Anda di halaman 1dari 9

CAPLAK TUNGAU

· Ukurannya besar (makroskopis) · Umumnya berukuran kecil (mikroskopis)

· Tubuhnya tertutup rambut pendek · Tubuhnya tertutup rambut panjang

· Hipostomanya menonjol dan bergigi · Hipostomanya agak tersembunyi dan tak bersenjata

· Tektur tubuh tampak keras (kecuali caplak lunak) · Tektur tubuhnya nampak membranosa

Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang, bersama-sama dengan
caplak,menjadi anggota superordo Acarina.

Tungau fitofag ialah yg menyebabkan kerusakan banyak dengan memakan pada daun, batang, buah,
mengakibatkan perubahan warna daun, kelainan jaringan, dalam kasus tungau empedu, dalam
pembentukan empedu. Tungau fitofag pada lahan pertanian bisa menimbulkan masalah apabila
populasinya berada pada tingkat yang merugikan secara ekonomis.

Pengelompokan serangga berdasarkan variasi tumbuhan pakan, seangga fitofag dikelmpokkan menjadi: 
Serangga polifag: memiliki inang banyak jenis tanaman  Serangga oligofag: memiliki inang beberapa
jenis tanaman  Seranggamonofag: memiliki satu jenis tanaman inang

PERKEMBANGBIAKAN SERANGGA

Tungau predator pada umunya bersifat polifag dan oligofag. Spesies predator yang polifag
kurang tergantung pada kerapatan hama yang bervariasi dan kurang berperan dalam pengaturan populasi
serangga hama. Tetapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sangat tinggi dan pemencarannya
juga lebih cepat serta dapat berpindah ke mangsa alternatifnya apabila mangsa utama tidak ada sehingga
predator polifag dan oligofag sangat baik dan menguntungkan digunakan dalam menekan hama tungau
secara hayati.
Prinsip pengelolan hama terpadu (PHT) ialah budidaya tanaman sehat, pemberdayaan musuh
alami, monitoring dan petani sebagai ahli PHT.
Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen penting dalam Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Pengendalian hayati memaksimal-kan peranan musuh alami dalam upaya pengelolaan hama,
dimana musuh alami merupakan bagian mata rantai dalam agro-ekosistem.
Agens pengendalian hayati (APH) berperan sangat penting dalam proses menuju kondisi agro-
ekosistem yang stabil.
Peranan tersebut ditunjukkan oleh kemampuan agens pengendalian hayati dalam menekan
kepadatan populasi hama sasaran di atas ambang ekonomi hingga di bawah ambang ekonomi, dan
meregulasi populasi hama tetap berada di bawah ambang ekonomi.
1. MUSUH ALAMI TUNGAU FITOFAG

Enam famili tungau yang bersifat predator hama tungau Tetranychus yaitu Bdellidae,
Trombidiidae, Anystidae, Erytraeidae, Stigmaeidae, dan Phytoseiidae. Pada spesies-spesies dari empat
famili pertama kurang berperan dalam menurunkan populasi Tetranychus, diduga bahwa
Tetranychus hanya merupakan inang alternatif, bila mangsa utama tidak didapatkan. Spesies yang
berpotensi dimanfaatkan sebagai agens hayati artropoda hama tanaman yaitu famili Phytoseiidae,
Stigmaeidae, Anystidae, Bdeliidae, cheyletidae, Hemisarcoptidae, Laelaptidae dan Macrochelidae.

Tungau laba-laba merupakan hama penting dan merusak pada tanaman stroberi di Indonesia.
Pengendalian tungau laba-laba menggunakan tungau predator famili Phytoseiidae telah banyak dilakukan
di luar negeri. Sejak tahun 2009, satu spesies tungau predator eksotis, Phytoseiulus persimilis Athias
Henriot (Acari: Phytoseiidae) telah digunakan untuk mengendalikan T. urticae pada tanaman stroberi di
rumah kaca.

Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami dari jenis
predator Phytoseiulus persimilis, P. maropilis, Stethorus sp, Conccinella repanda, dan C.tranversalis F

1. Predator Phytoseiidae termasuk predator generalis sehingga selain memakan tungau merah juga
memakan tungau fitofag yang lain, kutu, telur-telur trips. Phytoseiidae dapat mengatur populasi
mangsa pada kerapatan yang rendah sehingga bisa terus bertahan hidup pada populasi mangsa
yang rendah.

Tidak ada korelasi antara populasi populasi tungau predator dan populasi tungau merah di pertanaman
jarak pagar. Hal ini diduga disebabkan oleh sifat predator Phytoseiidae yang generalis, sehingga
populasinya tidak hanya tergantung pada populasi satu jenis mangsa. Selain itu, ditemukannya beberapa
jenis serangga predator tungau diduga mempengaruhi hal ini. Hagen et al. (1999) menyatakan bahwa
Famili Phytoseiidae mendapat perhatian dan banyak diteliti. Cukup banyak spesies yang dimanfaatkan
dalam pengendalian tungau dan serangga pada berbagai komoditi di berbagai negara. Spesies
Phytoseiulus persimilis mampu mengonsumsi 10–12 telur tungau merah selama stadia nimfa, dan 14–22
telur per hari per betina yang sudah bertelur.

HABITAT MITES
Banyak diantara anggotanya yang hidup bebas di daratan, namun ada anggotanya yang menjadi parasit
pada hewan lain (mamalia maupun serangga). Tungau menyukai tempat – tempat yang lembab dan
tempat yang tidak terkena sinar matahari.
Populasi tungau pada umumnya melimpah pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan
serangan / populasi akan menurun. Hal ini disebabkan pada musim penghujan, semua stadia (telur, larva,
nimfa, maupun imago) yang menempel pada bagian tanaman terbawa oleh hujan.

Daur hidup tungau ada 4 fase, yaitu : telur→ larva→nimfa →tungau dewasa. Siklus hidup tungau mulai
dari telur sampai dewasa memerlukan waktu selama 8-12 hari. (Hamzah, 2007)

2. EKOLOGI POPULASI

Secara umum populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang populasi
tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan juga faktor dalam populasi sendiri, yang
mengendalikan populasi tersebut. Salah satu kelompok faktor lingkungan itu adalah predator dan parasit.
Tungau predator dan parasit adalah faktor penting dalam pengendalian alamiah. Tungau predator dan
parasit di alam beragam jumlahnya, dan secara maksimal belum banyak dimanfaatkan.
Tungau predator pada umunya bersifat polifag dan oligofag. Spesies predator yang polifag kurang
tergantung pada kerapatan hama yang bervariasi dan kurang berperan dalam pengaturan populasi
seranngga hama. Tetapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sangat tinggi dan pemencarannya
juga lebih cepat serta dapat berpindah ke mangsa alternatifnya apabila mangsa utama tidak ada sehingga
predator polifag dan oligofag sangat baik dan menguntungkan digunakan dalam menekan hama tungau
secara hayati (Huffaker dan Messenger, l989) Dibandingkan dengan serangga hama, tungau fitofag dan
tungau dan musuh-musuh alaminya masih sedikit mendapat perhatian dari para ahli. Meskipun dari segi
keragaman lebih rendah dibandingkan serangga, peranan tungau dalam ekosistem tidak bisa diabaikan.
Tungau menempati tingkat trofik kedua atau ketiga dalam rantai makanan. Hal ini menunjukkan
pentingnya posisi tungau dalam ekosistem

JENIS – JENIS TUNGAU :


1. Famili TARSONEMIDAE
Jenis tungau dari famili yaitu berbadan lunak dan tidak mempunyai mata. Beberapa spesiesnya adalah
fitofag, pada hal hidupnya pada sampah atau sebagai parasit.
a. Polyphagotarsonemus ( = Hemitarsonemus ) latus Banks. atau yellow tea mite (sin.
Tarsonemus translucens Green), tersebar luas dan bersifat polifag. Tungau dapat menyebar pada
tanaman inang diantaranya kapas di Brasil, Uganda, dan Kongo; kacang-kacangan, castor, dan dahlia di
Afrika Selatan; teh di Ceylon dan Jawa serta beberapa tanaman lainnya. Di Philipina tungau ini menjadi
hama pada tanaman muda di green house (yaitu tomat, kentang, dan tembakau) dan di kebun-kebun
bunga. Umumnya gejala serangan, daun berwarna coklat, daun menebal dan mati pada bagian pucuknya.
Di Indonesia tungau ditemukan pada beberapa tanaman diantaranya tomat, lombok, karet, dan teh.
Tungau ini merupakan hama yang cukup serius pada tanaman teh dan juga kadang-kadang pada tanaman
kopi, sehingga dapat menyebabkan kerusakan (Kalshoven, 1981).

Tungau ini juga sering ditemukan pada tanaman teh, yaitu di pucuk diantara bulu-bulu pada sisi bawah
daun muda. Akibat serangan pada daun-daun muda, pucuknya memanjang dan mengalami khlorosis serta
mengeriting. Setelah pemetikan daun teh biasanya tungau tersebar pada suatu tempat di atas daun-daun
muda. Gejala serangan pada tanaman teh serupa dengan yang disebabkan oleh pink mite (Eriophyes sp.).

b. Steneotarsonemus (= Tarsonemus) bancrofti Mich.


Tungau ini banyak terdapat di dekat nodes (tunas-tunas baru) di celah-celah atas poros daun,
sedang di bagian tepi tidak terlihat dengan jelas (Kalshoven, 1981). Tungau ini menyebabkan kerusakan
seperti gall (pembengkakan), dengan ciri khusus kekuningan dan akhirnya menjadi coklat kemerahan
sampai hitam. Tungau betina berukuran 0,4 mm dan yang jantan berukuran 0,3 mm. Tungaunya
bertungkai 4 pasang dan sangat peka terhadap cahaya matahari, dan lebih suka menyembunyikan diri di
tempat-tempat yang gelap seperti di bawah daun.

c. Steneotarsonemus (= Tarsonemus) pallidus Banks., cyclament (sin. Tarsonemus fragariae Zimm.),


strawberry tarsonemid mite.
Tubuh tungau sangat kecil dan sulit dilihat dengan mata, berwarna putih, hijau, atau coklat
keperakan. Tungau ini tercatat sebagai hama pada strawberry, anggur, dan beberapa tanaman bunga-
bungaan. Ditemukan pertama kali di New York pada tahun 1898 dan di Kanada tahun 1908 serta
umumnya menyebar di green house. Tungau dewasa panjangnya 0,25 mm yang pada tingkat
pertumbuhan larva berkaki 6 dan tingkat pertumbuhan nimfa berkaki 8. Pasangan kaki belakang pada
tungau betina terdapat seperti benang dan yang jantan seperti catut (penjapit) (Metcalf dan Flint, 1979).
Setiap imago betina menghasilkan sekitar 90 butir telur, dan 80 persen diantaranya akan berkembang
menjadi tungau betina.

2. Famili TETRANYCHIDAE

Family Tetranychidae sebagian besar memiliki ciri-ciri khusus yaitu :


· Berukuran kurang dari 1 mm
· Berwarna kuning, coklat, kehijauan, atau merah
· Imago memiliki empat pasang tungkai. Tubuh dibagi olehjahitan antara dan tungkai kedua dan ketiga m
enjadi propodosoma anterior dan posterior hysterosoma
· Pada beberapa spesies terdapat kelenjar sutera yang terletakdi belakang bagian mulut
Bagian moncongnya yang lancip dapat digunakan untuk menghisap, menggigit, dan menyengat.
Oleh karena itu kalu tungau ini hinggap pada kulit manusia, terasa gatal, kulit yang dihisapnya menjadi
merah bengkak.
Ciri-ciri serangan hama Tungau Merah secara global adalah pada bagian atas permukaan daun terdapat
titik kuning atau cokelat. Serangan pada bagian bawah daun menyebabkan kerusakan mesofil, sehingga
transpirasi daun tanaman meningkat. Tangkai daun dan daun yang terserang berwarna perunggu.
Serangan pada buah dapat menyebabkan retakan-retakan cokelat pada kulit buah. Tungau Merah bersifat
polifag dan mempunyai banyak tanaman inang.
a. Tetranychus cinnabarinus (Boisduvall), carmine atau red spider mite.
Jenis tungau ini hampir selalu terdapat di daerah tropis, dan sebagai hama di green house pada
daerah-daerah beriklim sedang. Jenis tungau ini pertama kali ditemukan di Jawa pada cassava (ketela
pohon) oleh Leefmans pada tahun 1915, bersifat polifag yaitu terdapat juga pada tanaman–tanaman
seperti jeruk, kapas, kacang-kacangan, dan tanaman hias serta pada tumbuhan pengganggu (gulma).
b. Tetranychus urticae (= telarius, bimaculatus) Koch., two spotted mite.
Tungau ini bersifat kosmopolit dan polifag, yang merupakan hama utama pada buah-buahan (apel
dan pepaya), kapas, ketela pohon, dan lain sebagainya. Di Indonesia juga dijumpai menyerang tanaman
kedelai, walaupun serangannya tidak berat .
c. Oligonychus coffeae (Nietn.), red tea mite.
Tungau ini menyebar di daerah tropis dan tercatat sebagai hama pada tanaman kopi, teh, kapas,
dan tanaman lain. Tungau telah lama diketahui di Ceylon pada tanaman kopi, akan tetapi sekarang
ditemukan pada lapisan atas daun teh yang tua dan warna daun berubah menjadi coklat kekuningan
berkarat atau berwarna ungu. Tungau ini tidak tahan terhadap air hujan dan hanya telur saja yang masih
bisa bertahan untuk hidup. Telur berwarna merah terang berbentuk bola berukuran 0,15 mm. Telur yang
menetas kulitnya meluruh sehingga dapat dilihat dengan mata seperti bintik putih. Imagonya berukuran
0,4 – 0,5 mm berwarna merah pada bagian anterior dan berwarna terang bagian posteriornya, serta fase
nimfanya berukuran sedikit lebih kecil daripada imagonya.
d. Olygonychus ilicis McGregor
Merupakan hama kopi di Sao Paulo dan Brasil. Tungau ini hidup pada lapisan atas daun dengan
pelindung dari tenunan yang kuat, dan menyebabkan daun menguning khususnya disekitar urat daun.
Penyebaran tungau dari daun ke daun melalui benang atau terbawa oleh adanya angin (Le Pelley, 1968).
e. Olygonychus exiccator (Zehnt.)
Adalah tungau pada daun tebu di Jawa dan Hawaii. Tungau ini membentuk koloni pada daun
sebelah bawah yang berwarna kuning kehijauan dengan sedikit bintik merah. Daun yang terserang
menjadi layu, selanjutnya kering dan akhirnya mati sebelum tua; akan tetapi kerusakan ini terbatas pada
pucuk ke dua dan tidak merugikan, dan tungau dapat berkembang dengan cepat sekitar 10 hari.
f. Brevipalpus (= Tenuipalpus) phoenicis (Geijsk.) atau Brevipalpus obovatus (Donn.), scarlet tea mite.
Tungau betina bentuknya oval, warnanya kemerah-merahan dan ukuran tubuhnya sekitar 0,25 x
0,12 mm; sedangkan tungau jantan bentuknya trianguler dan lebih kecil daripada betina. Telur berbentuk
elips berwarna kemerahan dan diletakkan secara tunggal atau mengelompok di bawah lapisan daun.
Tungau ini hidupnya polifag yaitu pada kopi, apel, mangga, jeruk, pepaya, ketela pohon, dan lain
sebagainya.
g. Tenuipalpus orchidarum Parf. (sin. Brevipalpus pereger Donn)
Tungau merah pada bunga anggrek. Tungaunya berukuran sangat kecil hanya 0,2 mm dan
ditemukan pada daun. Perkembangan tungau ini sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat dapat
menyebabkan kerusakan yang berat. Telur berwarna merah, memanjang (empat persegi panjang) yang
diletakkan pada sisi atas. Kerusakan dapat meluas baik pada tanaman maupun pembibitan.
h. Panonychus (= Metatetranychus) ulmi Koch. (sin. Paratetranychus pilosus), european red mite.
Hama menyebar di Benua Eropa, dan pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun
1911. Tungau ini menjadi salah satu hama penting di Canada dan Amerika Serikat yang menyerang
tanaman apel dan peer. Bentuk tungau amat kecil dan aktif biasanya berada di bagian bawah daun, apabila
serangan ringan daun akan berbintik dan pada serangan berat daun yang sakit berwarna kecoklatan dan
dalam waktu singkat akan terlihat tertutup oleh debu dan daun gugur
3. Famili ERIOPHYIDAE

Jenis-jenis tungau famili ini bentuknya memanjang dan hanya mempunyai 2 (dua) pasang kaki
pada bagian anterior tubuhnya, serta tungau ini dapat mengakibatkan timbulnya gall pada daun dan
batang. Bentuk telur menyerupai gelembung yang transparan dan penyebaran tungaunya melalui angin.

a. Calacarus (= Eriophyes) carinatus (Gr.).


Tungau ini menjadi hama tanaman teh di pantai timur Sumatra dan juga terjadi di Jawa. Spesies
tungau ini pertama kali menyebar di India, dan akibat serangan tungau ini dapat menyebabkan tanaman
berwarna ungu, dan daun tertutup dengan tepung halus diantara jaringan. Imagonya kecil dengan ukuran
0,15 – 0,20 mm dan berwarna ungu gelap. Pembibitan tanaman teh pada musim kemarau kadangkala
terserang oleh hama ini.
b. Eriophyes boisi Gerb. (= doctersi Nal.)
Adalah tungau yang menyebabkan gall pada tanaman kina. Ukuran badannya hanay 0,12 – 0,14
mm. Daun muda yang baru membukua kadang-kadang terserang sehingga berwarna kuning keunguan.
c. Eriophyes ( = Acaphylla ) theae Watt., pink tea mite.
Tungau ini ditemukan di Indonesia dan India sebagai hama pada tanaman teh. Tanaman the yang
masih muda sering mendapat serangan, dan gejala pertama kali kelihatan pada daun berwarna keputihan
dan akhirnya menjadi kering. Walaupun demikian tungau ini ternyata merupakan hama yang kurang
penting.
4. Famili PHYTOSEIIDAE
Tungau pada famili ini merupakan jenis tungau yang hidupnya sebagai predator, khususnya
pemangsa famili Tetranychidae; sehingga dapat digunakan dalam usaha pengendalian pada sejumlah
tungau yang merusak buah-buahan dan sayur-sayuran yang ada di green house maupun di lapang. Tungau
famili Phytoseiidae sering berkembangbiak dengan cepat, dan akan mati apabila kekurangan makanan.
Jenis tungau yang sangat memberikan harapan untuk usaha pengendalian secara hayati yaitu Phytoseiulus
persimilis, akan tetapi spesies ini belum digunakan di Indonesia.
Jenis tungau pada famili ini selain memangsa semua tungau yang merugikan tanaman, juga memangsa
binatang-binatang kecil lainnya seperti Thrip, telur-telur ngengat dan lain sebagainya. Spesies lainnya
yang berperan sebagai predator adalah Typhlodromus luvea Oud. dan Typhlodromus luvearum Oud. yang
telah ditemukan pada tungau-tungau yang menyerang tanaman karet, bunga tanaman kelapa dan juga
pada koloni rayap serta sekitar telur-telur belalang.

5. Famili ACARISIDAE (TYROGLYPHIDAE)


Tungau ini hidup pada bahan simpanan dan sampah, umumnya bertubuh lunak, licin, berkaki
pendek, berwarna putih atau abu-abu dan tidak begitu aktif. Pada keadaan yang tidak menguntungkan
akan istirahat, dan dapat hidup dalam waktu yang cukup lama tanpa makan. Penyebaran tungau dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya dengan melalui hewan lain. Jenis-jenis tungau ini sering ditemukan
pada biji dan beberapa bahan simpanan diantaranya bungkil, daging kering atau ikan, keju bahan
fermentasi, jerami dan lain sebagainya. Beberapa bahan makanan yang terserang tidak dapat dimakan,
bahkan mengganggu bahan simpanan yang disimpan terlalu lama (misalnya kopra).

3. PENGENDALIAN SECARA KULTUR TEKNIS


4. SEJARAH PENGENDALIAN KIMIA DAN RESISTENSI TUNGAU TERHADAP
ACARISIDA
5. PRINSIP – PRINSIP PENGENDALIAN KIMIA PADA TUNGAU

PENGENDALIAN

Beberapa usaha pengendalian yang dapat dilakukan untuk menghidari terjadinya peningkatan populasi
tungau, diantaranya dengan cara mekanis, teknik budidaya, biologis, dan penggunaan bahan kimia
(pestisida).
1. Mekanis
mengambil secara langsung telur, larva, nimfa, atau imago kemudian dimusnahkan; dapat juga dengan
menyemprotkan air beberapa kali sehingga tungau tercuci.

2. Teknik Budidaya
Menggunakan tanaman atau varietas yang resisten (tahan), rotasi (pergiliran) tanaman,
pemupukan, dan sanitasi lingkungan. Pemakaian varietas resisten terhadap serangan tungau belum banyak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum banyak para ahli yang menelitinya, lebih-lebih di negara kita
ini.
Di Mesir telah ditemukan varietas kapas yang tahan terhadap serangan tungau Tetranychus telarius yaitu
Rahtim-101. Varietas ini memiliki bulu yang lebat dan bercabang sehingga menyulitkan stilet (alat mulut)
tungau tersebut untuk menusuknya. Varietas ubi kayu Adira 4, Adira 1, Adira 2, Malang 2, dan Malang 6
adalah tahan terhadap tungau merah ubi kayu (Sinuraya, 2005).
Pemupukan tanaman dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengusahakan agar pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik, sehingga diperoleh hasil yang cukup tinggi; akan tetapi apabila jenis dan
dosisnya kurang tepat maka dapat memberikan dampak sebaliknya. Sebagai contoh pada pemupukan N
yang berlebihan pada tanaman kacang tanah, ternyata dapat meningkatkan serangan tungau Tetranychus
telarius lebih tinggi.
Sanitasi merupakan tindakan yang cukup penting, khususnya terhadap tanaman yang telah
mendapat serangan tungau berat. Pada tanaman yang terserang berat, apabila telah dipanen sebaiknya
dibersihkan dari sisa-sisa bagian tanaman yang menjadi tempat persembunyian tungau.
Pengaturan pergiliran tanaman merupakan salah satu cara usaha pengendalian yang baik terhadap
serangan tungau. Pada rotasi tanaman yang perlu diperhatikan adalah agar dalam penanaman berikutnya
tidak menanam tanaman yang sama atau tanaman yang sedang menjadi inang bagi tungau saat itu. Selain
itu diusahakan menanam tepat waktu, misalnya menanam ubi kayu pada lahan kering hendaknya
diusahakan pada saat awal musim hujan.

3. Biologis (Hayati)
Usaha pengendalian biologis dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, namun
demikian di lapang masih belum / bahkan kurang mendapat perhatian pada pengendalian serangan
tungau. Penggunaan musuh alami ini akan dapat membantu pelestarian lingkungan (alam sekitarnya),
bahkan dapat menghindari terjadinya resistensi (kekebalan) tungau terhadap bahan pengendali kimiawi
(pestisida). Pada suatu percobaan di dalam green house (rumah kaca) menggunakan tungau Tarsonemus
pallidus sebagai hama tanaman strawberry dengan menggunakan predator Typhlodromus bellinus,
ternyata menunjukkan adanya goncangan-goncangan populasi yang teratur antara kedua populasi
tersebut. Apabila populasi hama tinggi maka predator akan aktif, akan tetapi apabila populasi mangsa
(hama) rendah maka hama tersebut relatif lebih aman sebab terdapat pelindung yang cukup pada bulu-
bulu, duri-duri, maupun lekukan-lekukan tanaman inang; sedangkan predator akan bertahan pada embun-
embun madu dan substitusi makanan lainnya, sambil menunggu meningkatnya populasi mangsa (Metcalf
dan Flint, 1979).
4. Bahan Kimia (Pestisida)
Pengendalian tungau dengan menggunakan pestisida (akarisida) hendaknya dilakukan, bilamana
usaha-usaha pengendalian yang lainnya sudah tidak mungkin dapat dilakukan. Tidak semua pemakaian
bahan kimia dalam menekan populasi hama akan berakibat lebih baik dalam menurunkan populasinya,
bahkan hama tersebut bisa menjadi resisten. Selain itu tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan
akan dapat meningkatkan populasi hama yang kurang mendapat perhatian, juga secara langsung
kemungkinan dapat mematikan serangga-serangga berguna sebagai akibat penggunaan pestisida. Akibat
secara tidak langsung menyebabkan adanya bahaya kelaparan serangga berguna (musuh alami), sebagai
akibat sangat berkurangnya mangsa sebagai makanannya.
Di dalam kebun-kebuin yang tidak terpelihara ternyata populasi tungau hama Paratetranychus sp.
tetap rendah, karena predator-predator sepanjang musim panas terus menerus aktif, sedangkan dalam
kebun-kebun yang terpelihara baik ternyata jumlah predator sangat berkurang, sebagai akibat
penyemprotan dengan pestisida (Collyer dalam Hadiwidjaja, 1955).
Beberapa akibat buruk penggunaan DDT (Dikhloro diphenyl trikhlor etana) pada waktu yang
lalu, ternyata dapat mematikan beberapa musuh alami dalam menekan populasi tungau. Pada percobaan
di Bogor ternyata semua daun tanaman kapas gugur akibat gangguan tungau sesudah penyemprotan
dengan DDT yang berulang-ulang. Percobaan lain menunjukkan bahwa serangan tungau lebih hebat pada
kapas dalam pertengahan musim hujan, sebagai akibat dari percobaan DDT setiap minggu sehingga
berakibat tanaman-tanaman gugur daunnya.
Pada pohon apel di Selandia Baru ternyata serangan tungau Paratetranychus pilosus dan Bryobia
praetiosa lebih berat akibat terbunuhnya predator. Demikian juga naiknya populasi tungau
Paratetranychus citri disebabkan terbunuhnya predator Stethorus picvipes Csy., Conwentzia hageni
Banks., dan Chrysopa californica Coq.
Pada waktu lalu penggunaan sulfur yang digunakan secara langsung di atasnya, juga ditempatkan
dalam tanah pada pengendalian tungau ternyata cukup efektif. Beberapa produk pestisida ternyata efektif
apabila pertama kali dipakai, akan tetapi gejala resistensi telah berkembang pesat dan sering mengalami
kesulitan untuk menemukan akarisida atau kombinasi yang efektif.
Akarisida berasal dari nama latin, yaitu acari yang berarti tungau dan coedos yang berarti
membunuh. Akarisida dalam bahasa Inggris disebut mitecide, adalah bahan yang mengandung senyawa
kimia beracun dan dapat mematikan tungau. Insektisida biasanya ada yang berfungsi ganda yaitu sebagai
pembunuh serangga dan tungau. Akarisida yang pertama kali digunakan terhadap tungau fitofag adalah
Azobenzine yang digunakan dalam green house. Perkembangan selanjutnya dihasilkan Sulphenone,
Diphenysulphone, dan Tetradifon. Sulphide dihasilkan pada tahun 1953 dengan nama Chlorbeside, dan
Fluorbenside dihasilkan pada tahun 1955; selanjutnya dihasilkan Chlorfenson dan Fenson, juga efektif
terhadap beberapa tungau.

PPT 1 : DEPARTEMEN TANAMAN ILMU DAN PERLINDUNGAN TANAMAN PROYEK


PROPOSAL IN EFIKASI Metarhizium anisopliae DI PENGENDALIAN RED SPIDER
tungau (Tetranychus urticae).

Masalah : Pengendalian tungau Red laba-laba (Tetranychus urticae) dan penyakit mawar dalam
produksi Greenhouse telah menjadi sulit untuk dicapai karena lingkungan yang terkendali mendukung
hama dan penyakit tertentu sehingga menyebabkan Pemasaran suram mawar dan tidak mampu memenuhi
standar pasar tertentu di Uni Eropa dan importir lainnya. Bahan kimia di sisi lain telah membawa masalah
pada pencemaran lingkungan, telah menolak oleh hama rumah kaca, dan kebanyakan kasus sangat mahal.
Justifikasi: Bahan kimia sangat mahal, lingkungan residu ramah dan pengembangan resistensi
oleh tungau laba-laba merah memaksa petani untuk menikmati pengendalian hama biologis.
Tujuan : Untuk mengevaluasi efektivitas Metarhizium anisopliae mengendalikan tungau laba-laba
merahTetranychus urticae di mawar.
Objek spesifik : Untuk mengevaluasi tingkat tertentu dari Metarhizium anisopliae, efektivitas dan
pentingnya memiliki pada hasil.
Untuk membandingkan efektivitas Metarhizium anisopliae dan kimia Dynamec pada kontrol tungau laba-
laba merah (Tetranychus urticae).
Red Spider tungau (Tetranychus urticae) Diklasifikasikan dalam Filum Arthropoda dan Kelas
Arachnida. Memakan sebagian sayuran, tanaman pangan dan tanaman hias. Hama ini menusuk naik daun
dengan menusuk mereka, mengisap, ramping, menunjuk mulut dan menyedot getah. Kontrol kimia telah
didasarkan pada akarisida seperti A bamectin, Ops, karbamat, sulfur berbasis dan piretroid Kontrol
budaya Tutup tanam, menyapu sepanjang antar-baris, dan melaksanakan kebersihan lapangan sangat
penting dalam mengendalikan tungau tetapi dengan keberhasilan yang terbatas
Pengendalian biologis dengan tungau predator misalnya Phytoseiulus, Amblyseiulus dan patogen
telah agen menjanjikan. Metarhizium spp telah digunakan sebagai agen bio-kontrol dan merupakan
alternatif yang menjanjikan untuk manajemen tungau laba-laba.

PPT 2 : Interaksi ANTARA biota bermanfaat hearts Pengendalian hama (Khususnya hama Tungau) Yang
sejalan DENGAN Program Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) INTINYA BGUS JIKA KEDUA
PREDATOR DIOGUNAKAN BERSAMA2

PPT 3: Insiden tungau laba-laba merah (Tetranychus urticae) pada ladysfinger dan manajemen
berkelanjutan SUNIL KR. GHOSH
Ladysfinger (Abelmoschus esculentus L.) milik keluarga Malvaceae merupakan salah satu
tanaman sayuran yang paling penting tumbuh di berbagai bagian dari daerah tropis dan sub-tropis dunia.
KESIMPULAN
Dari pengamatan secara keseluruhan: paling aktif selama Mei-Juni dan September-Oktober di wilayah ini,
ukuran kontrol yang disengaja harus diadopsi kanopi Atas padat penduduk, sehingga benar diperlakukan..
Avermektin dan Azadiractin dengan Tanaman ekstrak spilanthes (bio-pestisida) memberikan kontrol yang
lebih baik, akan dimasukkan dalam program PHT dan pertanian organik di budidaya sayuran karena
mereka: moderat untuk keberhasilan yang lebih tinggi. Toksisitas rendah untuk musuh alami Dampak
negatif minimum pada kesehatan manusia Lebih aman untuk lingkungan moderat untuk potensi hasil
tinggi.

Anda mungkin juga menyukai