
Bahaya potensial kimia berasal dari zat kimia dari bahan baku berupa formaldehid yang
berasal dari bahan baku. Dari segi psikologis didapatkan bahaya stress dan kebosanan karena
jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskuloskeletal (seperti low
back pain), dehidrasi, ISPA, sefalgia, dispepsia, gangguan penglihatan berupa penurunan
visus dan kelelahan otot mata dan varises tungkai. Resiko kecelakaan kerja berupa tangan
terjepit mesin inspeksi atau tersengat listrik mesin. Upaya yang harusnya dilakukan dalam
tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker penutup kepala, meskipun

7
tidak semua pekerja menggunakannya. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar
operasional mesin. Fasilitas yang tersedia lamp neon TL 40 watt sebanyak 1 buah pada mesin
inspeksi dan 20 buah di langit-langit, serta penyediaan sarana air minum.

Gambar 1.
Posisi Pekerja
Pada Proses
Inspeksi Bahan

4. Proses Pembuatan Pola


Proses pembuatan pola dilakukan oleh 12 pekerja. Enam pekerja membentuk pola
bahan dengan pensil dan penggaris secara manual sesuai model pakaian yang akan
diproduksi. Kegiatan ini dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri. Enam pekerja lainnya
menggunakan mesin jahit dalam posisi duduk tanpa sandaran. Pada proses ini, dilakukan
pembuatan pola yang telah diinstruksikan oleh desainer. Pembuatan pola dapat dibedakan
dalam dua cara, yaitu manual, atau menggunakan komputer. Untuk cara yang pertama
(manual), dikerjakan dengan posisi berdiri maupun duduk. Dari hasil pengamatan, tampak
bahwa kursi pekerja tidak menggunakan sandaran, dan terbuat dari material kayu tampa
bantalan sehingga kurang nyaman dan didapatkan ukuran tinggi meja adalah 75 cm.

8
Gambar 2. Posisi pekerja bagian Pola (manual)

Proses pembuatan pola yang menggunakan computer Pada bagian ini, pekerja dalam
posisi duduk di atas kursi dengan bantalan cukup nyaman dan memiliki sandaran.

Gambar 3. Posisi pekerja pembuatan pola dengan computer

5. Cutting
Proses selanjutnya adalah cutting dan marker. Area pemotongan ini mengharuskan
seluruh pekerjanya menggunakan masker, namun ada beberapa pekerja yang tidak
memakainya. Proses cutting menggunakan mesin cutting, dimana alat cukup tajam dan
pekerja melakukan proses ini dengan cepat dan repetitif. Pekerja dilengkapi sarung tangan
dari bahan stainless yang digunakan pada tangan kiri. Proses cutting terbagi mejadi dua
macam, yaitu untuk kain polos dan bermotif.
a. Bila bahan polos langsung menuju proses
numbering
b. Bila bahan bermotif, maka akan melalui
proses matching dan numbering

Bagian cutting dapat dikerjakan dalam dua


cara, yaitu manual dengan gunting dan dengan mesin. Pada proses ini pekerja melakukan
tugasnya dalam posisi berdiri diikuti dengan kepala yang menunduk. Selain itu, dari hasil
pengukuran, tinggi meja yang juga bisa diartikan jarak siku ke lantai adalah 95 cm. Ukuran
ini terlalu rendah, sehingga membuat pekerja sedikit membungkuk untuk melakukan
kerjanya.
Pada alur produksi ini, bahaya fisik yang dapat terjadi berupa kebisingan dari mesin
pemotong. Suara mesin pemotong dengan frekuensi 84dB dapat menyebabkan gangguan
pendengaran berupa tinnitus maupun tuli perseptif. Bahaya fisik lain berupa debu kain alami
dan sintetik, sirkulasi udara terbatas, vibrasi mesin cutting, dan listrik dari mesin pemotong.

9
Bahaya kimia berasal dari pelarut benzene
yang digunakan sebagai pembersih jika ada
noda pada kain. Bahaya dari ergonomi yaitu
posisi berdiri yang lama, posisi kepala yang
menunduk lama, dan gerakan repetitif memotong
lkain. Sedangkan dari bahaya psikologis yang
dapat timbul adalah stres dan kebosanan
karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskoloskeletal ( termasuk
upper dan low back pain ), dehidrasi, ISPA, dispepsia, gangguan pendengaran, varises
tungkai, hiperkeratosis tangan dan dermatitis kontak iritan. Resiko kecelakaan kerja yang
mungkin terjadi adalah tangan terpotong, tangan terjepit gunting atau tangan tersengat listrik
mesin potong.
Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa
masker, penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan logam dan fasilitas seperti kipas
angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulais udara, lampu untuk penerangan yang
cukup dan penyediaan sarana air minum.
Hal-hal yang sudah dilakukan di perusahaan ini yaitu penggunaan alat pelindung diri
berupa masker dan sarung tangan yang terbuat dari logam. Semua pekerja menggunakan alat
pelindung diri ini. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin dan
kebijakan menggunakan alas kaki. Fasilitas yang tersedia berupa lampu TL 40 watt sebanyak
96 buah, exhaust fan diameter 30 cm ( 0 buah setiap lantai), kipas angin diameter 30 cm (10
buah setiap lantai), penyediaan sarana air minum (2 buah setiap lantai).

10
Gambar 4. Posisi pekerja pada proses cutting

6. Proses Pembuatan Manset dan Interlining


Pada proses ini, dilakukan pemotongan dengan mesin berat. Kemudian dilakukan
pressing dengan menggunakan mesin yang mengeluarkan panas. Mesin yang berat tersebut
dijalankan oleh pekerja laki-laki dengan posisi berdiri terus menerus, kepala dan badan
menunduk sekitar 20° dengan alat pelindung diri berupa sarung tangan stainless.
Proses interlining adalah proses pembuatan kerah dimana kain yang telah dipotong
ditempelkan dengan bahan yang keras untuk membentuk kerah. Proses selanjutnya adalah
merekatkan kedua bahan tersebut. Proses perekatan pertama dilakukan dengan solder di
beberapa titik kemudian disetrika dan terakhir direkatkan secara permanen dengan pressing
machine yang menggunakan panas yang tinggi.

Gambar 5. Posisi Pekerja pada Proses Manset

7. Proses Sewing
Proses sewing dilakukan dengan
menggunakan mesin jahit biasa. Pada proses
penjahitan terdapat dua macam proses, yaitu
front back dan assembling. Pada proses
front back dilakukan penjahitan untuk
keperluan aksesoris seperti pembuatan
kantong kemeja. Kemudian pada proses
assembling dilakukan penjahitan untuk menyatukan pakaian dengan komponen lainnya.
Penjahit bekerja dengan posisi duduk membungkuk dengan kursi tanpa sandaran. Untuk
mengatur kesesuaian antara tinggi meja dan kursi agar menghasilkan posisi yang ergonomis,

11
terdapat alat pengatur ketinggian pada meja jahit dan kursi yang terlalu pendek disambung
dibagian terbawah kaki kursi. Pekerja menggunakan seragam berupa kain berbahan katun
yang cukup menyerap keringat, ditambah penutup kepala, apron dan masker, mesin jahit juga
dilengkapi dengan needle gate untuk melindungi tangan dari tusukan jarum. Pada proses ini
juga dilakukan pembersihan bahan yang terdapat noda dengan menggunakan etanol dan
benzen yang disemprotkan, alat semprot menghasilkan bising, sehingga pekerja dilengkapi
dengan alat penutup telinga.

Gambar 6.
Posisi Pekerja bagian proses sewing

8. Proses Finishing dengan Mesin Kebut


Setelah pakaian selesai dijahit, kemudian dilakukan pembersihan baju dari sisa-sisa benang
dengan menggunakan mesin kebut, yaitu berupa boks dengan ukuran 75 x 100 cm. Mesin
tersebut dapat menarik sisa debu dan benang. Pakaian dimasukkan ke dalam mesin dan
ditahan oleh kedua tangan pekerja tersebut. Mesin kebut menghasilkan bising sehingga
pekerja dilengkapi dengan alat penutup telinga.

12
Gambar 7. Pekerja mesin kebut

9. Proses Ironing
Proses ironing dilakukan dengan
setrika listrik. Sarana yang digunakan adalah meja setrika ukuran 60 x 100 cm dengan jarak
antar pekerja kurang lebih 1 meter. Proses Ironing pakaian jadi terdiri dari 8 pekerja.
Menggunakan bahan kimia berupa etanol dan pelarut benzene sebagai pembersih. Pada
bagian ini terjadi gerakan repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi
berdiri lama, posisi membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang
sempit.
Bahaya potensial fisika adalah suhu panas, sirkulasi udara terbatas, listrik, debu kain
alami dan sintetik, dan kelembapan. Bahaya potensial kimia berupa etanol dan pelarut
benzene sebagai pembersih. Bahaya potensial ergonomi adalah gerakan repetitif menarik dan
mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi membungkuk lama, posisi
kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit. Dari segi psikologi, bahaya potensial
yang ada adalah kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan stres. Gangguan
kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan musculoskeletal, dehidrasi, tension typ
headache, dan low back pain. Resiko kecelakaan kerja yang mungkin terjadi adalah tangan
terkena luka bakar akibat setrika listrik.
Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, penutup kepala, serta sarung tangan kain dan fasilitas seperti kipas angin atau
exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan
penyediaan sarana air minum. Alat pelindung diri yang digunakan adalah sarung tangan dan
masker kain, semua pekerja menggunakan APD ini. Sarana yang disediakan adalah lampu,
exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30

13
cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap
lantai. Terdapat standar operasional dalam proses ironing.

Gambar 8. Posisi Pekerja pada


Proses Ironing

10. Proses Packing


Pakaian yang telah disetrika kemudian
dilipat dan dimasukkan kedalam polybag,
kemudia pakaian yang telah dibungkus
dimasukkan kedalam kardus besar. Dibagian ini terjadi gerakan repetitif memasukan pakaian
kedalam plastik, gerakan repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah
terkemas ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil
produksi dari membungkuk sampai berdiri.

Bahaya potensial fisika meliputi panas dan debu kain sintetik dan alami. Bahaya
potensial ergonomi meliputi gerakan repetitif memasukan pakaian kedalam plastik, gerakan
repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah terkemas ke dalam kardus, posisi
berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil produksi dari membungkuk sampai
berdiri. Bahaya potensial psikologi yang dapat timbul berupa kebosanan karena jam kerja
yang lama tanpa ganti shift, dan stres sebagai bahaya potensial psikologi.

Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan musculoskeletal, seperti low
back pain dan upper back pain, dan dermatitis kontak iritan. Resiko kecelakaan kerja yang
dapat timbul adalah terjatuh saat mengangkat dan memindahkan beban. Upaya yang harusnya
dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker kain dan
fasilitas seprti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum.

14
Alat pelindung diri yang disediakan adalah masker kain. Sarana yang disediakan adalah
lampu, exhaust fan, kipas angin, dan penyediaan sarana air minum. Terdapat aturan pelipatan
dan tampilan produk dan aturan alur barang produksi setelah packing.

Gambar 9.
Posisi
Pekerja pada saat Proses Packing

11. Quality Control


Sebelum pengiriman beberapa kardus akan
diambil secara random untuk dilakukan pengecekan
ulang. Dibagian ini dilakukan gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian,
posisi berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk lama.

Bahaya potensial fisika berupa pencahayaan dan debu kain alami dan sintetik. Bahaya
potensial ergonomi berupa gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian, posisi
berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk lama. Dari segi psikologi, bahaya
potensial yang ada berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift dan stres
yang mungkin timbul. Gangguan kesehatan yang mungkin timbul berupa gangguan
musculoskeletal, dehidrasi, low back pain dan upper back pain, varises tungkai, dan keluhan
otot mata. Tidak ada resiko kecelakaan kerja yang ada pada tahap ini.

Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa maker, penutup kepala, dan fasilitas seperti kipas angin atau exhaust fan untuk
memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air
minum. Hanya sebagian pekerja yang menggunakan masker dan penutup kepala. Sarana yang
disediakan berupa exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin

15
dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum
sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat checklist untuk menilai dalam proses quality control.

Gambar 10. Posisi Pekerja pada bagian Quality Control pakaian

Diagram 1. Alur Produksi

2.3. Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di PT BBI II


2.3.1 Program kesehatan Kerja
Perusahaan memiliki sebuah klinik yang terletak di dalam pabrik. Klinik perusahaan
memberikan pelayanan mulai dari hari senin, rabu dan jumat. Klinik ini melayani pengobatan
biasa dan kecelakaan kerja kepada para pekerja. Pelayanan dilakukan selama jam kerja. Di luar
jam kerja poliklinik, pelayanan kesehatan bagi pekerja hanya berupa penyediaan obat-obatan
simptomatik yang dipegang oleh line manager. Bila diperlukan tatalaksana lanjutan kecelakaan

16
kerja, pekerjaan dirujuk ke RS dengan surat pengantar. Perusahaan bekerjasama dengan RS
Mediros dan RS St. Carolus sehingga jika pekerja berobat ke kedua rumah sakit tersebut, biaya
pengobatan pekerja akan di tanggung oleh perusahaan sesuai dengan golongan/pangkat.
Sementara jika pasien dibawa ke RS lain seperti RS Persahabatan yang letaknya tidak jauh dari
pabrik maka penggantian biaya diberlakukan melalui sistem reimbursment yaitu biaya di
tanggung dahulu oleh karyawan, yang kemudian diganti oleh perusahaan. Untuk kasus gawat
darurat yang terjadi di pabrik, pertama-tama keadaan umum pasien pasien distabilkan terlebih
dahulu kemudian dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Pada saat kunjungan dilakukan, klinik sedang beroperasi. Di klinik terdapat data-data
penyakit dan data jumlah kunjungan pekerja ke poliklinik serta data kecelakaan kerja. Klinik
perusaan dijalankan oleh seorang dokter umum yang datang dua hari sekali dengan jam kerja
08.00-12.00 dan setiap hari ada satu perawat yang bertugas.
Program klinik perusahaan meliputi juga pemeriksaan kesehatan setiap enam bulan
berupa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin dan
kimia darah serta pemeriksaan penunjang lain seperti rontgent thoraks, dan pemeriksaan
elektrokardiografi. Pemeriksaan kesehatan telinga dengan alat khusus (audiometri dan otoskop)
tidak dilakukan.
Kantin perusahaan ada dua buah dengan luas kurang lebih 5x10 meter. Namun untuk
makan siang pekerja perusahaan menggunakan sistem katering yang dibayar oleh perusahaan.
Menu pekerja tergantung pihak katering yang berupa makanan pokok. Untuk pekerja yang
lembur tidak mendapatkan makanan tambahan. Untuk air minum pekerja disediakan dispenser di
beberapa tempat.
Salah satu kekurangan yang ditemukan adalah perusahaan belum memiliki data penyakit
tersering yang terjadi di perusahaan. Di samping itu, tidak terdapat sistem pelaporan kesehatan
pekerja, yang ada hanyalah laporan jumlah kunjungan pekerja ke klinik perusahaan. Asuransi
kesehatan juga tidak disediakan oleh pihak perusahaan bagi para pekerjanya. Selain itu, program-
program kesehatan kerja belum dilaksanakan oleh perusahaan.

2.3.2 Sanitasi dan Lingkungan


PT BBI merupakan suatu kompleks bangunan yang terdiri dari 1 bangunan utama, 1
bangunan tempat produksi, dan 1 gudang penyimpanan yang terpisah dari 2 bangunan
sebelumnya (dipisahkan oleh jalan umum). Pada bangunan utama terdapat kantor yang
mengurusi administrasi dan marketing, factory outlet, dan tempat ibadah. Bangunan utama ini

17
cukup tertata rapi dan bersih serta sebagian besar ruangan menggunakan air conditioner.
Sementara bangunan tempat produksi merupakan bangunan lantai 2 dimana selain terdapat
ruangan tempat berlangsungnya proses produksi, juga terdapat klinik (di lantai 2), dan kantin (di
lantai 1). Kesan kebersihan pada keseluruhan ruangan tempat produksi cukup baik. Alat-alat
produksi di bangunan produksi lantai 1 tertata dengan cukup rapi dengan ruang gerak pekerja
yang cukup leluasa (kurang lebih 1 meter).
Hal ini disebabkan karena jumlah pekerja di ruangan ini relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah pekerja di lantai 2. Sementara itu, alat-alat produksi di lantai 2 walau tersusun
rapi cukup rapi namun jarak antara alat cukup dekat (kurang lebih setengah meter) sehingga
ruang gerak pekerja agak terbatas. Lingkungan di sekitar kompleks bangunan utama dan
bangunan tempat produksi cukup bersih. Pada halaman sekitar terdapat taman kecil yang bersih.
Perusahaan menyediakan fasilitas toilet di kedua lantai produksi, masing-masing terdiri
dari dua toilet besar laki-laki dan dua toilet perempuan. Setiap toilet berukuran 1x 1,5 x 2 m.
Masing-masing toilet besar terdiri dari 3 ruangan. Toilet tersebut terlihat kurang bersih dan
terkesan kurang terurus. Dinding toilet dilapisi keramik. Jumlah kakus dalam toilet laki-laki
adalah tiga jamban, dan di dalam toilet perempuan terdapat tiga jamban. Penerangan dan
pertukaran udara dalam toilet cukup baik. Lantai dan dinding toilet terlihat bersih, pintu jamban
dapat dibuka-tutup dengan mudah. Terdapat satu wastafel di tiap toilet. Data mengenai septic
tank tidak diketahui. Di gudang tempat penyimpanan kain, toilet juga berfungsi sebagai tempat
untuk mencuci kain untuk melihat apakah kain ini lintur atau tidak. Di gudang, tidak terdapat
perbedaan antara toilet laki-laki dan perempuan.
Pertukaran udara di dalam bangunan pabrik secara keseluruhan masih kurang. Langit-
langit bangunan pabrik cukup tinggi, namun jumlah exhaust fan masih kurang yaitu 6 buah
setiap lantai (diameter 30 cm) untuk ruangan yang berukuran kurang lebih 60 x 20 m2. Pihak
perusahaan juga menyediakan fasilitas air minum melalui “dispenser” (berisi guci keramik)
yang tersedia di beberapa sudut ruangan yang terdiri dari 2 buah di setiap lantai. Galon tampak
kurang bersih dan gelas minum bersih yang tersedia sedikit.
Sarana penerangan di dalam ruangan pada siang hari berupa bagian langit-langit yang
transparan sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari. Selain itu juga disediakan
lampu-lampu meskipun hanya dinyalakan sebagian dengan mempertimbangkan efektivitas biaya.
Jumlah lampu yang ada cukup banyak, namun penerangan pada malam hari tidak dapat kami
nilai karena kunjungan dilakukan pada siang hari.

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja


3.1.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Keselamatan kerja adalah suatu usaha untuk dapat melaksanakan pekerjaan tanpa
kecelakaan, memberikan suasana atau lingkungan kerja yang aman sehingga dapat dicapai hasil
yang menguntungkan dan bebas dari segala macam bahaya.

19
Menurut Suma’mur kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan / kedokteran
beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja / masyarakat pekerja memperoleh derajat
kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun social dengan usaha preventif atau
kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum..
Untuk mengetahui sejauh mana program K3 telah diimplementasikan di perusahaan,
maka manajemen perusahaan harus melakukan audit atau evaluasi di setiap unit kerja yang ada.
Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 pada BABIII
pasal 4 bahwa perusahaan wajib mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja program
Keselamatan dan Kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan.

3.1.2 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Hakikat dan tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu bahwa faktor K3
berpengaruh langsung terhadap efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh terhadap
efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh terhadap efisiensi produksi dari suau
perusahaan industri sehingga dengan demikian mempengaruhi tingkat pencapaian
produktifitasnya. Karena pada dasarnya tujuan K3 adalah untuk melindungi para tenaga kerja
atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan dan untuk menciptakan tenaga kerja yang
sehat dan produktif sehingga upaya pencapaian produktifitas yang semaksimalnya dari suatu
perusahaan industry dapat lebih terjamin.

3.2 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Menurut peraturan menteri tenaga kerja RI (1996;2) adalah : ‘’bagian dari system
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja guna
tercapainya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu system K3 di tempat kerja dengan
melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam

20
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat
yang aman, efisien dan produktif.
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan
atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi
yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan
penyakit akibat kerja wajib menerapkan SMK3.
Pengelolaan SMK3 ini memiliki pola ‘total loss control’ yaitu suatu kebijakan untuk
menghindarkan kerugian bagi perusahaan, property, personil di perusahaan dan lingkungan
melalui penerapan SMK3 yang mengintegrasikan sumber daya manusia, material, peralatan,
proses, bahan, fasilitas dan lingkungan dengan pola penerapan prinsip manajemen yaitu
planning, do, check, dan improvement.

3.3 Masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Kinerja (performa) setiap pekerja merupakan resulatan dari tiga komponen kesehatan
kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja yang dapat menjadi beban
tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka dapat dicapai suatu derajat
kesehatan kerja yang optimal dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat
ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun
kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.

3.3.1. Kapasitas Kerja


Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari
beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori
protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekuramgan zat besi tanpa anemia. Kondisi
kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas
yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian
besar masih diisi oleh pekerja yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam
melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK
dan kecelakaan kerja.

3.3.2. Beban Kerja

21
Pola kerja yang berubah – ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat
terjadinya perubahan pada bioritmik ( irama tubuh ). Faktor lain yang turut memperberat beban
kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan social bagi pekerja yang masih relative rendah, hingga
pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secar berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka
waktu lama dapat menimbulkan stress.

3.3.3. Lingkungan Kerja


Lingkunagan Kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja,
dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja ( Occupational Accident), Penyakit A kibat K erja dan
Pernyakit Akibat Hubungan Kerja ( Occupational Disease & Work Related Diseases).

3.3.3.1. Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang Ditimbulkan


Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh
pemajanan dilingkungan kerja.Untuk mengatasi permasalahan ini maka langkah awal yang
penting adalah identifikasi bahaya yang timbul, kemudian dievaluasi, dan dilakukan
pengendalian. Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkunagan kerja
ditempuh tiga langkah utama, yakni :
1. Pengenalan lingkungan kerja .
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (
walk through inspection) , dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan
dalam upaya kesehatan kerja.
2. Evaluasi lingkungan kerja.
Merupakan tahap penilaian larakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin
timbul sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.
3. Pengendalian lingkungan kerja.
Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat/bahan yang
berbahaya di lingkungan kerja. Ada dua jenis pengendalian lingkungan kerja, yaitu
pengendalian lingkungan ( enviromental Control Measures) berupa penggunan alat
pelindung perorangan, pembatas waktu lamanya pekerja terpajan terhadap bahaya potensial,
serta keberhasilan perorangan dan pakaiannya.

3.4 Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar


3.4.1 Pengertian

22
Pelayanan kesehatan kerja dasar adalah upaya pelayanan yang diberikan pada masyarakat
pekerja secra minimal dan paripurna oleh institusi pelayanan kesehatan kerja dasar.

3.4.2 Tujuan
Tujuan diselenggarakan pelayanan kesehatan kerja dasar pada masyarakat pekerja adalah
untuk menigkatkan produktivitas kerja masyarakat pekerja, dan terciptanya kondisi kerja yang
aman, sehat dan produktif tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya.

3.4.3 Ruang Lingkup


Pelayanan kesehatan kerja dasar mencakup upaya pelayanan paripurna (peningkatan
kesehatan kerja, pencegahan dan penyembuhan PAK & PAHK serta pemulihan PAK & PAHK)
yang meliputi :
1. Pemeriksaan dan seleksi kesehatan calon pekerja
2. Peningkatan mutu dan kondisi tempat kerja
3. Penyerasian kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja
4. Pemeliharaan kesehatan , konseling dan rehabilitasi medis
5. Pembentukan dan pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam pelayanan kesehatan
kerja.

3.4.4 Insitusi Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar


Suatu lembaga yang terlibat dalam memberkan pelayanan kesehatan kerja dasar yang
meliputi : Pos UKK, Poliklinik Perusahaan dan Puskesmas. Poliklinik Perusahaan merupakan
bagian yang sangat penting karena secara structural merupakan bagian dari perusahaan dan
bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan dan Puskesmas.

3.4.5 Jenis Pelayanan Kesehatan Kerja


Jenis pelayananan Kesehatan Kerja dan pelayanan minimal yang diberikan dapat dilihat
pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pelayananan minimal kesehatan kerja


Jenis Pelayananan Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja
Promotif  Konsultasi
 Penyuluhan tentang SOP kerja, risiko pekerjaan dan pencegahannya,
hygiene, dan pemakaian APD.
 Prilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam bekerja
 Inventarisasi pekerjaan agar dapat mengetahui ridiko yang mungkin

23
timbul
 Memberikan masukan tentang kesehatan kerja pada manajemen
 Promosi kesehatan umum
 Sanitasi industry, good house keeping dan potensi risiko di tempat
kerja
 Identifikasi, penillaian dan control terhadap risiko
 Pelatihan P3K
 Pencatatan dan pelaporan

Jenis Pelayanan Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja


Preventif  Identifikasi dan pengukuran potensi risiko kesehatan di tempat kerja
 Merekonebdasikan perbaikan lingkungan kerja
 Penyediaan contoh dan penggunaan APD
 Pemeriksaan kesehatan : sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan
pemerikasaan khusus
 Prosedur tanggap darurat
 Pemantauan kondisi tempat kerja
 Surveilans PAK, PAHK, KK dan penyakit umum
 Pemeriksaan kualitas air minum dan kebersihan kantin
 Pencatatan dan pelaporan
Kuratif  Penyakit umum, PAK, PAHK, dan KK
 Klinik gawat darurat
 Deteksi dini PAK, PAHK, dan KK
 Melakukan upaya rujukan
 Pencatatan dan pelaporan
Rehabilitatif  Melakukan evaluasi tingkat kecacatan pekerja
 Rekomendasi terhadap penempatan kembali pekerja susai
kemampuannya
 Pencatatan dan pelaporan

3.5 Manajemen Risiko


Penerapan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di tempat kerja merupakan upaya
utama dalam mewujudkan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat serta melindungi dan
meningkatkan pemberdayaan pekerja yang sehat, selamat dan berkinerja tinggi dalam aspek
higiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja, bukan merupakan cara yang
tepat untuk mengatasi kemungkinan terjadinya akibat negatif di tempat kerja.
Berkaitan dengan uraian diatas, strategi penerapan manajemen risiko sesungguhnya
sangat dibutuhkan dalam mencapai dan mempertahankan keunggulan suatu organisasi. Berbagai
pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam organisasi atau perusahaan
misalnya:

24
a. Mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar kendali
manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang tidak tepat, karena tidak
semua risiko berada diluar jangkauan kendali organisasi / perusahaan.
b. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal ini merupakan
sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, karena semua aktivitas ditempat kerja sampai
tingkat tertentu selalu mengandung risiko.
c. Menerapkan Manajemen Risiko, dalam pengertian umum, risiko tinggi yang dihadapi
sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan melalui suatu pemikiran
positif diharapkan akan memberikan nilai tambah atau imbalan hasil yang tinggi pula.
Pada prinsipnya manajemen risiko merupakan upaya mengurangi dampak negatif risiko
yang mengakibatkan kerugian pada asset organisasi baik berupa manusia, material, mesin,
metoda, hasil produksi maupun finansial. Secara sistematik dilakukan pengendalian potensi
bahaya serta risiko dalam proses produksi melalui aktivitas :
a. Identifikasi potensi bahaya
b. Penilaian risiko sebagai akibat manifestasi potensi bahaya
c. Penentuan cara pengendalian untuk mencegah atau mengurangi kerugian
d. Penerapan teknologi pengendalian
e. Pemantauan dan pengkajian selanjutnya

3.6 Potensi Bahaya dan Risiko


Potensi bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang mempunyai
kemungkinan mengakibatkan kerugian pada manusia, harta benda maupun lingkungan.
Ditempat kerja, potensi bahaya sebagai sumber risiko khususnya terdapat keselamatan
dan kesehatan di perusahaan akan selalu dijumpai, antara lain berupa :
1. Faktor fisik : kebisingan, cahaya, radiasi, vibrasi, suhu, debu.
2. Faktor kimia : solven, gas, uap, asap, logam berat.
3. Faktor biologik : tumbuhan, hewan, bakteri, virus.
4. Aspek ergonomi : desain, sikap dan cara kerja.
5. Stresor : tekanan produksi, beban kerja, monotoni, kejemuan.
6. Listrik dan sumber energi lainnya.
7. Mesin, peralatan kerja, pesawat.
8. Kebakaran, peledakan, kebocoran.
9. Tata rumah tangga (house keeping).
10. Sistem Manajemen peusahaan.

25
11. Pelaksana / manusia : perilaku, kondisi fisik, interaksi.
Risiko adalah manifestasi atau perwujudan potensi bahaya (hazard event) yang
mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar, tergantung dari cara pengelolaannya,
tingkat risiko mungkin berbeda dari yang paling ringan atau rendah sampai ke tahap yang paling
berat atau tinggi. Melalui analisis dan evaluasi semua potensi bahaya dan risiko, diupayakan
tindakan minimalisasi atau pengendalian agar tidak terjadi bencana atau kerugian lainnya.
Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi :
1. Menentukan personil penilai
Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar
perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan
lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil
penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.
2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai
Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis
pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam
sistematika kerja penilai.
3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja
Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang bersifat
umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah
melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian
kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi
pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait.
4. Identifikasi potensi bahaya
Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja,
misalnya melalui :
a. Inspeksi/survei tempat kerja rutin.
b. Informasi mengenai data kecelakaan kerja dan penyakit serta absensi.
c. Laporan dari Panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja(P2K3) atau supervisor
atau keluhan pekerja.
d. Lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet), dan lain sebagainya.

26
Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk
memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya
tersebut menjadi suatu risiko.
5. Mencari informasi / data potensi bahaya
Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS, petunjuk
teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.
6. Analisis Risiko
Dalam kegiatan ini, semua jenis risiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan,
frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko
tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga
terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.
7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang sangat
menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko,
dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali
dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko.
8. Menentukan langkah pengendalian
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan
kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian
yang dipilih dari berbagai cara seperti :
a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control,
pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman berkaitan
dengan risiko
c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan
berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama sesuai
dengan kebutuhan.

9. Menyusun pencatatan / pelaporan

27
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai
bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai dengan kondisi
yang ada.
10. Mengkaji ulang penelitian
Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat
perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru dan
sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.

3.7. Potensi Bahaya dan Risiko Terhadap Debu


3.7.1. Definisi Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di
udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500
mikron.Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (indoor and out
door pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja.
Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Deposit Particulate Matter
Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya sementara di udara. Partikel ini
akan segera mengendap karena daya tarik bumi.
2.Suspended Particulate Matter
Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap.(Pudjiastuti, 2002).
Debu terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan cair.Debu yang terdiri atas partikel-partikel
padat dapat menjadi 3 macam :
a. Dust
Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar.
Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan,
umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru
b. Fumes

28
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk
gas, biasannya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya
disertaidengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam (Cadmium) dan timbal
( Plumbum).
c. Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan
berukuran sekitar 0,5 mikron.

3.7.2. Sifat-sifat Debu


Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan
turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari
bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1990). Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :
1. Sifat Pengendapan yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi.
2. Permukaan cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh
lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di
tempat kerja.
3. Sifat Penggumpalan. Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah
maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat
kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah debu
membentuk gumpalan.
4. Debu Listrik Statik. Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain
yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya
penggumpalan.
5. Sifat Opsis. Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang
dapat terlihat dalam kamar gelap.
Partikel debu melayang (Suspended Particulated Matter) adalah suatu kumpulan
senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat
kecil, kurang dari 1 mikron sampai maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang
membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel debu
tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative lama dalam keadaan melayang-layang
dan dapat masuk melalui saluran pernafasan. Konsentrasi debu dengan ukuran 5 mikron akan

29
dikeluarkan seluruhnya bila jumlah yang masuk ke saluran nafas kurang dari 10 partikel,
sedangkan seluruhnya bila yang masuk 1.000 partikel maka 10% dari jumlah tersebut akan
ditimbun di dalam jaringan paru (WHO, 1990).
Debu yang berukuran antara 5 – 10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada
saluran nafas bagian atas; yang berukuran antara 3 – 5 mikron tertahan dan tertimbun pada
saluran nafas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1 – 3 mikron disebut debu respirabel
merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkhiolus
terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap
di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1 – 0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar
masuk alveoli; bila membentur alveoli ia dapat tertimbun disitu. Meskipun batas debu respirabel
adalah 5 mikron, tetapi debu dengan ukuran 5 – 10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke
dalam alveoli. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila
jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1.000 partikel per
milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru (WHO, 1990).

3.7.3. Jenis debu


Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu :
1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu daun-daunan,
tembakau dan sebagainya).
2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg, Cd, dan
Arsen).
3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO2, SiO3, dan
lain-lain).
Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik (debu tanah,
batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik), dan debu biologis (virus, bakteri,
kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif (uranium,
tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain).

3.7.4. Pengaruh Partikel Debu Terhadap Pernapasan


Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan.
Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:

30
1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan., ini dapat
menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.
2. Partikel diameter 0,5 – 5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli, ini dapat
menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.
3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah.

Gambar 1 Saluran pernafasan

31
3.7.5. Pengendalian Debu
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu pencegahan
terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang terkena dampak.
1. Pencegahan Terhadap Sumbernya
Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain dengan mengisolasi sumber
agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan ‘Local Exhauster’ atau dengan
melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
2. Pencegahan Terhadap Transmisi
a. Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet Drilling).
b. Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.
3. Pencegahan terhadap Tenaga Kerja
Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker, sarung
tangan.

3.7.6. Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu


Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan
sebagai berikut:
1. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan
warnabangunan dan pengotoran.
2. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori
tumbuhansehingga mengganggu jalannya fotosintesis.
3. Merubah iklim global regional maupun internasional.
4. Menganggu perhubungan/ penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosialekonomi
dimasyarakat.
5. Menganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan
pernafasan dan kanker pada paru-paru.
Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada: solubity (mudah larut), komposisi
kimia, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu.

32
3.7.7. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Paru
Gangguan saluran pernafasan akibat inhalasi debu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain :
1. Faktor debu itu sendiri yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama
perjalanan dan faktor individu berupa mekanisme pertahanan selain itu faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya gangguan paru dapat berupa jenis debu, ukuran partikel, konsentrasi
partikel, lama pajanan, dan kerentanan individu.
2. Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam
waktutertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan industri yang menghasilkan debu akan
memiliki resiko gangguan kesehatan. Makin lama seseorang bekerja pada tempat yang
mengandung debu akan makin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan
saluran pernafasan.
3. Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai resiko tinggi terhadap gangguan
paru terutama yang berumur 40 tahun keatas, dimana kualitas paru dapat memburuk dengan
cepat. Menurut penelitian Juli Soemirat dan kawan-kawan dalam Rosbinawati (2002),
mengungkapkan bahwa umur berpengaruh terhadap perkembangan paru-paru. Semakin
bertambahnya umur maka terjadi penurunan fungsi paru di dalam tubuh. Menurut hasil
penelitian Rosbinawati (2002) ada hubungan yang bermakna secara statistik antara umur
dengan gejala pernapasan. Faktor umur berperan penting dengan kejadian penyakit dan
gangguan kesehatan.
4. Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja
terhadapbahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang
dipakai adalah masker, baik yang terbuat dari kain atau kertas wol
5. Riwayat merokok merokok merupakan faktor pencetus timbulnya gangguan pernapasan,
karena asap rokok yang terhisap dalam saluran nafas akan mengganggu lapisan mukosa
saluran napas. (Antaruddin, 2003).
6. Riwayat penyakit penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetustimbulnya
gangguan pernapasan, karena penyakit yang di derita seseorang akan mempengaruhi kondisi
kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau sementara menderita
penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit sistem
pernapasan jika terpapar debu.

33
3.7.8 Jenis Penyakit Akibat Kerja
Gejala penyakit akibat masuknya debu ke paru antara lain batuk disertai bersin, pilek dan
berlendir sebagai reaksi tubuh serta sesak nafas. Otot polos sekitar saluran nafas terangsang dan
menimbulkan penyempitan. Semakin lama seorang pekerja pada lingkungan kerja debu, endapan
debu di paru semakin tinggi. Gangguan fungsi paru menjadi lebih tinggi bila pekerja merokok.
Keadaan menjadi lebih buruk bila ventilasi udara kurang baik, disamping daya tahan tubuh dan
gizi yang kurang, tidur kurang dari 8 jam perhari dan adanya penyakit lain.
Pneumoconiosis adalah kondisi pada paru yang merupakan hasil pengumpulan debu
mineral pada paru dan sebagai reaksi jaringan paru terhadap paparan debu. Paparan debu kapas
yang terjadi di perusahaan garmen disebut byssinosis. Sedang bila debu silica maka disebut
silicosis. Bila penyebabnya debu asbes disebut asbestosis. Jadi macam pneumoconiosis
tergantung jenis debu yang terhirup.
Pneumokoniosis disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut (Silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) Gejala penyakit ini berupa sakit paru paru, namun berbeda
denganpenyakit TBC paru.
Silikosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan penyakitPneumokonioses.
Penyebabnya adalah silika bebas (SiO2) yang terdapat dalam debu yang dihirup waktu bernafas
dan ditimbun dalam paru paru dengan masa inkubasi 2-4 tahun.
Pekerja yang sering terkena penyakit ini umumnya yang bekerja di perusahaan yang
menghasilkan batu-batu untuk bangunan seperti granit, keramik, tambang timah putih, tambang
besi, tambang batu bara, dan lain lain.Gejala penyakit ini dapat dibedakan pada tingkat ringan
sedang dan berat.
Pada tingkat Ringan ditandai dengan batuk kering, pengembangan paru-paru.Pada tingkat
sedang terjadi sesak nafas tidak jarang bronchial, ronchi terdapat basis paru paru. Pada tingkat
berat terjadi sesak napas mengakibatkan cacat total, hypertofi jantung kanan, kegagalan jantung
kanan.
Anthrakosilikosis ialah pneumokomiosis yang disebabkan oleh silika bebas bersama debu
arang batu. Penyakit ini mungkin ditemukan pada tambang batu bara atau karyawan industri
yang menggunakan bahan batu bara jenis lain. Gejala penyakit ini berupa sesak nafas, bronchitis
chronis batuk dengan dahak hitam (Melanophtys).

34
Asbestosis adalah jenis pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu asbes dengan masa
latennya 10-20 tahun. Gejala yang timbul berupa sesak nafas, batuk berdahak/riak terdengan
rhonchi di basis paru, cyanosis terlihat bibir biru. Gambar radiologi menunjukan adanya titik titik
halus yang disebut “Iground glass appearance”, batas jantung dengan diafragma tidak jelas
seperti ada duri duri landak sekitar jantung (Percupine hearth), jika sudah lama terlihat
penumpukan kapur pada jaringan ikat.
Berryliosis, Penyebabnya adalah debu yang mengandung Berrylium, terdapat pada
pekerja pembuat aliasi berrylium tembaga, pada pembuatan tabung radio, pembuatan
tabungFluorescen pengguna sebagai tenaga atom.
Byssinosis disebabkan oleh debu kapas atau sejenisnya dikenal dengan : Monday
Morning Syndroma”atau”Monday Fightnesí” Sebag gejala timbul setelah hari kerja sesudah
libur, terasa demam, lemah badan, sesak nafas, baruk-batuk, “Vital Capacity” jelas menurun
setelah 5-10 tahun bekerja dengan debu.
Stannosis Penyebab debu bijih timah putih (SnO) sedangkan Siderosis disebabkan oleh
debu yang mengandung (Fe202).

3.7.9 Pengendalian/Pencegahan
Untuk mencegahnya, pekerja yang terpapar debu harus memakai masker. Sedang bila
paparan debu bahan kimia berbahaya diperlukan penggunaan respirator dengan atau tanpa
cartridge. Untuk perusahaan garmen, alat pelindung diri yang perlu dipakai adalah masker biasa.
Untuk para pekerja, termasuk yang terpapar debu harus diperiksa kesehatan secara berkala dan
khusus. Untuk pengguna respirator khusus pemeriksaan fungsi paru (spirometri) menjadi
keharusan guna selalu memberikan kesehatan paru yang setinggi-tingginya disamping pekerja
mengelola hidup dengan lifestyle yang baik.

Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain :


a. Isolasi sumber agar tidak mngeluarkan debu di ruang kerja dengan “ Local Exhauster”atau
dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
b. Subtitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
Pencegahan terhadap transmisi, yaitu :
(a) Memakai metoda basah yaitu, penyiraman lantai, pengeboran basah, (wet drilling).

35
(b) Dengan alat (scrubber, elektropresipitator, ventilasi umum).
Pencegahan terhap tenaga kerjanya antara lain dapat menggunakan Alat Pelindung Diri
(APD) yaitu dengan menggunakan masker.
3.8 Kebisingan

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media
elastis dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai
kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi yaitu frekuensi dan
intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz. Intensitas
atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritma.

Gambar. Tipe intensitas kebisingan (dBA), Zenz,C.(1994) Occupational medicine (2en ed) p.260

Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan:

 Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas


 Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang sempit
 Kebisingan terputus-putus
 Kebisingan impulsif
 Kebisingan impulsif berulang

36
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah soundlevel meter. Alat ini mengukur kebisingan
di antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz.

Pengaruh utama dari kebisingan pada kesehatan adalah kerusakan kepada indera pendengar, yang
menyebabkan ketulian progresif dan akibat ini telah diketahui dan diterima umum untuk berabad
lamanya. Dengan kemampuan higiene perusahaan dan kesehatan kerja, akibat buruk ini dapat
dicegah. Mula-mula efek kebisingan pada pendengar adalah sementara dan pemulihan terjadi
secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising. Tetapi kerja terus-menerus di tempat
bising berakibat kehilangan daya dengar menetap dan tidak pulih kembali. Lingkungan kerja
industri, tingkat kebisingan biasanya tinggi sehingga harus ada batas waktu pajanan kebisingan.

Batasan kebisinganyang diberikan oleh The Workplace and Safety (Noise) ComplianceStandar
1995, SL No 381 adalah 8 jam terus menerus pada level tekanansuara 85 dB (A), dengan refrensi
20 micropascal. (20)Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999tentang
kebisingan adalah sebagai berikut :

Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yangdapat dikelompokkan secara


bertingkat sebagai berikut :

a. Gangguan fisiologis

Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbulakibat bising, dengan kata lain
fungsi pendengaran secara fisiologisdapat terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam
pekerjaan tidakdapat didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguanlain seperti:
kecelakaan. Pembicaraan terpaksa berteriak-teriaksehingga memerlukann tenaga ekstra dan juga
menambahkebisingan. Di samping itu kebisingan dapat juga mengganggu“Cardiac Out Put” dan
tekanan darah.Pada berbagai penyelidikan ditemukan bahwa pemaparanbunyi terutama yang
mendadak menimbulkan reaksi fisiologisseperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme,
gangguan tidurdan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi padapermulaan
pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali padakeadaan semula. Bila terus menerus

37
terpapar maka akan terjadiadaptasi sehingga perubahan itu tidak tampak lagi. Kebisingan
dapatmenimbulkan gangguan fisiologis melalui tiga cara yaitu:

1). Sistem internal tubuh

Sistem internal tubuh adalah sistem fisiologis yang penting untuk kehidupan. Sebenarnya proses
adaptasi sendiri adalah indikasi dariperubahan fungsi tubuh karenanya tidak begitu
disukai.Kebisingan yang tinggi juga dapat mengubah ketetapankoordinasi gerakan,
memperpanjang waktu reaksi danmenaikkan respon waktu, semuanya ini dapat berkahir
denganhuman error.

b. Gangguaan psikologis

Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkangangguan psikologis. Kebisingan dapat


mempengaruhi stabilitasmental dan reaksi psikologis, seperti rasa khawatir, jengkel, takutdan
sebagainya. Stabilitas mental adalah kemampuan seseorangnuntuk berfungsi atau bertindak
normal. Suara yang tidak dikehendakimemang tidak menimbulkan mental illness akan tetapi
dapatmemperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada.

c. Gangguan patologis organis

Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalahpengaruhnya terhadap alat pendengaran atau
telinga, yang dapatmenimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen.(1)

Kelainan yang timbul pada telinga akibat bising terjadi tahap demi

tahap sebagai berikut:

1). Stadium adaptasi

Adaptasi merupakan suatu daya proteksi alamiah dan keadaanyang dapat pulih kembali, atau
kata lain sifatnya reversible.

2). Stadium “temporary threshold shiff”

Disebut juga “audtory fatigue” yang merupakan kehilanganpendengaran “reversible” sesudah 48


jam terhindar dari bisingitu. Batas waktu yang diperlukan untuk pulih kembali sesudahterpapar
bising adalah 16 jam. Bila pada waktu bekerjakeesokan hari pendengaran hanya sebagian yang
pulih makaakan terjadi “permanent hearing lose”.

3). Stadium “persistem trehold shiff”

Dalam stadium ini ambang pendengaran meninggi lebih lama,sekurang-kurangnya 48 jam


setelah meninggalkan lingkunganbising, pendengaran masih terganggu.

4). Stadium “permanent trehold shiff”

38
Pada stadium ini meningginya ambang
pendengaran menetapsifatnya, gangguan
ini banyak ditemukan dan tidak
dapatdisembuhkan. Tuli akibat bising ini
merupakan tuli persepsiyang kerusakannya
terdapat dalam cochlea berupa
rusaknyasyaraf pendengaran.

Proses terjadinya gangguan pendengaran


terjadi secaraberangsur-angsur, yaitu mula-
mula tidak terasa adanya
gangguanpendengaran, baru setelah
penderita sadar bahwa ia
memerlukansuara-suara keras untuk
sanggup mendengarkan suatu
percakapandiketahui adanya gangguan
pendengaran. Pergeseran
ambangpendengaran nampak dalam tahun-tahun pertama terpaparkebisingan. Orang yang belum
pernah berada dalam kebisinganbiasanya menunjukkan perbaikan yang bagus setelah dipindakan
darikebisingan, sedangkan orang yang sudah bertahun-tahun terkenabising dan tuli agak berat
sekali kemungkinan untuk pulih.

d. Komunikasi

Kebisingan dapat menganggu pembicaraan. Paling pentingdisini bahwa kebisingan menganggu


kita dalam menangkap danmengerti apa yang di bicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa:

1). Percakapan langsung (face to face).

2). Percakapan telepon.

3). Melalui alat komunikasi lain, misalnya radio, televisi danpidato.

Tempat dimana komunikasi tidak boleh terganggu olehsuara bising adalah sekolah, area latihan
dan test, teater, pusatkomunikasi militer, kantor, tempat ibadah, perpustakaan,rumah sakit dan
laboratorium. Banyaknya suara yang bisadimengerti tergantung dari faktor seperti : level
suarapembicaraan, jarak pembicaraan dengan pendengaran,bahasa/kata yang dimengerti, suara
lingkungan danfaktor-faktor lain.

39
3.9. Cahaya

Cahaya merupakan satu bagian berbagai jenis gelombang elektromagnetis yang terbang ke
angkasa dimana gelombang tersebut memiliki panjang dan frekuensi tertentu yang nilainya dapat
dibedakan dari energy cahaya lainnya dalam spectrum elektromagnetisnya (Suhadri, 2008).

Menurut Kepmenkes no. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.

3.9.1 Sistem Pencahayaan

Menurut Prabu dalam Firmansyah (2010), ada 5 sistem pencahayaan di ruangan, yaitu:

1. Sistem pencahayaan langsung (direct lighting)

Pada sistem ini 90%-100% cahaya diarahkan secara langsung ke benda yang perlu
diterangi.Sistem ini dinilai paling efektif dalam mengatur pencahayaan, tetapi ada kelemahannya
karena dapat menimbulkan bahaya serta kesilauan yang mengganggu, baik karena penyinaran
langsung maupun karena pantulan cahaya.Untuk efek yang optimal, disarankan langi-langit,
dinding serta benda yang ada di dalam ruangan perlu diberi warna cerah agar tampak
menyegarkan.

2. Pencahayaan semi langsung (semi direct lighting)

Pada sistem ini 60%-90% cahaya diarahkan langsung pada benda yang perlu diterangi,
sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.Dengan sistem ini kelemahan sistem
pencahayaan langsung dapat dikurangi.Diketahui bahwa langit-langit dan dinding yang diplester
putih memiliki pemantulan 90%, apabila dicat putih pemantulan antara 5%-90%.

3. Sistem pencahayaan difus (general diffuse lighting)

Pada sistem ini setengah cahaya 40%-60% diarahkan pada benda yang perlu disinari, sedangkan
sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.Dalam pencahayaan sistem ini termasuk sistem
direct-indirect yakni memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya keatas.Pada sistem ini
masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui.

4. Sistem pencahayaan semi tidak langsung (semi indirect lighting)

Pada sistem ini 60%-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian atas, sedangkan
sisanya diarahkan ke bagian bawah.Untuk hasil yang optimal disarankan langit-langit perlu
diberikan perhatian serta dirawat dengan baik.Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak
ada serta kesilauan dapat dikurangi.

5. Sistem pencahayaan tidak langsung (indirect lighting)

40
Pada sistem ini 90%-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian atas kemudian
dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan.Agar seluruh langit-langit dapat menjadi sumber
cahaya, perlu diberikan perhatian dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini adalah
tidak menimbulkan bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya mengurangi effisien cahaya
total yang jatuh pada permukaan kerja.

3.9.2 Jenis-Jenis Sistem Pencahayaan

Beberapa jenis dan komponen sistem pencahayaan adalah (Suhadri, 2008):

1. Lampu pijar (GLS)

Lampu pijar bertindak sebagai badan abu-abu yang secara selektif memancarkan radiasi, dan
hampir seluruhnya terjadi pada daerah nampak. Bola lampu terdiri dari hampa udara atau berisi
gas, yang dapat menghentikan oksidasi dari kawat pijar tungsten, namun tidak akan
menghentikan penguapan. Warna gelap bola lampu dikarenakan tungsten yang teruapkan
mengembun pada permukaan lampu yang relatif dingin. Dengan adanya gas inert, akan menekan
terjadinya penguapan, dan semakin besar berat molekulnya akan makin mudah menekan
terjadinya penguapan. Untuk lampu biasa dengan harga yang murah, digunakan campuran argon
nitrogen dengan perbandingan 9/1.Kripton atau Xenon hanya digunakan dalam penerapan
khusus seperti lampu sepeda dimana bola lampunya berukuran kecil, untuk mengimbangi
kenaikan harga, dan jika penampilan merupakan hal yang penting.Gas yang terdapat dalam bola
pijar dapat menyalurkan panas dari kawat pijar, sehingga daya hantar yang rendah menjadi
penting.Lampu yang berisi gas biasanya memadukan sekering dalam kawat timah.Gangguan
kecil dapat menyebabkan pemutusan arus listrik, yang dapat menarik arus yang sangat tinggi.Jika
patahnya kawat pijar merupakan akhir dari umur lampu, tetapi untuk kerusakan sekering tidak
begitu halnya.

Ciri-cirinya adalah:

a. Efficacy 12 lumens/watt

b. indeks perubahan warna – 1 A

c. Suhu warna hangat (2500K – 2700K)

d. Umut lampu – 2000 jam

2. Lampu tungsten – halogen

Lampu halogen adalah sejenis lampu pijar.Lampu ini memiliki kawat pijar tungsten seperti
lampu pijar biasa yang digunakan di rumah, tetapi bola lampunya diisi dengan gas halogen.Atom
tungsten menguap dari kawat pijar panas dan bergerak naik ke dinding pendingin bola
lampu.Atom tungsten, oksigen dan halogen bergabung pada dinding bola lampu membentuk
molekul oksihalida tungsten.Suhu dinding bola lampu menjaga molekul oksihalida tungsten

41
dalam keadaan uap.Molekul bergerak kearah kawat pijar panas dimana suhu tinggi memecahnya
menjadi terpisah-pisah. Atom tungsten disimpan kembali pada daerah pendinginan dari kawat
pijar – bukan ditempat yang sama dimana atom diuapkan. Pemecahan biasanya terjadi dekat
sambungan antara kawat pijar tungsten dan kawat timah molibdenum dimana suhu turun secara
tajam.

Ciri-cirinya adalah :

a. Efficacy 18 lumesn/watt

b. Indeks perubahan warna – 1 A

c. Suhu warna hangat (3000K – 3200K)

d. Umur lampu – 4000 jam

Kelebihan dari lampu ini adalah:

a. Lebih kompak

b. Umur lebih panjang

c. Lebih banyak cahaya

d. Cahaya lebih putih (suhu warna lebih tinggi)

Kekurangan dari lampu ini adalah:

a. Lebih mahal

b. IR meningkat

c. UV meningkat

d. Masalah handling

3. Lampu neon

Lampu neon, 3 hingga 5 kali lebih efisien daripada lampu pijar standar dan dapat bertahan 10
hingga 20 kali lebih awet. Dengan melewatkan listrik melalui uap gas atau logam
akanmenyebabkan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan
komposisi kimia dan tekanan gasnya. Tabung neon memiliki uap merkuri bertekanan rendah, dan
akan memancarkan sejumlah kecil radiasi biru/ hijau, namun kebanyakan akan berupa UV pada
253,7nm dan 185nm.

Bagian dalam dinding kaca memiliki pelapis tipis fospor, hal ini dipilih untuk menyerap radiasi
UV dan meneruskannya ke daerah nampak.Proses ini memiliki efisiensi sekitar 50%.Tabung

42
neon merupakan lampu ‘katode panas’, sebab katode dipanaskan sebagai bagian dari proses
awal.Katodenya berupa kawat pijar tungsten dengan sebuah lapisan barium karbonat. Jika
dipanaskan, lapisan ini akan mengeluarkan electron tambahan untuk membantu pelepasan.
Lapisan ini tidak boleh diberi pemanasan berlebih sebab umur lampu akan berkurang. Lampu
menggunakan kaca soda kapur yang merupakan pemancar UV yang buruk. Jumlah merkurinya
sangat kecil, biasanya 12 mg. Lampu yang terbaru menggunakan amalgam merkuri, yang
kandungannya sekitar 5 mg. Hal ini menyebabkan tekanan merkuri optimum berada pada kisaran
suhu yang lebih luas. Lampu ini sangat berguna bagi pencahayaan luar ruangan karena memiliki
fitting yang kompak.

3.9.3 Komponen Pencahayaan

Elemen yang paling penting dalam perlengkapan cahaya, selain dari lampu, adalah
reflector.Reflektor berdampak pada banyaknya cahaya lampu mencapai area yang diterangi dan
juga pola distribusi cahayanya.Reflektor biasanya menyebar (dilapisi cat atau bubuk putih
sebagai penutup) atau specular (dilapis atau seperti kaca).Tingkat pemantulan bahan reflector
dan bentuk reflektor berpengaruh langsung terhadap efektifitas dan efisiensi fitting.Tabel berikut
menggambarkan reflektan sebagai persentase cahaya.

Tabel Reflektan sebagai Persentase Cahaya

(Sumber : Suhadri, 2008)

Bahan Warna Reflektan


(%)

Putih 100

Aluminium, kertas putih 80 - 85

Warna gading, kuning lemon, kuning dalam, hijau muda, biru pastel, pink, pale, krim 60 – 65

Hijau lime, abu-abu plae, pink, orange dalam, bluegrey 30 – 35

Biru langit, kayu pale 40 – 45

Pale oakwood, semen kering 30 – 35

Merah dalam, hijau rumput, kayu, hijau daun, coklat 20 – 25

Biru gelap, merah purple, coklat tua 10 – 15

43
Hitam 0

3. 9.4 Dampak Penerangan

Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seorang tenaga kerja melihat
pekerjaaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu
menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sifat dari penerangan yang baik
ditentukan oleh:

 Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan


 Pencegahan kesilauan
 Arah sinar
 Warna
 Panas penerangan terhadap lingkungan

Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan
penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan
mengakibatkan (Suhadri, 2008):

1. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.

2. Kelelahan mental.

3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.

4. Kerusakan indra mata dan lain-lain.

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan
performansi kerja, termasuk (Suhadri, 2008):

1. Kehilangan produktivitas

2. Kualitas kerja rendah

3. Banyak terjadi kesalahan

4. Kecelakan kerja meningkat

3.9.5 Merancang Sistem Pencahayaan

44
Menurut Suhadri (2008), setiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan pada permukaannya.
Pencahayaan yang baik menjadi penting untuk menampilkan tugas yang bersifat visual.
Pencahayaan yang lebih baik akan membuat orang bekerja lebih produktif. Membaca buku dapat
dilakukan dengan 100 sampai 200 lux.Hal ini merupakan pertanyaan awal perancang sebelum
memilih tingkat pencahayaan yang benar.CIE (Commission International de l’Eclairage) dan
IES (Illuminating Engineers Society) telah menerbitkan tingkat pencahayaan yang
direkomendasikan untuk berbagai pekerjaan.Nilai nilai yang direkomendasikan tersebut telah
dipakai sebagai standar nasional dan internasional bagi perancangan pencahayaan.Pertanyaan
kedua adalah mengenai kualitas cahaya.Dalam kebanyakan konteks, kualitas dibaca sebagai
perubahan warna.Tergantung pada jenis tugasnya, berbagai sumber cahaya dapat dipilih
berdasarkan indeks perubahan warna.

Tabel 2.4 Area Kegiatan dan Tingkat Penerangan

Tingkat
Penerangan Area Kegiatan
(Lux)

Pencahayaan umum 20 Layanan penerangan yang minimum dalam area sirkulasi


untuk ruangan dan area luar ruangan, pertokoan di daerah terbuka, halaman
yang jarang digunakan tempat penyimpanan
dan/atau tugas-tugas
atau visual sederhana 50 Tempat pejalan kaki dan panggung

70 Ruang boiler

100 Halaman trafo, ruangan tungku

150 Area sirkulasi di industri, pertokoan dan ruang penyimpan

Pencahayaan umum 200 Layanan penerangan yang minimum tugas


untuk interior
300 Meja dan mesin kerja ukuran sedang, proses umum dalam
industri kimia dan makanan, kegiatan membaca dan
membuat arsip

450 Gantungan baju, pemeriksaan, kantor untuk menggambar,


perakitan mesin dan bagian yang halus, pekerjaan warna,
tugas menggambar kritis

45
Tabel 2.5 Area Kegiatan dan Tingkat Penerangan (Lanjutan)

Tingkat
Penerangan Area Kegiatan
(Lux)

Pencahayaan tambahan 1500 Pekerjaan mesin dan di aras meja yang sangat halus,
setempat untuk tugas perakitan mesin presisi kecil dan instrumen, komponen
visual yang tepat elektronik, pengukuran dan pemeriksaan. Bagian kecil
yang rumit (sebagian mungkin diberikan oleh tugas
pencahayaan setempat)

3000 Pekerjaan berpresisi dan rinci sekali, misal instrumen


yang sangat kecil, pembuatan jam tangan, pengukiran

(Sumber : Suhadri, 2008)

Sedangkan menurut PMP no. 7 tahun 1964, tingkat penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas)
di tempat kerja tercantum dalam tabel 2.4

Tabel 2.6 Tingkat Penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas)

di Masing-Masing Area Kerja

Tingkat
Area Kegiatan Penerangan
Minimal (Lux)

Penerangan darurat 5 lux

Penerangan untuk halaman dan jalan dalam lingkungan perusahaan 20 lux

Pekerjaan yang membedakan barang kasar, seperti: 50 lux

1. Mengerjakan bahan-bahan kasar

46
2. Mengerjakan arang atau abu

3. Mengerjakan barang-barang yang besar

4. Mengerjakan bahan tanah atau batu

5. Gang-gang, tangga di dalam gedung yang selalu dipakai

6. Gudang-gudang untuk menyimpan barang-barang besar dan kasar

Pekerjaan yang membedakan barang-barang kecil secara sepintas, seperti: 100 lux

1. Mengerjakan barang-barang besi dan baja yang setengah selesai

2. Pemasangan yang kasar

3. Penggilingan padi

4. Pengupasan/pengambilan dan penyisihan bahan kapas

5. Mengerjakan bahan-bahan pertanian

6. Kamar mesin dan uap

7. Alat pengangkut orang dan barang

8. Ruang-ruang penerimaan dan pengiriman dengan kapal

9. Tempat menyimpan barang-barang sedang dan kecil

10. Kakus, tempat mandi dan tempat kencing

Tabel 2.6 Tingkat Penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas)

di Masing-Masing Area Kerja (lanjutan)

Tingkat
Area Kegiatan Penerangan
Minimal (Lux)

47
Pekerjaan membeda-bedakan barang-barang kecil agak teliti, seperti: 200 lux

1. Pemasangan alat-alat yang sedang (tidak kasar)

2. Pekerjaan mesin dan bubut yang kasar

3. Pemeriksaan atau percobaan kasar terhadap barang-barang

4. Menjahit tekstil atau kulit yang berwarna muda

5. Pemasukan dan pengawetan bahan-bahan makanan dalam kaleng

6. Pembungkusan daging

7. Mengerjakan kayu

8. Melapis perabot

Pekerjaan perbedaan yang teliti daripada barang-barang kecil, seperti: 300 lux

1. Pekerjaan mesin yang teliti

2. Pemeriksaan yang teliti

3. Percobaan-percobaan yang teliti dan halus

4. Pembuatan tepung

5. Penyelesaian kulit dan penenunan bahan-bahan katun atau wol


berwarna muda

6. Pekerjaan kantor yang berganti-ganti menulis dan membaca,


pekerjaan arsip dan seleksi surat-surat

Pekerjaan membeda-bedakan barang-barang halus dengan kontras sedang 500-1000 lux


dan dalam waktu yang lama, seperti:

1. Pemasangan yang halus

2. Pekerjaan-pekerjaan mesin yang halus

3. Pemeriksaan yang halus

4. Penyemiran yang halus dan pemotongan gelas kaca

5. Pekerjaan kayu yang halus (ukir-ukiran)

48
6. Penjahit bahan-bahan wol yang berwarna tua

7. Akuntan, pemegang buku, pekerjaan steno, mengetik atau pekerjaan


kantor yang lama dan teliti

Pekerjaan yang membedakan barang-barang yang sangat halus dengan Paling sedikit
kontras yang sangat kurang untuk waktu yang lama, seperti: 1000 lux

1. Pemasangan ekstra halus (arloji, dll)

2. Pemeriksaan yang ekstra halus (ampul obat)

3. Percobaan alat-alat yang ekstra halus

4. Tukang mas dan intan

5. Penilaian dan penyisihan hasil-hasil tembakan

6. Penyusunan huruf dan pemeriksaan copy dalam percetakan

7. Pemeriksaan dan penjahitan bahan pakaian berwarna tua

Nilai pantulan (Reflektan) yang dianjurkan menurut Suma’mur dalam Firmansyah (2010) dapat
dilihat pada tabel:

Tabel 2.7 Nilai Pantulan (Reflektan)

(Sumber : Suma’mur dalam Firmansyah, 2010)

N
Jenis Permukaan Reflektan (%)
o

1 Langit-langit 80 -90

2 Dinding 40 – 60

3 Perkakas (mebel) 25 – 45

4 Mesin dan perlengkapannya 30 – 50

5 Lantai 20 – 40

49
3.9.6 Pendekatan Aplikasi Penerangan di Tempat Kerja

Menurut Suhadri (2008), aplikasi penerangan di tempat kerja, secara umum dapat dilakukan
melalui 4 (empat) pendekatan, yaitu:

1. Desain tempat kerja untuk menghindari masalah penerangan.

Kebutuhan intensitas penerangan bagi pekerja harus selalu dipertimbangkan pada waktu
mendesain bangunan, pemasangan mesin-mesin, alat dan sarana kerja. Desain instalasi
penerangan harus mampu mengontrol cahaya kesilauan, pantulan dan bayang-bayang serta untuk
tujuan kesehatan dan keselamatan kerja

2. Identifikasi dan penilaian problem dan kesulitan penerangan.

Agar masalah penerangan yang muncul dapat ditangani dengan baik, faktor-faktor yang harus
diperhitungkan adalah: sumber penerangan, pekerja dalam melakukan pekerjaannya, jenis
pekerjaan yang dilakukan dan lingkungan kerja secara keseluruhan.

3. Penggunaan pencahayaan alami siang hari

Manfaat dari pemakaian cahaya alami pada siang hari sudah dikenal dari pada cahaya listrik,
namun cenderung terjadi peningkatan pengabaian terutama pada ruang kantor modern yang
berpenyejuk dan perusahaan komersial seperti hotel, plaza perbelanjaan dan sebagainya.

Sebuah rancangan yang bagus yang memadukan kaca atap dengan bahan FRP bersamaan dengan
langit-langit transparan dan tembus cahaya dapat memberikan pencahayaan bagus bebas silau;
langit-langit juga akan memotong panas yang datang dari cahaya alami.

Pemakaian atrium dengan kubah FRP pada arsitektur dasar dapat menghilangkan penggunaan
cahaya listrik pada lintasan gedung-gedung tinggi.

Cahaya alam dari jendela harus juga digunakan.Walau begitu, hal ini harus dirancang dengan
baik untuk menghindari silau.Rak cahaya dapat digunakan untuk memberikan cahaya alami
tanpa silau.

Menurut Kepmenkes no. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri, agar pencahayaan memenuhi persyaratan kesehatan, perlu dilakukan
tindakan sebagai berikut:

1. Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan kesilauan dan
memiliki intensitas sesuai dengan peruntukannya.

2. Kontras sesuai dengan kebutuhan, hindarkan terjadinya kesilauan atau bayangan.

3. Untuk ruang kerja yang menggunakan peralatan berputar dianjurkan untuk tidak
menggunakan lampu neon.

50
4. Penempatan bola lampu dapat menghasilkan penyinaran yang optimum dan bola lampu
sering dibersihkan.

5. Bola lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik segera diganti.

3.9.7 Pengukuran Intensitas Cahaya di Dalam Ruang Kerja

Menurut SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja,


pengukuran intensitas penerangan di tempat kerja menggunakan alat luxmeter.Alat ini mengubah
energi cahaya menjadi energi listrik, kemudian energi listrik dalam bentuk arus digunakan untuk
menggerakkan jarum skala.Untuk alat digital, energy listrik diubah menjadi angka yang dapat
dibaca pada layar monitor.

Prosedur kerja pengukuran intensitas cahaya dalam ruang kerja menurut SNI 16-7062-2004
tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja adalah sebagai berikut:

1. Luxmeter dikalibrasi oleh laboratorium yang terakreditasi

2. Menentukan titik pengukuran, penerangan setempat atau penerangan umum

Penerangan setempat adalah penerangan yang mengenai obyek kerja, berupa meja kerja maupun
peralatan.Bila meja kerja yang digunakan oleh pekerja, maka pengukuran dapat dilakukan di atas
meja yang ada. Denah pengukuran intensitas penerangan setempat seperti berikut:

Penerangan umum adalah titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan pada setiap
jarak tertentu setinggi satu meter dari lantai. Jarak tertentu tersebut dibedakan luas ruangan
sebagai berikut:

a. Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi: titik potong garis horizontal panjang dan lebar
ruangan adalah pada jarak setiap 1(satu) meter.

51
b. Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi: titik potong garis
horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 (tiga) meter.

c. Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: titik potong horizontal panjang dan lebar
ruangan adalah pada jarak 6 meter.

(selengkapnya bisa dilihat di SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di


Tempat Kerja)

3. Syarat-syarat dalam pengukuran:

a. Pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan dilakukan

b. Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi pekerjaan.

4. Penggunaan luxmeter:

a. Hidupkan luxmeteryang telah dikalibrasi dengan membuka penutup sensor

b. Bawa alat ke tempat titik pengukuran yang telah ditentukan, baik pengukuran untuk
intensitas penerangan setempat atau umum.

c. Baca hasil pengukuran pada layar monitor setelah menunggu beberapa saat sehingga
didapat nilai angka yang stabil.

d. Catat hasil pengukuran pada lembar hasil pencatatan untuk intensitas penerangan setempat

52
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja dipengaruhi oleh
beberapa factor resiko, meliputi kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai,
proses produksi, cara kerja,limbah perusahaan dan hasil produksi. Ratusan juta tenaga kerja di
seluruh dunia bila bekerja pada kondisi yang tidak nyaman dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan. Menurut International   Labor   Organization  (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000
kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat
kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap
tahunnya
Dari 11 (sebelas) proses pengerjaan industri di PT.BBI, keseluruhannya terpapar dengan
hazard cahaya, dimana 10 diantaranya terpapar dengan hazard debu dan 1 bagian lainnya
terpapar dengan hazard bising diatas NAB.

4.1 Bahaya Potensial Debu


Paparan hazard debu yang berlangsung lama secara terus menerus terhadap para pekerja
diindustri garment ini dapat memicu gangguan kesehatan yang dapat menyebabkan penurunan
kinerja produktifitas perusahaan. Paparan debu 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran
pernafasan bagian atas, 3-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah, 1-3
mikron sampai dipermukaan alveoli, 0,5-0,1 mikron hinggap dipermukaan alveoli/selaput lendir

53
sehingga menyebabkan vibrosis paru, 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli. Depkes
mengisaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron.
Debu yang ditemukan bisa berasal dari serat-serat kain pada saat proses produksi. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya data dipoliklinik perusahaan dilantai 2 yang menunjukkan
bahwa angka kunjungan tertinggi pada februari 2013 adalah ispa 51 orang dan diikuti oleh sakit
kepala dan alergi masing-masing 26 orang.
Sebagai langkah pengendalian pihak perusahaan telah menerapkan :
a) Eliminasi
Dengan pemakaian sistem ventilasi silang. Untuk lantai 1 ventilasi masih kurang dari
15% luas lantai, sedangkan untuk lantai 2 ventilasi lebih dari 15% luas lantai. (hal ini
sesuai dengan Keputusan Menkes RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan kerjaperkantoran dan industri, syarat untuk ruangan kerja yang
tidak ber AC harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai. Didalam
pabrik PT.BBI dilantai 1 telah terpasang exhause fan sebanyak 3 buah dengan blower 1
buah (tidak hidup) dan kipas angin kecil 2 buah. Sedangkan untuk lantai 2 exhause fan
sebanyak 6 buah, blower 2 dan kipas angin kecil 7 buah. Hal ini masih dirasa kurang
oleh karena pencahayaan dari lampu yang banyak dan kurangnya lubang angin serta
banyaknya tenaga kerja dilantai tersebut.

b) Isolasi
Pembersihan ruangan oleh cleaning servis rutin setiap hari.

c) Alat Pelindung Diri


Perusahaan menganjurkan dan menyediakan masker untuk para karyawan, tetapi masih
ditemukan karyawan yang tidak memakai masker pada saat bekerja, dengan alasan
diantaranya tidak nyaman dengan pemakaian masker.

d) Administrative
Adanya tanda untuk menghindari daerah yang terdapat hazard tanpa alat pelindung diri
dan adanya prosedur cara pemakaian alat pelindung diri yang dibutuhkan untuk area
tersebut mutlak harus dimiliki oleh perusahaan. Untuk hal ini PT. BBI telah membuat
tanda bahaya dan tata cara mengenakan alat pelindung diri tetapi tetap ada pekerja yang
tidak mematuhi peraturan tersebut.

54
d.2. BAHAYA POTENSIAL BISING
Efek pemaparan bising terhadap tenaga kerja, meliputi ; (i) Kebisingan dapat mengganggu
konsentrasi dimana pada suatu lokasi kerja konsentrasi ini diutamakan terutama untuk pekerjaan -
pekerjaan yang memerlukan banyak berpikir, berperan meningkatkan kelelahan (ii)Berbicara di dalam
suasana bising akan memerlukan energi yang lebih banyak karena harus berteriak – teriak, (ii) Salah
memahami perkataan, perintah, atau peringatan keamanan yang penting menyangkut pekerjaan, sehingga
akibatnya akan terjadi kecelakaan, juga dapat terjadi gangguan pendengaran, gangguan psikologis, cepat
marah,mudah tersinggung, perut mual, kepala pusing, susah tidur, gangguan tubuh lainya:konsentrasi
pembuluh darah, perifer, tungkai bawah, penigkatan kadar adrenalin darah, ketegangan otot daerah paha,
peningkatan peristaltik lambung dan usus.
Di pabrik ditemukan nilai bising 99,9 dB di bagian mesin pound yang merupakan nilai
yang jauh diatas NAB. Pada bagian ini tidak ditemukan APD berupa ear muff untuk
pekerja. Sedangkan dibagian lain untuk mengurangi efek kebisingan, perusahaan
menyediakan alat pelindung diri berupa ear muff untuk yang bekerja di mesin kebut,
sedangkan di bagian-bagian yang lain tidak ditemukan. Hal ini seharusnya menjadi
pertimbangan perusahaan bahwa bagian dengan nilai bising tertinggi seharusnya mendapat
ear muff sebagai APD namun kenyataannya tidak demikian.

d.3. BAHAYA POTENSIAL CAHAYA


Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seorang tenaga
kerja melihat pekerjaaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta
membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan .

Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan
penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan
mengakibatkan kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja, kelelahan
mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata, kerusakan indra mata dan
lain-lain. Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan
performansi kerja, termasuk kehilangan produktivitas, kualitas kerja rendah, banyak terjadi
kesalahan dan kecelakan kerja meningkat

Di PT. BBI pencahayaan yang didapat dari hasil pengukuran dengan alat lux meter menunjukkan rata-
rata angka lux meter dibawah 100, sebagai nilai yang dianjurkan dalam Kepmenaker No. 15/Men/1999.
Oleh karena itu perusahaan menambahkan alat penerangan tambahan dibeberapa bagian produksi yang
membutuhkan ketelitian tertentu dalam proses pengerjaannya.

55
d.4. PELAYANAN KESEHATAN

Untuk pelayanan kesehatan tenaga kerja, PT.BBI mempunyai sebuah poliklinik dilantai dua
pabrik yang dijaga oleh satu orang perawat. Perawat ini bertugas setiap hari kerja tanpa
shift/giliran dari pukul 07.30 s/d 16.30 WIB. Jika lembur diperpanjang sampai pukul 19.30 WIB.
Perawat ini bertugas untuk menangani masalah P3K dan masalah kesehatan yang ringan. Jika
masalah kesehatan yang dihadapi memerlukan penanganan lebih lanjut maka akan dirujuk ke
RS. Mediros dan RS. St. Carolus yang bekerja sama dengan perusahaan.
Perusahaan juga menerima reimburstment jika karyawan berobat ke RS lain yang tidak bekerja
sama dengan perusahaan.
Sebaiknya, untuk perusahaan yang memiliki jumlah karyawan yang lebih dari 500 orang
minimal harus mempunyai 1 orang dokter perusahaan yang selalu ada setiap hari. Dokter
perusahan tersebut dibantu oleh sedikitnya 2 perawat yang ahrus ada setiap hari dan mempunyai
kader-kader kesehatan yang sudah terlatih di setiap bagian produksi.
Perusahaan juga mengadakan medical check up untuk karyawan 2 kali dalam setahun
bergiliran. Hal ini tidak sesuai dengan undang-undang Permenakertrans no. 02/1980 tentang
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
Perusahaan hanya menyediakan Jamsostek berupa jaminan masa tua. Padahal menurut
undang-undang seharusnya pekerja ditanggung untuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, dan jaminan kematian.

56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan kelompok kami di PT. Bina Busana
Internusa (BBI) pada tanggal 25 maret 2013 ditemukan beberapa hal yang belum
sesuai dengan ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
Evaluasi faktor fisik dimulai dari bahaya paparan debu. Ditinjau dari alur
produksi pada PT. BBI, risiko tinggi bahaya paparan debu tertinggi terdapat pada
proses cutting bahan, interlining, dan finishing. Menurut penilaian kami usaha
pencegahan yang dilakukan belum optimal , karena penggunaan APD yang tidak
semestinya. Para pekerja seringkali tidak menggunakan APD yang telah
disediakan oleh perusahaan atau tidak menggunakan dengan benar.
Faktor paparan bising terbanyak ditemukan pada proses produksi
interlining yang melibatkan mesin pound. Efek paparan bising yang ditimbulkan
oleh mesin pound tersebut belum mendapat perhatian dari pihak manajemen. Hal
ini dapat dilihat dari tidak adanya APD pada pekerja di posisi ini.
Selanjutnya sebagai evaluasi faktor paparan cahaya, ada beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian. Pada sebagian besar proses produksi, ditemukan
pencahayaan yang kurang. Hal ini dapat menjadi risiko bagi pekerja tersebut.
Sistem pelayanan kesehatan yang diberikan kepada karyawan kurang
memadai. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya dokter di perusahaan tersebut.

5.2. SARAN
1. Edukasi dan motivasi karyawan mengenai pentingnya penggunaan APD
dengan benar.
2. Penambahan sumber cahaya terutama pada aktivitas yang memerlukan
ketelitian tinggi.

57
3. Penambahan ear muff pada posisi interlining yang menggunakan mesin
pound
4. Pemberlakukan sistem rotasi pekerja dalam 8 jam kerja untuk mencegah
kejenuhan.
5. Pengadaan dokter perusahaan tetap.

58
DAFTAR PUSTAKA

Kamal K. Penerapan Kesehatan Kerja Praktis Bagi Dokter dan Manajemen Perusahaan.
Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011

Sumamur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Edisi ke-1. Jakarta; Gunung Agung,
1980.

Fahmi U. Health Safety and Environment. Jakarta; Bina Diknakes, September 1997.

Jain, R.K., et al, Environmental Impact Analysis, 2 nd Edition, Van Reinhold Co,
New York, 1981

Firmansyah, F., 2010.Pengaruh Intensitas Penerangan Terhadap Kelelahan Mata Pada Tenaga
Kerja di Bagian Pengepakan PT. Ikapharmindo Putramas Jakarta Timur.Skripsi : Universitas
Sebelas Maret
Peraturan Menteri Perburuhan no. 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan Serta
Penerangan Dalam Tempat Kerja
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri
SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja
Soeripto, 2008.Higiene Industri.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Suhadri, B, 2008. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Industri.Jakarta : Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan

59

Anda mungkin juga menyukai