Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemunduran dunia Islam, menjadi suatu masalah yang terus di cari akar
persoalannya. Mulai dari pemikir seperti muhammad abduh, rasyid ridho dan para
pembaharu kontemporel lainnya, mencoba mencarikan formulas untuk
kembangkitan kembali peradaban islam yang pernah jaya. Fenomena stagnasi
pemikiran dunia arab- islam, lebih jauh lagi stagnasi peradaban dan keagamaan
memasuki milenium baru dalam arus globalisasi. problem inti yang menjadi poros
perdebatan sejak era kebangkitan pada tahun 1967 hingga era kontemporer tahun
1990 sampai sekarang dapat dipetakan dalam tiga masalah 1) Sikap terhadap turast
( tradisi ). 3). Sikap terhadap barat. 3) Sikap terhadap modernitas.1

Adapun upaya pembaharuan itu di didalam beberapa bidang, termasuk


pembacaan kembali terhadap kitab suci al-quran. Metodologi pembaruan yang
digunakan bermacam-macam. Namun, meminjam istiah Luthfi Assyaukanie, secara
garis besar gerakan pembaharuan ini bercorak dua aliran: kiri dan kanan. Yang kiri
mengembangkan pemikirannya berdasarkan metodologi Barat yang bercorak
liberal. Dan yang kanan mengawal pembaruannya dengan mendasarkan pada
pemikiran ulama-ulama muslim terdahulu dan turats klasik.

Dalam pengantar buku yang d magnum opus-nya al-Kitab wa al-Qur’an


terjemahkan kebahasa indonesia seorang tokoh pembaharu yang juga
disandingkan dengannya dalam hal dekonstrusi pembacaan nas agama, Nasr Hamid
Abu Zaid juga mengkritiknya. Salah satu ide Syahrur yang menuai banyak
pembicaraan tersebut adalah klaim pembacaannya terhadap konsep sunnah, akan
tetapi menurutnya hal pembaharuan yang di lakukan oleh shahrur bukanlah sesuatu
yang baru.2

1 Sahiron syamsudin dan Burhanudin dzikri, perngatar penerjemah;al-kitab wa...


2 Pengatar abu zayd
Pisau analitis yang digunakan para pemikir muslim kontemporer terhadap
kondisi stagnan tersebut diatas, sebagaimana mencuat dalam karya besar para
pemikir kontemporer, semisal Abid Al Jabiri, M. Arkhoun, Fazlur rahman, Nasr
Hamid Abu Zaid dan Muhammad Syahrur, terpusat pada satu proyek besar : naqdu
al-zati. Fazlurrahman mengusung wacana hermeneutik melalui konsep double
movement, ideal moral, dan legal specific-nya. Muhammad Arkhoun menggagas
kritik nalar islam (critique de la rasion islique ), Hasan Hanafi menggagas Kiri
Islam ( al yasar islami ) dan oksidentalisme melalui proyek besarnya at-turats wal
hadatsah. Abid al jabiri, pemikir asal maroko mencetuskan Kritik Nalar Arab. Nasr
Abu Zaid mengusung kritik wacana agama, ahli harb menggagas kritik kebenaran.

Magnum opus, Al-Kitāb wa al-Qur’ān milik shahrur memiliki daya tarik


disebabkan oleh ide-ide barunya yang seringkali menggigit, berani menyoal tema-
tema yang sudah mapan, dan juga klaim penulisnya bahwa bukunya itu bersandar
pada perkembangan pengetahuan modern, serta gaya penyampaian yang cukup
menawan, meski – jika dibaca secara kritis- sebenarnya rapuh dan tidak memiliki
bobot ilmiah memadai.walapun demikian sejumlah tokoh banyak yang memujinya.
memisalnya, Abdul Moqsith Ghazali dalam website resmi jaringan Islam liberal
(JIL) memuji pemikiran Syahrur yang dianggap berani mendobrak tradisi lama
umat Islam.3

1.2 Rumusan Masalah


Kajian filologi di jadikan pijakan dalam membaca ulang kembali kita al-
quran dan me De(kontruksi) pemikiran muslim yang sudah mapan. Menurut patuti
sudjiman cakupan filologi , mula-mula filologi mengkaji teks-teks lama yang
sampai pada kita dalam bentuk salinan-salinannya, dengan tujuan menemukan
bentuk teks asli (original) dan untuk mengetahui maksud penyusunan teks
tersebut.4

Adapun yang akan di bahas dalam makalah ini sebagai berikut ini :

a) Bagaimana Biografi Muhammad shahrur ?

3 http://www.islamlib.com/?site=1&aid=931&cat=content&cid=13&title=syahrur diunduh pada 1 desember 2016,


4 Panuti sudjiman,Filologi melayu.hal 9
b) Bagaimana metode pembacaan Muhammad Sharur terhadap Sunnah
dan al-quran melalui pendekatan hermeneutik dengan penekanan pada
aspek filologi.?
c) Tanggapan kritis terhadap pemikitaran shahrur

BAB II
PEMBAHASAN

Bioragfi Muhammad Shahrur


Muhamad Shahrur dilahirkan di Damaskus tahun 1938. Setelah
menamatkan pendidikan menengahnya pada tahun 1957, Shahrur berangkat ke
Moskow, Uni Sovyet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah). Sejak
masa inilah Shahrur mulai bersinggungan dengan pemikiran dialektika Marxisme
dan kemudian menjadi salah satu pengagumnya, meski ia sendiri menolak disebut
sebagai seorang marxian. Namun, ia sendiri pernah mengaku banyak belajar dari
Hegel terutama dalam teori dialektikanya dan juga Alfred North Withead sang
pencetus logika matematika.

Setelah merampungkan studinya tahun 1964, Shahrur kembali ke Syria


untuk mengajar di Universitas Damaskus, sampai akhirnya ia mendapat
kesempatan untuk melakukan penelitian di Imperial College, London, pada tahun
1967. Namun perang yang terjadi antara Syria dan Israel pada bulan Juni tahun itu
menyebabkan renggangnya hubungan diplomatik Inggris-Syria dan
menghanguskan rencana Shahrur. Ahirnya ia berangkat ke Dublin, Irlandia untuk
menyelesaikan program master dan doktoralnya di bidang mekanika pertanahan
(handasah al-turbah) dan teknik bangunan.

Semenjak keberadaannya di Dublin itulah, sesuai pengakuan Shahrur,


dirinya memulai tahapan pertama penyusunan Al-Kitāb wa al-Qur’ān. Penyusunan
dan penyempurnaan buku itu sendiri, menurutnya melalui tiga tahapan panjang
dalam rentang waktu dua puluh tahun.
Dalam salah satu tahapan tersebut (tahap kedua) Shahrur menyebut saat
penting perjumpaannya dengan Dr. Ja’far Dakk al-Bāb, yang pernah menekuni
ilmu linguistik di Universitas Moskow. Dari Ja’far Dakk itulah Shahrur mengenal
teori-teori linguistik Arab dan tokoh-tokohnya semisal Al-Farrā’, Abu ‘Ali al-
Farisi, dan muidnya Ibnu Jinny, serta ‘Abd al-Qāhir al-Jurjani. Ja’far Dakk pula
yang kemudian memberikan kata pengantar dalam karya Shahrur (Al-Kitāb wa al-
Qur’ān) tentang metodologi kajian bahasa dan lampiran penting mengenai asrār al-
lisān al-‘arabi (rahasia-rahasia bahasa Arab).

Oleh para pengritik Al-Kitāb wa al-Qur’ān, tulisan Ja’far ini disebut diduga
bertujuan sebagai “teror” untuk menggertak pembaca dan sekaligus selubung untuk
melindungi kelemahan-kelemahan metodologi linguistik Shahrur yang tidak
kentara bagi para pengkaji pemula, terlebih Shahrur begitu berani melakukan
pembongkaran pemahaman al-Quran melalui pendekatan studi linguistik,
sementara dia sendiri hanyalah seorang insinyur dan tampaknya tidak menguasai
bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan baik.

Selain Al-Kitāb wa al-Qur’ān (1990) Shahrur juga telah menerbitkan


beberapa buku lainnya yaitu[12]: Al-Dawlah wa al-Mujtama’ (tahun 1994, setebal
375 halaman), Al-Islām wa al-Īmān– Mandzūmat al-Qiyam (tahun 1996, 400
halaman), Nahwa Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi (tahun 2000, 400 halaman),
serta Tajfīf Manābi’ al-Irhāb (tahun 2008, 300 halaman).

2.1 Konstruksi Pemikiran Shahrūr


Shahrur mengaku bahwa gagasan-gagasannya dalam Al-Kitāb wa al-Qur’ān
berangkat dari sebuah perenungan panjang selama tak kurang dari seperempat abad
yang berujung pada sebuah keprihatinan dan kritik terhadap kondisi umat Islam
yang –menurutnya- selama ini terkungkung oleh dogma-dogma dan keyakinan
yang justru bisa jadi salah kaprah dan bahkan terbalik (ma’kūs). Sementara literatur
(adabiyyāt) keislaman yang berkembang tidak lagi mampu menampilkan wajah
Islam yang semestinya dan tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan
prinsipil dalam pemikiran Islam.5

Untuk memastikan bahwa penafsiran Al-Qur’an tersebut dapat menjadikan


Islam sebagai agama yang cocok untuk semua waktu dan tempat maka umat Islam
masa kini harus menganggap bahwa Al-Qur’an seakan-akan diturunkan kepada
mereka di masa kini dan seakaan-akan Nabi baru saja meninggal dan
menyampaikan Al-Quran tersebut baru-baru saja (ka anna al-nabiy tuwuffiya
hadītsan wa ballaghanā hādzā al-Kitāb).6

Berangkat dari sini Shahrur mengajak umat Islam meninggalkan segala


warisan intelektual (turāts) generasi masa lalu. Bahkan bagi Shahrur sendiri
penjelasan atau penafsiran Nabi terhadap al-Qur’an juga tidak harus diikuti karena
penafsiran tersebut hanyalah sebagai kemungkinan pertama (al-ihtimāl al-awwal),
bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir7. Dalam bahasa lain, menurut Shahrur
fungsi Nabi hanyalah mentransformasikan kemutlakan wahyu Allah menjadi
sesuatu yang relative dan bergerak bebas.8

Shahrur menyatakan bahwa agama Islam memiliki dua karakteristik dasar


yang selalu berlawanan (mutanāqidl), yaitu karakter al-hanīfiyyah (bengkok,
melengkung, berubah) dan al-istiqāmah (tegak, lurus, bersifat tetap).9

Karakter pertama (al-hanīfiyyah) merupakan karakter dan sifat dasar


seluruh alam semesta mulai dari partikel terkecil (elektron, atom) sampai dengan
benda terbesar seperti angkasa raya, langit atau bumi yang terus bergerak
‘melengkung’ dan teratur. Agama Islam sebagai al-dīn al-hanīf telah diskenariokan
untuk memiliki keserasian dengan alam semesta ini. Maka ia akan terus bergerak
dan berubah sesuai sifat alamiyahnya.

Sedangkan karakter kedua (al-istiqāmah) merupakan karakter dari hal-hal


prinsip yang tidak berubah dalam agama (al-tsawābit) tetapi tidak untuk

5 Shahrur alkitab wa quran.. Hal 59


6 Ibid hal 68
7 Ibid hal 87
8 Ibid hal 93
9 Ibid hal 120
membatalkan al-hanīfiyyah melainkan hanya sebagai pengontrol dan menjadi
pembatas (hudūd) demi terciptanya hubungan dialektis antara kedua karakter
tersebut sepanjang zaman.

2.2 Anti Sinonimitas Shahrur


Syahrur menawarkan gagasan (de) re konsturuktif terhadap tema-tema
ulumul qur’an . Melalui pendekatan linguistik ,ia dengan jelas mengurai perbedaan
antara term al kitab, al qur’an, al furqan, al dzikr yang selama ini
dianggap sinonim yang berarti kitab suci islam., bagi Syahrur
sinonomitas berarti reduksi terhadap konsep-konsep yang terkandung dalam
setiap term-term kunci dalam al qur’an.

Al-Kitab (dengan “al” ta’rief) menurutnya meliputi semua ayat yang


tercakup dalam Al-Mushaf, dan terdiri dari dua macam kitab yaitu:

– kitab al-risālah, berisi aturan-aturan moral-etika, hukum-hukum


peribadatan dan mu’amalah. Inilah yang disebut ayat muhkamat (um al-
kitāb), atau disebut juga kitāb al-ulūhiyah.10
– kitāb al-nubuwwah, berisi ayat-ayat mengenai ilmu hukum alam (natural
laws), sejarah/kisah para nabi dan penjelasan tentang realitas wujud
obyektif. Inilah yang disebut ayat mutasyabihat (yakni Al-Qur’ān), atau
disebut juga kitab al-rububiyah. Termasuk di dalam bagian kitab al-
nubuwah ini adalah apa yang dinamakan tafÎil al-kitab, yang bukan
termasuk muhkamat dan bukan pula mutasyabihat.11
– Sedangkan al-Dzikr adalah perubahan al-kitāb dari kalam Allah menjadi
penuturan dalam bahasa manusia (dalam hal ini bahasa Arab)12.
– Adapun al-Furqān hanya merupakan bagian dari umm al-kitāb, terdiri dari
ayat-ayat tentang sepuluh wasiyat dalam surah al-An’ām:151-153 .

10 Ibid 166
11 Ibid 132
12 Ibid 100
2.3 Teori batas Muhammad Shahrur
Dari sini, dan dengan menggunakan analisis teori matematika, Shahrur
kemudian menciptakan “Teori Limit”, yang terdiri dari batas atas (al-hadd al-a’lā)
dan batas bawah (al-hadd al-adnā) sebagai dua titik dimana hukum-hukum syariat
dapat bergerak/berubah diantara keduanya sesuai perubahan waktu maupun
kondisi. Teori yang sangat kontroversial ini berimplikasi sangat kritis dan pada
akhirnya menghancurkan sejumlah besar bangunan hukum Islam.13

Buah dari penelitian yang dilakunya di atas adalah lahirnya sebuah teori
yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori
batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-
hadd al-a’la/maksimal). Terdapat enam bentuk aplikatif teori batas ini dalam
kajian terhadap ayat-ayat hukum, yakni14:

1. Pertama, yang hanya memiliki batas bawah. Hal ini berlaku pada perempuan
yang boleh dinikahi (QS. [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS.
[5]: 3), [6]: 145-156), hutang piutang {QS. [2]: 283-284), dan pakaian wanita
(QS. [4]: 31).
2. Kedua, yang hanya memiliki batas atas. Berlaku pada tindak pidana pencurian
(QS. [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92).
3. Ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum
waris (QS. [4]: 11-14, 176) dan poligami (QS. [4]: 3).
4. Keempat, ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada
alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina
dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2).
5. Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi
keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar
aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara
laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum
berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.

13 Ibid hal 45
14 Ibid hal 79
6. Keenam, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai
positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan
boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas
atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai
negatif berupa zakat.

2.4 Tanggapan atas metode hermeunetik Shahrur


Pereduksian fungsi Sunnah Nabi sebagai referensi utama tafsir Al-Quran
(baik sebagai mubayyin, mufaÎÎil, maupun muqayyid) juga telah menggiring
Shahrur kepada interpretasi yang sangat aneh seperti pemaknaan al-sab’u al-
matsāni dengan tujuh kelompok huruf-huruf pembuka beberapa surat Al-Qur’an
(al-ahruf al-muqaththa’ah). Penolakan Shahrur terhadap Sunnah dengan dalih
bahwa Nabi tidak pernah memerintahkan ucapannya ditulis sebagaimana al-Quran
dan bahwa faktor politislah yang menjadi sebab utama dikumpulkannya hadits-
hadits Nabi juga telah terbantah oleh kajian sejarah hadits.

Dr. Şubhī al-Şālih misalnya secara gamblang menjelaskan pembuktian yag


dilakukan oleh para sejarawan muslim dan ahli hadits bahwa penulisan hadits telah
dimulai sejak masa hidup Rasulullah saw. Adapun mengenai larangan penulisan
selain al-Quran pada zaman Nabi, hal itu merupakan kebijakan Rasulullah di masa
tertentu ketika dikhawatirkan tercampurnya al-Quran dengan selainnya. Namun
demikian penulisan hadits kemudian diijinkan di masa hidup Nabi secara gradual
dengan pemberian ijin khusus kepada sebagian sahabat tertentu sampai pada
ahirnya turun ijin umum kepada selurugh sahabat.15

Berdasarkan hal ini, maka dari aspek orisinalitas, definisi sunnah dalam
kaca mata Syahrur pada dasarnya tidak orisinal. Sebab apa yang ia sampaikan
hanyalah pengulangan pernyataan dari beberapa kelompok yang bersikap skeptis
terhadap sunnah. Joseph Schacht menyatakan bahwa makna tepat bagi sunnah
adalah contoh hidup dan tata cara yang berlaku sebagai tradisi. Margoliuth juga
mengatakan bahwa sunnah dipergunakan untuk menyebut tradisi Arab dan segala

15 Asriaty, Menyoal Pemikiran Hukum Islam Muhammad Shahrur. hal 9


kebiasaan yang sesuai dengan tradisi nenek moyang.16 Selain dari pihak orientalis,
terdapat juga beberapa tokoh lainnya, semisal Ali Hasan Abdul Qadir yang juga
mengartikan sunnah pada dasarnya hanyalah kumpulan tradisi, barulah pada abad
kedua hijriah sunnah dibatasi pada sunnah Nabi saja.Selain itu terdapat pula
kelompok yang oleh al-A’zami digolongkan sebagai kelompok pengingkar sunnah
atau yang menamai dirinya “ahl al-Qur’an.” Kelompok ini mengungkapkan hujah
menolak sunnah sama persis seperti yang diungkapkan Muhammad Syahrur. Yaitu
seandainya sunnah Nabi itu wahyu bukan tradisi, maka tentu ada teks tertulis yang
diperintahkan oleh Rasulullah sendiri.

Pendekatan bahasa yang dilakukan Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an


akhirnya membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya sangat
tergantung pada konteks sosio-kultural. Syahrur menganggap perlu adanya
reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi
nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Fokus Syahrur terhadap
nash-nash al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah
sebagai sumber hukum juga. Baginya, al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya
telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Untuk
merealisasikan idenya itu Syahrur mengkonsep Teori Limit (Nazoriyyat al-Hudud).

Dengan Teori Limitnya ini, Syahrur mencoba menerapkan nash-nash


muhkamat al-Qur’an ke dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya.
Hukum-hukum di dalam al-Qur’an menurutnya bersifat elastis yang bisa ditarik
dan disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Kondisi masyarakat berada
pada ruang lingkup batasan tersebut, dan selama tidak melewati batasan yang telah
ditetapkan, hukumnya boleh untuk dilakukan.

Tapi kenyataannya Syahrur banyak terjebak pada kesalahan fatal dalam


aplikasi teori batasnya. Kecintaannya pada filsafat Marxisme dan pemaksaannya
dalam menggunakan hermeneutika filologi menggiringnya kepada konsep-konsep
dan produk hukum al-Qur’an yang di mata pemakalah terasa nyeleneh. Ini bisa

16
dilihat dari pemaparannya tentang hukum ayat-ayat hijab dan hubungan laki-laki
dengan perempuan sebaimana diterangkan di atas.
BAB III
PENUTUP

Upaya pembacaan ulang Muhammad Shahrur (Qiro’ah Mu’ashirah) terhadap


alquran denagan cara mendekronstrusi sunnah, dengan membuang peran penting
sebagai sumber hukum setelah al-quran sangat rancu.konsep sunnah yang ditawarkan
oleh Syahrur yang ia katakan sebagai pembaharuan yang diagung-agungkan pada
kenyataannya hanya mengulang kembali apa yang telah diungkapkan oleh para orientalis
dan pengingkar sunnah. Tentu apa yang disebut pembaharuan tersebut telah dijawab
oleh ulama Islam. Seperti klaim sunnah bukanlah wahyu dan sumber hukum Islam.
Begitu juga dengan metodologi Syahrur yang bahkan bersandar pada teori-teori yang
sangat bertentangan dengan ajaran Islam sendiri dan berimplikasi pada pemutusan rantai
epitemologi Islam serta melahirkan kerancuan dalam penerapannya.
Sedangkan teori batas yang di tawarkan nya tidak bisa di pertahankan karena
semua bersifat relatif tidak ada kepastian yang di tawarkan dan cendrung agak nyeleh
karena memeng tidak menggunakan dasar sunnah dan kajian islam ulama salafi lainnya,
dan jelas konsep ini merupan konsep hermenuitik
DAFTAR PUSTAKA

Aulassyahied, Qaem. Jurnal KALIMAH:Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad


Syahrur. Vol. 13, No. 1, Maret 2015

Asriaty. Istinbath.Jurnal Hukum Islam Menyoal Pemikiran Hukum Islam


Muhammad Shahrur. Vol. 13, No.2, Desember 2014

Assyaukanie, Luthfi. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer,


dipublikasikan di
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html.

Syahrur, Muhammad. Al-kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, terj.


Sahiron Syamsudin dan Burhanudin Zikri,Yogyakarta : elSAQ
press, 2008.

Sudjiman, Panuti. FILOLOGI MELAYU.Jakarta : Pustaka Jaya,1995.

Website

http://www.islamlib.com/?site=1&aid=931&cat=content&cid=13&title=syahrur
diunduh pada 1 desember 2016,5

Anda mungkin juga menyukai