Anda di halaman 1dari 27

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

MENENTUKAN LD50 (LETHAL DOSE)


SUPERMETRIN (SUTRIN 100 ec) PADA TIKUS

Oleh Kelompok 2 B1 :

Lolyta Indah Larassari (201310330311018)


Moh. Ivan Restu A. (201310330311020)
Emeralda Cintya Fiktorul M. (201310330311021)
Intan Winta Pratiwi (201310330311022)
Enggar Yusrina H. (201310330311023)
Ghina Arrum Mayasari (201310330311029)
Syuna Salimdra (201310330311030)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pestisida merupakan suatu zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, jasad
renik yang dianggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman.

Pestisida bersifat toksik. Pada mamalia efek utama yang ditimbulkan adalah
menghambat asetilkolin estrase yang menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan
perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus akibat penumpukan asetilkolin yang
tidak terhidrolisis. Penghambatan asetilkolin estrase juga menimbulkan polineuropati
(neurotoksisitas) mulai terbakar sampai kesemutan, terutama di kaki akibat kesukaran
sensorik dan motorik dapat meluas ke tungkai dan kaki (terjadi ataksia).

Penilaian keamanan obat / zat kimia perlu dilakukan untuk menentukan seberapa
toksik zat tersebut ke manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tahapan berikut :

a. Menentukan LD 50
b. Melakukan percobaan toksisitas sub akut dan kronis untuk menentukan no effect
level
c. Melakukan percobaan karsinogenitas, teratogenitas, mutagenesis yang merupakan
bagian dari penyaringan rutin keamanan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Apa saja alat dan bahan yang digunakan untuk praktikum tersebut?
2) Bagaimana prosedur kerja dari praktikum tersebut?
3) Bagaimana hasil pengamatan dari praktikum tersebut?

3
1.3. Tujuan Praktikum
Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1) Dapat menyebutkan alat dan bahan yang digunakan untuk praktikum tersebut.
2) Dapat menjelaskan prosedur kerja dari praktikum tersebut.
3) Dapat menjelaskan hasil pengamatan dari praktikum tersebut.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida
Pestisida telah digunakan secara luas untuk meningkatkan produksi pertanian,
perkebunan, dan memberantas vector penyakit.Penggunaan pestisida untuk keperluan
di atas, terutama sintetik telah menimbulkan dilema.Pestisida sintetik di satu sisi
sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan produksi pangan untuk menunjang
kebutuhan yang semakin meningkat dan di satu sisi penggunaanya juga berdampak
negatif baik pada manusia, hewan, mikroba dan lingkungan.
Supermetrin (Sutrin) merupakan salah satu contoh pestisida yang biasanya
digunakan untuk membasmi hama pertanian. Uji ketoksikan akut dirasa penting untuk
senyawa ini karena uji ini dapat memperkirakan kisaran dosis letal atau dosis toksik
obat terkait.
Uji ketoksikan akut merupakan parameter derajat efek toksik suatu senyawa
yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan
waktu yang dimaksud dalam uji ketoksikan akut ini adalah 24 jam setelah pemejanan.
Karena sifatnya yang akut dan dalam waktu singkat, maka uji ini sangat penting
dipelajari untuk mengantisipasi akibat terburuk yang akan terjadi.
Toksisitas merupakan suatu sifat relatif yang biasa digunakan untuk
membandingkan apakah zat kimia yang satu lebih toksik dari zat kimia yang lain.
Supermetrin merupakan insektisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun
kontak dan racun perut. Sipermetrin banyak digunakan pada bidang pertanian,rumah
tangga, kesehatan, masyarakat serta kesehatan hewan.
Untuk menentukan efek toksik suatu senyawa dalam waktu singkat setelah
pemejanan perlu dilakukan suatu uji toksisitas akut.Uji ketoksikan dikerjakan dengan
memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis
hewan uji roden dan miroden, jantan maupun betina).Takaran dosis yang dianjurkan
paling tidak 4 peringkat dosis dari dosis rendah yang tidak mematikan hewan uji
sampai dosis tertinggi yang mematikan seluruh hewan uji.Pengamatan yang dilakukan
meliputi gejala klinis, jumlah hewan yang mati dan histopatologi organ.
Data yang diperoleh dari uji ketoksikan akut berupa data kuantitatif yang berupa
LD50 sedangkan data kualitatif berupa penampakan klinis dan morfologi efek toksik
senyawa uji data. LD50 yang diperoleh digunakan untuk potensi ketoksikan akut

5
senyawa relatif terhadap senyawa lain dan untuk memperkirakan takaran dosis uji
toksikologi lainnya.
LD50 ( Lethal Dose 50 ) adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
individu. Perhitungan LD50 didasarkan atas perhitungan statistic. Nilai LD 50 dapat
berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam laboratorium. Karena itu
harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misal berat badan dan
umur tikus, zat pelarut, jantan atau betina, lingkungan, dan sebagainya.
Uji toksisitas akut tidak hanya bertujuan untuk menentukan nilai LD50, tetapi uga
untuk melihat berbagai perubahan tingkah laku, adakah stimulasi atau depresi SSP,
perubahan aktivitas motorik dan pernafasan tikus, serta untuk mendapat gambaran
tentang sebab kematian. Oleh karena itu uji toksisitas ini harus dilengkapi dengan
pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologik dari organ yang
dianggap dapat memperlihatkan kelainan. Kematian yang timbul oleh kerusakan sel
hati, ginjal, atau system hematopoisis tidak akan terjadi pada hari pertama tiap timbul
paling cepat hari ketiga.
Pestisida merupakan suatu zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah, dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat,
jasad renik yang dianggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan
untuk mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman. Pestisida merupakan
kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu pest yang berarti hama dan cida yang
berarti pembunuh, yang berdasarkan istilah mempunyai arti substansi (zat) kimia
untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama yang seperti fungi (jamur),
bakteria, virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan
lain yang dianggap merugikan terutama dalam bidang pertanian (Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian, 2016). Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1973 (yang dikutip oleh Djojosumarto, 2008) pestisida adalah semua zat kimia atau
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
a). Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit- penyakit yangmerusak
tanaman atau hasil- hasil pertanian.

b). Memberantas rerumputan.

c). Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian


tanaman, tidak termasuk pupuk.

6
d). Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan- hewan peliharaan dan
ternak.

e). Memberantas dan mencegah hama-hama air.

f). Memberikan atau mencegah binatang- binatang dan jasad- jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas ataumencegah
binatang- binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

2.2 Kandungan Berbahaya pada Pestisida

Berbagai macam jenis pestisida telah banyak diproduksi terutama pestisida sintetis
atau buatan. Pestisida sintetis ini mempunyai kandungan yang lebih berbahaya daripada
pestisida alami atau campuran (Djojosumarto, 2008). Beberapa kandungan pestisida
sintesis yang berbahaya bagi tubuh apabila masuk ke dalam tubuh diantaranya adalah
organoklorin, organofosfat dan karbamat.

2.2.1. Organoklorin

Organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf (neuro toxins) yang


merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia, menyebabkan tremor dan
kejang- kejang.Sifat pestisida ini yang volatilitas rendah, bahan kimianya yang stabil,
larut dalam lemak dan bitransformasi serta biodegradasi lambat menyebabkan pestisida
ini sangat efektif untuk membasmi hama, namun sebaliknya juga sangat berbahaya bagi
manusia maupun binatang oleh karena persitensi pestisida ini sangat lama di dalam
lingkungan dan adanya biokonsentrasi dan biomagnifikasi dalam rantai makanan
(Kegley et al. 2008). Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari
beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Jenis tersebut yang
paling popular dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan”
atau disebut DDT (Darmono, 2010)

2.2.2. Organofosfat

Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris


insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris
acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk

7
hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya
berhubungan erat dengan gas syaraf (Runia, 2008).

Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase merupakan enzim


yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah
ACh dilepaskan oleh neuron presinaptik. ACh berbeda dengan neurotransmiter lainnya
dimana secara fisiologis aktivitasnya dihentikan melalui proses metabolisme menjadi
produk yang tidak aktif yaitu kolin dan asetat. Adanya inhibisi kolinesterase akan
menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus
pada reseptor post sinaptik (Klein, 2008).

2.2.3. Karbamat

Pestisida jenis karbamat menghambat enzim-enzim tertentu, terutama cholinesterase


dan mungkin dapat memperkuat efek toksik dari efek bahan racun lain. Karbamat pada
dasarnya mengalami proses penguraian yang sama pada tanaman, serangga dan mamalia.
Pada mamalia karbamat dengan cepat diekskresikan dan tidak terbiokonsentrasi namun
biokonsentrasi terjadi pada ikan (Runia,2008). Jika pada golongan organofosfat
hambatan tersebut bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan), pada karbamat hambatan
tersebut bersifat reversible (dapat dipulihkan). Pestisida dari golongan karbamat relatif
mudah diurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak
hewan (Djojosumarto, 2008).

2.3 Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut adalah uji yang digunakan untuk menetapkan potensi toksisitas
akut (LD50), menilai gejala klinis, spektrum efek toksik dan mekanisme kematian.
Pelaksanaan uji toksisitas akut perlu dilakukan sekurang-kurangnya satu spesies hewan
coba, biasanya spesies pengerat yaitu mencit atau tikus, dewasa muda dan mencakup
kedua jenis kelamin (Amiria, 2008).

Pada uji toksisitas akut LD50 ditentukan, yaitu besar dosis yang menyebabkan
kematian (dosis letal) pada 50% hewan coba, bila tidak dapat ditentukan LD50 maka
diberikan dosis lebih tinggi dan sampai dosis tertinggi yaitu dosis maksimal yang masih
munngkin deiberikan pada hewan coba. Volume obat untuk pemberian oral tidak boleh
lebih dari 2-3% berat badan hewan coba. Setelah mendapatkan perlakuan pemberian obat
dosis tunggal maka dilakukan pengamatan secara intensif, cermat, dengan frekuensi dan

8
selama jangka waktu tertentu dalam kaitannya dengan pemulihan gejala toksik (Harmita
& Radji, 2006)

Disamping terjadinya kematian hewan uji, dalam pengamatan perlu diperhatikan


timbulnya gejal-gejala, terutama yang terkait dengan fungsi organ tubuh yang tergolong
cukup vital antara lain hati, ginjal dan hemopoetik. Setiap hewan uji yang mati perlu
diautopsi, untuk pemeriksaan organ tubuh secara makroskopik maupun mikroskopik,
untuk mengungkapkan kerusakan struktur organ yang dapat menjelaskan gejala
gangguan fungsinya dan dengan autopsi juga diharapkan terungkap penyebab
kematiannya. Hewan uji yang bertahan hidup sampai batas akhir masa pengamatan perlu
diautopsi juga hal ini dapat bermanfaat untuk diamati terjadi atau tidaknya efek
pemulihan ((Harmita & Radji, 2006)

Berdasarkan hal itu kriteria pengamatan meliputi pengamatan gejala klinis, berat
badan, persentase kematian, patologi organ (makroskopis dan mikroskopis). Hasil
pengamatan lain yang berupa fungsi hati dan ginjal dianalisis secara statistik dengan
metode yang sesuai.

Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala


keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang
mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan.

Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesuda
pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24
jam. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar
median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada
pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50%
hewan uji (Frank,1996). Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek
toksik suatu bahan (kimia) pada seke lompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji
dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon
diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian.
Quantal respon , yaitu jumlah respon pada sekelompok hewan uji terhadapdosis tertentu
suatu obat atau bahan.

Dalam uji toksisitas akut, penentuan LD50 dilakukan dengan cara menghitung jumlah
kematian hewan uji yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal

9
bahan yang diteliti menurut cara yang ditunjukkan oleh para ahli. Namun demikian,
kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat berjalan
lambat. Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan bahwa bahan obat
atau bahan itu mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah sehingga
gejala keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity). Oleh karena itu
banyak ahli berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati sampai 7 hari bahkan
juga sampai 2 minggu. Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai
dengan karakteristik bahan kimia tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya perubahan
selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar volume yang
sesuai dengan hewan uji.

Pada praktikum ini menggunakan obat (bahan obat pestisida) yang mempunyai
mekanisme kerja yang menghambat asetilkoliaesterase dan plasmakolinesterase yang
non spesifik melalui fosforilesasi asam amino serin dipusat asteratik dari enzim menuju
paparan organismus dengan asetilkolin menuju pada semua sinaps kolinergik
(parasimpatik pascaganglioner, ujung saraf motorik, ganglia, SSP) dengan jalan
depolarisasi persisten terjadi blokade depolarisasi. Penghambatan astilkolinesterasi
bersifat irreversibel memutuskan ikatan kovalen dari ester asam fosfat pada sektrum aktif
enzim secara hidrolisis sehingga aktivasi enzim hanya berlangsung secara tidak
sempurna dang sangat lamabt (berhari-hari), akibatnya sebagian besar enzim harus
diganti dengan jalan sintesis baru. (Farmakologi dan toksiologi edisi 3, 2009: penerbit
kedokteran) Mekanisme terjadinya toksisitas obat, berbagai mekanisme dapat mendasari
toksisitas obat. Biasanya reaksi toksis merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamiknya. Karena itu, gejala toksis merupakan efek farmakodinamik yang
berlebihan. Dalam percobaan toksiologi pada hewan harus digunakan dosis yang sangat
besar karena ingin ditemukan kelainan jaringan atau efek toksi yang jelas. Dengan cara
ini reaksi yang jarang terjadi bisa dibuat lebih sering. Bila dengan dosis terapi efek
hepotoksik hanya terjadi pada 1 per 10000 orang, maka diperlukan ribuan tikus untuk
percobaan dengan dosis ini. Sebelum terlihat reaksi pada 1-2 ekor tikus saja. Selain itu
waktu observasi akan jauh lebih pendek bila kita menggunakan dosis yang lebih besar,
sehingga akan mengurangi biaya pemeriksaan. Namun akan timbul kesulitan dalam
interpretasi hasilnya pada manusia sebab kelainan yang ditemukan tidak dapat
diextrapolasikan begitu saja pada manusia. Interpretasi ini harus dilakukan dengan

10
bijaksana dengan memperhitungkan besarnya dosis dan kondisi percobaan.
( Farmakologi dan Terapi ed. 5, 2011 Fakultas Kedokteran UI).

Mekanisme terjadinya toksisitas obat, berbagai mekanisme dapat mendasari toksisitas


obat. Biasanya relasi toksis merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamiknya. Karena
itu, gejala toksis merupakan efek farmakodinamik yang belebihan. Dalam percobaan
toksikologi pada hewan harus digunakan dosis yang sangat besar, karena ingin
ditemukan kelainan jaringan atau efek toksik yang jelas. Dengan cara ini reaksi yang
jarang terjadi bisa dibuat lebih sering. Bila dengan dosis terapi efek hipotoksis hanya
terjadi pada 1 per 10.000 orang, maka diperkirakan ribuan tikus untuk percobaan dengan
dosis ini. Sebelum terlihat reaksi pada 1-2 ekor tikus saja. Selain itu waktu observasi
akan jauh lebih pendek apabila juga menggunakan dosis yang besar, sehingga akan
mengurangi biaya pemeriksaan.

Namun akan timbul kesulitan dalam interpetasi hasilnya pada manusia sebab kelainan
yang ditemukan tidak dapat di ekstrapolarikan begitu saja pada manusia. Interpretasi ini
harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan besarnya dosis dan kondisi
percobaan.

( Farmakologi dan terapi Ed.5.2011 Fakultas Kedokteran UI ).

11
BAB III

METODE DAN HASIL

3.1. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum, yaitu:
 Kapas
 Kain
 Spuit
 Kasa
 Klem
 Kandang
 Tikus 3 ekor
 Alkohol
 Sutrin 100 ec (dosis 25 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB)

3.2. Prosedur Kerja

Siapkan sonde yang berisi sutrin 100 ec untuk masing-masing


tikus dengan dosis :

Dosis Dosis Dosis


25 mg/kgBB 100 mg/kgBB 400 mg/kgBB

Pegang tikus dalam posisi terlentang secara gentle.


Berikan sutrin 100 ec per sonde pada masing-masing tikus.

Amati perubahan perilaku masing-masing tikus dengan seksama.


(seperti yang tertera pada lembar pengamatan)

12
3.3. Perhitungan Dosis
a. Dosis 25mg/kgBB
Berat tikus : 110 gram = 0.11 kg
Dosis : 25 X 0.11 = 2.75 mg
Sediaan : 20 mg/ml
Maka, sediaan yang dibutuhkan ialah = 0.1375 ml

b. Dosis 100mg/kgBB
Berat tikus : 100 gram = 0.1 kg
Dosis : 100 X 0.1 = 10 mg
Sediaan : 20 mg/ml
Maka, sediaan yang dibutuhkan ialah = 0.5 ml

c. Dosis 400mg/kgBB
Berat tikus : 125 gram = 0.1125 kg
Dosis : 400 X 0.125 = 50 mg
Sediaan : 20 mg/ml
Maka, sediaan yang dibutuhkan ialah = 2.5 ml

13
3.4. Hasil Pengamatan

Meni Tiku Postu SSP Aktivita Pernafasa Ataksi Rightin Tes Mati
t s r (Aktivasi s Motor n a g Kasa
Tubu / Depresi) Reflex
h

5 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

10 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 + Tidak ada + + - - ++ Hidu


perubaha p
n

15 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 + Tidak ada + + - - ++ Hidu

14
perubaha p
n

20 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 ++ Tidak ada ++ - + - ++ Hidu


perubaha p
n

25 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 ++ Tidak ada +++ + ++ + +++ Hidu


perubaha p
n

30 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - + Hidu


perubaha p
n

3 ++ Tidak ada ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


perubaha + p
n

35 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

15
2 + Tidak ada + + - - + Hidu
perubaha p
n

3 ++ Tidak ada ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


perubaha + p
n

40 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - ++ Hidu


perubaha p
n

3 ++ Tidak ada ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


perubaha + p
n

45 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada + + - - ++ Hidu


perubaha p
n

3 ++ Letargi ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


+ p

50 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 + Tidak ada +++ + - - ++ Hidu


perubaha p
n

3 ++ Letargi ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


+ p

16
55 1 + Tidak ada + + - -
perubaha
n

2 ++ Tidak ada +++ + +++ + ++ Hidu


perubaha p
n

3 ++ Letargi ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


+ p

60 1 + Tidak ada ++ + - -
perubaha
n

2 ++ Tidak ada +++ Menurun +++ + ++ Hidu


perubaha p
n

3 ++ Letargi ++++ Menurun +++ +++ +++ Hidu


+ p

Keterangan :
1. Postur Tubuh :
+ = Jaga = kepala dan punggung tegak
++ =Ngantuk = Kepala tegak punggung mulai datar
+++ = Tidur = Kepala dan punggung datar

2. Aktifitas Motor
+ = Gerak spontan
++ = Gerak spontan bila dipeggang
+++ = Gerak menurun saat dipegang
++++ = Tidak ada gerak spontan
3. Ataksia = Gerakan berjalan inkoordinasi
+ = Inkoordinasi terlihat kadang-kadang
++ = Inkoordinasi terlihat jelas
+++ = tidak dapat berjalan lurus
4. Righting Reflex
+ = Diam pada satu posisi miring
++ = Diam pada dua posisi miring
+++ = Diam saat terlentang
5. Tes Kasa
+ = tidak jatuh apabila kasa dibalik dan digoyang
++ = jatuh apabila kasa dibalik

17
+++ = jatuh apabila posisi kasa 90˚
++++ = jatuh apabila posisi kasa 45˚
6. Analgesia
+ = respon berkurang ketika telapak kaki dijepit
++ = tidak ada respon saat telapak kaki dijepit
7. Ptosis
+ = ptosis < ½
++ =½
+++ = seluruh palebra tertutup

X 1 2 3 4 5 6 Y X.Y

25 - - - - - - 0% 0
mg/kgBB

100 + + - - + - 50 % 5.000
mg/kgBB

400 + + + + + + 100 % 40.000


mg/kgBB

∑x = 525

∑x2 = 1.610.625

(∑x)2 = 275.625

∑y = 150 %

∑y2 = 12.500

∑x.y = 45.000

18
19
20
BAB IV

PEMBAHASAN

X 1 2 3 4 5 6 Y

25 - - - - - - 0%
mg/kgBB

100 + + - - + - 50 %
mg/kgBB

400 + + + + + + 100 %
mg/kgBB

Dari table diatas dapat diketahui bahwa, pada hewan coba semua kelompok (6
kelompok) yang diberikan supermetrin pada dosis 25mg/kgBB tidak ada yang
memberikan respon mati (0%). Pada dosis 100mg/kgBB terhadap semua hewan coba
semua kelompok didapatkan 3 hewan coba yang mati dari semua kelompok (50 %). Pada
dosis 400mg/kgBB terhadap semua hewan coba semua kelompok didapatkan semua
hewan coba mati (100%).

Grafik Persentase LD50Sipermetrin Pada 6 Kelompok Percobaan

21
Perhitungan LD50 dengan menggunakan persamaan regresi

Jadi , LD50dari Sipermetrin adalah sebesar 131,67 mg/kgBB.

Pestisida yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu Sipermetrin.


Sipermetrin initermasuk insektisida Pyrethroid tipe II (Rehman et al, 2014). Sipermetrin
adalah toksin ion channel yang mempengaruhi fungsi dari sistem saraf. Toksin tersebut
memodifikasi karakteristik “gating system” darisodium channels sehingga menunda
penutupannya yang berdampak pada perpanjangan eksitasi dari saraf tersebut (Beasley
dan Temple, 2013). Sipermetrin memiliki efek inhibisi sistem acetylcholinesterase
(AChE) yang merupakan enzim yang meregulasi neurotransmitter asetilkolin (Ach) pada
neuron junction sehingga terjadi peningkatan jumlah asetilkolin padajaringan saraf yang
dapat berakibat paralisis dari otot pernapasan yang menyebabkan kematian (Shailendra,
Sunil dan Yadav, 2010).Penumpukkan asetilkolin pada reseptor muskarinik akan
mengakibatkan gejala-gejala berupa rhinorrhea,bronkokonstriksi, bronchorrhea, edema
paru, salivasi, mual, muntah, kram abdomen, defekasi, berkeringat, bradikardi,
urinasi,miosis, conjunctival hyperemia, pandangan kabur, dan sakit kepala sedangkan
penumpukkan asetilkolin pada resptor nikotinik mengakibatkan fasikulasi yang berlanjut
pada paralisis otot dan saraf pada mata, leher, anggota gerak proksimal dan otot-otot
pernapasan. Selain reseptor muskarinik dan nikotinik, penumpukkan asetilkolin juga
berdampak pada Central Nervous Sysytem (CNS) berupa gejala penurunan status mental,
gangguan sistem pernafasan dan bisa mengakibatkan kejang (Singh dan Kurana,
2009).Gejala yang dapat ditimbulkan dari intoksikasi Sipermetrin ada bermacam-macam
tergantung tingkatan darikeracunan, mulai dari ringan hingga berat. Pada keracunan
ringan, ditemukan tikus hiperaktif ditandai gerakan mengunyah, mengendus, mengais-
ngais dan menggali-gali serta ada salivasi. Padakeracunan sedang, didapatkan gerakan
yang mulai melemah, kekakuan ekstremitas yang ditandai gerakan memutar atau

22
“rolling gait” dan bisa ditemukan hipotermia. Pada keracunan berat, dapat ditemukan
hilangnya kesadaran dan kejang (Wolansky dan Harril, 2007).

Pada praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan pada 5 menit pertama,


tikus-tikus yang diberi dosis Sipermetrin 25, 100 dan 400 mg/kgBB belum didapatkan
gejala-gejala intoksisitas, hanya didapatkan kelainan pada tes kassa yaitu jatuh saat
dibalik pada kelompok tikus dengan dosis Sipermetrin 25 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB
tapi tidak pada 100 mg/kgBB. Pada kelompok tikus dengan dosis Sipermetrin 25
mg/kgBB mulai dari menit ke 5 sampai menit ke 55, tidak didapatkan ada perburukan
gejala dan juga tidak ditemukan tanda-tanda intoksisitas atau keracunan. Perburukan
gejala dan tanda intoksisitas pada kelompok tikus dengan dosis Sipermetrin 25 mg/kgBB
mulai nampak pada menit ke 60 yaitu berupa penurunan gerak spontan atau adanya
gerakan yang semula aktif menjadi mulai melemah yang merupakan tanda keracunan
sedang. Gejala intoksisitas pada kelompok tikus yang diberi dosis 100 mg/kgBB mulai
muncul pada menit ke 50 berupa aktivitas motorik yang mulai menurun dan pada menit
ke 55 sudah di dapatkantikus tampak mengantuk, ataksia dan righting reflex negative
yang ditandai diam saat posisi miring satu sisi.Gejala-gejala tersebut menunjukkan mulai
berjalannya efek toksisitas dari Sipermetrin yaitu gerakan yang mulai melemah dan
adanya kekakuan ekstremitas yang merupakan tanda keracunan sedang. Kematian pada
beberapa tikus dalam kelompok tikus dengan dosis 100 mg/kgBB ditemukan pada
pemeriksaan 24 jam setelah pemberian Supermetrin. Pada kelompok tikus dengan dosis
400 mg/kgBB, didapatkan gejala intoksisitas pada meit ke 20 yaitu mulai terlihat
mengantuk, aktivitas motor yang menurun yang ditandai gerakan spontan hanya bila
dipegang, ada ataksia dan jatuh apabila di balik pada test kassa. Ini menunjukkan bahwa
pada menit ke 20 sudah terlihat tanda-tanda keracunan sedang, yaitu gerakan yang mulai
melemah dan adanya kekakuan ekstremitas sehingga kesulitan dalam berpegangan pada
kassa. Gejala mulai memburuk dari menit ke 25 sampai menit ke 60 yaitu sudah terlihat
bahwa tikus tidak bergerak spontan sama sekali, tidak dapat berjalan lurus, tidak bisa
membalikkan badan jika sudah posisi miring dua arah dan terlentang yang menandakan
righting reflex negative dan sudah jatuh pada kemiringan 45˚ bahkan sudah ada
penurunan fungsi pernafasan yang terlihat yaitu adanya hiperventilasi dari tikus pada
awal-awal menit ke 25 dan melemah sekali pada menit ke 60. Ini menandakan bahwa
tikus sudah mulai mengalami gangguan pada otot pernapasan dan kesadaran tikus yang
menurun sehingga terlihat seperti tikus dalam keadaan mati karena tidak ditemukan

23
gerakan spontan sama sekali dan tidak ada usaha mempertahankan posisinya baik lewat
tes kassa maupun tes righting reflex yang menunjukan bahwa tikus sudah mengalami
gejala keracunan berat pada menit ke 25.

Melalui penelitian ini, bisa didapatkan dosis LD50 dari Sipermetrin yaitu
131,67 mg/kgBB. Penetuan LD50 ini berfungsi dalam uji toksisitas akut yaitu untuk
mengetahui dosis tunggal yang diperkirakan dapat mengakibatkan kematian pada 50%
dari seluruh jumlah hewan penelitian yang digunakan. Data LD50 tidak menunjukkan
sifat toksisitas akut suatu zat dan juga tidak dapat memberikan informasi yang cukup
untuk mengkategorikan zat tersebut. Data LD50 ini hanyalah menunjukkan “lethality”
suatu zat, semakin rendah dosis LD50 tersebut maka semakin toksik zat tersebut
sehingga semakin berbahaya untuk dikonsumsi.

24
KESIMPULAN

1. Sipermetrin merupakan insektisida golongan Pyrethroid tipe II yang dapat menyebabkan


intoksisitias dengan inhibisi sistem acetylcholinesterase (AChE) sehingggaterjadi
akumulasi asetilkolin (Ach) yang bisa mengakibatkan kematian dikarenakan paralisis
otot pernafasan.

2. Dosis LD50 untuk Sipermetrin adalah 131,67 mg/kgBB.

25
DAFTAR PUSTAKA

Farmakologi dan terapi Universitas Indonesia; edisi 5


Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2006. Obat-Obat Penting; Edisi Keenam, Elex Media
Komputindo: Jakarta
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta,
Gilman, Alfred Goodman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi vol 1. EGC: Jakarta
Amiria, FD. 2008. UJI TOKSISITAS TERHADAP Artemia salina Leach. Jakarta : Fakultas
Pertanian UI

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2016. Pestisida : Pertanian dan
Kehutanan. Jakarta : Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Darmono. Toksisitas Pestisida. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2010.

Djojosumarto P. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka;2008.

Harmita & Radji M. 2006. Buku Ajar Analisis Hayati Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Kegley SE, Hill BR, Orme S and Choi AH. PAN Pesticide Database, Pesticide Action
Network, North America San Francisco. 2008.

Klein GM. Mechanism of Action of Organophosphate Pesticides and Nerve Agents, in Klein
GM (Ed), Disaster preparednes: Emergency response to organophosphorus poisoning,
Postgraduate Institute for Medicine and Quadrant Medical Education, New York. 2008.

Runia YA. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat,


Karbamat dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan
Ngablak Kabupaten agelang. Semarang: Magister Kesehatan Lingkungan UNDIP;
2008.

Beasley M, Temple W, 2013, Pyrethroid Toxicity and Its Management, BPJ Issue, Vol. 57, pp.
41-43.

26
Wolansky MJ, Harill JA, 2007, Neurobehavioral Toxicology of Pyrethroid Insecticides In
Adult Animals, Neurotoxicology and Teratology xx

Singh G, Khurana D, 2009, Organophosphate Poisoning, Neurology India, Vol.57, pp.119-


125

Shailendra KS, Sunil KS, Yadav RP, 2010, Toxicological and Biochemical Alterations of
Cypermethrin (Synthetic Pyrethroids)Against Freshwater Teleost Fish Colisa
fasciatus at Different Season, World Journal of Zoology,Vol.5 (1), pp.25-32

Rehman H, Aziz AT, Saggu S, Abbas ZK, Mohan A, Ansari AA, 2014, Systematic Review on
Pyrethroid Toxicity With Special Reference To Deltamethrin, JEZS, pp. 60-70

27

Anda mungkin juga menyukai