Anda di halaman 1dari 32

MINI CLINICAL EXAMINATION

“NY S 51 TAHUN DENGAN TUMOR TIROID POST TIROIDEKTOMI”

Oleh:

Yunandhika Rizki Widodo G4A016072

Pembimbing:

dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
HALAMAN PENGESAHAN

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Ny S 51 Tahun dengan Tumor Tiroid Post Tiroidektomi”

Disusun oleh:
Yunandhika Rizki Widodo G4A016072

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal: Desember 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An


I. PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama cabang kedokteran yang lain
serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang kedokteran gawat darurat (Mangku
dan Senapathi, 2010).
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya, dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu praanetesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari
premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca
anestesi.
Kanker tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid yang timbul dari sel folikel.
Kebanyakan keganasan dikelompokkan sebagai jenis karsinoma tiroid terdifferensiasi,
yang manifest sebagai bentuk papiler, follikuler, atau campuran. Bila diagnosis
kemungkinan telah ditegakkan dan operabel, tindakan operasi dapat dilakukan dengan
cara tiroidektomi. Pembedahan tiroidektomi memerlukan perhatian lebih karena tindakan
dilakukan pada jalan napas.(De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 16 Juli 1966
Alamat : Salem, Brebes
Agama : Islam
Diagnosis : Tumor Tiroid
Pro : Tiroidektomi
DPJP Anestesi : dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An
No. CM : 02026094
Tanggal masuk RSMS : 6 Desember 2017
Tanggal Operasi : 7 Desember 2017

B. Anamnesis Pra Anestesi


1. Keluhan Utama
Benjolan pada leher
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Margono Soekarjo Purwokerto hari Rabu
tanggal 6 Desember 2017 dengan keluhan benjolan pada leher. Pasien merupakan
rujukan dari RS Bumiayu. Benjolan di leher sudah muncul sejak 25 tahun yang lalu.
Benjolan dirasakan semakin membesar tetapi tidak nyeri apabila ditekan. Sebelumnya
pasien tidak merasa terganggu dan kesakitan dengan benjolan di lehernya, tetapi pasien
memutuskan untuk dilakukan operasi karena benjolan dirasa semakin membesar dan
mengganggu aktivitas. Benjolan di leher berukuran 10x6 cm, tidak nyeri ketika
menelan, maupun saat ditekan, dengan konsistensi lunak.
Pasien juga mengeluhkan kepala sering pusing tetapi pasien menyangkal
mempunyai riwayat sakit hipertensi. Pasien juga mengeluhkan mudah capai, sesak ,
dada berdebar-debar apabila beraktivitas serta pasien tidur menggunakan 2 bantal.
Pasien tidak mengeluhkan batuk, pilek, sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-),
hepatitis (-), penyakit ginjal (-), anemia (-), stroke (-), alergi obat (-), alergi makanan (-),
mengorok (-), riwayat operasi (-).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-), Gangguan
Pembekuan Darah (-).
5. Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Heart Rate : 92x/menit, kuat, isi cukup, ireguler
Respiratory Rate : 20x/ menit, reguler
Suhu : 36.5 oC
6. Status Antropometri
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 152 cm
BMI : 25
7. Pemeriksaan Fisik
a. Airway : Clear (+), buka mulut 3 jari, Mallampati II, TMD 7 cm, gigi palsu (-), gigi
tanggal (-), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-), massa di leher (+) Tumor Tiroid
b. Kepala/Leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di wajah (-),
masa di leher (+) Tumor Tiroid, luka bakar (-), deviasi trakea (-).
c. Breathing/Thorak:
Spontan (+), RR 20x/ menit reguler
Paru : SD ves +/+, wh -/-, rbk -/-, rbh -/-
Jantung : S1>S2, ireguler, gallop (-), murmur (-)
d. Circulation
TD 140/90 mmHg, Nadi 92x/menit, kuat, isi cukup, ireguler.
e. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-), darm contur (-), darm steifung
(-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
f. Ekstremitas : Akral hangat
g. Pemeriksaan Vertebrae
Tidak didapatkan kelainan
Status Lokalis
a. Leher : Benjolan bentuk bulat, ukuran 10x6 cm, konsistensi lunak, tepi licin,
imobile, nyeri tekan (-)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 5/12/2017
Hb : 14,2 g/dL
Leukosit : 6790 U/L
Ht : 43 %
Trombosit : 294.000
PT : 9.6
APTT : 29.4
Total Protein : 7.67
Albumin : 3.54
Globulin : 4.13 (H)
SGOT : 15
SGPT : 24
GDS : 105
Na : 147 (H)
K : 4.3
Cl : 105
Ureum : 21.6
Kreatinin : 0.50 (L)
9. EKG

Didapatkan VES jarang


Assesment : ASA III
Rencana Operasi : Tiroidektomi
Rencana Anestesi : General Anestesi
Premedikasi :O2 NK jam 21.00 3 lpm, Inj. Alprazolam 5 mg (Ekstra), RL 20
tpm

C. Laporan Anestesi Durante Operasi


1. Tanggal operasi : 7/12/2017
2. Jam mulai anestesi : 10.45 WIB
3. Jam selesai anestesi : 11.35 WIB
4. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Heart rate : 96 x/menit, kuat, isi cukup, ireguler
RR : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36.50 C
5. Tehnik anestesia
Anestesi : General Anestesia
Premedikasi : Inj. Ondansentron 4 mg
Presemptive Analgesia : Inj. Fentanyl 50 mg
Induksi : Sevoflurane
IV : Propofol 100 mg, Rocuronium 20 mg, Vit K 10 mg, Asam
Tranexamat 500 mg, Ketorolac 30 mg, Dexametason 1
ampul

Monitoring Durante Operasi


a. Tekanan darah, SpO2 dan HR
Tabel I.1. Monitoring Durante Operasi
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR
10.45 135/70 100% 88
11.00 100/70 100% 86
11.15 85/60 100% 84
11.30 90/70 100% 86
11.35 90/70 100% 84

b. Obat yang masuk


Ondansentron 4 mg
Fentanyl 50 mg
Rocuranium 20 mg
Vit K 10 mg
Asam Tranexamat 500 mg
Ketorolac 30 mg
Dexametason 1 ampul
c. Cairan yang masuk durante operasi
RL : 1000 ml
Gelofusine : 500 ml
d. Perdarahan : 300 cc
e. Urine : 100 cc
D. Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance = 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 8cc/kgBB (operasi besar)
Jam I = ½ PP + M + SO
Jam II = ¼ PP + M + SO
Jam III = ¼ PP + M + SO
Jam IV = M + SO
30 Menit = ½ Jam I
Perhitungan (BB= 58 Kg):
Maintenance (M) = 2 x 58 = 116 cc
Stress Operasi (SO) = 8 x 58 = 464cc
Pengganti puasa (PP) = 6 x 116 = 696cc
EBV = 65 x BB = 65 x 58 = 3.770 cc
Lama Operasi (50 menit)
Input Cairan durante operasi
Jam I = ½ PP + M + SO
= ½ (696) + 116 + 464
= 928 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 300 cc
Urin output = 100 cc
Total output durante operasi = 400 cc
Tabel I.2. Keseimbangan Cairan Durante Operasi
Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1500 cc
= 300 + 100 cc
Output cairan D.O. = 400cc Input cairan D.O. = 1500 cc

Kebutuhan durante operasi


50 menit : 928 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


400+928 1500 cc
= 1328 cc = 1.500cc
Balance Cairan: 172 cc

A. Perkembangan Pasien
1. Jumat,8 Desember 2017
Subjektif :
Pasien mengeluhkan nyeri pada luka bekas operasi, suara serak. Sesak (-), Pusing (-)
Objektif :
KU/Kes : Sedang/Compos Mentis
TD : 140/65 mmHg
N : 95x/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
RR : 15x/menit
S : 36,5 C
SpO2 : 100%
Status Generalis
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edem palpebra (-/-)
Hidung : discharge (-/-), NCH (-/-) NGT (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), gigi tanggal (-)
Telinga : discharge (-/-)
Pulmo : SD vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), Wh (-/-)
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : datar, BU (+)
Status lokalis
Leher : Terbalut kassa (+), rembes (-), darah (-), Drain (+)  produksi (-)
Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 7/12/2017
Hb : 13.3 g/dL
Leukosit : 19980 U/L (H)
Ht : 41 %
Eritrosit : 4.3
Trombosit : 309.000
GDS : 156
Na : 142
K : 4.7 (H)
Cl : 109 (H)
Ca : 7.7 (L)
Assesment : Post Tiroidektomi H+1
Planing :
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Dexametason 1 ampul (Extra)
Morfin Syringe Pump 50mg/jam
IVFD RL 25-30 tpm
IVFD Gelofusin 25-30 tpm
Posisi kepala bed Headup 30o

2. Sabtu,9 Desember 2017


Subjektif :
Pasien mengeluhkan masih nyeri pada luka bekas operasi, namun nyeri sudah semakin
berkurang, suara serak berkurang, pasien mengeluhkan pusing dan tidak bisa tidur.
Objektif :
KU/Kes : Sedang/Compos Mentis
TD : 170/90 mmHg
N : 92x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 18x/menit
S : 36.8 C
Status Generalis
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung : discharge (-/-), NCH (-/-) NGT (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), gigi tanggal (-)
Telinga : discharge (-/-)
Pulmo : SD vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), Wh (-/-)
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : datar, BU (+)
Status lokalis
Leher : Terbalut kassa (+), rembes (-), darah (-), Drain (+)  produksi (-)
Assesment : post Tiroidektomi H+2
Planing :
Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
Inj. Ketorolac 2x30 mg
IVFD RL 20 tpm
Posisi kepala bed Headup 30o
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelenjar Tiroid
1. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fasia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar
dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrakealis dan melingkari trakea
dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini dapat
bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus vagus terletak
bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di
dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke
dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

Gambar 3.1. Anatomi kelenjar tiroid (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005)

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain arteri
karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan
kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala
dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri
atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di
sebelah lateral dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi
laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari
nervus laringeus superior (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Gambar 3.2. Vaskularisasi kelenjar tiroid (Ellis, 2006).

2. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang
kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan
kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam
jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid
di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan
sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi,
hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding
Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine
(TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormone (TSH) memegang
peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan balik negatif sangat penting
dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat
adanya sel parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang (De Jong &
Sjamsuhidajat, 2005).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis.
Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid
dalam sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior
hipofisis dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing
Hormone (TRH) dari hipotalamus (Guyton & Hall, 2006).
Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori yaitu : (Sherwood, 2011)

a. Efek pada laju metabolism


Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara keseluruhan.
Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran
energi tubuh pada keadaan istirahat.
b. Efek kalorigenik
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas.
c. Efek pada metabolisme perantara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat dalam
metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik bersifat
multifaset, hormon ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat,
lemak dan protein, tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga dapat menginduksi
efek yang bertentangan.
d. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin
dan norepinefrin), zat perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis
dan hormon dari medula adrenal.
e. Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung
sehingga curah jantung meningkat.
f. Efek pada pertumbuhan
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormon pertumbuhan, tetapi juga
mendorong efek hormon pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein struktural
baru dan pertumbuhan rangka.
g. Efek pada sistem saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf terutama
Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga sangat penting untuk aktivitas normal
SSP pada orang dewasa.

B. Tumor Tiroid Jinak


1. Klasifikasi
a. Adenoma Follikular
Tumor jinak adenoma menunjukkan adanya folikel cell dffirentiation.
Adenoma folikular biasanya berupa tumor soliter dan masih memiliki kapsul fibrosa.
Beberapa nodul dapat menunjukkan satu atau lebih perbedaan morfologi tetapi
biasanya akan sama jika memiliki tipe adenoma yang sama. Morfologinya terdiri atas
sel-sel yang homogen, edema, fibrosis, kalsifikasi, pembentukan tulang dan
pembentukan kista dapat terjadi. Berbagai pola perubahan sel terjadi pada adenoma
folikular. Setiap satu tumor dapat menunjukkan bentuk seragam atau campuran dari
dua atau lebih pola. Sementara perbedaan histologis yang dominan terletak pada
bentuk folikel, yaitu Normofollicular (sederhana), Macrofollicular (koloid),
Microfollicular (janin) (McHenry, 2011).
Evaluasi diagnostik pasien dengan nodul tiroid terdiri dari biopsi rutin
aspirasi jarum halus, pemeriksaan USG leher dan skrining tingkat TSH serum. Biopsi
aspirasi jarum halus termasuk diagnostik yang paling penting untuk mengevaluasi
pasien dengan nodul tiroid. Keterbatasan utama dari biopsi aspirasi jarum halus
adalah ketidakmampuan untuk membedakan adenoma folikular dari karsinoma
folikular (McHenry, 2011).
Jarum halus biopsi aspirasi pada pasien dengan adenoma folikular dan pasien
dengan karsinoma folikular ditandai dengan adanya sel-sel epitel folikel yang sangat
banyak dan tumpang tindih. Masih ditemukan pembentukan mikrofolikel tetapi
jumlah koloid mulai berkurang. Menurut sistem Bethesda untuk pelaporan
sitopatologi tiroid, penampilan sitologi ini diklasifikasikan sebagai neoplasma
folikular atau mencurigakan untuk neoplasma folikular (McHenry, 2011).
b. Hurthle cell adenoma dan Teratoma
Neoplasma sel hurthle adalah tumor heterogen yang dapat muncul dengan
berbagai aspek klinis. Neoplasma ini berasal dari sel folikel dan terdiri dari sel
oncocytic, juga disebut oncocytes. Oncocytes yang mikroskopis ditandai dengan
sitoplasma granular yang berlimpah. Studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa
granular yang berlimpah ini disebabkan karena banyaknya mitokondria dalam intra
sitoplasmik sel. Sel adenoma hurthle unilateral dapat diobati dengan lobektomi /
isthmusectomy (Chao et al, 2005; Bharnabei et al, 2009).
Teratoma adalah tumor yang berasal dari sel germinal yang terdiri dari
jaringan yang menyusun fetus pada masa embriologi, yaitu: ectoderm, endoderm,
dan mesoderm. Predileksi tersering terjadi di gonad, wilayah sacrococcygeal,
mediastinum dan wilayah pineal, meskipun juga terjadi pada daerah leher rahim dan
juga kelenjar tiroid (Oak et al, 2013). Bentuk diferensiasi sel germinal ini tergantung
pada kehadiran dan proporsi komponen yang belum matang, usia pasien serta ukuran
tumor pada saat presentasi awal. Eksisi bedah adalah pengobatan pilihan (Chao et al,
2005; Bharnabei et al, 2009).
c. Graves disease
Penyakit Graves adalah gangguan autoimun yang mengarah ke hiperaktifitas
dari kelenjar tiroid (hipertiroidisme). Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang
terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat. Penyakit Graves
adalah penyebab paling umum dari hipertiroid. Hal ini disebabkan oleh respon sistem
kekebalan tubuh yang abnormal sehingga menyebabkan kelenjar tiroid menghasilkan
terlalu banyak hormon tiroid. Penyakit Graves paling sering terjadi pada wanita di
atas usia 20 tahun namun gangguan juga dapat terjadi pada usia berapa pun dan dapat
juga terjadi pada laki-laki. Pengobatannya adalah diberikan obat antitiroid, yodium
radioaktif dan tindakan bedah (US National Library of Medicine, 2014).
d. Thyroid cystic
Kista tiroid adalah cairan yang dibungkus kantong yang terdapat di kelenjar
tiroid. Patogenesis dari kista tiroid belum diketahui, kemungkinan disebabkan oleh
proses infark, destruksi folikel tiroid, degenerasi kistik dari folikel tiroid dan proses
nekrosis dari tumor jinak atau ganas. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
kasus dicurigai adanya kelainan di tiroid adalah pemeriksaan laboratorium fungsi
tiroid, Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH)/ FNAB, Ultrasonografi (USG) dan
Skintigrafi. Pemeriksaan lain adalah Tomografi tiroid, Magnetic Resonance Image
(MRI), dan Positron Emission Tomografi (PET) meskipun ini tidak rutin dilakukan.
Penatalaksanaan nodul tiroid yang berupa kista dapat dilakukan aspirasi dan tindakan
operatif. Operator harus familiar dengan neuro anatomi dari laring. Informed consent
sangat diperlukan sebelum operasi terutama pada pasien yang profesinya tergantung
pada suara (Baloch,2011; Lin, 2007; Cho, 2008; Lore, 2005; Eng, 2010).
e. Solid cell nests
Solid cell nests (SCN) adalah struktur yang tidak teratur dengan diameter
sekitar 1 mm, biasanya ditemukan di tengah lobus lateral tiroid. SCN pada dasarnya
terdiri dari sel epidermoid non-keratinisasi dengan jembatan interseluler dan
imunohistokimia positif pada protein dengan berat molekul keratin tinggi dan rendah
serta untuk antigen carcinoembryonic. Lumen SCN biasanya dikelilingi oleh sel-sel
musin, sel deskuamasi, sel debris, mucosubstances asam, struktur dilapisi oleh sel
epidermoid dari SCN dan epitel folikular, sering ditemukan sebagai komponen
tambahan dari sisa-sisa ultimobranchial (Harach, 2005).
f. Ectopic Thyroid tissue
Dapat ditemukan di mana saja antara sekum foramen dan posisi normal
kelenjar tiroid. Meskipun sangat jarang, hal ini paling sering ditemukan di wilayah
foramen sekum pada pasien yang mengalami kegagalan turunnya kelenjar. Kelenjar
tiroid ektopik umumnya sangat langka dan muncul biasanya di garis tengah leher
rahim (90% kasus) dan bahkan lebih jarang di lokasi anatomi lainnya (10%) (Zieren
et al, 2006).
g. Hashimoto thyroiditis
Pembengkakan kronis tiroid (inflamasi) dari kelenjar tiroid yang sering
menyebabkan penurunan fungsi tiroid (hipotiroidisme). Penyakit ini dimulai
perlahan-lahan. Waktu yang dibutuhkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
untuk bisa dideteksi. Tiroiditis kronis yang paling umum terjadi pada wanita dan
pada orang dengan riwayat keluarga penyakit tiroid. Terapi yang diberikan berupa
hormon tiroid (levothyroxine) jika tubuh tidak memproduksi cukup hormone atau
jika tubuh memiliki tanda-tanda gagal tiroid ringan (seperti peningkatan TSH).
Kondisi ini juga dikenal sebagai hipotiroidisme subklinis (National Library of
Medicine, 2014).
2. Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dalam langkah menegakkan diagnosis klinis meliputi:
a. Pemeriksaan laboratorium
Hormon (TSH) tiroid stimulating hormon harus diperiksa pada pasien untuk
menentukan orang-orang dengan tirotoksikosis atau hipotiroid. Ketika tingkat TSH
normal, aspirasi harus dipertimbangkan. Ketika kadar hormon rendah, diagnosis
hipertiroidisme harus dipertimbangkan. Serum kalsitonin harus diukur pada pasien
dengan riwayat keluarga kanker tiroid meduler. Tes fungsi tiroid tidak boleh
digunakan untuk membedakan apakah nodul tiroid jinak atau ganas. T4, antibodi
peroksidase antitiroid dan tes tiroglobulin tidak membantu dalam menentukan
apakah nodul tiroid jinak atau ganas, tetapi mungkin membantu dalam diagnosis
penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto (Hegedus, 2004).
b. Pemeriksaan radiologi (Rontgen dan USG) a. Foto rontgen
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan sinar rontgen ke paru pada posisi
anteroposterior (AP) untuk dapat menilai dan berperan dalam menentukan luasnya
tumor dan ada metastasis atau tidak. (Thyroid Disease Manager, 2012).
c. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi transduser yaitu secara transversal
mulai dari pole bawah digeser ke arah cephalad sampai pole atas sehingga seluruh
tiroid dapat dinilai. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi transduser
longitudinal atau oblik dimulai dari lateral ke arah medial. Dilakukan pemotretan
dengan foto polaroid atau film multiformat, serta diambil ukuran tiroid dan ukuran
tumor yang nampak (Clark, 2010).
d. Pemeriksaan sidik tiroid
Dasar pemeriksaan ini adalah pengambilan dan pendistribusian yodium
radioaktif dalam kelenjar tiroid yang dapat dilihat dari pemeriksaan ini adalah besar,
bentuk, dan letak kelenjar tiroid serta distribusi dalam kelenjar serta dapat diukur
pengambilan yodiumnya dalam waktu 3, 12, 24 dan 48 jam (Clark, 2005).
e. Pemeriksaan FNAB
Penggunaan pemeriksaan sitologi ini sebagai alat bantu diagnostik dapat
digunakan untuk menegakkan diagnostik karsinoma tipe papilar, anaplastik, medular,
tiroiditis dan kebanyakan koloid nodul jinak. Namun demikian FNAB tidak bisa
membedakan adenoma folikular dan karsinoma folikular dan nodul koloid yang
hiperseluler (Sriwidyani, 2007).
f. Pemeriksaan histopatologi
Merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Jaringan diperiksa setelah
dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi. Kemudian di warnai degangan
Hematoksilin Eosin (HE) dan diamati di bawah mikroskop lalu ditentukan diagnosa
berdasarkan gambaran pada peparat (Sriwidyani, 2007).

C. Karsinoma Tiroid / Tumor Ganas Tiroid


1. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi yang berperan khususnya untuk well differentiated karsinoma (papilar
dan folikular) adalah radiasi dan goiter endemis sedangkan untuk jenis medular adalah
faktor genetik. Belum diketahui suatu karsinogen yang berperan untuk kanker anaplastik
dan medular. Diperkirakan kanker tiroid anaplastik berasal dari perubahan kanker tiroid
berdiferensiasi baik (papilar dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular dua kali
lebih besar. Sedangkan limfoma pada tiroid diperkirakan karena perubahan-perubahan
degenerasi ganas dari tiroiditis Hashimoto. Faktor risiko seseorang menderita karsinoma
tiroid antara lain :
a. Pengaruh usia dan jenis kelamin, resiko pada usia dibawah 20 tahun dan diatas 50
tahun. Demikian pula dengan jenis kelamin, penderita laki-laki memiliki resiko
keganasan lebih tinggi daripada penderita perempuan.
b. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala pada masa lampau
c. Kecepatan tumbuh tumor
d. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher.
e. Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (American Cancer Society, 2014).
2. Klasifikasi
Berdasarkan histopatologinya karsinoma tiroid dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :
karsinoma papilar, karsinoma folikular, karsinoma medular, dan karsinoma anaplastik
(American Thyroid Association, 2005)
a. Karsinoma Papilar
Karsinoma papilar adalah jenis keganasan tiroid yang paling sering
ditemukan (75-85%) yang timbul pada akhir masa kanak- kanak atau awal
kehidupan dewasa. Merupakan karsinoma tiroid yang terutama berkaitan dengan
riwayat terpapar radiasi pengion. Tumor ini tumbuh lambat, penyebaran melalui
kelenjar limfe dan mempunyai prognosis yang lebih baik diantara jenis karsinoma
tiroid lainnya. Faktor yang mempengaruhi prognosis baik adalah usia dibawah 40
tahun, wanita dan jenis histologik dominan papilar. Sifat biologik daripada tumor
jenis papilar ini yakni tumor atau tumor primer yang kecil bahkan mungkin tidak
teraba tetapi metastasis ke kelenjar getah bening dengan massa atau tumor yang
besar atau nyata. Tumor ini sering tampil sebagai nodul tiroid soliter dan biasanya
diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi biopsi jarum halus, dengan
angka ketahanan hidup 10 tahun mencapai 95% (Medscape, 2014).
Secara mikroskopis, karsinoma papilar berupa tumor yang tidak berkapsul
dengan struktur berpapil dan bercabang. Sel karakteristik dengan inti sel yang
berlapis-lapis dan sitoplasma yang jernih. Ada beberapa varian dari karsinoma
papilar yaitu microcarcinoma, encapsulated, folikular, tall-cell, columnar-cell,
clear-cell dan diffuse sclerosing carcinoma. Dua puluh sampai delapan puluh
persen berupa tumor yang multisentrik dan bilateral pada 1/3 kasus (Livolsi, 2004).
b. Karsinoma Folikular
Karsinoma folikular meliputi sekitar 10-20% keganasan tiroid dan biasa
ditemukan pada usia dewasa pertengahan atau diatas 40 tahun. Pada kasus yang
jarang, tumor ini mungkin hiperfungsional (tirotoksikosis). Insiden karsinoma
folikular meningkat di daerah dengan defisiensi yodium (Livolsi, 2004).
Diagnosis tumor ini secara sitologi sulit dibedakan dengan adenoma
folikular, diagnosis pasti dengan pemeriksaan frozen section pada durante operasi
atau dengan pemeriksaan histopatologi untuk melihat adanya invasi ke kapsul atau
pembuluh darah. Karsinoma folikular bermetastasis terutama melalui pembuluh
darah ke paru, tulang, hati dan jaringan lunak. Karsinoma folikular diterapi dengan
tiroidektomi total diikuti pemberian iodin radioaktif. Juga karena sel karsinoma ini
menangkap yodium maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan dengan
pengukuran kadar TSH sebagai follow up bahwa dosis yang digunakan bersifat
supresif dan untuk memantau kekambuhan tumor. Angka ketahanan hidup 10 tahun
mencapai 85% (Livolsi, 2004).

c. Karsinoma Medular
Karsinoma medular meliputi sekitar 5% keganasan tiroid dan berasal dari
sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin. Karsinoma ini timbul
secara sporadik (80%) dan familial (20%), dimana tumor ini diturunkan sebagai
sifat dominan autosom yang berhubungan dengan MEN-2a atau MEN-2b atau
endokrinopati lainnnya (Livolsi, 2004).
Massa tumor berbatas tegas dan keras pada perabaan, pada tumor yang lebih
luas tampak daerah nekrosis dan perdarahan dan dapat meluas sampai ke kapsul.
Mikroskopis tampak kelompokan sel-sel bentuk poligonal sampai lonjong dan
membentuk folikel atau trabekula. Tampak adanya deposit amiloid pada stromanya
yang merupakan gambaran khas pada karsinoma tipe medular ini (Livolsi, 2004).
d. Karsinoma Anaplastik
Karsinoma anaplastik tiroid merupakan salah satu keganasan pada manusia
yang paling agresif dan jarang dijumpai yaitu kurang dari 5%. Karsinoma
anaplastik ini berkembang dengan menginfiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor ini
terutama timbul pada usia lanjut, terutama di daerah endemik gondok dan lebih
banyak pada wanita. Sebagian besar kasus muncul dengan riwayat pembengkakan
yang cepat membesar pada leher, disertai dengan adanya kesulitan bernafas dan
menelan, serta suara serak karena infiltrasi ke nervus rekurens. Pertumbuhannya
sangat cepat walaupun diterapi. Metastasis ke tempat jauh sering terjadi, tetapi
umumnya kematian terjadi dalam waktu kurang dari setahun. Angka ketahanan
hidup 5 tahun <5% (Endocrine Surgery, 2014).
Tampak massa tumor yang tumbuh meluas ke daerah sekitarnya. Gambaran
mikroskopis, tampak sel-sel anaplastik (undifferentiated) dengan gambaran
morfologi yang sangat pleomorfik, serta tidak terbentuknya gambaran folikel, papil
maupun trabekula (Livolsi, 2004).
3. Klasifikasi Berdasarkan Sistem Lain
a. Klasifikasi Karsinoma Tiroid (National Cancer Institute, 2014):
1) Tumor epitel maligna
a) Karsinoma folikular
b) Karsinoma papilar
c) Campuran karsinoma folikular-papilar
d) Karsinoma anaplastik ( undifferentiated )
e) Karsinoma sel skuamosa
f) Karsinoma tiroid medular
2) Tumor non-epitel maligna
a) Fibrosarkoma
3) Tumor maligna lainnya
a) Sarkoma
b) Limfoma maligna
c) Haemangiothelioma maligna
d) Teratoma maligna

b. Klasifikasi Klinik TNM (National Cancer Institute, 2014) :


T Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak didapat tumor primer
T1 Tumor dengan ukuran terbesar 2 cm atau kurang masih
terbatas pada tiroid
T2 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih dari
4 cm masih terbatas pada tiroid
T3 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 4 cm masih terbatas
pada tiroid atau tumor ukuran berapa saja dengan ekstensi
ekstra tiroid yang minimal (misalnya ke otot sternotiroid atau
jaringan lunak peritiroid)
T4a Tumor telah keluar kapsul tiroid dan menginvasi ke tempat berikut :
jaringan lunak subkutan, laring, trakhea, esofagus, n.laringeus
T4b Tumor menginvasi fasia prevertebra, pembuluh mediastinal atau
arteri karotis
T4a* (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) masih
terbatas pada tiroid#
T4b* (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) berekstensi
keluar kapsul tiroid$
Catatan :
Tumor multifokal dari semua tipe histologi harus diberi tanda (m)
(ukuran terbesar menentukan klasifikasi), contoh : T2(m)
*Semua karsinoma tiroid anaplastik/undifferentiated termasuk T4
#
Karsinoma anaplastik intratiroid – resektabel secara bedah
$
Karsinoma anaplastik ekstra tiroid irresektabel secara bedah

N Kelenjar Getah Bening Regional


Nx Kelenjar Getah Bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1 Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1a Metastasis pada kelenjar getah bening cervical Level VI
(pretrakheal dan paratrakheal, termasuk prelaringeal dan
Delphian)
N1b Metastasis pada kelenjar getah bening cervical unilateral,
bilateral atau kontralateral atau ke kelenjar getah bening
mediastinal atas/superior
M Metastasis jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Terdapat empat tipe histopatologi mayor :


- Papilar karsinoma
- Folikular karsinoma
- Medular karsinoma
- Anaplastik karsinoma

c. Stadium klinis (National Cancer Institute, 2014):


Karsinoma Tiroid Papilar atau Folikular Umur < 45 th
Stadium I Tiap T Tiap N M0
Stadium I Tiap T Tiap N M1

Papilar atau Folikular umur > 45 tahun dan Medular


Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1a M0
Stadium IVA T1,T2,T3 N1b M0
T4a N0,N1 M0
Stadium IVB T4b Tiap N M0
Stadium IVC Tiap T Tiap N M1

Anaplastik (Semua kasus stadium


IV)
Stadium IVA T4a Tiap N M0
Stadium IVB T4b Tiap N M0
Stadium IVC TiapT Tiap N M1

4. Diagnosis dan Gambaran Klinis


Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah dengan melakukan anamnesis. Pada
langkah anamnesis awal, kita berusaha mengumpulkan data untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut toksik atau non toksik. Biasanya nodul tiroid tidak disertai rasa nyeri
kecuali pada kelainan tiroiditis akut/subakut. Sebagian besar keganasan pada tiroid tidak
memberikan gejala yang berat, kecuali jenis anaplastik yang sangat cepat membesar
bahkan dalam hitungan minggu. Pada pasien dengan nodul tiroid yang besar, kadang
disertai dengan adanya gejala penekanan pada esofagus dan trakea (Livolsi, 2004).
Nodul diidentifikasi berdasarkan konsistensinya keras atau lunak, ukurannya,
terdapat tidaknya nyeri, permukaan nodul rata atau berbenjol-benjol, berjumlah tunggal
atau ganda, memiliki batas yang tegas atau tidak dan keadaan mobilitas nodul.
Pemeriksaan laboratorium yang membedakan tumor jinak dan ganas tiroid belum ada
yang khusus. Kecuali karsinoma medular, yaitu pemeriksaan kalsitonin (tumor marker)
dalam serum. Pemeriksaan T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan karena pada karsinoma
tiroid dapat terjadi tirotoksikosis walaupun jarang. Human Thyroglobulin (HTG) Tera
dapat dipergunakan sebagai penanda tumor terutama pada karsinoma berdiferensiasi baik.
Walaupun pemeriksaan ini tidak khas untuk karsinoma tiroid, namun peninggian HTG
setelah tiroidektomi total merupakan indikator tumor residif (Livolsi, 2004).
Setelah dilakukan anamnesis, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik nodul mencakup tujuh kriteria. Nodul diidentifikasi berdasarkan
konsistensinya keras atau lunak, ukurannya, terdapat tidaknya nyeri, permukaan nodul
rata atau berdungkul-dungkul, berjumlah tunggal atau multipel, memiliki batas yang
tegas atau tidak dan keadaan mobilitas nodul. Secara klinis, nodul tiroid dicurigai ganas
apabila: (Clark, 2005)
a. Usia penderita dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun
b. Ada riwayat radiasi leher pada masa anak-anak
c. Disfagia, sesak nafas, dan perubahan suara
d. Nodul soliter, pertumbuhan cepat dan konsistensi keras
e. Ada pembesaran kelenjar getah bening leher (jugular, servikal, atau
submandibular)
f. Ada tanda-tanda metastasis jauh

Pemeriksaan penunjang dalam langkah menegakkan diagnosis klinis meliputi:


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dengan menilai kadar Human Thyroglobulin (HTG), suatu penanda
tumor untuk karsinoma tiroid yang berdifferensiasi baik, terutama untuk follow up
(Schteingart DE, 2006; Subekti dkk, 2009).
b. Foto rontgen
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan sinar rontgen ke paru pada posisi
anteroposterior (AP) untuk dapat menilai dan berperan dalam menentukan sudah
adanya atau tidaknya metastasis pada pasien (Thyroid Disease Manager, 2012).
c. Ultrasonography (USG)
Secara khusus peranan USG pada pemeriksaan tonjolan tiroid adalah : (1) dengan
cepat dapat menentukan apakah tonjolan tersebut di dalam atau di luar tiroid. (2)
dengan cepat dan akurat dapat membedakan tumor kistik dan tumor solid. (3)
dengan lebih mudah dapat dikenali apakah tonjolan tersebut tunggal atau lebih
dari satu. (4) dapat membantu penilaian respon pengobatan pada terapi supresif.
(5) dapat membantu mencari keganasan tiroid pada metastasis yang tidak
diketahui tumor primernya. (6) sebagai pemeriksaan penyaring terhadap golongan
resiko tinggi untuk menemukan keganasan tiroid. (7) sebagai pengarah pada
pemeriksaan FNAB (Clark, 2010).
d. Pemeriksaan sidik tiroid
Dasar pemeriksaan ini adalah pengambilan dan pendistribusian yodium radioaktif
dalam kelenjar tiroid. Yang dapat dilihat dari pemeriksaan ini adalah besar,
bentuk, dan letak kelenjar tiroid serta distribusi dalam kelenjar. Juga dapat diukur
pengambilan yodiumnya dalam waktu 3, 12, 24 dan 48 jam (Clark, 2005).
e. Pemeriksaan FNAB
Penggunaan pemeriksaan sitologi ini sebagai alat bantu diagnostik, dapat
digunakan untuk menegakkan diagnostik karsinoma tipe papilar, anaplastik,
medular, tiroiditis dan kebanyakan koloid nodul jinak. Namun demikian, FNAB
tidak bisa membedakan adenoma folikular dan karsinoma folikular, dan nodul
koloid yang hiperseluler (Sriwidyani, 2007).
f. Pemeriksaan histopatologi
Merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Jaringan diperiksa setelah dilakukan
tindakan lobektomi atau isthmolobektomi. Kemudian di warnai degangan
Hematoksilin Eosin (HE) dan diamati di bawah mikroskop lalu ditentukan
diagnosa berdasarkan gambaran pada peparat (Sriwidyani, 2007).

5. Terapi
Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan gejala yang berat kecuali jenis
anaplastik yang cepat membesar dalam hitungan minggu. Sebagian kecil pasien
khususnya dengan nodul yang besar mengeluhkan penekanan pada esofagus dan trakea.
Biasanya nodul tiroid tidak nyeri kecuali adanya perdarahan dalam nodul atau kelainan
tiroiditis akut/subakut. Salah satu keluhan pada keganasan tiroid adalah suara serak
(Subekti dkk, 2009). Saat ini telah ditemukan beberapa metode terapi yang tepat dalam
penatalaksanaan karsinoma tiroid, yaitu :
a. Terapi pembedahan (Operatif)
Bila diagnosis kemungkinan telah ditegakkan dan operabel, operasi yang
dilakukan adalah lobektomi sisi yang patologik atau lobektomi subtotal dengan
risiko bila ganas kemungkinan ada sel-sel karsinoma yang tertinggal. Pembedahan
umumnya berupa tiroidektomi total. Enukleasi nodulnya saja adalah berbahaya
karena bila ternyata nodul tersebut ganas, telah terjadi penyebaran (implantasi) sel-
sel tumor dan operasi ulang untuk tiroidektomi secara teknis akan menjadi lebih
sukar (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
b. Terapi radiasi
Apabila keadaan tumor sudah inoperabel atau pasien menolak operasi lagi
untuk lobus kontralateral, maka dapat dilakukan :
1) Radiasi interna dengan Iodine 131
2) Radiasi eksterna (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

6. Prognosis
Prognosis dari karsinoma tiroid tergantung jenis keganasan. Khusus untuk
karsinoma tiroid berdifferensiasi baik dapat digunakan skor AMES (Age, Metastasis,
Ekstension, Size), AGES (Age, Grades, Ekstension, Size), atau MACIS (Metastases, Age,
Complete excision, Invasion, Size) (De Jong dan Sjamsuhidajat, 2005). Secara umum,
prognosis lebih baik pada pasien-pasien yang lebih muda dibanding dengan pasien-pasien
usia diatas 40 tahun. Pasien-pasien dengan karsinoma papilar yang disertai tumor primer
memiliki prognosis sangat baik, hanya 1 dari setiap 100 pasien akan mati disebabkan
karsinoma tiroid. Prognosis menjadi tidak baik pada pasien di atas usia 40 tahun, atau
pasien dengan diameter tumor lebih dari 4 cm (American Thyroid Association, 2005).
D. General Anestesi
1. Definisi
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang (Torpy, 2011).. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa
kimia yang heterogen, yang mendepresi sistem saraf pusat (SSP) secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol (Munaf, 2008). Ketidaksadaran tersebut
yang memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan
rasa sakit tak tertahankan, yang mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan
menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama anestesi umum, seseorang
tersebut tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami (Press, 2013).
2. Sifat anestesi umum yang ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan
baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat
toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar
yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat
inhalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya
perubahan kadar obat anestesi dalam SSP (Munaf, 2008).
Anestesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anestesi
umum. Anestesi seimbang terdiri dari (Calvey dan Williams, 2008):
a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
b. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam
dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1
jam sebelum pembedahan
c. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal).
d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen.
e. Pelemas otot jika diperlukan.
3. Obat-obatan induksi anestesi
Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh sampai
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi anestesi terdiri dari pemberian obat anestesi hipnosis secara cepat
melalui intravena. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak 30 – 60 detik dan cepat
turun karena proses redistribusi dari obat. Perubahan konsentrasi plasma secara cepat
mengakibatkan perubahan tingkat penekanan susunan saraf pusat (Soenarjo et al., 2010).
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan
steroid; 2) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan
seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya:
ketamin), sedatif (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anestesi intravena,
hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan
diazepam (Katzung, 2010).
4. Pemeliharaan anestesi (maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur rinan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam (Katzung,
2010).
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan (Katzung,
2010).
5. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan anestesi
intravena, kesadaran akan kembali berangsur-angsur dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita
yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka
hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan
pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat
dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi
dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat
menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenarjo et al., 2010).
6. Jenis Obat Anestesi Umum.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena,
sebagai berikut (Latief and Suryadi, 2009):
a. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah
satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan
metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Anestesi inhalasi
konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi
karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap
hati .
b. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya
stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang
mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, sebagai berikut :
1) Barbiturat (tiopental, metoheksital)
2) Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
3) Opioid analgesik dan neuroleptik
4) Obat-obat lain (profopol, etomidat)
5) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.

E. Terapi Cairan dan Elektrolit


Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi elektrolit
di dalamnya tetap stabil adalah penting bagi homeostatis. Beberapa masalah klinis timbul
akibat adanya abnormalitas dalam hal tersebut. Untuk bertahan, kita harus menjaga
volume dan komposisi cairan tubuh, baik ekstraseluler (CES) maupun cairan intraseluler
(CIS) dalam batas normal. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita
dalam kegawatan yang kalau tidak dikelolam secara cepat dan tepat dapat menimbulkan
kematian. Hal tersebut terlihat misalnya pada diare, peritonitis, ileus obstruktif, terbakar,
atau pada pendarahan yang banyak (Salam, 2016).
Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah, jaringan,
dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang negatif (anion)
menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH dan level asam basa
dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar dan dalam sel melalui
suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan memegang peraran dalam pengaturan
fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi. Jumlah asupan air dan elektrolit
melalui makan dan minum akan dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi
gangguan homeostasis dimana jumlah yang masuk dan keluar tidak seimbang, harus
segera diberikan terapi untuk mengembalikan keseimbangan tersebut (Salam, 2016).
1. Anatomi Cairan Tubuh Total Body Water (TBW )
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari berat
badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung beberapa faktor
diantaranya:
TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini
tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda,
yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air. TBW pada wanita lebih kecil
dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang sama, karena struktur tubuh wanita
dewasa yang umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak. TBW pada
neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan. Untuk beberapa alasan,
obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan jumlah kandungan total air tubuh
TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstra
seluler(CES) seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Gambar 3.3. Persentase komponen cairan dalam tubuh

Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki-laki dewasa
dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah
merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya
bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki
jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya. Komposisi dari CIS
bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan
cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah
dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+dan fosfat serta protein yang
merupakan komponen utama intra seluler (Guyton dan Hall, 2008).
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan
stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif
seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana
transport aktif.Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu
seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah
cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma,
yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus
menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membrane kapiler.
Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya,cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma (Guyton dan Hall, 2008).
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah
dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam
keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi
pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk cairan
transseluler yaitu : Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan intra
okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan pericardial
(Guyton dan Hall, 2008).
2. Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu:
 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali
dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari
cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.

 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang diperlukan
oleh tubuh. Hal ini digambarkan dalam diagram berikut:

Gambar 3.4. Prinsip penatalaksanaan terapi cairan

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :


a. Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses
b. Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil.
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
a. Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
b. Cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
c. Cairan pengganti ( replacement ):
1) Sekuestrasi ( cairan third space )
2) Pengganti darah yang hilang
3) Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase

a. Terapi Cairan Prabedah


Defisit cairan karena persiapan operasi dan anestesi harus diperhitungkan dan
dapat diganti saat sebelum induksi. Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan
pemeliharaan, pada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Pada anak-anak 4 ml/kgBB/jam untuk
berat badan 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua, dan 1
ml/kgBB/jam tambahan untuk sisa berat badan. Lamanya puasa pada pasien juga
harus diperhitungkan dengan lama puasa dikalikan dengan cairan cairan pemeliharaan
pasien. Salah satu tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urin 0,5-1
ml/kgBB.
b. Terapi Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi.
Penggantian cairan tergantung pada besar kecilnya pembedahan , yakni 6-8 ml/kgBB
untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB untuk bedah sedang, dan 2-4 ml/kg BB untuk bedah
kecil. Cairan pengganti pada anak, untuk bedah ringan 2 ml/kgBB, sedang 4 ml/kgBB
dan berat 6 ml/kgBB.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan
perkiraan jumlah perdarahan. Pada perdarahan untuk mempertahankan volume
intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya
karena anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel
darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit
pada level aman, yaitu hemoglobin (Hb) 7 – 10 g/dl atau hematokrit (Ht) 21 – 30%.
Penggantian cairan akibat perdarahan berdasarkan berat-ringannya perdarahan adalah
sebagai berikut:
1) Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti
dengan cairan elektrolit.
2) Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti dengan
cairan kristaloid dan koloid.
3) Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.
c. Terapi Cairan Paska Bedah
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk:
1) Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
2) Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).
3) Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
4) Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori,


protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori sekitar 25 Kkal/kgBB/hari dengan protein 0,8
gram/kgBB/hari. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah
yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari.
Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi, terjadi penurunan enzim pencernaan yang menyulitkan proses
realimentasi.

3. Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air.
Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid
memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun
kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya
terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular. Cairan infus dapat berupa cairan
kristaloid, cairan koloid, atau campuran keduanya. Jenis-jenis cairan tersebut adalah
(Latief et al., 2009, Barash, 2006):
a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi
defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru. Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan
kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian
cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu, koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar. Berdasarkan pembuatannya, terdapat dua jenis larutan koloid:
1) Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60 °C selama 10
jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab
itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2) Koloid Sintesis yaitu:
a) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000 - 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan
dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi
platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan
fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih
dahulu.
b) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum
amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-
Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga
1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
c) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin,
yaitu:
• Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
• Urea linked gelatin
• Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan banyak digunakan
pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) terutama dari golonganurea linked gelatin.
DAFTAR PUSTAKA

American cancer society. 2014. Thyroid cancer. Amerika: American cancer society. Diakses dari
http://www.cancer.org/cancer/thyroidcancer /detailed guide/thyroid. Pada tanggal 7
Desember 2017.
American cancer society. 2014. What are the risk factor of thyroid cancer. Amerika: American
cancer society. Diakses dari
http://www.cancer.org/cancer/thyroidcancer/detailedguide/thyroid-cancer-
riskfactors.Pada tanggal 7 Desember 2017.
American thyroid association. 2005. Cancer of thyroid. USA: American thyroid association.
Diakses dari: http://www.thyroid.caJGuides/HGl2.html. Pada tanggal 8 Agustus 2014.
Baloch ZW, Cibas ED, Clark DP, Layfield LD, Ljung BM, Pitman MB, et al. 2008. The national
cancer institute thyroid fine needle aspiration state of the science conference.
Cytojournal. 5(6): 1-6.
Baloch ZW, Flesiher S, LiVolsi VA, Gupta PK. 2002. Diagnosis of follicular neoplasm: a gray
zone in thyroid fine needle aspiration cytology. Cytopathol. 26 (1): 41-4.
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of
Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Barnabei A, Ferretti E, Baldelli R, Procaccini A. 2009. Hurthle cell tumours of the thyroid. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 29(6): 305–11.
Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists.
Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208.
Chao TC, Lin JD, Chen MF. 2005. Surgical treatment of hurthle cell tumors of the thyroid.World
J Surg. 29(2): 164-8.
Cho YS, Lee HS, Jung KY, Woo JS, Back SK, Choi JH, et al. 2008. Sonography guided ok 432
sclerotherapy for benign thyroid cyst. Acta Oto Laryngo.128(5): 597-600.
Clark DP, Faquin WC. 2005. Thyroid cytopathology. 2nd ed. New York: Springer.
De jong W, Sjamsuhidajat R. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Endocrine surgery. 2014. Anaplastic thyroid cancer. New York: Endocrine surgery. Diakses dari
http://columbiathyroidcenter.org/anaplastic_thyroid_cancer.html. Pada tanggal 7
Desember 2017.
Guyton AC & Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
Harach HR. 2005. Solid cell nests of the thyroid. Pathol. 155(3): 191-200.
Hegedus L. 2004. The thyroid nodule. N Engl J Med. 351(1): 1764-71
Katzung, B. G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Latief SA, Suryadi KA. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Livolsi VA, Baloch ZW. 2004. Pathology of thyroid and parathyroid disease in:Mills SE, Carter
D, Reuter VE. Sternberg‘s diagnostic surgical pathology. 4th ed. Philadelphia: Elseiver.
p. 493-527.
McHenry CR, Phitayakorn R. 2011. Follicular adenoma and carcinoma of the thyroid gland.
Oncol. 16 (5): 585-93.
Medscape. 2011. Thyroid cancer. New York: Medscape. Diakses dari http://emedicine.
medscape.com/article/851968. Pada tanggal 7 Desember 2017.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
National cancer institute. 2014. Stage information of thyroid cancer. Inggris: National cancer
institute. Diakses dari http://www.cancer.gov/cancertopics/
pdq/treatment/thyroid/HealthProfessional/page3#Section_177. Pada tanggal 7
Desember 2017.
National library of medicine. 2014. Chronic thyroiditis (hashimoto disease). US: National library
of medicine . Diakses dari http://www.ncbi.nlm. nih.gov /pubmedhealth/PMH0001409/.
Pada tanggal 7 Desember 2017.
National library of medicine. 2014. Grave diseases. US: National library of medicine. Diakses
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth /PMH00013 98/. Pada tanggal 7
Desember 2017.
Press, C.D., 2013. General Anestesi, Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. [Diakses 7 December 2017]
Salam, S. H. 2016. Dasar-dasar terapi cairan dan elektrolit. http://med.unhas.ac.id/ (diakses 7
Desember 2017)
Schteingart DE, 2006. Gangguan kelenjar tiroid dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. Hlm. 1222-34.
Sherwood L. 2011. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC.
Soenarjo and Heru D.J. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.
Sriwidyani NP, Mulyadi K. 2007. Peranan fnab untuk diagnosis pembesaran kelenjar tiroid.
Medicina. 38(3): 225-28.
Subekti I, Sudoyo AW. 2009. Tumor tiroid dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Thyroid disease manager. 2012. Thyroid nodules. Shout Darmouth: Thyroid disease manager.
Diakses dari http://www.thyroidmanager.org/chapter/thyroid-nodules/#toc-therapy-for-
nodules-table-18-318-4-figure-18-13. Pada tanggal 7 Desember 2017.
Zieren J, Paul M, Scharfenberg M, Menenakos C. 2006. Submandibular ectopic thyroid gland. J
Craniofac Surg. 17(6): 1194-8.

Anda mungkin juga menyukai