Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut: Kekeruhan mulai dari tepi
ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan posterior ( katarak kortikal ). Vakuol
mulai terlihat di dalam korteks. Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat
anterior subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi
jaringan degeneratif (benda Morgagni) pada katarak insipien. Kekeruhan ini dapat
menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa.
Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.(4,5)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat keposterior (pada fornices
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4)
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.
Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali
di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5)
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris)
terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian
dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan
membran mukosa.(4)
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas karunkula, dan di
dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.
Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel
superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause
dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah.
Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis. Kedua arteri
ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus
yang kaya. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus
V, saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4)
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.(5)
Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea dan , biasanya
diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak lurus dengan sumbunya
terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada konjuntiva memanjang pada sumbunya.
Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium,
tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6
III. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan
ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi
yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara
Internasional hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan
relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7
Mortalitas/Morbiditas
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Jenis Kelamin
Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.
Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang
berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
IV. ETIOLOGI
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis
akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling umum adalah exposure
atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2
lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.2
Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropics
dan tropis.
Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang yang hidup di
daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah berangin. Petani, nelayan
dan orang-orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa sering terpengaruh.
V. PATOFISIOLOGI
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan
mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan
berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya
progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi
sinat termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat
berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang
disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain
khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada
lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan
membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan
merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor
pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang
tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap
individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu
terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.8
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang
mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan
mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang
membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.7
Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan
pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah
dilakukan eksisi.
Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat
komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk
setelah dilakukan eksisi.
VII. KLASIFIKASI
Klasifikasi Pterygium:
● Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih
dapat dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
● Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah
kambuh.
VIII. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang
menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka
bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang ditandai
dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea.
Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran
bowman.3
Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan
ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi
atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.3
X. PENATALAKSANAAN
- Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) – untuk
membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini
merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal
(OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien
dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur.
Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
- Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan
okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas
yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung
menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan
pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.
- Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata
dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam
penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang
inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) –
suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata.
Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak
bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai
sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat
memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.
a. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang
diteteskan maupun dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva
dengan lidokain 1-2 % .
h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang
dilakukan pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.
i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan
menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan
pengangkatan pterigium.
- Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp sehingga
tampak jaringan sklera yang telanjang.
- Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk
menghindari kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah di bawah
konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea dan
sklera, kemudian lakukan fiksasi.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari
pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi
pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti sayap.
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas. Pertumbuhannya di
pisah dengan goresan horizontal, masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan
bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva kurang lebih 5-
10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang
garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus
yang ditelanjangi atau membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan cara
konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.
XI. KOMPLIKASI
Kemerahan.
Iritasi.
Astigmatisme
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi
terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan
diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea
mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi : Infeksi,
diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous dan yang sering adalah kambuhnya
pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%, namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-
15% apabila menggunakan autograf konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi,
eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan.
Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan
intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan pemberian
Mitomicin C intraoperatif.10
XII. PENCEGAHAN
XIII. PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya
Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Ilyas S, Mailangkay H.B., Taim H, 2002, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ke-2, Sagung
Seto, Jakarta
5. Wijaya N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Edisi rev, cet ke-16, Abadi Tegal, Jakarta