Oleh:
Pembimbing:
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
Yunandhika Rizki Widodo G4A016072
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Telah disetujui,
Pada tanggal: Desember 2017
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 16 Juli 1966
Alamat : Salem, Brebes
Agama : Islam
Diagnosis : Tumor Tiroid
Pro : Tiroidektomi
DPJP Anestesi : dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An
No. CM : 02026094
Tanggal masuk RSMS : 6 Desember 2017
Tanggal Operasi : 7 Desember 2017
A. Perkembangan Pasien
1. Jumat,8 Desember 2017
Subjektif :
Pasien mengeluhkan nyeri pada luka bekas operasi, suara serak. Sesak (-), Pusing (-)
Objektif :
KU/Kes : Sedang/Compos Mentis
TD : 140/65 mmHg
N : 95x/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
RR : 15x/menit
S : 36,5 C
SpO2 : 100%
Status Generalis
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edem palpebra (-/-)
Hidung : discharge (-/-), NCH (-/-) NGT (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), gigi tanggal (-)
Telinga : discharge (-/-)
Pulmo : SD vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), Wh (-/-)
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : datar, BU (+)
Status lokalis
Leher : Terbalut kassa (+), rembes (-), darah (-), Drain (+) produksi (-)
Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 7/12/2017
Hb : 13.3 g/dL
Leukosit : 19980 U/L (H)
Ht : 41 %
Eritrosit : 4.3
Trombosit : 309.000
GDS : 156
Na : 142
K : 4.7 (H)
Cl : 109 (H)
Ca : 7.7 (L)
Assesment : Post Tiroidektomi H+1
Planing :
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Dexametason 1 ampul (Extra)
Morfin Syringe Pump 50mg/jam
IVFD RL 25-30 tpm
IVFD Gelofusin 25-30 tpm
Posisi kepala bed Headup 30o
A. Kelenjar Tiroid
1. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fasia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar
dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrakealis dan melingkari trakea
dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini dapat
bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus vagus terletak
bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di
dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke
dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Gambar 3.1. Anatomi kelenjar tiroid (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005)
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain arteri
karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan
kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala
dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri
atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di
sebelah lateral dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi
laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari
nervus laringeus superior (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Gambar 3.2. Vaskularisasi kelenjar tiroid (Ellis, 2006).
2. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang
kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan
kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam
jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid
di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan
sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi,
hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding
Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine
(TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormone (TSH) memegang
peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan balik negatif sangat penting
dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat
adanya sel parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang (De Jong &
Sjamsuhidajat, 2005).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis.
Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid
dalam sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior
hipofisis dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing
Hormone (TRH) dari hipotalamus (Guyton & Hall, 2006).
Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori yaitu : (Sherwood, 2011)
c. Karsinoma Medular
Karsinoma medular meliputi sekitar 5% keganasan tiroid dan berasal dari
sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin. Karsinoma ini timbul
secara sporadik (80%) dan familial (20%), dimana tumor ini diturunkan sebagai
sifat dominan autosom yang berhubungan dengan MEN-2a atau MEN-2b atau
endokrinopati lainnnya (Livolsi, 2004).
Massa tumor berbatas tegas dan keras pada perabaan, pada tumor yang lebih
luas tampak daerah nekrosis dan perdarahan dan dapat meluas sampai ke kapsul.
Mikroskopis tampak kelompokan sel-sel bentuk poligonal sampai lonjong dan
membentuk folikel atau trabekula. Tampak adanya deposit amiloid pada stromanya
yang merupakan gambaran khas pada karsinoma tipe medular ini (Livolsi, 2004).
d. Karsinoma Anaplastik
Karsinoma anaplastik tiroid merupakan salah satu keganasan pada manusia
yang paling agresif dan jarang dijumpai yaitu kurang dari 5%. Karsinoma
anaplastik ini berkembang dengan menginfiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor ini
terutama timbul pada usia lanjut, terutama di daerah endemik gondok dan lebih
banyak pada wanita. Sebagian besar kasus muncul dengan riwayat pembengkakan
yang cepat membesar pada leher, disertai dengan adanya kesulitan bernafas dan
menelan, serta suara serak karena infiltrasi ke nervus rekurens. Pertumbuhannya
sangat cepat walaupun diterapi. Metastasis ke tempat jauh sering terjadi, tetapi
umumnya kematian terjadi dalam waktu kurang dari setahun. Angka ketahanan
hidup 5 tahun <5% (Endocrine Surgery, 2014).
Tampak massa tumor yang tumbuh meluas ke daerah sekitarnya. Gambaran
mikroskopis, tampak sel-sel anaplastik (undifferentiated) dengan gambaran
morfologi yang sangat pleomorfik, serta tidak terbentuknya gambaran folikel, papil
maupun trabekula (Livolsi, 2004).
3. Klasifikasi Berdasarkan Sistem Lain
a. Klasifikasi Karsinoma Tiroid (National Cancer Institute, 2014):
1) Tumor epitel maligna
a) Karsinoma folikular
b) Karsinoma papilar
c) Campuran karsinoma folikular-papilar
d) Karsinoma anaplastik ( undifferentiated )
e) Karsinoma sel skuamosa
f) Karsinoma tiroid medular
2) Tumor non-epitel maligna
a) Fibrosarkoma
3) Tumor maligna lainnya
a) Sarkoma
b) Limfoma maligna
c) Haemangiothelioma maligna
d) Teratoma maligna
5. Terapi
Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan gejala yang berat kecuali jenis
anaplastik yang cepat membesar dalam hitungan minggu. Sebagian kecil pasien
khususnya dengan nodul yang besar mengeluhkan penekanan pada esofagus dan trakea.
Biasanya nodul tiroid tidak nyeri kecuali adanya perdarahan dalam nodul atau kelainan
tiroiditis akut/subakut. Salah satu keluhan pada keganasan tiroid adalah suara serak
(Subekti dkk, 2009). Saat ini telah ditemukan beberapa metode terapi yang tepat dalam
penatalaksanaan karsinoma tiroid, yaitu :
a. Terapi pembedahan (Operatif)
Bila diagnosis kemungkinan telah ditegakkan dan operabel, operasi yang
dilakukan adalah lobektomi sisi yang patologik atau lobektomi subtotal dengan
risiko bila ganas kemungkinan ada sel-sel karsinoma yang tertinggal. Pembedahan
umumnya berupa tiroidektomi total. Enukleasi nodulnya saja adalah berbahaya
karena bila ternyata nodul tersebut ganas, telah terjadi penyebaran (implantasi) sel-
sel tumor dan operasi ulang untuk tiroidektomi secara teknis akan menjadi lebih
sukar (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
b. Terapi radiasi
Apabila keadaan tumor sudah inoperabel atau pasien menolak operasi lagi
untuk lobus kontralateral, maka dapat dilakukan :
1) Radiasi interna dengan Iodine 131
2) Radiasi eksterna (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
6. Prognosis
Prognosis dari karsinoma tiroid tergantung jenis keganasan. Khusus untuk
karsinoma tiroid berdifferensiasi baik dapat digunakan skor AMES (Age, Metastasis,
Ekstension, Size), AGES (Age, Grades, Ekstension, Size), atau MACIS (Metastases, Age,
Complete excision, Invasion, Size) (De Jong dan Sjamsuhidajat, 2005). Secara umum,
prognosis lebih baik pada pasien-pasien yang lebih muda dibanding dengan pasien-pasien
usia diatas 40 tahun. Pasien-pasien dengan karsinoma papilar yang disertai tumor primer
memiliki prognosis sangat baik, hanya 1 dari setiap 100 pasien akan mati disebabkan
karsinoma tiroid. Prognosis menjadi tidak baik pada pasien di atas usia 40 tahun, atau
pasien dengan diameter tumor lebih dari 4 cm (American Thyroid Association, 2005).
D. General Anestesi
1. Definisi
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang (Torpy, 2011).. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa
kimia yang heterogen, yang mendepresi sistem saraf pusat (SSP) secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol (Munaf, 2008). Ketidaksadaran tersebut
yang memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan
rasa sakit tak tertahankan, yang mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan
menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama anestesi umum, seseorang
tersebut tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami (Press, 2013).
2. Sifat anestesi umum yang ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan
baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat
toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar
yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat
inhalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya
perubahan kadar obat anestesi dalam SSP (Munaf, 2008).
Anestesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anestesi
umum. Anestesi seimbang terdiri dari (Calvey dan Williams, 2008):
a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
b. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam
dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1
jam sebelum pembedahan
c. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal).
d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen.
e. Pelemas otot jika diperlukan.
3. Obat-obatan induksi anestesi
Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh sampai
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi anestesi terdiri dari pemberian obat anestesi hipnosis secara cepat
melalui intravena. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak 30 – 60 detik dan cepat
turun karena proses redistribusi dari obat. Perubahan konsentrasi plasma secara cepat
mengakibatkan perubahan tingkat penekanan susunan saraf pusat (Soenarjo et al., 2010).
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan
steroid; 2) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan
seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya:
ketamin), sedatif (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anestesi intravena,
hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan
diazepam (Katzung, 2010).
4. Pemeliharaan anestesi (maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur rinan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam (Katzung,
2010).
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan (Katzung,
2010).
5. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan anestesi
intravena, kesadaran akan kembali berangsur-angsur dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita
yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka
hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan
pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat
dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi
dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat
menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenarjo et al., 2010).
6. Jenis Obat Anestesi Umum.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena,
sebagai berikut (Latief and Suryadi, 2009):
a. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah
satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan
metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Anestesi inhalasi
konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi
karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap
hati .
b. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya
stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang
mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, sebagai berikut :
1) Barbiturat (tiopental, metoheksital)
2) Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
3) Opioid analgesik dan neuroleptik
4) Obat-obat lain (profopol, etomidat)
5) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki-laki dewasa
dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah
merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya
bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki
jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya. Komposisi dari CIS
bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan
cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah
dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+dan fosfat serta protein yang
merupakan komponen utama intra seluler (Guyton dan Hall, 2008).
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan
stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif
seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana
transport aktif.Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu
seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah
cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma,
yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus
menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membrane kapiler.
Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya,cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma (Guyton dan Hall, 2008).
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah
dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam
keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi
pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk cairan
transseluler yaitu : Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan intra
okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan pericardial
(Guyton dan Hall, 2008).
2. Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu:
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali
dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari
cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang diperlukan
oleh tubuh. Hal ini digambarkan dalam diagram berikut:
3. Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air.
Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid
memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun
kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya
terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular. Cairan infus dapat berupa cairan
kristaloid, cairan koloid, atau campuran keduanya. Jenis-jenis cairan tersebut adalah
(Latief et al., 2009, Barash, 2006):
a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi
defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru. Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan
kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian
cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu, koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar. Berdasarkan pembuatannya, terdapat dua jenis larutan koloid:
1) Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60 °C selama 10
jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab
itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2) Koloid Sintesis yaitu:
a) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000 - 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan
dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi
platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan
fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih
dahulu.
b) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum
amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-
Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga
1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
c) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin,
yaitu:
• Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
• Urea linked gelatin
• Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan banyak digunakan
pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) terutama dari golonganurea linked gelatin.
DAFTAR PUSTAKA
American cancer society. 2014. Thyroid cancer. Amerika: American cancer society. Diakses dari
http://www.cancer.org/cancer/thyroidcancer /detailed guide/thyroid. Pada tanggal 7
Desember 2017.
American cancer society. 2014. What are the risk factor of thyroid cancer. Amerika: American
cancer society. Diakses dari
http://www.cancer.org/cancer/thyroidcancer/detailedguide/thyroid-cancer-
riskfactors.Pada tanggal 7 Desember 2017.
American thyroid association. 2005. Cancer of thyroid. USA: American thyroid association.
Diakses dari: http://www.thyroid.caJGuides/HGl2.html. Pada tanggal 8 Agustus 2014.
Baloch ZW, Cibas ED, Clark DP, Layfield LD, Ljung BM, Pitman MB, et al. 2008. The national
cancer institute thyroid fine needle aspiration state of the science conference.
Cytojournal. 5(6): 1-6.
Baloch ZW, Flesiher S, LiVolsi VA, Gupta PK. 2002. Diagnosis of follicular neoplasm: a gray
zone in thyroid fine needle aspiration cytology. Cytopathol. 26 (1): 41-4.
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of
Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Barnabei A, Ferretti E, Baldelli R, Procaccini A. 2009. Hurthle cell tumours of the thyroid. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 29(6): 305–11.
Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists.
Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208.
Chao TC, Lin JD, Chen MF. 2005. Surgical treatment of hurthle cell tumors of the thyroid.World
J Surg. 29(2): 164-8.
Cho YS, Lee HS, Jung KY, Woo JS, Back SK, Choi JH, et al. 2008. Sonography guided ok 432
sclerotherapy for benign thyroid cyst. Acta Oto Laryngo.128(5): 597-600.
Clark DP, Faquin WC. 2005. Thyroid cytopathology. 2nd ed. New York: Springer.
De jong W, Sjamsuhidajat R. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Endocrine surgery. 2014. Anaplastic thyroid cancer. New York: Endocrine surgery. Diakses dari
http://columbiathyroidcenter.org/anaplastic_thyroid_cancer.html. Pada tanggal 7
Desember 2017.
Guyton AC & Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
Harach HR. 2005. Solid cell nests of the thyroid. Pathol. 155(3): 191-200.
Hegedus L. 2004. The thyroid nodule. N Engl J Med. 351(1): 1764-71
Katzung, B. G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Latief SA, Suryadi KA. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Livolsi VA, Baloch ZW. 2004. Pathology of thyroid and parathyroid disease in:Mills SE, Carter
D, Reuter VE. Sternberg‘s diagnostic surgical pathology. 4th ed. Philadelphia: Elseiver.
p. 493-527.
McHenry CR, Phitayakorn R. 2011. Follicular adenoma and carcinoma of the thyroid gland.
Oncol. 16 (5): 585-93.
Medscape. 2011. Thyroid cancer. New York: Medscape. Diakses dari http://emedicine.
medscape.com/article/851968. Pada tanggal 7 Desember 2017.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
National cancer institute. 2014. Stage information of thyroid cancer. Inggris: National cancer
institute. Diakses dari http://www.cancer.gov/cancertopics/
pdq/treatment/thyroid/HealthProfessional/page3#Section_177. Pada tanggal 7
Desember 2017.
National library of medicine. 2014. Chronic thyroiditis (hashimoto disease). US: National library
of medicine . Diakses dari http://www.ncbi.nlm. nih.gov /pubmedhealth/PMH0001409/.
Pada tanggal 7 Desember 2017.
National library of medicine. 2014. Grave diseases. US: National library of medicine. Diakses
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth /PMH00013 98/. Pada tanggal 7
Desember 2017.
Press, C.D., 2013. General Anestesi, Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. [Diakses 7 December 2017]
Salam, S. H. 2016. Dasar-dasar terapi cairan dan elektrolit. http://med.unhas.ac.id/ (diakses 7
Desember 2017)
Schteingart DE, 2006. Gangguan kelenjar tiroid dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. Hlm. 1222-34.
Sherwood L. 2011. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC.
Soenarjo and Heru D.J. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.
Sriwidyani NP, Mulyadi K. 2007. Peranan fnab untuk diagnosis pembesaran kelenjar tiroid.
Medicina. 38(3): 225-28.
Subekti I, Sudoyo AW. 2009. Tumor tiroid dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Thyroid disease manager. 2012. Thyroid nodules. Shout Darmouth: Thyroid disease manager.
Diakses dari http://www.thyroidmanager.org/chapter/thyroid-nodules/#toc-therapy-for-
nodules-table-18-318-4-figure-18-13. Pada tanggal 7 Desember 2017.
Zieren J, Paul M, Scharfenberg M, Menenakos C. 2006. Submandibular ectopic thyroid gland. J
Craniofac Surg. 17(6): 1194-8.