Anda di halaman 1dari 18

3.

METODE PENELITIAN

3.1 Materi Penelitian

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, beaker

glass 100 mL, 500 mL dan 1000 mL, erlenmeyer 250 mL, tabung reaksi, rak tabung

reaksi, pipet volume, pipet tetes, bola hisap, spatula, timbangan digital, water bath,

hot plate, inkubator, centrifuges, cuvet, spektrofotometer UV-Vis, glucometer,

microplate reader.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sargassum sp. dari

kepulauan Talango, Sumenep, Madura, tikus wistar jantan (Rattus novergicus) 2-

3 bulan, reagen Folin-ciocalteu 50%, akuades, etanol 85%, floroglusinol, Na2CO3

5%, FeCl3 1%, HCl, H2SO4, Mg, KI, kloroform, metformin, streptozotocin (STZ),

pakan BR1, lemak babi, sekam, obat luka iodine, asam sitrat, Na-sitrat, buffer sitrat

pH 4,5, phosphat buffer saline (PBS) pH 7,4, tetramethylbenzidine (TMB), stop

solution (HCl 2N), NaFis 0,9%, xylol, glukosa kit, NF-kB kit, air.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.

Metode eksperimen merupakan bagian dari metode kuantitatif. Penelitian

eksperimen adalah suatu upaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dan

pemecahan suatu masalah. Kegiatan percobaan yang dilakukan untuk

menemukan suatu jawaban tentang permasalahan yang diteliti melalui suatu

pengujian hipotesis (Hanifah 2012). Dalam bidang sains, penelitian-penelitian

dapat menggunakan desain eksperimen karena variabel-variabel dapat dipilih dan

variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi proses eksperimen itu dapat


25

dikontrol secara ketat (Fataruba 2010). Perlakuan yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah pemberian ekstrak Sargassum sp. dengan metode dekok

kepada tikus (Rattus novergicus) penyandang diabetes melitus (DM). Penelitian

pendahuluan dilakukan untuk mengetahui optimasi waktu dan konsentrasi pelarut

yang digunakan dalam metode ekstraksi dekok untuk memperoleh kandungan

optimum florotanin dari ekstrak yang dihasilkan. Penelitian utama dilakukan untuk

mengetahui ada atau tidaknya pengaruh dekok Sargassum sp. dalam menurunkan

kadar glukosa darah dan penurunan ekspresi NF-kB pada tikus penyandang DM.

Variabel adalah gejala, suatu fakta ataupun data yang sifatnya berubah-

berubah dan tidak tetap. Variabel dibagi menjadi dua yaitu variabel bebas dan

variabel terikat. Variabel bebas (independent variable) merupakan variabel yang

dilihat pengaruhnya terhadap variabel terikat (dependent variable), sedangkan

variabel terikat adalah dampak dari variabel bebas. Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah 7 perlakuan berbeda pada tikus, sedangkan variabel terikat

pada penelitian ini adalah pengaruh dekok Sargassum sp. dalam menurunkan

kadar glukosa darah dan penurunan ekspresi NF-kB pada tikus penyandang DM.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

3.3.1.1 Pembuatan Dekok Sargassum sp.

Pada penelitian ini, Sargassum sp. yang digunakan diambil dari perairan

kepulauan Talango, Madura. Sargassum sp. segera dibersihkan dari kotoran-

kotoran yang menempel dengan menggunakan air tawar yang mengalir untuk

menghilangkan garam-garam yang masih menempel. Bagian dari Sargassum sp.

yang digunakan yaitu bagian daun.

Metode ekstraksi bahan aktif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

dekok, dengan optimasi waktu dan konsentrasi pelarut yang digunakan


26

berdasarkan hasil yang disarankan software Design Expert. Pembuatan pangan

fungsional Sargassum sp. dengan metode dekok yaitu Sargassum sp. dicuci

dengan air tawar mengalir lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam beaker glass,

lalu ditambah pelarut akuades dengan perbandingan 1:6,37. Kemudian

dipanaskan pada water bath dengan suhu 90oC selama 22 menit, lalu disaring

menggunakan kain blancu sehingga diperoleh filtrat dan residu.

Sargassum sp

Pencucian

Penimbangan
Akuades
1:6,37 (b/v)
Pemanasan 22 menit

Penyaringan

Residu Filtrat Uji Fitokimia

Gambar 6. Pembuatan Dekok Sargassum sp.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Standar Floroglusinol (Koivikko, 2005)

Larutan stok floroglusinol dengan konsentrasi 100 ppm (mg/mL) dibuat

dengan melarutkan 0,01 g floroglusinol dalam 100 mL etanol 85%. Larutan standar

dibuat dari larutan stok dengan mengambil 2 mL, 4 mL, 6 mL, 8 mL dan 10 mL

larutan stok kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berbeda lalu

ditambahkan etanol 85% sampai masing-masing larutan berjumlah 10 mL,

sehingga diperoleh konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm.

Masing-masing konsentrasi diambil sebanyak 2,5 mL dan dilarutkan dalam 2,5 mL

H2O. Kemudian diambil masing-masing larutan sebanyak 1 mL dan dimasukkan


27

ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 mL reagen Folin-Ciocalteu 50% dan 2 mL

Na2CO3 5%, lalu ditunggu selama 3 menit. Kemudian diinkubasi dalam ruang gelap

dengan suhu ruang selama 45 menit dan dilakukan absorbansi sampel dengan

menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 770 nm. Dari

hasil pengukuran tersebut dapat dibuat persamaan regresi kurva hubungan antara

konsentrasi floroglusinol (ppm) dengan absorbansi.

3.3.1.3 Penentuan Total Senyawa Florotanin pada Dekok Sargassum sp.

(Sharma et al., 2011)

Penentuan total senyawa florotanin dilakukan berdasarkan metode Folin-

Ciocalteu. Sargassum sp. ditimbang sebanyak 20 g lalu diekstraksi dengan

metode dekok menggunakan pelarut akuades dengan perbandingan 1:5, 1:7,5 dan

1:10 (b/v). Diambil 2,5 mL ekstrak dan dilarutkan dalam 2,5 mL H2O pada tabung

reaksi. Diambil 1 mL larutan, kemudian ditambahkan 1 mL reagen Folin-Ciocalteu

50% dan 2 mL Na2CO3 5% pada tabung reaksi, lalu ditunggu selama 3 menit.

Kemudian diinkubasi dalam ruang gelap dengan suhu ruang selama 45 menit lalu

disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 700 rpm hingga diperoleh

supernatan. Kemudian diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer

UV-VIS pada panjang gelombang 770 nm dengan larutan standar floroglusinol dan

dimasukkan hasilnya ke dalam kurva hubungan antara konsentrasi floroglusinol

(ppm) dengan absorbansi, lalu dianalisa menggunakan software Design Expert

untuk memperoleh hasil yang optimum.


28

3.3.1.4 Uji Fitokimia (Harborne, 1987)

a. Polifenol

Uji kandungan polifenol dilakukan dengan memasukkan 0,1 mL ekstrak

Sargassum sp. ke dalam tabung reaksi, lalu ditambah akuades 5 mL. Kemudian

dididihkan selama 5 menit menggunakan hot plate dan ditambah FeCl3 sebanyak

5 tetes. Perubahan warna larutan menjadi biru sampai hitam menunjukkan adanya

kandungan polifenol pada ekstrak.

b. Flavonoid

Uji kandungan flavonoid dilakukan dengan mengambil 0,1 mL ekstrak

Sargassum sp., dicampur dengan etanol 5 mL lalu dikocok, dipanaskan dan

dikocok kembali. Kemudian ditambahkan Mg 0,2 g dan HCl 3 tetes. Terbentuknya

warna merah menunjukkan adanya kandungan flavonoid.

c. Alkaloid

Uji kandungan alkaloid dilakukan dengan memasukkan 0,5 g ekstrak

Sargassum sp. ke dalam tabung reaksi, lalu ditambah kloroform 5 mL dan amonia

3 tetes. Kemudian dipisah fraksi kloroform dan ditambah H2SO4 2 M sebanyak 10

tetes, lalu dipisah menjadi bagian A, B dan C. Bagian A diberi pereaksi Mayer,

terbentuknya endapan putih menunjukkan adanya kandungan alkaloid. Bagian B

diberi pereaksi Dragendorf, timbulnya warna merah menunjukkan adanya

kandungan alkaloid. Kemudian bagian C diberi pereaksi Wagner, timbulnya warna

coklat menunjukkan adanya kandungan alkaloid.

d. Tanin

Uji kandungan tanin dilakukan dengan memasukkan 0,5 mL ekstrak

Sargassum sp. ke dalam tabung reaksi, lalu ditambah akuades 5 mL. Kemudian

didihkan selama 5 menit menggunakan hot plate dan ditambah FeCl3 sebanyak 5
29

tetes. Perubahan warna larutan menjadi biru tua dan hijau kehitaman

menunjukkan adanya kandungan tanin pada ekstrak.

e. Saponin

Uji kandungan saponin dilakukan dengan uji busa dalam air panas dengan

melarutkan ekstrak Sargassum sp. ke dalam 10 mL air panas lalu dikocok kuat-

kuat. Adanya kandungan saponin dilihat dari busa yang tidak hilang setelah 5

menit dan setelah penambahan HCl 2N 1 tetes.

3.3.2 Penelitian Utama

3.3.2.1 Pemodelan

Pemodelan tikus coba diawali dengan menempatkan tikus wistar jantan

usia 2-3 bulan sebanyak 35 ekor dengan berat antara 200-250 g ke dalam

individual cages. Kemudian dilakukan adaptasi selama 7 hari untuk

mengkondisikan semua tikus sebelum diberikan perlakuan (Miftahul, 2015).

Selama masa adaptasi, tikus coba setiap hari diberi pakan dan minum tanpa batas

(ad libitum). Tikus coba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol

negatif yang terdiri dari 10 ekor tikus dan kelompok kontrol positif yang terdiri dari

25 ekor tikus. Setelah masa adaptasi, tikus kelompok positif diberi pakan dengan

campuran lemak babi selama 28 hari untuk meningkatkan kadar kolesterol tikus.

Tikus coba dibagi ke dalam 7 perlakuan, di mana pada tiap perlakuan terdapat 5

ekor tikus coba, yang meliputi:

A = kontrol negatif + akuades


B = kontrol negatif + dekok 2259 mg/kg BB
C = kontrol positif + akuades
D = kontrol positif + metformin 1,8 mg/kg BB
E = kontrol positif + dekok 2259 mg/kg BB
F = kontrol positif + dekok 4518 mg/kg BB
G = kontrol positif + dekok 6777 mg/kg BB
30

Tikus kontrol positif yang telah mengalami hiperkolesterol (kadar kolesterol

>54 mg/dL) disuntik dengan streptozotocin (STZ) untuk menginduksi diabetes.

Preparasi diabetogenik STZ dilakukan dengan melarutkan 75 mg STZ ke dalam

larutan buffer sitrat pH 4,5 (Erwin et al., 2013). Penggunaan buffer sitrat pH 4,5

bertujuan untuk mempertahankan pH asam. Buffer sitrat pH 4,5 dibuat dari

campuran 26,5 mL larutan asam sitrat 0,1 M dan 23,5 mL larutan Na-sitrat 0,1 M

yang ditambah akuades hingga volume larutan 100 mL. Sebelum disuntik dengan

STZ, tikus coba terlebih dahulu dipuasakan selama minimal 8 jam supaya terjadi

metabolisme basal dan STZ dapat bereaksi secara optimal di dalam tubuh. Dosis

STZ yang disuntikkan pada tikus coba yaitu 20 mg/kg BB.

STZ diinjeksi secara intra peritoneal pada daerah di bawah rongga perut.

Hasil dari induksi diabetes oleh STZ dapat diketahui dengan melakukan

pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-10 setelah penyuntikan. Tikus yang

dinyatakan positif diabetes harus memiliki kadar glukosa darah sesaat ≥200 mg/dL

(Kustarini et al., 2012), sedangkan tikus coba yang memiliki kadar glukosa darah

≤200 mg/dL tidak digunakan. Setelah dilakukan pemodelan, tikus coba kemudian

diberi treatment sesuai perlakuan masing-masing. Pemodelan tikus coba pada

berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.


31

Tikus coba berat badan 200 – 250 g

Aklimatisasi selama 7 hari

Tikus perlakuan kontrol Tikus perlakuan kontrol


negatif (A dan B) positif (C, D, E, F, dan G)

Penambahan lemak babi


pada pakan selama 28 hari

Tikus hiperkolestrol Tikus non-


(kadar kolesterol hiperkolestrol
> 54 mg/dL)

Pemuasaan selama 8
jam

Penyuntikan STZ
20 mg/kg BB yang dilarutkan dalam
buffer sitrat pH 4,5 secara intra
peritoneal

Pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-10


setelah injeksi STZ

Tikus kontrol Tikus DM Tikus tidak DM


negatif (kadar glukosa (kadar glukosa
darah sesaat darah sesaat
≥ 200 mg/dL) < 200 mg/dL)

Tidak
digunakan
Treatment pada berbagai
kelompok tikus coba

Gambar 7. Pemodelan Tikus Coba Pada Perlakuan


32

3.3.2.2 Treatment pada Berbagai Perlakuan Tikus Coba

Treatment pada berbagai perlakuan tikus coba yaitu sebagai berikut; pada

perlakuan A (kontrol negatif), tikus dalam kondisi normal (tidak DM) diberi akuades

secara oral. Pada perlakuan B (kontrol negatif), tikus dalam kondisi normal diberi

dekok Sargassum sp. secara oral dengan dosis 2259 mg/kg BB untuk mengetahui

pengaruh dari ekstrak Sargassum sp. dalam jumlah minimum terhadap tikus

normal. Pada perlakuan C (kontrol positif), tikus penyandang DM diberi akuades

secara oral. Pada perlakuan D (kontrol positif), tikus penyandang DM diberi

metformin secara oral dengan dosis 1,8 mg/kg BB. Pada perlakuan E (kontrol

positif), tikus penyandang DM diberi dekok Sargassum sp. secara oral sebanyak

satu kali sehari dengan dosis 2259 mg/kg BB. Pada perlakuan F (kontrol positif),

tikus penyandang DM diberi dekok Sargassum sp. secara oral sebanyak dua kali

sehari dengan dosis total 4518 mg/kg BB. Pada perlakuan G (kontrol positif), tikus

penyandang DM diberi dekok Sargassum sp. secara oral sebanyak tiga kali sehari

dengan dosis total 6777 mg/kg BB. Treatment dilakukan selama 28 hari. Treatment

pada berbagai perlakuan tikus coba dapat dilihat pada Gambar 8.


33

Tikus Tikus
Tikus Tikus Tikus Tikus Tikus
normal normal
DM (C) DM (D) DM (E) DM (F) DM (G)
(A) (B)

Pemberian Pemberian
Pemberian
dekok metformin dekok
Sargassum per oral dosis Sargassum
sp. per oral tunggal 1,8 sp. per oral
dengan mg/kg BB per- dosis total
dosis hari 4518 mg/kg
tunggal BB per-hari
2259 mg/kg
BB per-hari
Pemberian Pemberian
dekok dekok
Sargassum Sargassum
sp. per oral sp. per oral
dosis tunggal dosis total
2259 mg/kg 6777 mg/kg
BB per-hari BB per-hari

Pengukuran kadar
glukosa darah pada hari
ke-0, 7, 14, 21 dan 28

Gambar 8. Treatment Tikus Coba Pada Perlakuan

Pada hari ke-28 setelah dilakukan treatment, dilakukan pengamatan pada

tikus coba yang meliputi pengamatan kadar glukosa darah, insulin, ekspresi NF-

kB dan histopatologi organ. Tikus coba dipuasakan selama 8 jam supaya terjadi

metabolisme basal di dalam tubuh tikus. Setelah pemuasaan, dilakukan Oral

Glucose Tolerant Test (OGTT). Tikus coba disonde dengan larutan glukosa 10%

pada menit ke-0, dilanjutkan dengan pengukuran kadar glukosa darah tikus pada

menit ke-30, 60, 90 dan 120. Kemudian tikus coba dietanasi secara dislokasi pada

tulang leher lalu dibedah dari bagian abdomen sampai toraks. Organ yang diambil

dicuci dengan NaFis 0,9% untuk menghilangkan darah yang tersisa, dilanjutkan

dengan penimbangan organ. Kemudian dilakukan pengamatan histopatologi


34

organ tikus dengan pewarnaan Hematoksin Eosin (HE), serta pengamatan kadar

insulin darah dan ekspresi NF-kB dengan menggunakan metode Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA). Pengamatan pada tikus coba dapat dilihat pada

Gambar 9.

Tikus coba setelah di-


treatment 28 hari

Pemuasaan selama 8 jam

Pengamatan Oral
Glucose Tolerant Test
(OGTT) dengan
larutan glukosa 10%
pada menit ke-0 , 30,
60, 90 dan 120
setelah pemuasaan

Pembedahan

Pencucian organ dengan


NaFis 0,9%

Penimbangan organ

Pengamatan Pengamatan kadar Pengamatan ekspresi


histopatologi organ insulin darah NF-kB

Gambar 9. Pengamatan Pada Tikus Coba


35

3.4 Prosedur Analisis

3.4.1 Glukosa Darah (Fachrurazi, 2016)

Kadar glukosa darah tikus coba ditentukan dengan metode biosensor

glucose oksidase. Darah tikus coba diambil melalui ujung ekor yang telah

dibersihkan dengan alkohol 70%. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran

kadar glukosa darah dilakukan dengan melukai vena ekor tikus, kemudian darah

yang keluar dari ekor tikus diteteskan pada stripe yang sudah terpasang pada

glucometer. Kadar glukosa darah akan terbaca di layar glucometer setelah 11

detik, dan dinyatakan dalam mg/dL. Pengukuran glukosa darah tikus coba

dilakukan setiap 7 hari sekali, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21 dan 28. Pada hari ke

28, pengukuran kadar glukosa darah tikus dilakukan setelah tikus dipuasakan

selama 8 jam. Kemudian tikus disonde dengan glukosa 10% dan diamati kadar

glukosa darah pada menit ke 0, 30, 60, 90 dan 120.

3.4.2 Insulin (Tibrani, 2009)

Kadar insulin tikus coba ditentukan dengan metode Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan alat microplate reader. Sampel

yang akan digunakan yaitu jaringan homogenat yang dicuci menggunakan

phosphat buffer sitrat (PBS) pH 7,4 dingin untuk menghilangkan sisa darah secara

menyeluruh. Sampel dicincang menjadi potongan-potongan kecil, lalu

dihomogenkan dengan 1 mL PBS menggunakan pada es. Kemudian sampel

dimasukkan ke dalam cuvet, ditambah 4 mL PBS, dilanjutkan dengan

disentrifugasi dengan kecepatan 2000-3000 rpm selama 20 menit. Supernatan

yang dihasilkan lalu disimpan pada suhu -20oC sampai akan digunakan.

Sebanyak 50 μl larutan standar dimasukkan pada sumuran standar.

Kemudian sebanyak 40 μl sampel dimasukkan pada sumuran sampel. Pada

masing-masing sumuran ditambahkan 10 μl antibodi INS dan ditambahkan 50 μl


36

Horseradish Peroxidase Streptavidin (HRP-Streptavidin) lalu ditutup dengan plate

sealer. Kemudian larutan dihomogenkan dan diiinkubasi pada suhu 37oC selama

60 menit. Lalu dibuka plate sealer, dan dicuci dengan wash buffer sebanyak 5 kali.

Masing-masing pencucian dengan wash buffer dilakukan selama 30 detik sampai

1 menit, lalu diusap menggunakan bahan yang memiliki daya serap. Kemudian

ditambahkan 50 μl larutan A (larutan buffer H2O2) dan 50 μl larutan B

(tetramethylbenzidine) pada masing-masing sumuran, lalu diinkubasi selama 10

menit dengan suhu 37oC pada ruang gelap. Kemudian ditambahkan 50 μL stop

solution (HCl 2N) pada tiap sumuran, dan dikocok selama 5 detik sampai warna

biru berubah warna menjadi kuning. Kemudian ditentukan nilai Optical Density

(OD) menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm, dalam

waktu 30 menit setelah penambahan stop solution.

3.4.3 Ekspresi NF-kB

Pemeriksaan kadar NF-kB pada organ tikus Rattus novergicus strain wistar

jantan dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent ELISA dengan

melakukan persiapan untuk seluruh reagen yang akan digunakan, larutan standar

dan sampel. Semua reagen yang akan digunakan diletakkan pada suhu ruang

lebih dahulu sebelum digunakan. Selanjutnya menentukan jumlah stripe yang

akan digunakan untuk pengujian dan masukkan stripe pada frame untuk

digunakan. Lalu mengambil larutan standar sebanyak 50µl dimasukkan dalam

lubang standar dan mengambil sampel sebanyak 40µl kedalam lubang microplate

kemudian ditambahkan 10µl antibodi NF-kB dalam lubang sampel. Lalu

menambahkan 50µl streptavidin-HRP dalam lubang sampel dan standar lalu

ditutup dengan plate sealer dan lakukan pengocokan secara perlahan, supaya

homogen dan inkubasi pada suhu 37 ºC selama 60 menit. Buka plate sealer dan

dilakukan pencucian microplate sebanyak 5 kali dengan menggunakan buffer,


37

perendaman lubang microplate paling sedikit 0,35 mL pencucian dengan buffer

selama 30 detik sampai 1 menit untuk setiap kali pencucian serta keringkan

dengan tissu atau bahan penyerap lainnya. Kemudian pada masing-masing

lubang microplate dilakukan penambahan substrat solution A (buffer solution

sontaining H2O2) sebanyak 50µl dan substrat solution B (tetramethylbenzidine)

sebanyak 50µl. Selanjutnya penutupan microplate dan inkubasi pada suhu 37 ºC

selama 10 menit dalam kondisi gelap. Lalu dilakukan penambahan stop solution

(2N HCL) dan akan terjadi perubahan warna dari biru menjadi kuning. Kemudian

menentukan nilai OD (Optical Density) menggunakan microplate reader dengan

panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit setelah penambahan Stop

Solution.

3.4.4 Histopatologi Organ (Firdaus, 2011)

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk mengamati perubahan sel atau

jaringan pada organ tikus. Organ tikus diperoleh dengan cara pembedahan.

Langkah-langkah pembuatan dan pewarnaan preparat histopatologi organ terdiri

dari: persiapan jaringan, pembuatan blok, pemotongan blok, pemasangan pita

sayatan, pewarnaan, penjernihan dan pengamatan pada mikroskop.

a. Persiapan jaringan

Persiapan jaringan dimulai dengan pengambilan organ uji dengan pinset

dan segera dicuci dengan larutan fisiologis serta difiksasi dengan formalin buffer

10%. Jaringan dimasukkan dalam larutan alkohol 70% dan dilanjutkan dengan

dehidrasi. Dehidrasi dilakukan bertujuan untuk menghilangkan air agar jaringan

tidak mengkerut. Tahapan dehidrasi adalah jaringan dimasukkan dalam alkohol

80% selama 1 jam, lalu dalam alkohol 95% selama 1 jam dengan diulang 2 kali,

kemudian dalam alkohol 100% selama 1 jam dengan pengulangan 3 kali.


38

Jaringan selanjutnya dijernihkan untuk menghilangkan alkohol dengan

dimasukkan dalam xylol selama 1 jam sebanyak 2 kali, lalu dimasukkan ke dalam

parafin cair yang dipanaskan dalam pemanas selama 3 jam agar seluruh ruang

atau rongga antar atau dalam sel yang ditinggal xylol terisi sempurna oleh parafin.

b. Pembuatan blok

Pembuatan blok dimulai dengan pemberian label pada cetakan, lalu

cetakan dituangi parafin cair. Jaringan ditempatkan dalam cetakan pada posisi

yang diinginkan untuk memudahkan penyayatan jaringan. Kemudian parafin

didinginkan.

c. Pemotongan blok

Pemotongan blok dimulai dengan meletakkan blok pada mikrotom sesuai

dengan posisi jaringan yang akan disayat. Pisau mikrotom dipasang lalu diatur

tingkat ketebalan potongan yaitu 4 mikron. Hasil potongan berupa pita

bersambung. Ujung pita diangkat dengan kuas dan direntangkan di atas

permukaan air hangat.

d. Pemasangan pita sayatan

Pemasangan pita sayatan dimulai dengan melapisi gelas objek dengan

lapisan putih telur yang tipis sebagai perekat dan dibiarkan mengering. Pita 45

sayatan kemudian dipotong dengan silet yang terlebih dahulu direndam xylol dan

potongan dibiarkan mengapung di atas air. Gelas objek dicelupkan dalam air yang

berpita sayatan dan pita sayatan diangkat dengan gelas objek tersebut. Lalu gelas

objek dimasukkan dalam inkubator bersuhu 30oC selama 30 menit hingga 3 jam.

Kemudian pita sayatan yang telah menempel pada gelas objek diwarnai.

e. Pewarnaan

Pewarnaan dimulai dengan menghilangkan parafin pada pita sayatan

dengan merendam gelas objek dalam wadah berisi xylol selama 5 menit dan

diulang 3 kali. Kemudian pita sayatan dihidrasi dengan memasukkan gelas objek
39

dalam wadah berisi alkohol 100%, kemudian alkohol 95%, dan alkohol 80%

masing-masing selama 2 menit. Pita sayatan lalu diwarnai hematoksilin dengan

cara merendam gelas objek selama 15 menit. Kemudian gelas objek dicuci dengan

air mengalir selama 20 menit, dilanjutkan dengan pencelupan dalam alkohol asam

2-3 kali dan diikuti dengan pencucian menggunakan air mengalir selama 2 menit.

Pita sayatan lalu diwarnai dengan eosin selama 0,5-1 menit. Kemudian dilakukan

proses dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam serial larutan alkohol

80% dan 95% masing-masing selama 5 menit.

f. Penjernihan

Penjernihan dilakukan dengan merendam gelas objek dengan xylol selama

5 menit dan diulang 3 kali. Gelas objek lalu dimounting dengan cara menetesi

permukaan objek gelas dengan Canadian balsem atau entelan lalu ditutup dengan

gelas penutup.

g. Pengamatan pada mikroskop

Preparat diangkat satu persatu dari larutan xylol dalam keadaan basah,

lalu diberi satu tetes cairan perekat (DPX). Kemudian ditutup dengan kaca

penutup. Hasil pewarnaan tersebut dapat dilihat di bawah mikroskop.

Penghitungan sel dilakukan dengan lima lapang pandang. Lapang

pandang yang diambil untuk mengamati perubahan yang terjadi. Seluruh lapang

pandang diamati dan dijumlahkan sel. Kerusakan yang diamati berupa nekrosis,

piknosis dan kariolisis. Kemudian dilakukan pemberian skor. Berdasarkan Bayrak

et al. (2008), skor pembacaan histopatologi yaitu 0 = normal, 1 = ringan, 2 =

moderat dan 3 = parah. Perubahan ringan apabila perubahannya <1/3, moderat

bila perubahannya antara 1/3-2/3 dan parah apabila perubahannya >2/3 pada setiap

lapang pandangnya.
40

3.4.5 Berat Badan, Poliuria, Polifagia dan Polidipsia (Fachrurazi, 2016)

Berat badan tikus coba ditimbang menggunakan timbangan digital. Poliuria

pada tikus coba diamati dengan mengukur volume urine, yaitu dengan cara

menimbang sekam basah tikus. Sekam kering ditimbang pada hari ke-(n-1) dan

sekam basah ditimbang pada hari ke-n. Setelah diperoleh angka, kemudian

dilakukan pengurangan antara berat sekam hari ke-n dikurangi berat sekam hari

ke-(n-1). Hasil yang didapatkan merupakan volume urine yang dikeluarkan tikus

selama 1 hari. Polifagia tikus coba diamati dengan mengukur berat sisa pakan

tikus. Pakan ditimbang pada hari ke-(n-1) dan hari ke-n, kemudian dilakukan

pengurangan antara berat pakan hari ke-n dikurangi berat pakan hari ke-(n-1),

sehingga didapatkan berat pakan yang dikonsumsi tikus selama 1 hari. Polidipsia

pada tikus coba diamati dengan mengukur volume sisa minum tikus. Volume

minum diperoleh dari hasil pengurangan volume hari ke-n dikurangi dengan hari

ke-(n-1) sehingga didapatkan volume air yang dikonsumsi tikus selama 1 hari.

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) karena hanya memiliki satu faktor yaitu perlakuan yang berbeda pada tikus

uji (A, B, C, D, E, F, dan G). Dalam penelitian ini digunakan lima kelompok ulangan

(n=5) untuk tiap perlakuan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

A = kontrol negatif + akuades


B = kontrol negatif + dekok 2259 mg/kg BB
C = kontrol positif + akuades
D = kontrol positif + metformin 1,8 mg/kg BB
E = kontrol positif + dekok 2259 mg/kg BB
F = kontrol positif + dekok 4518 mg/kg BB
G = kontrol positif + dekok 6777 mg/kg BB

Metode analisis yang digunakan adalah sidik ragam yang mengikuti model

sebagai berikut:
41

Yij = μ + τi + εij

Di mana:

Yij = Perlakuan ke-i ulangan ke-j


µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j

Apabila hasil analisis keragaman (sidik ragam) menunjukkan adanya

pengaruh yang nyata/sangat nyata maka dilanjutkan dengan analisa Duncan

menggunakan software SPSS. Taraf kepercayaan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah α=0,05. Desain rancangan percobaan penelitian dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Desain Rancangan Percobaan Penelitian


Ulangan Total Rerata
Perlakuan
1 2 3 4 5 (Ʃ) (ẋ)
A A1 A2 A3 A4 A5 ƩA ẋA
B B1 B2 B3 B4 B5 ƩB ẋB
C C1 C2 C3 C4 C5 ƩC ẋC
D D1 D2 D3 D4 D5 ƩD ẋD
E E1 E2 E3 E4 E5 ƩE ẋE
F F1 F2 F3 F4 F5 ƩF ẋF
G G1 G2 G3 G4 G5 ƩG ẋG
Total τi Yij

Keterangan :

A = Tikus normal (kontrol negatif) + akuades


B = Tikus normal (kontrol negatif) + dekok 2259 mg/kg BB
C = Tikus diabetes (kontrol positif) + akuades
D = Tikus diabetes (kontrol positif) + metformin 1,8 mg/kg BB
E = Tikus diabetes + dekok 2259 mg/kg BB
F = Tikus diabetes + dekok 4518 mg/kg BB
G = Tikus diabetes + dekok 6777 mg/kg BB

Anda mungkin juga menyukai