Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep dasar

2.1.1. Diabetes Mellitus

2.1.1.1 Pengertian

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang

ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, mengarah ke

hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Diabetes mellitus (DM)

terkadang dirujuk sebagai “Gula tinggi” baik oleh klien maupun

penyedia layanan kesehatan (Black, 2014).

Diabetes mellitus (DM) adalah ganguan metabolisme dengan

manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat yang ditandai

dengan naiknya kadar gula darah puasa dan post prandial

(Jainurahkma, 2015).

Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik

yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah

(hiperglikemia) akibat kerusakan dari sekresi insulin, kerja insulin,

atau keduanya. Tiga komplikasi akut utama diabetes terkait

ketidakseimbangan kadar glukosa yang berlangsung dalam jangka

waktu pendek ialah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik (DKA) dan

sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik. Hiperglikemia

jangka panjang dapat berperan menyebabkan komplikasi

7
8

mikrovaskular, seperti penyakit arteri koroner (infark miokard),

penyakit makrovaskular (stroke), dan penyakit perifer. (Brunner &

Suddarth, 2014).

2.1.1.2 Etiologi

Menurut Black & Hawks., (2014), faktor-faktor yang

mempengaruhi diabetes mellitus, meliputi:

a. Faktor genetik

DM tipe 1 diturunkan sebagai heterogen, sifat multigenik.

Kembar identik memiliki resiko 25-50% mewarisi penyakit

sementara saudara kandung memiliki 6% resiko dan anak cucu

memiliki 5% resiko. Meskipun pengaruh keturunan kuat, 90%

orang dengan DM tipe 1 tidak memiliki relatif tingkat pertama

dengan DM. Terdapat sebuah hubungan antara DM tipe 1 dan

human leucosite antigent (HLAs).

DM tipe 2 tidak berhubungan dengan tipe jaringan HLA, dan

sirkulasi ICAs jarang ada. Keturunan memainkan peran utama

didalam ekpresi dari DM tipe 2. DM tipe 2 lebih umum pada

kembar identik (insidensi 58-75%) dibandingkan populasi umum.

Obesitas adalah faktor resiko mayor, dengan 85% persen dari

seluruh orang dengan DM tipe 2. Hal ini tidak jelas apakah

kegagalan sensitivitas jaringan (otot dan hati) terhadap insulin atau

kegagalan sekresi insulin merupakan efek primer DM tipe 2.


9

b. Faktor imunologi

Identifikasi ICA membuat ini untuk mendeteksi DM tipe 1

pada tingkat praklinis. Auto antibodi langsung melawan insulin

ditemukan pada 20-60% klien dengan DM tipe 1 sebelum inisiasi

terapi insulin eksogen. Kombinasi jumlah besar ICA, adanya

insulin auto antibodi, dan penurunan insulin fase pertama

(mencerminkan simpanan insulin dalam sel beta) dapat

memproduksi onset DM tipe 1 dalam 5 tahun.

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan seperti virus tampaknya memicu proses

autoimun yang merusak sel beta sel antibodi islet (ICAs) muncul

jumlah peningkatan selama berbulan-bulan sampai bartahun-tahun

sesuai kerusakan sel beta hiperglikemi puasa (peningkatan kadar

glukosa darah) terjadi ketika 80-90% masa sel beta telah rusak.

2.1.1.3 Patofisiologi

DM tipe 1 tidak berkembang pada semua orang yang

mempunyai predisposisi genetik. Pada mereka yang memiliki indikasi

penada gen (RD3 dan DR4 HLH), DM terjadi kurang dari 1 persen.

Hal ini secara pelan-pelan terus menyerang sel beta dan molekul

insulin endogen sehingga menimbulkan onset mendadak DM.

Hiperglikemia dapat timbul akibat dari penyakit akut dan stres,

dimana meningkatkan kebutuhan insulin melebihi cadangan dari

kerusakan sel beta ketika penyakit akut atau stres terobati, klien dapat

kembali kepada status terkompensasi dengan durasi yang berbeda-


10

beda dimana pankreas kembali mengatur produksi sejumlah insulin

secara adekuat. Status kompetensi ini disebut sebagai periode

honeymoon, secara khas bertahan untuk 3-12 bulan. Proses berakhir

ketika masa sel beta yang berkurang tidak dapat memproduksi cukup

insulin untuk meneruskan kehidupan. Klien menjadi bergantuk kepada

pemberian insulin eksogen (diproduksi diluar tubuh) untuk bertahan

hidup. (Black., 20014).

DM tipe 2 berbeda signifikan dari DM tipe 1. Respon terbatas

sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor mayor dalam

perkembanganya. Sel beta terpapar secara kronis terhadap kadar

glukosa darah tinggi menjadi secara progresif berkurang efisien ketika

merespon peningkatan glukosa lebih lanjut. Proses patofisiologi

keduanya dalam DM tipe 2 adalah resistensi terhadap insulin biologis,

baik di hati maupun jaringan perifer. Keadaan ini disebut sebagai

resistensi insulin. Orang dengan DM tipe 2 memiliki sensitifitas

insulin terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan produksi glukosa

hepatik berlanjut, bahkan sampai kadar glukosa tinggi. Insulin adalah

hormon pembangun (anabolik). Tanpa insulin, tiga masalah metabolik

mayor terjadi: penurunan pemanfaatan glukosa, peningkatan

metabolik lemak, dan peningkatan pemanfaatan protein. (Black.,

2014).
11

2.1.1.4 Manifestasi klinis

Tanda dan gejala yang sering muncul pada penderita DM dan

gejala khas yang sering dirasakan atau di alami menurut Brunner &

Suddarth. (2014) yaitu:

a. Poliuria, polidipsia, dan polifagia

b. Keletihan dan kelemahan, perubahan pandangan secara

mendadak, sensasi kesemutan atau kebas di tangan atau kaki,

kulit kering, lesi kulit atau luka yang terlambat sembuh, atau

infeksi berulang.

c. Awitan diabetes tipe 1 dapat disertai dengan penurunan berat

badan mendadak, mual atau muntah, atau nyeri lambung.

d. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh intoleransi glukosa yang

progresif dan berlangsung bertahan (bertahun-tahun) dan

megakibatkan komplikasi jangka panjang apabila diabetes tidak

terdeteksi selama bertahun-tahun (misalnya penyakit mata,

neuropati perifer, penyakit vaskular perifer). Komplikasi dapat

muncul sebelum diagnosis yang sebenarnya ditegakkan.

e. Tanda dan gejala ketoasidosis diabetes (DAK) mencakup nyeri

abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, dan nafas berbau buah,

DAK yang tidak tertangani dapat menyebabkan perubahan tingkat

kesadaran, koma, dan kematian.

2.1.1.5 Klasifikasi

Berdasarkan etiologi, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (Joyce. M.

B. & Jane. H. H., 2014), yaitu:


12

a. DM tipe 1 merupakan hasil destruksi autoimun sel beta, mengarah

kepada defisiensi insulin absolut.

b. DM tipe 2 akibat dari defek sekresi insulin progresif diikuti

dengan resistensi insulin, umumnya berhubungan dengan

obesitas.

c. DM gestasional DM yang didiagnosis selama hamil.

d. DM tipe lain sebagi akibat dari defek genetik fungsi sel beta,

penyakit pankreas, (misal kistik fibrosis), atau penyakit yang di

induksi oleh obat-obatan.

2.1.1.6 Diagnosis

a. Pedoman untuk pemeriksaan DM

Pemeriksaan DM seharusnya dipertimbangkan pada semua

orang dewasa berusia 45 tahun. Jika hasil normal, pemeriksaan

diulang dengan interval 3 tahun. Pemeriksaan seharusnya

dipertimbangkan pada orang yang berusia lebih muda atau

dilakukan lebih sering lagi klien dengan dengan faktor sebagai

berikut (Joyce. M. B. & Jane. H. H., 2014):

1. Obesitas (> 120% BB yang di inginkan atau IMT > 25 kg/m)

2. Kebiasaan tidak aktifitas fisik

3. Sindrom polikistik

4. DM para relatif tingkat pertama

5. Predisposisi ras (seperti populasi Amerika, Afrika, Hispanik,

Amerikan pribumi)
13

6. Pada perempuan yang telah melahirkan bayi dengan berat

badan > 4 kg atau yang memiliki riwayat DM gestasionan

7. Hipertensi (tekanan darah > 130/80 mmHg)

8. Kadar HDL < 35 mg/dl atau kadar trigliserida > 120 mg/dl

9. Pada pemeriksaan sebelumnya, kadar toleransi glukosa

terganggu

b. Pedoman diagnosis DM

1. Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L).

Puasa didefinisikan sebagai tidak makan kalori minimal

selama 8 jam.

2. Manifestasi klinis ditambah konsentrasi glukosa plasma

sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Sewaktu didefinisikan

sewaktu-waktu kapan mempertimbangkan kapan waktu

makan terakhir. Gejala klasik termasuk poliuria, polidipsi,

dan kehilangkan berat badan tanpa alasan pasti.

3. Kadar glukosa setelah pembedaan 2 jam > 200 mg/dl selama

tes toleransi glukosa oral. Tes ini seharusnya dilakukan

pemakai pembedaan glukosa = 75 gram glukosa kering yang

dilarutkan dalam air.

c. Nilai glukosa plasma

1. Glukosa plasma puasa > 110 mg/dl glukosa puasa normal

110-125 mg/dl glukosa puasa

terganggu

> 126 mg/dl diagnosis DM


14

2. Tes toleransi glukosa < 140 mg/dl toleransi glukosa normal

3. Oral 2 jam setelah makan 140-199 mg/dl intoleransi glukosa

tergagu > 200 mg/dl diagnosis DM

2.1.1.7 Pencegahan

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan

tersier, meliputi (PERKENI, 2011):

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang

ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu

kelompok yang belum mengalami DM namun berpotensi untuk

mengalami DM karena memiliki faktor resiko sebagai berikut:

1). Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:

a) Ras dan etnik. African Amerika, Mexsican Americans

American indians, Hawaiins dan beberapa Asian Americans

memiliki resiko tinggi mengalami DM dan penyakit

jantung, dikarenakan tinggi glukosa darah, obesitas, dan

jumlah populasi DM dalam etnik (Shai at, al., 2006).

b) Jenis kelamin berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh

Wexler at, al., (2005), pria lebih beresiko menggalami DM

dari pada wanita. Wanita yang mengalami menopause akan

lebih beresiko mengalami DM daripada wanita yang belum

menopause.

c) Riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki

riwayat keluarga dengan DM akan lebih beresiko


15

mengalami DM dari pada seseorang yang tidak memiliki

riwayat keluarga dengan DM (Arslanian at, al., 2005).

d) Usia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Menelly & Elahi (2005), resiko DM lebih tinggi pada usia

dewasa daripada lansia.

2) Faktor resiko yang bisa dimodifikasi:

a) Obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Shai at,al., (2006), seseorang yang obesitas akan mengalami

resiko DM lebih tinggi dari pada orang yang tidak obesitas.

Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak

dapat merusak sensitivitas insulin.

b) Kurangnya aktifitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh marato al.el., (2007), seseorang yang kurang

aktifitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal tersebut

dikarenakan kekurangan aktivitas fisik dapat menurunkan

sensitivitas insulin terhadap reseptor.

c) Hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Eyre at,al. (2004), hipertensi menjadi salah satu faktor resiko

DM karena hipertensi dapat menimbulkan kejadian

osterosklerosis yang berdampak pada penurunan fungsi sel

beta pankreas dalam memproduksi insulin.

d) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl). Dan atau triglesida > 250

mg/dl). Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM

karena dislipidemia merupakan indikator peningkatan jaringan


16

adiposa yang berdampak pada penurunan sensivitas insulin

(Eyre et.al.,2004) dan

e) Diet tidak sehat (unheatty diet). Diet dengan tinggi gula dan

rendah serat akan meningkatkan resiko mengalami DM.

3) Faktor lain yang terkait dengan resiko diebet:

a) Pasien polycystic ovary syndrome (PCOS) atau keadaan klinis

lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS lebih sering

diaktifkan dengan adanya timbunan lemak yang berlebih

terutama dirongga perut dapat menyebabkan penurunan

sensitifitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan

kadar glukosa darah;

b) Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi

glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa tergangu

(GDPT) sebelumnya; dan

c) Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti

stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Aterial Disiases). Pasien

yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih

beresiko mengalami DM karna kondisi pembuluh darah dan

hemostasis yang buruk akan menyebabkan ketidakseimbangan

endokrin dalam tubuh.

Tindakan penyuluhan dan pengelolahan pada kelompok

pada masyarakan yang mempunyai resiko tinggi merupakan

salah satu aspek pencegahan primer. Materi penyuluhan yang


17

dapat di berikan meliputi program penurunan berat badan, diet

sehat, latihan jasmani, dan penghentian meroko.

b. Pencegahan skunder

Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan

untuk mencegah timbulnya komlikasi pada pasien yang telah

mengalami DM. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan

pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini

sejak awal pengelolahan penyakit DM. Program penyulihan

memegang peran penting dalam upaya pencegahan sekunder

untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani

program pengobatan dan menuju prilaku sehat.

c. Pencegahan tersier.

Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang

dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien

DM yang mengalami komplikasi. Upaya rehabilitasi pada

penderita dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan

berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan

keluarganya memegang peranan penting dalam mencegahan

tersier. Penyuluhan dapat dilakuakan dengan pemberian materi

mengenai upaya rehabilitasi yang dapat mencegah kecacatan

lebih lanjut.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan

yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga medis.

Kolaborasi yang baik antar para ahli diberbagai disiplin


18

(jantung, ginjal, mata. Bedah ortopedi, bedah vaskular,

radiologi, rehabilitasi medis, gizi, pediatrik, dan lain

sebagainya) sanggat diperlukan dalam menujang keberhasilan

tersier.

2.1.1.8 Penatalaksanaan

Ada bebrapa penataksannan yang dapat di berikan kepada

penderita diabetes melitus (DM). (Brunner & suddarth.,2014).

Diantaranya yaitu:

a. Penatalaksanaan Medis

Tujua utama terapi adalah menormalkan aktivitas insulin dan

kadar glukosa darah guna mengurangi munculnya komplikasi

vaskular dan neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap diabetes

adalah untuk mencapai kadar gula darah yang normal

(euglikemia) tanpa disertai hipoglikemia dan tanpa mengagu

aktivitas pasien sehari-hari. Ada lima komponen penatalaksanaan

diabetes : nutrisi, olahraga, pemantauan terapi farmakologis, dan

edukasi diantaranya :

1. Terapi primer untuk diabets tipe 1 adalah insulin.

2. Terapi primer untuk diabets tipe 2 adalah penurunan berat

badan.

3. Olahraga sanggat penting untuk meningkatkan keefektifan

insulin.
19

4. Pengunaan agens hipoglikemik oral apabila diet dan olahraga

tidak bisa mengontrol kadar gula darah. Injeksi insulin dapat

digunakan pada kondisi akut.

5. Mengigat terapi bervariasi selam perjalanan penyakit karna

adanya perubahan gaya hidup dan status fisik serta emosional

dan juga kemajuan terapi, terus kaji dan modifikasi rencana

terapi serta lakukan penyesuaian, terapi setiap hari edukasi

diperlukan untuk pasien dan keluarga

b. Penatalaksanaan Nutrisi

1. Tujuanya adalah untuk mencapai dan mempertahankan kadar

glukosa darah dan tekanan darah dalam kisaran normal (atau

seaman mungkin mendekati normal) dan profil lipid dan

lipoprotein yang menurunkan resiko penyakit vaskular;

mencegah atau setidaknya memperlambat, munculnya

komplikasi kronik memenuhi kebutuhan nutrisi individu dan

menjaga kepuasan untuk makan hanya pilihan makanan yang

terbatas ketika bukti ilmiah mengidentifikasi demikian.

2. Rencana makanan harus mempertimbangkan pilihan makanan

pasien, gaya hidup, waktu biasanya pasien makan, dan latar

belakang etnis serta budanya pasien.

3. Bagi pasien yang membutuhkan insulin untuk membantu

mengontrol kadar gula darah, diperlukan konsistesi dalam

mempertahankan jumlah kalori dan karbohidrat yang di

kosumsi pada setiap sesi makan.


20

4. Eduaksi awal membahas pentingnya kebiasaan makan yang

kongsisten, keterkaitan antara makanan dan insulin, dan

penetapan rencana makanan individual. Selanjutnya eduksi

lanjutan berfokus pada keterampilan manajemen, separti

makan di restotan membaca label makanan dan

menyesuaikan/mengatur rencana makan untuk olahraga,

kondisi sakit, dan acara-acara khusus.

5. Tentukan kebutuhan kalori dasar dengan mempertimbangkan

usia, gender, dan tinggi badan pasien serta dengan melihat

derajat aktivitas pasien.

c. Penatalaksanaan Keperawatan.

Penataksanaan perawat untuk pasien penyadang diabetes dapat

mencakup banyak macam ganguan fisiologis, bergantung pada

kondisi kesehatan pasien, atau apakah pasien baru terdiagnosis

diabets atau tengah mencari perwatan untuk masalah kesehatan lain

yang tidak terkait. Karena semua pasien yang menyandang diabetes

harus menguasai konsep dan keterampilan yang diperkukan untuk

penataksanaan jangka pajang serta untuk menghindari

kemungkinan komplikasi diabetes, landasan pendidikan yang solid

mutlak diperlukan dan menjadi fokus asuhan keperawatan yang

berkelanjutan.

2.1.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes diklasifikasikan

sebagai komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi sebagai


21

akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam waktu yang cukup

pendek, (Brunner & suddarth.,2014) diantaranya yaitu:

1. Hipoglikemia

2. DKA (Diabeteik Ketoasidosis)

3. HHNS (Hiperglicemic Hyporosmolar Nonketotic Syndrome)

Komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan

diabetes melitus komlikasinya mencangkup berikut:

1. Penyakit makrovaskular (pembuluh darah besar) memengaruhi

sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah

otak.

2. Penyakit mikrovaskular, (pembuluh darah kecil) memengaruhi

mata (retinipati) dan ginjal (nefropati) kontrol kadar gula untuk

menunda atau mencegah awitan komplikasi mikrovaskular

maupun makrovaskular.

3. Penyakit neuropatik memengaruhi saraf sensorik dan otonom

serta berperan memunculkan sejumlah masalah, seperti impotensi

dan ulkus kaki.

2.1.2. Kepatuhan

2.1.2.1 Pengertian

Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut kamus besar Bahasa

indonesia (KBBI), patuh berati suka menurut perintah, taat kepada

perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh,

ketaatan, patuh pada ajaran dan aturan KBBI, (2012). Menurut


22

Bastable (2007), kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk

menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan.

Kepatuhan merupakan suatu perubahan prilaku dari prilaku yang

tidak mentaati peraturan ke prilaku yang mentaati peraturan(Lawrence

Green dalam Notoatmojo,2007). Kepatuhan berkenaan dengan

kemauan dan kemampuan diri individu untuk mengikuti cara sehat

yang berkaitan dengan nasihat, aturan yang ditetapkan, dan mengikuti

jadwal. Kepatuhan adalah tingkat prilaku penderita dalam mengambil

suatu tindakan untuk pengobatan separti diet, kebiasaan hidup sehat

dan ketepatan berobat (Niven,2008)

Menurut Smet (1994:254) perilaku kepatuhan atau ketaatan sering

diartikan sebagai ”usaha pasien untuk mengendalikan kesehatannya”.

Sedangkan Sackett dalam Niven (2002 : 192) mendefinisikan

”kepatuhan pasien sebagai sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.”(Pratiwi,2011)

Sarafino dalam Smet (1994 : 250) mendefinisikan “kepatuhan

atau ketaatan adalah sebagai tingkat pasien melaksanakan cara

pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh

orang lain.” Secara umum ketidakpatuhan meningkatkan resiko

berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau

memperburuk kesakitan yang sedang diderita.(Pratiwi,2011)

Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan

terapi. ”Kepatuhan pasien berarti bahwa pasien dan keluarganya harus


23

meluangkan waktu dalam menjalankan pengobatan yang dibutuhkan

Potter & Perry, 2006.”(Pratiwi,2011)

Jadi, dari penjelasan para ahli tentang kepatuhan maka dapat

disimpulkan bahwa kepatuhan adalah suatu usaha pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh

dokter atau profesional kesehatan sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh dokter atau profesional kesehatan.

2.1.2.2 Model Kepatuhan

Terdapat beberapa model yang dapat digunakan untuk

menjelaskan kepatuhan Brannon dan Feist, 1997:188-189

(Pratiwi,2011) :

1) Model Biomedis

Model ini tidak menjelaskan mengapa seorang individu tidak

patuh pada saran kesehatan yang telah diberikan oleh dokter.

Model ini hanya menjelaskan faktor-faktor demografik apa saja

yang berhubungan atau mempengaruhi kepatuhan seseorang

terhadap saran yang diberikan oleh dokter, seperti usia, gender,

latar belakang etnik, pendapatan, dan sebagainya (Fisher dalam

Brannon dan Feist, 1997:188). Selain itu model ini juga melihat

variabel lain yang mungkin mempengaruhi, seperti kompleksitas

perawatan, efek samping dari saran yang diberikan,dan tingkat

keparahan dari sakit yang diderita. Model ini berasumsi bahwa

berbagai karakteristik personal yang dimiliki oleh seorang individu

dan karakteristik penyakit yang dideritanya dapat digunakan untuk


24

meramalkan siapa yang akan dan siapa yang tidak akan mematuhi

saran dokter.

2) Model Behavioral

Model behavioral dari kepatuhan adalah berdasarkan prinsip-

prinsip operant conditioning yang diungkapkan oleh Skinner.

Kunci dari operan conditioning adalah penghargaan

(reinforcement) yang sifatnyasegera atas semua respon yang

menggerakkan individu menuju tingkahlaku yang diinginkan,

dalam hal ini kepatuhan pada saran yangdiberikan oleh dokter.

3) Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif berdasarkan atas berbagai prinsip belajar

yang juga menjadi dasar model behavioral, tetapi pada teori belajar

kognitifini ditambahkan juga beberapa konsep tambahan, seperti

interpretasi dan evaluasi atas situasi yang dialami oleh individu,

respon emosimereka, dan kemampuan mereka untuk mengkopi

simto-simtom penyakit yang mereka rasakan.

Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model teori

belajar kognitif karena dalam penelitian ini melibatkan interpretasi

dan evaluasi individu atas situasi yang dialami.

2.1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Faktor yang mempengaruhi prilaku patuh ditentukan oleh tiga

faktor utama (Lawrence Green dalam Notoatmojo.2007) yaitu:


25

1. Faktor predisposisi (faktor pendorong)

Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya prilaku seseorang, antara lain:

a) Kepercayaan

Kepercayaan atau agama merupakan dimensi spiritual

yang dapat menjalani kehidupan penderita yang berpegang

teguh terhadap agamanya akan memiliki jiwa yang tabah dan

tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaanya,

demikian juga cara akan lebih baik. Kemauan untuk

melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi oleh

kepercayaan penderita dimana penderita yang memiliki

kepercayaan yang kuat akan lebih patuh terhadap anjuran dan

larangan.

b) Sikap

Sikap merupakan hal yang paling kuat dalam diri individu

sendiri. Keinginan untuk tetap mempertahankan

kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang

berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol

penyakitya.

c) Pengetahuan

Penderita dengan kepatuhan renda adalah mereka yang

tidak teridentifikasi mempuyai gejala sakit. Mereka berfikir

bahwa dirinya sembuh dan sehat sehingga tidak perlu

melakukan kontrol terhadap penyakitnya


26

2. Faktor reinforcing ( faktor pendukung)

Faktor reinforcing merupakan faktor-faktor yang

mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang

terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang, antara lain:

a) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan dari petugas kesehatan sangatlah besar artinya

bagi penderita sebab petugas adalah pengelolah penderita

yang paling sering berinteraksi sehingga pemahaman

terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik, dengan

sering berinteraksi, sangatlah mempengaruhi rasa percaya

dan slalu menerima kehadiran petugas kesehatan termasuk

anjuran-anjuran yang diberikan.

b) Dukungan keluarga

Keluarga merupakan bagian deri penderita yang paling

dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa

senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan

dukungan dari keluarganya, kerena dengan dukungan tersebut

akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi

atau mengelolah penyakitnya dengan baik, serta penderita

mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk

penunjang pengelolahan penyakitnya.

3. Faktor enbling (faktor pemungkin)

Faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi

perilaku dan tindakan yang dimaksud dengan faktor


27

pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, rumah

sakit, posyandu, tempat pembuangan sampah, tempat

olahraga, makanan yang bergizi, dan sebagainya.

2.1.3 Diabetes Self Management Education (DSME)

2.1.3.1 Pengertian

Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu

proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi

pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk

melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al.,2008). Menurut Sidani

& Fan (2009), DSME merupakan suatu proses pemberian edukasi

kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara

mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah

komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM.

2.1.3.2 Tujuan DSME

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan

kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan

kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis

(Norris et.al., 2002). Menurut Funnell et.al. (2008) tujuan umum

DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri,

pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk

meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup.


28

2.1.3.3 Pinsip DSME

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah

pendidikan DM efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas

hidup pasien meskipun dalam jangka pendek, DSME telah

berkembang dari model pengajaran primer menjadi lebih teoritis yang

berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada program

edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan

strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil

klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat

penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien

selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah strategi

efektif mendukung selfcare behaviour.

2.1.3.4 Standar DSME

DSME memiliki 10 standar yang terbagi menjadi 3 domain

(Funnell et.al., 2008; Haas et.al., 2012) yaitu:

a. Struktur

1. standar 1 (internal structure): DSME merupakan struktur

organisasi, misi, dan tujuan yang menjadikan DSME sebagai

bagian dari perawatan untuk pasien DM;

2. standar 2 (external input): kesatuan DSME harus menunjuk

suatu tim untuk mempromosikan kualitas DSME. Tim tersebut

harus terdiri dari tenaga kesehatan, pasien DM, komunitas, dan

pembuat kebijakan;
29

3. standar 3 (access): kesatuan DSME akan mengidentifikasi

kebutuhan pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk

mendukung peningkata kualitas hidup bagi pasien DM. DSME

mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan dari

populasi target dan mengidentifikasi sumbersumber yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut; dan

4. standar 4 (program coordination): koordinator DSME akan

ditunjuk untuk mengawasi perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi DSME. Koordinator yang ditunjuk harus memiliki

kemampuan akademik dan pengalaman dalam perawatan

penyakit kronis dan manajemen program edukasi.

b. Proses

1. standar 5 (instructional staff): DSME dapat dilakukan oleh satu

atau lebih tenaga kesehatan. Edukator DSME harus memiliki

kemampuan akademik dan pengalaman dalam memberikan

edukasi dan manajemen DM atau harus memiliki sertifikat

sebagai edukator. Edukator DSME mempersiapkan materi

yang akan disampaikan secara berkelanjutan.;

2. standar 6 (curriculum): penyusunan kurikulum harus

menggambarkan fakta DM, petunjuk praktek, dengan kriteria

untuk hasil evaluasi dan akan digunakan sebagai kerangka

kerja DSME. Pengkajian kebutuhan pasien DM dan pre-DM

akan mengindentifikasi informasi-informasi yang harus

diberikan kepada pasien;


30

3. standar 7 (individualization): pengkajian individual dan

perencanaan edukasi akan dilakukan oleh kolaborasi antara

pasien dan edukator untuk menentukan pendekatan

pelaksanaan DSME dan strategi dalam mendukung manajemen

pasien. Strategi yang digunakan adalah mempertimbangkan

aspek budaya dan etnis pasien, usia, pengetahuan, keyakinan

dan sikap, kemampuan belajar, keterbatasan fisik, dukungan

keluarga, dan status finansial pasien. Pengkajian, perencanaan

edukasi, dan intervensi akan didokumentasikan pada dokumen

DSME; dan

4. standar 8 (ongoing support): perencanaan follow-up pasien

untuk mendukung DSME akan dilakukan dengan kolaborasi

antara pasien dan edukator. Hasil follow-up tersebut akan

diinformasikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam

DSME.

c. Hasil

1. standar 9 (patient progress): kesatuan DSME akan mengukur

keberhasilan pasien dalam mencapai tujuan dan hasil klinis

pasien dengan menggunakan teknik pengukuran yang tepat

untuk mengevaluasi efektivitas dari DSME; dan

2. standar 10 (quality improvement): Kesatuan DSME akan

mengukur efektivitas proses edukasi dan mengidentifikasi

peluang untuk perbaikan DSME dengan menggunakan

perencanaan perbaikan kualitas DSME secara berkelanjutan


31

yang menggambarkan peningkatan kualitas berdasarkan

kriteria hasil yang dicapai.

2.1.3.5 Komponen DSME

Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005) dalam

Rondhianto, (2011) komponen dalam DSME yaitu:

a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi,

patofisiologi dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;

b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan.

penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara

penyuntikan, dan lainnya.Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral

(OHO) meliputi dosis, waktu minum, dan lainnya;

c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan

pengertian, tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan

strategi lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring,

frekuensi, dan waktu pemeriksaan;

d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet,

kebutuhan kalori, jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit,

kontrol berat badan, gangguan makan dan lainnya;

e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi

medis sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan

alat pelindung dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki

yang digunakan, dan pengaturan kegiatan saat kondisi

metabolisme tubuh sedang buruk;


32

f. Stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang

menyebabkan terjadinya distres, dukungan keluarga dan

lingkungan dalam kepatuhan pengobatan;

g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki,

penyebab, tanda dan gejala, cara mencegah, komplikasi,

pengobatan, rekomendasi pada pasien jadwal pemeriksaan

berkala; dan

h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian

informasi tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan

kesehatan yang ada di lingkungan pasien yang dapat membantu

pasien.

2.1.3.6 Tingkat pembelajaran DSME

Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME

terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. survival/basic level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan

perawatan diri dalam upaya mencegah, mengidentifikasi dan

mengobati komplikasi jangka pendek.

b. intermediate level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan

perawatan diri dalam upaya mencapai kontrol metabolik yang


33

direkomendasikan, mengurangi resiko komplikasi jangka panjang

dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.

c. advanced level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan

perawatan diri dalam upaya mendukung manajemen DM secara

intensif untuk kontrol metabolik yang optimal, dan integrasi

penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien

2.1.3.7 Pelaksanaan DSME

DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik

di klinik maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME

dapat dilakukan sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam

untuk tiap sesi (Central Dupage Hospital, 2011), yaitu:

a. Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi,

etiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,

diagnosis, pencegahan, pengobatan, komplikasi);

b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan

fisik yang dapat dilakukan;

c. sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu

dilakukan; dan

d. sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial,

dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.


34

2.1.4. Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME) dengan

kepatuhan pengobatan.

Salah satu pilar penanganan DM adalah edukasi. Edukasi

memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe

2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat membantu merubah

perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri.

Edukasi dapat diberikan melalui suatu promosi kesehatan. Promosi

kesehatan merupakan proses pemberdayaan atau memandirikan

masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya

(Ottawa Charter, 1986 dalam Maulana, 2009). Proses pemberdayaan atau

memandirikan masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian informasi

(seperti pendidikan kesehatan) tetapi juga upaya untuk merubah perilaku

dan sikap seseorang, sehingga promosi kesehatan dapat meningkatkan

kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor seseorang (Maulana, 2009).

Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor

keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Lingkungan

merupakan faktor terbesar, dapat mempengaruhi kesehatan dan perilaku,

begitu juga sebaliknya, perilaku dapat mempengaruhi lingkungan dan

faktor-faktor lainnya (Maulana, 2009). Perilaku merupakan faktor

terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan

individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974 dalam Maulana,

2009).

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi

seseorang dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk


35

pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh suatu keseimbangan

antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang

dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan atau perubahan pada kedua

kekuatan tersebut dalam diri seseorang (Maulana, 2009).

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur, perilaku masyarakat

yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat

terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan. Menurut

(Green 1980 dalam Maulana, 2009), pendidikan kesehatan mempunyai

peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor perilaku

(predisposisi, pendukung, dan pendorong) sehingga menimbulkan

perilaku positif dari masyarakat. Perilaku, pendidikan kesehatan, dan

status kesehatan seseorang saling berhubungan, hubungan tersebut dapat

dilihat melalui bagan berikut bertahap merupakan salah satu aspek yang

dapat dilaksanakan dengan DSME. Pelaksanaan DSME terdiri dari 4 sesi

yang meliputi pemberian pengetahuan mengenai konsep dasar penyakit

DM, pengobatan DM, monitoring, pengaturan nutrisi, latihan jasmani,

manajemen stress, perawatan kaki, dan akses terhadap fasilitas pelayanan

kesehatan (Funnell et.al., 2008; Schumacher dan Jancksonville 2005

dalam Rondhianto, 2011).

DSME bertujuan untuk mendukung pengambilan keputusan,

perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim

kesehatan, sehingga dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan,

dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Adanya pemberian DSME dapat

meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien dalam melakukan


36

perawatan diri. Self care (Perawatan diri) merupakan suatu kontribusi

berkelanjutan orang dewasa bagi eksistensinya, kesehatannya, dan

kesejahteraannya. Kebutuhan perawatan diri, menurut Orem, meliputi

pemeliharaan udara, air/cairan, makanan, proses eliminasi normal,

keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, keseimbangan antara

solitude dan interaksi sosial, pencegahan budaya bagi kehidupan, fungsi,

dan kesejahteraan manusia, serta upaya meningkatkan fungsi dan

perkembangan individu dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi,

keterbatasan, dan keinginan untuk normal

Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri dipengaruhi

oleh usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi sosial

budaya, kesehatan, dan sumber daya yang tersedia. Perawatan diri

memiliki beberapa prinsip yaitu perawatan diri dilakukan secara holistik

yang mencakup delapan komponen kebutuhan perawatan diri, perawatan

diri dilakukan sesuai tahap kembang manusia, dan perawatan diri

dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau penyakit dengan tujuan

mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan (Asmadi, 2008).

Adanya kemampuan atau keinginan pasien dalam melakukan perawatan

diri inilah yang akan menciptakan kepatuhan dalam pengobatan

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

1. Eva Rahayu dkk., 2014. Dengan judul penelitian “pengaruh program

Diabetes Self Management Education berbasis keluarga terhadap

kuwalitas hidup penderita Diabetes melitus tipe 2 di wilayah


37

Puskesmas II Baturaden”. Populasi yang digunakan adalah semua

penderita DM dan keluarga yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas II Baturaden, Sampel diambil secara porposive sampling.

Metode mengunakan quasi experiment one group with pre and post

test desagn, Hasil penelitian dituliskan bahwa DSME dapat

berpengaruh meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM tipe 2 di

wilayah kerja puskesmas 2 Baturaden. Perbedaan dengan yang akan

diteliti yaitu kuwalitas hidup

2. Rondianto., 2012. Pengaruh Diabetes Self Mangement Education

(DSME), dalam Discharge Planing Terhadap Self Ccare Behavior

Pasien, populasinya adalah semua penderita DM tipe 2 yang sedang

dirawat di ruang paviliun Bougenville RSUD dr. Koesnadi, sampel

yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan esklusi

sebayak 30 orang, desain penelitian yang di gunakan Quasi

experiment dengan pendekatan non randomized control group pretest-

postest desagn. Hasil penelitian menunjukan didapatkan pengaruh

penerapan DSME peningkatan self care behavior pasien DM tipe 2.

Perbedaan dengan yang akan diteliti yaitu Self Ccare Behavior.

3. Hariono., 2015. Diabetes Self Managemant Education Againsst

Tipa2 DM Patients Independence Inmanaging Diet. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua pasien dari kasus baru diabetes yang rawat

jalan di RS Jombang sebanyak 42 klien pada Januari-Maret 2014,

dengan sampel pasien DM tipe 2 sebanyak 30 klien, desain penelitian

yang digunakan adalah pre-exsperimental with pre-post-test in one


38

group. Hasil penelitian menunjukan bahwa DSME dapat

meningkatkan kemandirian pasien DM tipe 2 dalam pengelolahan

diet. Perbedaan dengan yang akan diteliti yaitu Managing Diet.

Penelitian tentang Diabets Self Management Education berbasis

keluarga terhadap kepatuhan pengobatan penderita diabetes melitus

khususnya di Kecamatan Bantur berdasarkan referensi yang ada

belum pernah dilakukan. Persamaan penelitian ini dengan tiga

penelitian terdahulu di atas adalah sama-sama meneliti tentang

Diabetes Self Management Education,


39

2.3. Kerangka Konsep


Pasien dengan Diabetes Mellitus

FARMAKOLOGI NONFARMAKOLOGI
 Terapi insulin
 Komplementer
 Terapi oral
 Konsul DM
 Diet sehat
KOMPONEN  Senam kaki
 Pengetahuan dasar tentang 
DSME
DM
 Pengobatan
 Monitoring
 nutrisi
 olahraga dan aktifitas
 stres dan psikologi
 perawatan kaki
 sistem pelayanan dan SDM
MEMFASILITASI
 Pengetahuan
 Keterampilan
 Kemampuan merawat
diri

survival Intermediet advanced

 Mencegah  Mencapai kontrol  Mendukung


 Mengidentifikasi metabolik manajemen DM
 Mengobati  Mengurangi resiko secara intensif
komplikasi jangka komplikasi jangka untuk kontrol
pendek panjang metabolik yang
 Memfasilitasi optimal
penyusuaian hidup  Integrasi penuh
pasien kedalam kegiatan
perawatan
kehidupan pasien

Kepatuhan dalam pengobatan


Keterangan DM

: diteliti
: tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka konseptual pengaruh program Diabetes Self Management


Education berbasis keluarga terhadap kepatuhan pengobatan
penderita Diabetes mellitus Di Wilayah Puskesmas Bantur
40

2.4. Hipotesia Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

H0 : Tidak ada pengaruh Diabetes Self Management Edukation berbasis

keluarga terhadap kepatuhan pengobatan di Puskesmas Bantur.

H1 : Ada pengaruh Diabetes Self Managemant Education berbasis

keluarga terhadap kepatuhan pengobatan di Puskesmas Bantur.

Anda mungkin juga menyukai