Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses kehamilan dan persalinan adalah suatu proses alamiah yang
terjadi pada seorang perempuan. Kehamilan dan persalinan merupakan
proses yang sangat rentan terhadap terjadinya komplikasi yang dapat
membahayakan ibu maupun bayi dan merupakan salah satu penyebab
kematian ibu. Kematian ibu atau kematian maternal adalah kematian
seorang ibu sewaktu hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya
kehamilan, tidak bergantung pada tempat atau usia kehamilan. Indikator
yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu
(Maternal Mortality Ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini mencerminkan risiko obstetrik yang dihadapi seorang ibu
ketika ia hamil. Jika ibu tersebut hamil beberapa kali, risikonya meningkat
dan digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang hidupnya, yaitu
probabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena kehamilan
sepanjang masa reproduksi (Sarwono, 2009). Kebijakan Departemen
Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan AKI mengacu kepada
intervensi strategis ”Empat Pilar Safe Motherhood” yang meliputi
peningkatan program KB, akses pelayanan antenatal, pertolongan
persalinan secara APN (Asuhan Persalinan Normal) dengan sangga susur
dan latihan meneran yang baik, serta cakupan pelayanan obstetri esensial
(Listiyaningsih, 2009). Mortalitas dan morbiditas pada wanita bersalin adalah
masalah besar di Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kematian
saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita mudah
pada masa puncak produktivitasnya (Sekartini, 2007).

Indonesia membuat rencana strategi nasional Making Pregnancy


Safer (MPS) untuk tahun 2001-2010, dalam konteks rencana
pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2014 adalah dengan visi
“Kehamilan dan Persalinan di Indonesia Berlangsung Aman, serta yang
dilahirkan Hidup dan Sehat,” dengan misinya adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian maternal dan neonatal melalui pemantapan sistem
kesehatan. Salah satu sasarannya ditetapkan untuk tahun 2010 adalah
2

menurunkan angka kematian maternal menjadi 125 per 100.00 kelahiran


hidup dan dengan tujuan menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi
baru lahir di Indonesia (Saiffudin, 2006). Depkes R.I. Tahun 2009
menargetkan AKI di Indonesia menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang
menetapkan AKI 102/100.000 kelahiran pada Tahun 2015. Dalam Rencana
Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia Tahun 2001-
2010, Depkes RI (2001) menyebutkan bahwa dari lima juta kelahiran yang
terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal
akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.

Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung.


Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan,
persalinan, atau masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak
tepat dari komplikasi tersebut tersebut. Kematian ibu tidak langsung
merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul
sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya
malaria, anemia, HIV/AIDS dan penyakit kardiovaskuler. Secara global 80%
kematian ibu tergolong pada kematian ibu langsung. Pola penyebab
kematian langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan (25%, perdarahan
pascapersalinan), sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus
macet (8%), komplikasi aborsi tidak aman (13%), sebab lain-lain (8%).
(Sarwono, 2009). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berjumlah 359/100.000
kelahiran hidup. Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40%
kematian ibu di Indonesia. Sedangkan robekan jalan lahir merupakan
peyebab kedua tersering dari pendarahan postpartum. Robekan dapat
terjadi bersamaan dengan Antonia uteri. Perdarahan postpartum dengan
uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh sobekan servik atau
vagina (Bobak, 2008).

Salah satu penyebab perdarahan pasca partum adalah trauma pada


traktur genitalis yakni ruptur/ laserasi perineum (Cunningham, 2014).
Robekan jalan lahir (Ruptur) adalah luka pada perineum yang diakibatkan
oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin
atau bahu pada saat proses persalinan (Hamilton,2002 dalam Fitriana 2015).
3

Ruptur perineum merupakan perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat
kelahiran bayi baik menggunakan alat maupun tidak menggunakan alat.
Ruptur perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Ruptur perineum umumnya terjadi di
garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat.
Ruptur perineum dibagi atas 4 tingkat yaitu derajat I sampai derajat IV,
ruptur perineum dialami oleh 85% wanita yang melahirkan pervaginan
(Manuaba, 2008).

Rupture Perineum dapat terjadi karena adanya rupture spontan


maupun episiotomi. Ruptur perineum secara spontan dapat disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu dari faktor ibu, faktor janin dan faktor penolong persalinan
(Mochtar, 2008). Gejala klinis dari ruptur perineum adalah perdarahan ringan
sampai sedang, mungkin terjadi perlukaan dalam, dan bisa sampai
mengenai sfingter ani dan mukosa rektum (ruptur perinei totalis) (Manuaba,
2008). Persalinan dengan ruptur perineum apabila tidak ditangani secara
efektif menyebabkan perdarahan dan infeksi menjadi lebih berat karena
laserasi perineum dapat dengan mudah terkontaminasi feses karena dekat
dengan anus. Infeksi juga dapat menjadi sebab luka tidak segera menyatu ,
serta pada jangka waktu panjang dapat mengganggu ketidaknyamanan ibu
dalam melakukan hubungan seksual dan bahaya dari ruptur perineum dalam
jangka waktu yang pendek menyebabkan jaringan parut yang terbentuk
sesudah laserasi perineum sehingga dapat menyebabkan nyeri
(Mochtar,2007). Ruptur perineum juga dapat menyebabkan kematian karena
perdarahan atau sepsis (Manuaba, 2008).

Asuhan persalinan normal (APN) adalah asuhan yang bersih dan


aman dari setiap tahapan persalinan yaitu mulai dari kala satu sampai
dengan kala empat dan upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan
pasca persalinan, hipotermi serta asfiksia pada bayi baru lahir (JNPK-KR,
2013). Menurut JNPK-KR (2013), asuhan persalinan normal memiliki tujuan
yaitu mengupayakan kelangsungan hidup dan memberikan derajat
kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang
terintegrasi dan lengkap serta dengan intervensi yang minimal sehingga
prinsip keamanan dan kualitas pelayanan tetap terjaga pada tingkat yang
optimal. Tujuan asuhan persalinan normal adalah tercapainya kelangsungan
4

hidup dan kesehatan yang tinggi bagi ibu serta bayinya, melalui upaya yang
terintegrasi dan lengkap namun menggunakan intervensi seminimal mungkin
sehingga prinsip keamanan dan kualitas layanan dapat terjaga pada tingkat
yang seoptimal mungkin. pendekatan seperti ini berarti bahwa: dalam
asuhan persalinan normal harus ada alasan yang kuat dan bukti manfaat
apabila akan melakukan intervensi terhadap jalannya proses persalinan
yang fisiologis/alamiah (Wattimena, 2008). Penolong persalinan adalah
seseorang yang mampu dan berwenang dalam memberikan asuhan
persalinan normal (APN). Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah
satu penyebab terjadinya ruptur perineum. Sangat diperlukan kerjasama
dengan ibu dan penggunan perasat manual yang tepat dapat mengatur
ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi/
ruptur perineum (Oxorn, 2010).

Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus ruptur
perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada
tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya bidan yang tidak mengetahui
asuhan kebidanan dengan baik (Pratami, 2014). Di Amerika 26 juta ibu
bersalin yang mengalami ruptur perineum, 40 % diantaranya mengalami
ruptur perineum karena kelalaian bidannya. 20 juta diantaranya adalah ibu
bersalin dan ini akan membuat beban biaya untuk pengobatan kira-kira 10
juta dolar pertahun sedangkan di Australia, setiap tahun 20.000 ibu bersalin
akan mengalami ruptur perineum ini disebabkan oleh ketidaktahuan bidan
tentang asuhan kebidanan yang baik (Pratami, 2014).

Peneliti melakukan studi pendahuluan pada Februari tahun 2017,


dari ibu yang bersalin sebanyak 309 orang terdapat 146 angka kejadian
ruptur perineum yang dialami ibu bersalin di Klnik Bersalin Ramlah Parjib
Samarinda tahun 2016. Peneliti melakukan observasi partus pada bulan april
2017, 1 dari 2 ibu bersalin mengalami ruptur perineum dengan penerapan
Asuhan Persalinan Normal (APN) yang tidak sesuai dengan Standar
Prosedur Oprasional (SPO) yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di
atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
pelaksanaan APN dengan kejadian ruptur perineum di klinik bersalin Ramlah
Parjib.
5

B. Rumusan Masalah
Tingginya angka ruptur perineum pada ibu bersalin merupakan hal
yang memprihatinkan. Persalinan dengan ruptur perineum apabila tidak
ditangani secara efektif menyebabkan perdarahan dan infeksi menjadi lebih
berat karena laserasi perineum dapat dengan mudah terkontaminasi feses
karena dekat dengan anus. Infeksi juga dapat menjadi sebab luka tidak
segera menyatu dapat mengganggu ketidaknyamanan ibu, jaringan parut
yang terbentuk sesudah laserasi perineum juga dapat menyebabkan nyeri.
Dampak tersebut dapat berupa dampak jangka pendek, maupun jangka
panjang yang dapat mempengaruhui ibu, sehingga dalam melakukan
persalinan penolong persalinan diharapkan dapat melakukan pertolongan
berdasarkan prosedur Asuhan Persalinan Normal (APN) yang langkah-
langkahnya dikerjakan dengan benar dan sesuai urutannya. Berdasarkan
latar belakang masalah yang dijelaskan, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “apakah ada hubungan pelaksanaan APN dengan
kejadian ruptur perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pelaksanaan APN dengan kejadian ruptur
perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pelaksanaan APN pada ibu bersalin di klinik bersalin
Ramlah Parjib.
b. Mengidentifikasi kejadian ruptur perineum pada ibu ibersalin di klinik
bersalin Ramlah Parjib.
c. Mengidentifikasi hubungan pelaksanaan APN dengan kejadian ruptur
perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib
6

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan terutama bagi peneliti selanjutnya
untuk mengembangkan dan menemukan temuan-temuan baru.

2. Manfaat praktis
a. Instansi Kesehatan
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan ilmu baru bagi tenaga
kesehatan dalam mengetahui penyebab dari ibu yang mengalami
ruptur perineum. Dengan penelitian ini bahwa salah satu penyebab
ruptur perineum adalah berat badan bayi.

b. Institusi Pendidikan
Penelitian ini menjadi evidence base mengenai hubungan berat
badan bayi baru lahir dengan ruptur perineum pada persalinan
fisiologis.

c. Klinik Bersalin
Diharapkan menjadi pengetahuan bagi pihak klinik bahwa
pelaksanaan APN yang dikerjakan dengan benar dan sesuai urutan
prosedur dapat meminimalisir kejadian ruptur perineum di klinik
bersalin Ramlah Parjib.

E. Penelitian Terkait
Penelitian terkait dengan topik hubungan pelaksanaan APN dengan
kejadian ruptur perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib, antara lain :

1. Sinta, (2012) “Hubungan pengetahuan ibu bersalin dengan tehnik


mengedan dengan kejadian ruptur perineum pada kelahiran normal di
BPM kelurahan Batipuh Panjang, Padang”. Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil
analisis data, dari 69 responden dimana diketahui bahwa ibu bersalin
pengetahuan rendah dan tidak mengalami ruptur perineum sebanyak 5
orang ( 7,2 %), pengetahuan rendah serta mengalami ruptur perineum
sebanyak 41 orang ( 59,4 %),pengetahuan tinggi serta tidak mengalami
ruptur perineum sebanyak 19 orang ( 27,5 %), dan pengetahuan tinggi
7

serta mengalami ruptur perineum sebanyak 4 orang (5,8%). Hasil uji


statistik chi square dengan diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05). Dari nilai p
tersebut dapat dijelaskan bahwa Ho ditolak artinya ada hubungan yang
segnifikan antara pengetahuan dengan kejadian ruptur perineum.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian diatas terdapat pada variabel,
rancangan penelitian, tempat penelitian. Pada penelitian diatas
variabelnya yaitu pengetahuan ibu bersalin dengan tehnik mengedan
dengan kejadian ruptur perineum pada kelahiran normal di BPM
kelurahan Batipuh Panjang Padang, dan tempat penelitian diatas
dilakukan di BPM kelurahan Batipuh Panjang, Padang. Sedangkan pada
penelitian ini menggunakan variabel pelaksanaan APN dan tempat
penelitian di Klinik Bersalin Ramlah Parjib.

2. Tarelluan, Jusima (2012) dalam karya tulisnya yang berjudul faktor-faktor


yang berhubungan dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan
normal Rsud Dr. Sam Ratulangi Tondano Kabupaten Minahasa.
Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan menggunakan desain
Retrospektif atau pengumpulan data sekunder Menunjukkan terdapat
hubungan umur dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan
normal. Hasil penelitian menggunakan taraf signifikansi α = 0,05 dan dk =
2 (X tabel) untuk variabel usia, paritas dan BBL. Faktor umur didapat
hasil nilai X2 = 160,302 > 5,99 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Faktor
paritas didapat hasil X2 = 90,792 > 5,99 dan BBL didapat hasil X2 =
173,613 > 5,99. Kesimpulannya ada hubungan yang signifikan antara
faktor umur paritas, dan BBL dengan kejadian ruptur perineum pada
persalinan normal.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian diatas terdapat pada variable,
tempat penelitian dan desain penelitian. Pada penelitian diatas
variabelnya yaitu variabel usia, paritas dan BBL, tempat penelitian diatas
dilakukan di Rsud Dr. Sam Ratulangi Tondano Kabupaten Minahasa, dan
desain penelitian retrospekrif. Sedangkan pada penelitian ini variabelnya
yaitu pelaksanaan APN, tempat penelitian di Klinik Bersalin Ramlah Parjib
2 dan dengan desain cross sectional.

3. Shofiyani, (2013) dalam karya tulisnya yang berjudul “Hubungan Berat


Badan Bayi Baru Lahir dengan Ruptur Perineum Spontan pada
8

Penatalaksanaan Kala II Persalinan Normal di Bidan Praktik Swasta


Patricia Sitilah Kamajaya Surodikraman Ponorogo”. Penelitiannya
merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross
sectional. Uji statistik yang digunakan adalah uji Spearman’s Rho. Hasil
penelitiannya menunjukkan ada hubungan berat badan bayi baru lahir
dengan rupture perineum spontan pada penatalaksanaan kala II
persalinan normal.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian diatas terdapat pada variabel,
uji statistik, dan tempat penelitian. Pada penelitian diatas variabelnya
yaitu hubungan berat badan bayi baru lahir dengan ruptur perineum
spontan pada penatalaksanaan kala II persalinan normal, uji statistik
penelitian diatas adlah uji Spearman’s rho, dan tempat penelitian diatas
dilakukan di Bidan Praktik Swasta Patricia Sitilah Kamajaya
Surodikraman Ponorog. Sedangkan pada penelitian ini variabelnya
pelaksanaan APN, dengan uji statistik chi square , dan tempat penelitian
di Klinik Bersalin Ramlah Parjib.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Konsep APN (Asuhan Persalinan Normal)

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin


dan uri), yang dapat hidup kedunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau
dengan jalan lain (Mochtar, 2010). Persalian terbagu dari atas tiga
macam : Normal (persalinan Spontan), adalah persalinan yang dilakukan
dengan letak belakang kepala [ubun-ubun kecil] dan sejak awal hingga
akhir hanya dengan tenaga ibu serta melalui jalan lahir ke dunia luar,
persalinan buatan, adalah persalinan yang berakhir dengan bantuan
tenaga dari luar dan diakhiri dengan suatu tindakan. Misalnya terjadinya
obstruksi dengan melakukan tindakan forceps atau dengan tindakan
bedah sectio caesaria, vakum ektraksi dan persalinan anjuran, adalah
persalinan yang baru dapat berlangsung setelah permulaannya
dianjurkan dengan suatu perbuatan atau tindakan. Misalnya : dengan
pemecahan ketuban atau dengan memberi suntikan pitocin, sintosinon,
oxilon.

Persalinan normal (fisologis) adalah proses pengeluaran janin


yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam,
tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Sarwono, 2009).
Persalinan yang dimulai secara spontan dengan kekuatan ibu sendiri
melalui jalan lahir, bayi lahir melalui vagina tanpa memakai
alat/pertolongan istimewa, serta tidak melukai ibu serta bayi. (Damayanti,
2014). Definisi persalinan normal menurut WHO adalah persalinan yang
dimulai secara spontan, beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap
demikian selama proses persalinan. Bayi dilahirkan secara spontan
dalam presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara 37 hingga
42 minggu lengkap. Setelah persalinan ibu maupun bayi berada dalam
kondisi sehat.
Pengertian asuhan persalinan normal (APN) adalah asuhan yang
bersih dan aman dari setiap tahapan persalinan yaitu mulai dari kala satu
sampai dengan kala empat dan upaya pencegahan komplikasi terutama
perdarahan pasca persalinan, hipotermi serta asfiksia pada bayi baru
10

lahir (JNPK-KR, 2013). Menurut JNPK-KR (2013), asuhan persalinan


normal memiliki tujuan yaitu mengupayakan kelangsungan hidup dan
memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui
berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta dengan intervensi
yang minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan tetap
terjaga pada tingkat yang optimal.
Tujuan asuhan persalinan normal adalah tercapainya
kelangsungan hidup dan kesehatan yang tinggi bagi ibu serta bayinya,
melalui upaya yang terintegrasi dan lengkap namun menggunakan
intervensi seminimal mungkin sehingga prinsip keamanan dan kualitas
layanan dapat terjaga pada tingkat yang seoptimal mungkin. pendekatan
seperti ini berarti bahwa: dalam asuhan persalinan normal harus ada
alasan yang kuat dan bukti manfaat apabila akan melakukan intervensi
terhadap jalannya proses persalinan yang fisiologis/alamiah (Wattimena,
2008).
Menurut Wattimena 2008, tugas seorang penolong persalinan
pada asuhan persalinan normal adalah sebagai berikut :
a. Memberikan dukungan pada ibu, suami dan keluarganya selama
proses persalinan, saat akan melahirkan bayi dan pada masa
sesudahnya.
b. Melakukan pemantauan terhadap ibu dan janin dalam proses
persalinan dan setelah persalinan; menilai adanya faktor risiko;
melakukan deteksi dini terhadap komplikasi persalinan yang mungkin
muncul.
c. Melakukan intervensi minor bila diperlukan seperti melakukan
amniotommi; episotomi pada kasus gawat janin; melakukan
penatalaksanaan pada bayi baru melahirkan dengan asfiksi ringan.
d. Melakukan rujukan pada fasilitas yang lebih lengkap sesuai dengan
masalah kasus yang dirujuk bila didapatkan adanya faktor risiko atau
terdeteksi adanya komplikasi selama proses persalinan.
Selain tugas-tugas di atas, seorang penolong persalinan harus
mendapatkan kualifikasi sebagai tenaga pelaksana penolong persalinan
melalui serangkaian latihan, bimbingan langsung dan kesempatan untuk
mempraktekkan keterampilannya pada suasana sesungguhnya. Dalam
kualifikasi tersebut, penolong persalinan dapat melakukan penilaian
11

terhadap faktor risiko, mendeteksi secara dini terjadinya komplikasi


persalinan, melakukan pemantauan terhadap ibu maupun janin, dan
juga bayi setelah dilahirkan. Penolong persalinan harus mampu
melakukan penatalaksanaan awal terhadap komplikasi terhadap bayi
baru lahir. Ia juga harus mampu untuk melakukan rujukan baik ibu
maupun bayi bila komplikasi yang terjadi memerlukan penatalaksanaan
lebihlanjut yang membutuhkan keterampilan di luar kompetensi yang
dimilikinya. Tidak kalah pentingnya adalah seorang penolong persalinan
harus memiliki kesabaran, kemampuan untuk berempati dimana hal ini
amat diperlukan dalam memberikan dukungan bagi ibu dan
keluarganya. Menurut JNPK-KR 2008, tahap-tahap persalinan adalah
sebagai berikut:
a. Kala I
JNPK-KR (2013), menyatakan bahwa kala satu persalinan dimulai
sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan meningkat
(frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka dengan
lengkap (10 cm). Tanda dan gejala inpartu adalah adanya penipisan
dan pembukaan serviks, terjadi kontraksi uterus yang mengakibatkan
perubahan serviks (frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit) serta
keluarnya cairan lendir bercampur darah (show) melalui vagina
(JNPK-KR, 2008). Menurut Rohadi 2011, persalinan kala I dibagi
menjadi 2 bagian :
1) Fase laten, pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak
awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan
secara bertahap sampai pembukaan 3 cm, fase laten berlangsung
dalam 7- 8 jam.
2) Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6
jam dan di bagi dalam 3 subfase yaitu:
a) Periode akselerasi, dalam waktu 2 jam pembukaan 4 sampai
6 cm.
b) Periode dilatasi, yaitu dalam waktu 2 jam pembukaan sangat
cepat dari 4 cm menjadi 9 cm.
c) Periode deselerasi yaitu pembukaan berlangsung lambat
kembali, dalam 2 jam pembukaan 10 cm atau lengkap.
12

Pada fase aktif frekuensi dan lama kontraksi uterus akan


meningkat secara bertahap (kontraksi dianggap adekuat/memadai
jika tiga kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung
selama 40 detik atau lebih). Dari pembukaan 4 cm hingga
mencapai pembukaan lengkap atau 10 cm, akan terjadi dengan
kecepatan rata-rata 1 cm perjam (primigravida) atau lebih dari 1
cm hingga 2 cm perjam (multipara). Pada fase aktif terjadi
penurunan bagian terbawah janin.
Persiapan-persiapan yang akan dilakukan pada asuhan persalinan
kala I, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan ruangan untuk persalinan dan kelahiran bayi
Persalinan dan kelahiran bayi baik di rumah, di tempat bidan
puskesmas,polindes atau rumah sakit. Pastikan ketersediaan
bahan-bahan dan sarana yang memadai. Hal-hal pokok yang
diperlukan dalam persalinan dan kelahiran bayi yaitu:
a) Ruangan yang hangat dan bersih, memiliki sirkulasi udara
yang baik dan terlindung dari tiupan angin.
b) Sumber air bersih dan mengalir untuk cuci tangan.
c) Air desinfektan tingkat tinggi untuk membersihkan perineum,
serta terdapat air bersih, klorin, deterjen, kain pembersih,
kain pel dan sarung tangan karet untuk membersihkan
ruangan.
d) Penerangan yang cukup, baik siang maupun malam hari.
e) Meja untuk meletakkan peralatan persalinan.
f) Meja untuk tindakan resusitasi bayi baru lahir.
2) Memberikan asuhan sayang ibu
Persalinan adalah suatu yang menegangkan atau bahkan dapat
menggugah emosi ibu dan keluarganya atau bahkan dapat
terjadi saat yang menyakitkan dan menakutkan bagi ibu. Upaya
untuk mengatasi gangguan emosional dan pengalaman yang
menegangkan tersebut sebaiknya dilakukan melalui asuhan
sayang ibu selama persalinan dan proses kelahiran bayi. Prinsip-
prinsip umum asuhan sayang ibu adalah:
13

a) Menyapa ibu dengan ramah dan sopan, bersikap dan


bertindak tenang, serta berikan dukungan penuh selama
persalinan dan kelahiran.
b) Menganjurkan suami dan anggota keluarga untuk
memberikan dukungan.
c) Waspadai gejala dan tanda penyakit selama proses
persalinan dan lakukan tindakan yang sesuai jika diperlukan.
d) Memberikan dukungan emosional.
e) Membantu pengaturan posisi ibu.
f) Memberikan cairan dan nutrisi.
g) Keleluasaan untuk menggunakan kamar mandi secara
teratur
h) Pencegahan infeksi
b. Kala II
Kala dua persalinan adalah kala pengeluaran bayi, yang dimulai dari
pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan
lahirnya bayi (JNPK-KR, 2013). Kala dua persalinan dimulai dari
pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya
berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multigravida
(Saifuddin, 2008).
Gejala dan tanda dari kala II persalinan:
1. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya
kontraksi.
2. Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan
vagina.
3. Perineum tampak menonjol.
4. Vulva vagina dan sfingter ani membuka.
5. Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah (JNPK-KR,
2013).
Sedangkan yang menjadi tanda pasti dari kala dua adalah
pembukaan serviks telah lengkap dan terlihat bagian kepala bayi
melalui introitus vagina. Proses fisiologis kala dua persalinan
merupakan serangkaian peristiwa alamiah yang terjadi pada saat
lahirnya bayi secara normal (dengan kekuatan ibu sendiri dan kepala
sudah di dasar panggul). Setelah terjadi pembukaan lengkap apabila
14

selaput ketuban belum pecah maka perlu dilakukan tindakan


amniotomi pada persalinan. Pada penatalaksanaan fisiologis kala
dua. ibu memegang kendali dan mengatur saat meneran. Penolong
hanya memberikan bimbingan tentang cara meneran yang efektif dan
benar. Ibu dilarang untuk meneran jika pembukaan belum lengkap
(10 cm), belum muncul kontraksi uterus atau belum ada keinginan
meneran.
c. Kala III
Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir
dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Persalinan kala tiga
dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta
dan selaput ketuban. Menurut Prawihardjo (2008), kala III adalah kala
Uri yaitu dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta,
yang berlangsung tidak boleh lebih dari 30 menit. Lepasnya plasenta
sudah dapat di perkirakan tanda–tanda di bawah ini:
1) Uterus menjadi bundar
2) Uterus terdorong ke atas karena plasenta dilepas ke segmen
bawah rahim
3) Tali pusat bertambah panjang
4) Terjadi perdarahan kira-kira 100-200 cc.

Tujuan manajemen kala tiga adalah untuk menghasilkan kontraksi


uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu,
mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala tiga
persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis.

d. Kala IV
Kala IV adalah dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam
pertama post partum. Ibu masih tetap harus ada di dalam kamar
bersalin dan tidak boleh dipindahkan ke ruang nifas agar dapat
diawasi dengan baik karena masih dalam masih dalam masa krisis.
Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah ibu bersalin
secara tepat. Penilaian kehilangan darah sukar dilakukan karena
darah seringkali bercampur dengan cairan atau urin dan mungkin
terserap handuk, kain atau sarung. Satu cara untuk menilai
kehilangan darah adalah dengan melihat volume darah yang
15

terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol 500 ml dapat


menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi dua
botol, ibu telah kehilangan satu liter darah. Jika darah bisa mengisi
setengah botol ibu kehilangan 250 ml darah. Cara tidak langsung
untuk mengukur jumlah kehilangan darah melalui pemeriksaan
tekanan darah (JNPK-KR, 2013). Pada kala IV dilakukan pemeriksa
perdarahan dari perineum, apabila terjadi laserasi maka akan
dilakukan penjahitan. Tujuan menjahit laserasi adalah menyatukan
kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah. Penjahitan
laserasi tingkat 1 dan 2 pada perineum, jahitan pertama kurang lebih
1 cm dari ujung laserasi bagian atas dalam vagina dengan
menggunakan jahitan jelujur hingga mencapai bagian bawah laserasi.
Arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan menggunakan jahitan
jelujur untuk menutup lapisan subtikuler (Yusida, 2015).
2. Konsep Ruptur Perineum
Ruptur perineum merupakan perlukaan jalan lahir yang terjadi
pada saat kelahiran bayi baik menggunakan alat maupun tidak
menggunakan alat. Ruptur adalah robeknya atau koyaknya jaringan
(Dorlan,2012). Perineum merupakan bagian permukaan pintu bawah
panggul, yang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata 4 cm
(Sarwono,2009). Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada
perineum sewaktu persalinan (Sofian, 2012). Berikut merupakan
klasifikasi dari ruptur perineum:

a. Ruptur Perineum Spontan

Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu


tanpa dilakukan tindakan perubekan atau disengaja. Luka ini terjadi
pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur (Anwar, 2011).

b. Ruptur Perineum yang Disengaja (Episiotomi)

Luka pada perineum yang terjadi pada perineum : Episiotomi adalah


torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar saluran
keluar vagina (Anwar, 2011). Tindakan ini merupakan tindakan
insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput
lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum
rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan
16

perineum (Sarwono, 2011). Menurut Rohani 2011, ada empat


macam episiotomi :

1) Episiotomi medialis, yang dibuat digaris tengah


2) Episiotomi mediolateral, dari garis tegah ke samping menjauhi
anus
3) Episiotomi lateralis, 1-2 cm di atas komisuraa posterior ke
samping
4) Episiotomi sekunder, jika melihat ruptur perineum atau
episiotomi medialis yang melebar sehingga mungkin menjadi
ruptur perineum totalis, maka gunting ke samping.
Indikasi dilakukannya episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun
pihak janin:

a) Indikasi Janin
Sewaktu melahirkan prematur, tujuannya untuk mencegah
terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin dan
sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin
dengan cunam, ekstrasi vakum, dan janin besar.
b) Indikasi Ibu
Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebih sehingga
ditakuti akan terjadi robekan perineum, umpama pada primipara,
persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstrasi vakum
dan yang paling sering terjadi adalah perineum ibu kaku
(Sarwono, 2011).

Menurut Jane 2007 tingkat robekan pada perineum terbaginya


menjadi empat derajat, derajat I, derajat II, derajat III dan derajat IV

1) Derajat I
Robekan ini adalah robekan di kulit dan jaringan superfisial
dibawahnya (tidak termasuk otot). Luka sering sembuh sendiri
karena tepi luka biasanya berhadapan langsung. Tepi luka yang
tercabik-cabik dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut
berlebihan.
2) Derajat II
Robekan ini menyebabkan kerusakan otot perineum. Luka ini
biasanya dijahit untuk membantu penyembuhan.
17

3) Derajat III
Robekan ini mengenai otot sfingter anus. Harus dilakukan
perbaikan obstetrik sehingga aktifitas otot sfingter pulih sehingga
penyulit inkontinensia feses dapat dihindari.
4) Derajat IV
Robekan sangat luas, sfinter anus dapat terputus dan robekan
mencapai mukosa rektum. Diperlukan perbaikan bedah spesialitik
agar fungsi anus kembali normal (Jane, 2007).
Bahaya dan komplikasi akibat terjadinya ruptur perineum pada ibu
antara lain adalah sebagai berikut :

1) Perdarahan
Perdarahan pada ruptur perineum dpat menjadi hepat khususnya
pada ruptur derajat dua dan tiga atau jika ruptur meluas ke samping
atau naik ke vulva mengenai clitoris.

2) Infeksi
Laserasi perineum dapat dengan mudah terkontaminasi feses
karena dekat dengan anus. Infeksi juga dapat menjadi sebab luka
tidak segera menyatu sehingga timbul jaringan parut.

3) Disparania
Jaringan parut yang terbentuk sesudah laserasi perineum sehingga
dapat menyebabkan nyeri selama berhungan seksual

4) Hematoma lokal
Pendarahan yang menyerembes yang tidak didasari dapat
menimbulkan hematoma serta dapat menjadi sumber infeksi
sekunder dan menyebabkan luka kembali.

5) Libido berkurang
Karena takut jaringan terbuka kembali atau karena disparenia.

Tanda-tanda atau gejala-gejala yang mengancam terjadinya


robekan pada perineum antara lain :

1) Kulit perineum mulai melebar dan tegang


2) Kulit perineum berwarna pucat dan mengkilap
3) Ada perdarahan keluar dari lubang vulva, merupakn indikasi
18

robekan pada mukosa vagina.


4) Bila kulit perineum pada garis tengah mulai robek, diantara
fourchette dan sfinkter ani. (Prawirohardjo, 2010).

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan


cara melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan
jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang
biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan
menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat
dilakukan dengan cara memberikan analgesik dan atipiretik (WHO,
2002). Robekan sekitar klitoris dan uretra dapat menimbulkan
perdarahan hebat dan mungkin sangat sulit untuk diperbaiki. Penolong
harus melakukan penjahitan reparasi dan hemostatis (Sarwono, 2013).
Menurut Sofian 2012 penanganan ruptur perineum adalah sebagai
berikut:

1) Untuk mencegah luka yang jelek dan tepi luka yang tidak rata dan
kurang bersih pada beberapa keadaan dilakukan episiotomi, pada
keadaan lain, cukup dengan pimpinan persalinan yang baik.
2) Apabila dijumpai robekan pada perineum, lakukan penjahitan luka
dengan lapis demi lapis, perhstikan jangan terjadi ruang kosong
yang terbuka kearah vagina (dead space). Ruang tersebut dapat
dimasuki bekuan-bekuan darah yang dapat menyebabkan tidak
baiknya penyembuhan luka.
3) Berikan antibiotik yang cukup
4) Pada luka perineum lama (old perineal tear), lakukan perineoplasti
dengan membuat luka baru dan menjahitnya kembali sebaik-
baiknya.

Berikut merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ruptur


perineum pada ibu bersalin:

a. Faktor ibu
1) Paritas
Paritas menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu yang telah
mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan, tanpa mengingat
jumlah anaknya (Oxorn, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia paritas adalah keadaan kelahiran atau partus. Pada
19

primipara robekan perineum hampir selalu terjadi dan tidak


jarang berulang pada persalinan berikutnya (Sarwono, 2009).
Menurut Sarwono 2009, paritas dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu primipara, multipara, grandemultipara:

a) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang


anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney,
2006)
b) Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak
lebih dari satu kali (Sarwono, 2009).
c) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan lima
orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit
dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008)
Primipara berpeluang lebih besar terjadi rupur perineum
dibandingkan, multipara dan grandemultipara, ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa saat persalinan oleh keadaan
yang masih utuh, vulva tertutup, hymen perforates, vagina masih
sempit dan adanya rugae pada primigravida akan mengalami
tekanan pada jalan lahir lunak oleh kepala janin, dengan
keadaan perineum yang masih utuh primigravida akan mudah
terjadi ruptur (Tarelluan, 2013).

2) Jaringan parut, perineum tebal dan kaku


Perineum harus dievaluasi sebelum waktu persalinan untuk
mengetahui panjangnya, ketebalan, apakah ada jaringan parut
dan distensibilitasnya. Evaluasi ini membantu menentukan
apakah episiotomi dilakukan atau tidak. Perineum yang sangat
tebal kaku, serta resisten terhadap distensi, sehingga
memerlukan episiotomi. Episiotomi yang cepat sebelum saat
crowing mungkin dilakukan dan dapat mencegah robekan yang
tidak beraturan (Varney, 2008). Salah satu cara untuk
mengurangi robekan pada vagina dan perineum yang tidak
beraturan dan lebar adalah dengan cara melakukan episiotomi.
Jaringan parut pada perineum atau vagina memperlambat
kemajuan persalinan sehingga diperlukam episiotomi (JNPK-KP,
2008).
20

3) Meneran

Penyebab lain dari terjadinya ruptur perineum yaitu dampak dari


kesalahan ibu mengedan Bila mengedan sambil mengangkat
bokong, selain membuat proses mengedan tidak maksimal,
juga bisa memperparah robekan perineum (daerah antara
vagina dengan anus) (Lusiana, 2012). Secara fisiologis ibu
akan merasakan dorongan untuk meneran bila pembukaan
sudah lengkap dan reflek ferguson telah terjadi. Ibu harus
didukung untuk meneran dengan benar pada saat ia merasakan
dorongan dan memeang ingin mengejan (Jhonson, 2005 dalam
Nurhidayah 2013). Ibu mungkin merasa dapat meneran secara
lebih efektif pada posisi tertentu. Beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam memimpin ibu bersalin melakukan meneran
untuk mencegah terjadinya ruptur perineum , diantaranya :

a) menganjurkan ibu untuk meneran sesuai dengan dorongan


alamiahnya selama kontraksi
b) Tidak menganjurkan ibu untuk menahan nafas pada saat
meneran
c) Mungkin ibu akan merasa lebih mudah untuk meneran jika
ibu berbaring miring atau setengah duduk, menarik lutut
kearah ibu, dan menempelkan dagu ke dada
d) Menganjurkan ibu untuk tidak mengangkat bokong saat
meneran
e) Tidak melakukan dorongan pada fundus untu membantu
kelahiran bayi. Dorongan ini dapat meningkatkan risiko
distosia bahu dan ruptur uteri
f) Pencegahan ruptur perineum dapat dilakukan saat bayi
dilahirkan terutama saat kelahiran kepala dan bahu
Posisi meneran persalinan merupakan suatu peristiwa fisiologis
tanpa disadari dan terus berlangsung/progresif. Penolong
persalinan dapat membantu agar ibu tetap tenang dan rileks.
Penolong persalinan harus memfasilitasi ibu dalam memilih
sendiri posisi meneran dan menjelaskan alternatif-alternatif
21

posisi meneraan bila posisi yang dipilih ibu tidak efektif. Posisi
persalinan juga sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya
robekan pada jalan lahir. Dengan upright positions (sitting,
squatting, kneeling) / side lying positions dapat mengurangi
terjadinya robekan pada perineum atau tindakan episiotomi
dapat dihindarkan. Adapun macam-macam posisi yang bisa
digunakan pada saat persalinan adalah :

(1) Duduk atau setengah duduk.


Dengan posisi ini penolong persalinan lebih leluasa dalam
membantu kelahiran kepala janin serta lebih leluasa untuk
dapat memperhatikan perineum.
(2) Merangkak
Posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan dengan
rasa sakit punggung, mempermudah janin dalam
melakukan rotasi serta peregangan pada perineum
berkurang.
(3) Berbaring miring kekiri
Posisi ini dapat mengurangi penekanan pada vena cava
inferior sehingga dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya hipoksia, karena suplai oksigen tidak terganggu,
dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang menngalami
kelelahan dan dpat mencegah terjadinya laserasi/robekan
jalan lahir.
(4) Jongkok dan berdiri
Posisi ini memudahkan penurunan kepala janin,
memperluas panggul sebesar 26% lebih besar pada pintu
bawah panggul, memperkuat dorongan meneran. Namun
posisi ini berisiko terjadinya laserasi (perlukaan jalan lahir).
(Nurasiah, 2012)

b. Faktor janin
1) Berat Badan Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37
minggu sampai 42 minggu. Berat badan lahir merupakan berat
badan bayi yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran. Semakin
22

besar berat bayi yang dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya


ruptur perineum. Bayi besar adalah bayi yang begitu lahir
memiliki bobot lebih dari 4000 gram. Robekan perineum terjadi
pada kelahiran dengan berat badan bayi yang besar. Hal ini
terjadi karena semakin besar berat badan bayi yang dilahirkan
akan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum karena
perineum tidak cukup kuat menahan regangan kepala bayi
dengan berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses
kelahiran bayi dengan berat badan bayi lahir yang besar sering
terjadi ruptur perineum. Kelebihan berat badan dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya ibu menderita Diabetes Melitus,
ibu yang memiliki riwayat melahirkan bayi besar, faktor genetik,
pengaruh kecukupan gizi. Berat bayi lahir normal adalah sekitar
2500 sampai 4000 gram (Enggar, 2010).

Bayi yang baru lahir harus ditimbang berat lahirnya. Dua hal yang
selalu ingin deketahui orang tua tentang bayinya yang baru lahir
adalah jenis kelamin dan beratnya (Sarwono, 2009). Berat badan
merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling
sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan
digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau bayi berat lahir
rendah (BBLR). Dikatakan BBLR apabila berat bayi dibawah
2500 gram atau dibawah 2,5 kg. Sementara bayi dengana berat
badan yang normal berkisar antara 2500-4000 gram (Supariasa,
2012).

Pada masa bayi, berat badan digunakan untuk melihat laju


perkembangan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan
klinis seperti dehidrasi, edema, dan adanya tumor. Disamping itu
berat badan juga dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan
dosis obat dan makanan. Berat badan menggambarkan jumlah
dari protein, lemak, air dan minelar pada tulang (Supariasa,
2012). Makrosomia adalah berat janin pada waktu lahir lebih dari
4000 gram (Leveno, 2009). Makrosomia disertai dengan
meningkatnya risiko trauma persalinan melalui vagina seperti
distosia bahu, kerusakan fleksus brakialis, patah tulang klavikula,
23

dan kerusakan jaringan lunak pada ibu seperti laserasi jalan lahir
dan robekan pada perineum (Rayburn, 2001).

Klasifikasi berat badan bayi baru lahir pada saat kelahiran


menurut Enggar, 2010 sebagai berikut:

a) Bayi besar adalah bayi lebih dari 4000 gram


b) Bayi cukup adalah bayi berat badan lebih dari 2500 sampai
4000 gram
c) Bayi berat lahir rendah adalah bayi berat badan 1500
sampai 2500 gram
d) Bayi berat sangat rendah sekali adalah bayi dengan berat
badan 1000 sampai kurang dari 1500 gram.

2) Presentasi
Menurut kamus saku kedokteran, presentasi adalah letak
hubungan sumbu memanjang janin dengan sumbu memanjang
panggul ibu (Dorland, 2012). Presentasi digunakan untuk
menentukan bagian yang ada dibagian bawah rahim yang
dijumpai pada palpasi atau pada pemeriksaan dalam. Macam-
macam presentasi dapat dibedakan menjadi presentasi muka,
presentasi dahi, presentasi bokong dan presentasi letak
belakang kepala.
a) Presentasi muka
Presentasi muka atau presentasi dahi letak janin memanjang,
sikap extensi sempurna dengan diameter pada waktu masuk
panggul atau diameter submentobregmatika sebesat 9,5 cm.
Bagian terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu,
sedang pada prresentasi dahi bagian terendah glabella dan
bregma (Oxorn, 2010). Sekitar 70% presentasi muka adalah
dengan dagu didepan dan 30% posisi dagu di belakang.
Keadaan yang menghambat masuknya kepala dalam sikap
flexi dapat menjadi penyebab presentasi muka. Sikap
ekstensi memiliki hubungan dengan diproporsi kepala
panggul dan merupakan kombinasi yang serius, maka harus
diperhitungkan kemungkinan panggul yang kecil atau kepala
24

yang besar. Presentasi muka menyebabkan persalinan lebih


lama dibanding presentasi kepala dengan ubun-ubun kecil
(UUK) di depan, karena muka merupakan pembuka serviks
yang jelek dan sikap ekstensi yang kurang menguntukan.
Penundaan terjadi di pintu atas panggul, tetapi setelah
persalinan lebih maju semuanya akan berjalan lancar. Ibu
harus bekerja lebih keras, lebih merasakan nyeri, dan
menderita lebih banyak laserasi dari pada kedudukan normal
karena persalinan lebih lama dan rotasi yang sukar akan
menyebabkan traumatik pada ibu maupun anaknya.
b) Presentasi dahi
Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian
(pertengahan), hal ini berlawanan dengan presentasi muka
yang ekstensinya sempurna. Bagian terendahnya adalah
daerah diantara margo orbitalis dengan begma petunjuknya
adalah dahi. Diameter bagian terendah adalah diameter
verticomentalis sebesar 13,5 cm, merupakan diameter antero
posterior kepala janin yang terpanjang. Presentasi dahi
primer yang terjadi sebelum persalinan mulai jarang diumpai,
kebanyakan adalah sekunder yakni terjadi setelah persalinan
dimulai. Bersifat sementara dan kemudian kepala flexsi
menjadi presentasi belakang kepala atau ekstensi menjadi
peresentasi muka. Proses lewatnya dahi melalui pinggul lebih
lambat, lebih berat, dan lebih traumatik pada ibu dibanding
dengan persalinan lain. Robekan perineum tidak dapat
dihindari dan dapat meluas ke atas sampai fornices
vaginaatau rektum karena besarnya diameter yang harus
melalui pintu bawah panggul (PBP) (Oxorn, 2010).
c) Presentasi bokong
Presentasi bokong memiliki letak memanjang dengan
kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub
bawah dengan petunjuknya adalah sactum. Berdasarkan
posisi janin, presentasi bokong dapat dibedakan menjadi
empat macam yaitu presentasi bokong sempurna, presentasi
bokong murni, presentasi bokong kaki, dan pesentasi bokong
25

lutut (Oxorn,2010). Kesulitan pada persalinan bokong adalah


terdapat peningkatan risiko maternal. Manipulasi secara
manual pada jalan lahir akan meningkatkan risiko infeksi
pada ibu. Berbagai persat intra uteri, khususnya dengan
segmen bawah uterus yang sudah tipis atau persalian
setelah coming head lewat serviks yang belum berdilatasi
lengkap dapat mengakibatkan ruptur uteri, laserasi serviks,
ataupun keduanya. Tindakan manipulasi tersebut dapat pula
menyebabkan robekan perineum yang lebih dalam
(Cunningham, 2014).
d) Presentasi belakang kepala
Presentasi belakang kepala dengan petunjuk ubun-ubun kecil
di segmen depan, di sebelah kiri depan ( kira-kira 2/3), dan
disebelah kanan depan ( kira-kira 1/3). Presentase belakang
kepala adalah posisi yang tidak normal. Presentase belakang
kepala dengan petunujuk ubun-ubun kecil di belakang dapat
di sebelah kiri belakang, kanan belakang, dan dapat pula
ubun-ubun kecil terletak melintang baik kanan maupun kiri
dan ini adalah posisi yang tidak normal atau malposisi
(Hanifa, 2006)
c. Faktor persalinan buatan
1) Vakum Ekstrasi
Ekstraksi Vacum adalah suatu persalinan buatan dengan prinsip
anatara kepala janin dan alat penarik mengikuti gerakan alat
vacum ekstraktor. (Sarwono, 2014). Tindakan ini adalah suatu
tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan
ekstraksi menggunakan tekanan negatif dengan alat vakum
(negative-pressure vacuum extractor) yang dipasang di
kepalanya (Yasmin, 2013). Vakum ekstrasi merupakan suatu
tindakan bantuan persalinan, janin dilahirkan dengan ekstrasi
menggunakan tekanan negatif dengan alat vakum yang
dipasang di kepalanya (Nurhidayati 2013). Waktu yang
diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif
lebih lama dari pada forsep (lebih dari 10 menit). Cara ini tidak
dapat dipakai untuk melahirkan anak dengan fetal distress
26

(gawat janin). Komplikasi yang dpat terjadi pada ibu adalah


robekan pada serviks uteri dan robekan pada vagina dan ruptur
perineum (Oxorn, 2010).
2) Ekstrasi cuman/forsep
Ekstrasi cunam/Forsep adalah suatu persalinan buatan, janin
dilahirkan dengan cunam yang dipasang dikepala janin
(Nuhidayati, 2013). Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu
karena tindakan ekstrasi forsep antara lain ruptur uteri, robekan
portio, vagina, ruptur perineum, syok, perdarahan post partum,
pecahnya varices vagina (Oxorn, 2010).

d. Faktor Penolong Persalinan


Penolong persalinan adalah seseorang yang mampu dan
berwenang dalam memberikan asuhan persalinan. Pimpinan
persalinan yang salah merupakan salah satu penyebab terjadinya
ruptur perineum. Sangat diperlukan kerjasama dengan ibu dan
penggunan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi
kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi/
ruptur perineum (Oxorn, 2010). Seringkali informasi yang diberikan
oleh tenaga kesehatan tidak diterapkan atau digunakan oleh ibu
karena tidak dimengerti atau tidak sesuai dengan kondisi ataupun
kebutuhan mereka. Hal ini dapat terjadi karena komunikasi yang
terjadi antara tenaga kesehatan dan ibu tidak mendapatkan
dukungan yang cukup untuk menerapkan informasi yang akan
disampaikan (WHO, 2013).
Pada kala II bila pembukaan servik sudah lengkap dengan
kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul. His lebih sering
dan merupakan tenaga pendorong janin, ibu dipimpin meneran
pada waktu ada his. Bila kepala janin sudah sampai di dasar
panggul, vulva mulai membuka, rambut kepala janin mulai tampak.
Perineum dan anus mulai meregang. Pada saat ini perineum bila
tidak ditahan akan robek terutama pada ibu primipara. Perineum
ditahan dengan jari tangan kanan menggunakan kasa steril. Ketika
kepala janin akan melakukan defleksi dengan suboksiput di bawah
simphisis sebagai hipomoklion, sebaiknya tangan kiri menahan
27

bagian belakang kepala agar gerakan defleksi tidak terlalu cepat


agar ruptur perineum dapat dihindarkan (Wiknjosastro, 2005).
Penolong persalinan harus memiliki intensitas yang sering dalam
melakukan pertolongan persalinan agar bisa mahir dalam menolong
persalinan dan dalam mencegah terjadinya ruptur pada perineum.
Penolong persalinan bertindak dalam memimpin proses terjadinya
his (kontraksi uterus) dan mengejan hingga bayi dilahirkan,
selanjutnya melakukan perawatan terhadap ibu dan bayi, oleh
karena itu penolong persalinan seharusnya seorang tenaga
kesehatan yang terlatih dan trampil serta mengetahui dengan pasti
tanda-tanda bahaya atau komplikasi pada ibu yang melahirkan
(Kusumawati, 2006). Menurut DepKes RI 2007, pelayanan
antenatal merupakan pelayanan terhadap individu yang bersifat
preventive care untuk mencegah terjadinya masalah yang kurang
baik bagi ibu maupun janin. Pelatihan APN (Asuhan Persalinan
Normal) adalah pelatihan yang dilakukan untuk para penolong
persalnian yang telah memberikan manfaat besar dalam
meningkatkan kualitas tenaga penolong persalinan. Hasil nyata dari
pelatihan tersebut adalah meningkatnya pemahaman penolong
persalinan tentang APN sebagai syarat utama dalam melakukan
pelayanan kesehatan pada ibu penangan persalinan dan perawatan
persalinan.
28

B. Kerangka Teori Penelitian


Kerangka teori penelitian adalah kerangka yang terdiri dari kesatuan
pengertian konsep dan persyaratan yang sesuai, yang akan menyajikan
suatu kejadian dan dapat dipergunakan untuk menjabarkan, menjelaskan
dan memprediksikan atau mengontrol suatu kejadian (Nursalam, 2011).

Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intrauterin mulai


sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan . (Sarwono, 2009)

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi


(janin dan uri) yang dapat hidup kedunia luar, dari rahim melalui
jalan lahir atau dengan jalan lahir (Sofian, 2012).

Asuhan Persalinan Normal (APN)


Penolong persalinan adalah adalah asuhan yang bersih dan aman
seseorang yang mampu dari setiap tahapan persalinan yaitu
dan berwenang dalam mulai dari kala satu sampai dengan
memberikan asuhan kala empat dan upaya pencegahan
persalinan (Oxorn, 2010) komplikasi terutama perdarahan pasca
persalinan, hipotermi serta asfiksia
pada bayi baru lahir (JNPK-KR, 2013).

Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah satu penyebab


terjadinya ruptur perineum (Oxorn, 2010)

Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi


pada perineum sewaktu persalinan (Sofian, 2012)

Skema 2.1

Kerangka Teori Penelitian


29

C. Kerangka Konsep Penelitian


Kerangka teori penelitian adalah kerangka yang terdiri dari kesatuan
pengertian konsep dan persyaratan yang sesuai, yang akan menyajikan
suatu kejadian dan dapat dipergunakan untuk menjabarkan, menjelaskan
dan memprediksikan atau mengontrol suatu kejadian (Nursalam, 2011).
Berdasarkan uraian konsep diatas, maka kerangka konsep yang diangkat
dalam penelitian adalah sebagaimana dilihat pada gambar berikut:

Input Proses Output

(Independen) (Dependen)

Ibu Pelaksanaan Ruptur


Bersalin Perineum
APN

Skema 2.2

Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan
baru didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikir
yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan
(Sugiyono, 2012).

Ha = pelaksanaan APN berhubungan dengan kejadian ruptur perineum


Ha = diterima

H0 = pelaksanaan APN tidak berhubungan dengan kejadian ruptur perineum


H0 = ditolak
30

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian adalah keseluruhan dan perencanaan untuk
menjawab tujuan penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang
mungkin timbul selama proses penelitian (Notoatmojo, 2012). Penelitan ini
menggunakan metode analitik dengan desain cross sectional (potong
lintang) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel dimana
variabel dependen diidentifikasi pada satu satuan waktu (Dharma, 2011).
Dalam penelitian ini pengukuran variabel independen dan dependen
dilakukan secara bersamaan dan ditelusuri secara cross sectional, kemudian
dianalisis apakah terdapat hubungan antara variabel.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di klinik Bersalin Ramlah Parjib.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April 2017- Juni 2017

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generilisasi yang terdiri dari atas objek yang
mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetakan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugioyono, 2012).
Berdasarkan Notoadmojo (2012) didalam bukunya yang berjudul
“Metodologi Penelitian Kesehatan” mengatakan populasi adalah
keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut. Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek yang mempunyai
kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi pada penelitian
ini adalah seluruh ibu persalinan yang bersalin di Klinik Bersalin Ramlah
Parjib yang dirata-rata kan menjadi 34 orang dalam satu bulan.
31

2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi
(Hidayat,2008). Sampel pada penelitian akan ditentukan dengan rumus
Slovin :
n = N/N(d)2+1
n = 34/34 (0,0001)+1
n = 34/0,0034+1
n = 34/1,0034
n = 33,8 (dibulatkan menjadi 34)
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d = tingkat kesalahan yang dikehendaki (1%)
Jadi, sampel pada penelitian ini adalah 34 responden
Kriteria restriksi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Kriteria insklusi
1) Ibu bersalin dengan kehamilan primipara
2) Ibu bersalin dengan kehamilan multipara
b) Kriteria ekslusi
1) Ibu dengan kehamilan grandemultipara
2) Ibu dengan kontraksi yang tidak baik

D. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan
dalam penlitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan
mewakili keseluruhan populasi.
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik accidental
sampling. Accidental sampling/ Convenience sampling adalah non-
probabilitas sampling teknik dimana pemilihan sampel dengan pertimbangan
kemudahan peneliti tanpa sistematika tertentu. Seseorang dapat diambil
sebagai sampel karena kebetulan ditemukan atau dikenal oleh peneliti
(Dharma, 2011).
32

E. Definisi Oprasional
Definisi opersional adalah rumusan pengertian variabel adalah rumusan
pengertian variabel-variabel yang diamati, diteliti dan di beribatasan
(Notoatmodjo, 2010). Definisi operasional sangat dibutuhkan untuk
membatasi ruang atau pengertian variabel-variabel penelitian dan akan
memudahkan untuk mengukurnya.

Tabel 3.1
Definisi Oprasional
Variabel Definisi oprasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
penelitian
Penerapan Penerapan asuhan Lembar 1. Dilakukan Kategorik
APN persalinan normal yang observasi sesuai SPO dengan
bersih dan aman pada 2. Tdk skala
kala dua dari penolong dilakukan ukur
melakukan pertolongan sesuai Nominal
lahirnya kepala, lahirnya SPO
bahu sampai dengan
lahirnya badan dan
tungkai.
Ruptur Robekan pada perineum Lembar 1. Tdk ruptur Kategorik
perineum yang dialami pada ibu observasi perineum dengan
bersalin 2. Ruptur skala
perineum ukur
Nominal

F. Sumber Data dan Instrumen Penelitian


1. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini didapatkan dengan menggunakan
metode observasi. Observasi adalah kegiatan pengumpulan data melalui
pengamatan langsung terhadap aktifitas responden atau partisipan yang
terencana, dilakukan secara aktif dan sistematis (Dharma, 2011)
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah lembar
observasi.

G. Metode Pengelolaan Data dan Analisis Data


1. Metode pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan secara
komputerisasi. Langkah-langkah pengolahan datanya adalah sebagai
berikut:
33

a. Editing
Tahap ini melakukan pemeriksaan data yang telah terkumpul
kemudian disesuaikan dengan jawaban dan kelengkapan pengisian.
b. Pengkodean
Tahap ini memberikan tanda atau kode untuk memudahkan
pengolahan data atau mengubah data dari bentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka atau bilangan.
c. Tabulansi
Menyusun dan menghitung data kemudian hasil disajikan dalam
bentuk tabel. Proses tabulasi dilakukan dengan cara manual dan
bantuan komputer.
d. Pembersihan data
Mengecek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, yang kemudian
dilakukan pembetulan atau koreksi.

2. Analisa data
a. Analisa Univariat
Tujuan analisa ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik masing-
masing variabel yang diteliti. Untuk data numerik digunakan nilai rata-
rata mean, median dan standar deviasi. Setiap variabel terikan dan
bebas pada penelitian ini dianalisis dengan statistik deskriptif untuk
memperoleh gambaran frekuensi dan prosentase (Notoadmojo,
2010).
𝑓
𝑝= 𝑥 100%
𝑛
Keterangan :
P : Presentase yang dicari
F : Jumlah frekuensi
N : jumlah pengamatan atau populasi

b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan adalah tabulasi silang antar dua
variabel yaitu variabel dependen dan independen. Analisa bivariat
yang digunakan menggunakan uji chi square (Dharma, 2011).
Rumus chi square :
34

(𝑜 − 𝑒)2
𝑥2 = ∑
𝑒
Keterangan :
X2 : Nilai Chi Square

 : Jumlah atau total

O : Nilai observasi
e : Nilai ekspektasi (harapan)
Uji chi-square merupakan uji non parametris yang paling banyak
digunakan. Namun perlu diketahui syarat-syarat uji ini adalah:
frekuensi responden atau sampel yang digunakan besar, sebab ada
beberapa syarat di mana chi square dapat digunakan yaitu:
1) Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau disebut
juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol).
2) Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh ada 1
cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau disebut
juga expected count (“Fh”) kurang dari 5.
3) Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misal 2 x 3, maka jumlah
cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5 tidak boleh
lebih dari 20%.

H. Etika Penelitian
Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang
sangat penting dalam penelitian mengingat penelitian keperawatan akan
berhubungan langsung dengan manusia. Masalah etika yang harus
diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada subyek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subyek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan
yang tidak menguntungkan. Subyek harus diyakinkan bahwa
partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,
tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subyek
35

dalam bentuk apapun.


c. Resiko (benefits ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan
yang akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak azasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self
determination)
Subyek harus diperlakukan secara manusiawi, subyek mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subyek ataupun tidak.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right
to full disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subyek.
c. Informed consent
Subyek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas 45
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed
consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya
akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.
3. Prinsip Keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Subyek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan
sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian.
b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)
dan rahasia (confidentiality).
36

I. Alur Penelitian
Alur penelitian memberikan gambaran keseluruhan mengenai prosedur
penelitian (Dahlan, 2014). Alur penelitian dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Persiapan Penelitian

Identifikasi responden yang masuk dalam kriteria

Inforrmed Consent

Bersedia Tidak bersedia

Penilaian lebih lanjut

Sesuai Kriteria

Melakukan Observasi

Mengobservasi penerapan
APN pada Kala II
persalinan

Mengobservasi Perineum Ibu


Setelah Persalinan

Analisa Data

Skema 3.1
Alur Penelitian
37

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian tentang Hubungan Penerapan APN
(Asuhan Persalinan Normal) dengan Kejadian Ruptur Perineum di Klinik Bersalin
Ramlah Parjib. Penelitian ini dilakukan bulan April-Juli 2017, dengan jumlah
responden sebanyak 34 ibu bersalin. Klinik Bersalin Ramlah Parjib berada di
kecamatan Sungai Pinang, bertempat di Jl. AM. Sangaji No.27 Rt.17 Kota
Samarinda. Klinik Bersalin Ramlah Parjib didirikan pada tahun 1998 oleh Hj.
Ramlah pada Klinik Bersalin Ramlah Parjib memberikan pelayanan yang
meliputi: Penyuluhan kesehatan, konseling KB, antenatal care (senam hamil,
perawata payudara), asuhan persalinan, perawatan nifas, perawatan Bayi,
pelayanan KB (IUD, AKBK, Suntik, Pil) dan imunisasi (ibu dan bayi).

A. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Variabel Independen (Penerapan APN)

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Penerapan APN (Asuhan Persalinan Normal) di


Klinik Bersalin Ramlah Parjib.
Penerapan APN Frekuensi Presentase %

Penerapan APN sesuai 26 76,5


SPO
Penerapan APN tidak 8 23,5
sesuai SPO
Total 34 100

Berdasarkan tabel 4.2 distribusi penerapan APN memperlihatkan


frekuensi terbanyak adalah penerapan APN sesuai SPO sebanyak 26
(76,5) dan frekuensi tersedikit adalah penerapan APN yang tidak sesuai
SPO sebanyak 8 (23,5).
38

b. Variabel Dependen (Ruptur Perineum)


Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Ruptur Perineum di Klinik Bersalin Ramlah Parjib
Ruptur Perineum Frekuensi Presentase %

Tidak Ruptur Perineum 20 58,9

Ruptur Perineum 14 41,1

Total 34 100

Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh gambaran bahwa dari 34


responden yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak mengalami
tidak ruptur yaitu berjumlah 20 responden (58,8%), sedangkan yang
mengalami ruptur perineum sebanyak 14 responden (41,1%).

2. Analisa Bivariat
Analisis hubungan penerapan APN (Asuhan Persalinan Normal) dengan
ruptur perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib.
Tabel 4.4
Analisis Hubungan Penerapan APN (Asuhan Persalinan Normal) dengan
Ruptur Perineum di Klinik Bersalin Ramlah Parjib.

Variabel Ruptur Tidak Ruptur Nilai p Nilai OR


Perineum perineum

N % N %

Penerapan Penerapan APN 7 26,9 19 73,1 0,004 0,053


APN sesuai SPO

Penerapan APN 7 87,5 1 12,5


tidak sesuai SPO

Total 14 41,2 20 58,8

Pada penelitian ini kemungkinan (odds ratio) kategori atas (penerapan


APN sesuai SPO) dibandingkan dengan kategori bawah (penerapan APN
sesuai SPO) untuk mengalami ruptur adalah sebesar 0,053.
Uji statistik dialih kan pada uji fisher dikarenakan terdapat 1 sel
dengan presentasi 12,5 % sehingga tidak memenuhi syarat uji chi square.
Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh hasil analisis hubungan antara
penerapan APN sesuai SPO dengan ruptur perineum sebanyak 7
39

responden (26,9%) dan penerapan APN sesuai SPO dengan tidak ruptur
perineum sebanyak 19 responden (73,1%). Sedangkan, penerapan APN
tidak sesuai SPO dengan ruptur perineum sebanyak 7 responden (87,5%)
dan penerapan APN tidak sesuai SPO dengan tidak ruptur perineum
sebanyak 1 responden (12,5%).
Hasil uji statistik fisher diperoleh nilai p=0,004 < p=0,05 maka dapat
disimpulkan secara statistik bahwa ada hubungan antara penerapan APN
dengan kejadian ruptur perineum di klinik bersalin Ramlah Parjib.

B. Pembahasan
Pada pembahasan tentang penelitian ini maka peneliti akan membahas
tentang hasil penelitian dengan dan penelitian sebelumnya yang mendukung
atau berlawanan dengan hasil penelitian. Pada bagian pertama akan
membahas tentang hasil analisis untuk variabel penerapan APN dan
selanjutnya analisis kejadian ruptur perineum. Hasil penelitian dapat
diterapkan dan diaplikasikan pada praktek keperawatan.

1. Variabel Asuhan Persalinan Normal

Hasil penelitian diketahui bahwa diperoleh gambaran dari 34


responden yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak mengalami
distribusi penerapan APN sesuai SPO sebanyak 26 (76,5) dan frekuensi
tersedikit adalah penerapan APN yang tidak sesuai SPO sebanyak 8
(23,5).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh


Agustini (2012), yang menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan
antara kompetensi bidan berdasarkan sikap dengan kepatuhan bidan
dalam melakukan asuhan persalinan normal (APN) diwilayah kerja
UPTD Puskesmas Ligung Kabupaten Majalengka tahun 2012. Dalam
melaksanakan standar asuhan persalinan normal (APN) diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat memberikan pelayanan
yang sesuai standar yang ada. Sikap bidan yang kurang mendukung
terhadap pelaksanaan APN dapat menyebabkan Kurang baik pula
kepatuhan bidan dalam pelaksanaan APN yang dilakukannya.
40

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh


Suyanti (2008), yang menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan
antara kompetensi bidan berdasarkan pengetahuan dengan
pelaksanaan asuhan persalinan normal (APN) di RSUD Cideres
Kabupaten Majalengka tahun 2015. Pengetahuan bidan yang kurang
baik terhadap pelaksanaan APN dapat menyebabkan kurang baik pula
kepatuhan bidan dalam pelaksanaan APN yang dilakukannya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Purwandari (2008) yang


mengungkapkan bahwa pengetahuan penolong persalinan yang baik
yang ditunjang oleh pendidikan dan pengalaman yang baik akan mampu
menegakan beberapa prinsip dasar asuhan persalinan normal (APN).
Juga teori Purwandari (2008) bahwa pengetahuan penolong persalinan
yang baik yang ditunjang oleh pendidikan dan pengalaman yang baik
akan mampu menegakan beberapa prinsip dasar asuhan persalinan
normal (APN) yaitu diantaranya mampu mengikut sertakan suami dan
keluarga selama proses persalinan dan kelahiran bayi dan dapat
memberikan perhatian serta dukungan kepada ibu selama proses
persalinan yang baik sehingga ibu akan memperoleh rasa aman dan
keluaran bayi lahir yang lebih baik dan lancar dan melaksanakan
prosedur tetap dalam melakukan asuhan persalinan.

Menurut asumsi peneliti dari jumlah data yang didapatkan untuk


melaksanakan standar Asuhan Persalinan Normal (APN) diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat memberikan pelayanan
sesuai SPO yang ada. Pengetahuan penolong persalinan tentang APN
merupakan penunjang kepatuhan penolong persalinan dalam
menerapkan APN yang baik dan aman sesuai dengan SPO, dampak
dari ketidak patuhan dalam menerapkan APN adalah tidak terpenuhinya
rasa nyaman ibu didalam proses persalinan dan dapat memunculkan
kompikasi salah satunya ruptur perineum. Kepatuhan penolong
persalinan terhadap APN yang sesuai dengan SPO dapat meningkatkan
mutu pelayanan oleh tenaga kesehatan profesional yang langsung
sebagai pelaksana dalam pertolongan persalinan, melalui seminar-
seminar dan pelatihan asuhan persalinan normal yang dilaksanakan
secara berkesinambungan.
41

2. Variabel Ruptur Perineum


Hasil penilitian diketahui bahwa diperoleh gambaran dari 34 responden
yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak mengalami tidak ruptur
yaitu berjumlah 20 responden (58,9%), sedangkan yang tidak mengalami
ruptur perineum berjumlah 14 responden (41,1%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Endang (2008), yang menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan APN
langkah 18, 23, 24, semua mempunyai pengaruh yang bermakna dengan
keamanan pasien dalam menghindari luka perineum, dengan demikian
penerapan APN sangat efektif sebagai upaya keamanan pasien dalam
menghindari luka perineum. Diharapkan semua penolong persalinan
dapat menerapkan APN dengan benar agar para ibu bersalin dapat
terhindar dari robekan/ luka perineum yang mempunyai dampak cukup
serius.
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin
yang akan lahir jangan di tahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
direnggangkan terlalu lama (Rahmawati, 2011).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Rustam Mochtar (2008) bahwa
rupture perineum secara spontan dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu
dari faktor ibu, faktor janin dan faktor penolong persalinan. Agar tercipta
persalinan yang yang aman, tepat dan terencana maka seharusnya
penolong meminimalkan kejadian ruptur perineum.
Menurut asumsi peneliti dari hasil analisis data terdapat lebih banyak
kejadian tidak ruptur perineum dikarenakan penolong melaksanakan
asuhan persalinan normal (APN) secara benar, teliti dan sesuai Standar
Prosedur Oprasional (SPO) yang telah ditetapkan maka dapat
menghindari robekan pada perineum.
Terdapat juga beberapa responden yang mengalami kejadian ruptur
perineum, menurut peneliti ruptur perineum dapat terjadi dikarenakan
pelaksanaan asuhan persalinan normal (APN) tidak diterapkan sesuai
42

dengan standar prosedur oprasional (SPO) yang telah dinilai peneliti


melalui alat ukur lembar checklist obeservasi, penolong melakukan
asuhan persalinan normal (APN) yang tidak sesuai dengan standar
oprasional memiliki peluang besar untuk mengalami ruptur perineum .

3. Hubungan Penerapan APN dengan Kejadian Ruptur Perineum


Hasil penelitian ini diketahui bahwa analisis hubungan antara
penerapan APN sesuai SPO dengan ruptur perineum sebanyak 7
responden (26,9%) dan penerapan APN sesuai SPO dengan tidak ruptur
perineum sebanyak 19 responden (73,1%). Sedangkan, penerapan APN
tidak sesuai SPO dengan ruptur perineum sebanyak 7 responden (87,5%)
dan penerapan APN tidak sesuai SPO dengan tidak ruptur perineum
sebanyak 1 responden (12,5%). Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh dalam penelitian ini, terlihat bahwa penerapan APN mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian ruptur perineum.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan penerapan APN dengan kejadian ruptur perineum.
Manjemen asuhan persalinan dengan penerapan asuhan persalinan
normal (APN) diharapkan dapat membantu upaya menghindari terjadinya
luka jalan lahir, karena dengan APN dapat mengindari tindakan episiotomi
secara rutin pada ibu yang pertama kali melahirkan. Begitu juga bantuan
untuk melakukan tindakan fleksi pada kepala bayi dan menahan
perineum pada saat kepala bayi keluar pintu serta tindakan sangga susur
pada saat bayi lahir adalah upaya yang sangat efektif dalam menghindari
terjadinya luka jalan lahir. Sesuai dengan teori APN dimana pada saat
kepala bayi keluar pintu dengan diameter 5-6 cm, bidan melindungi
perineum dengan satu tangan dan dilapisi kain, sedang tangan yang lain
menekan kepala dengan lembut dan tidak menghambat kelahiran kepala
bayi serta membiarkan kepal bayi lahir secara perlahan-lahan dan tidak
menyebabkan perineum menjadi ruptur, selanutnya adalah pada saat
bahu posterior lahir, selipkam tangan pada bagian bawah (posterior)
kepala bayi kearah perineum, biarkan bahu dan bagian tangan bayi lahir
ketangan yang ini. Gunakan jari-jari tangan yang sama untuk
mengendalikan kelahiran siku dan tangan bayi saat melewati perineum,
gunakan lengan bagian bawah untuk menyangga tubuh bayi dilahirkan.
43

Menggunakan tangan anterior (bagian atas) untuk megendalukan siku


dan tangan bayi saat lahir. Tindakan yang dilakukan ini dengan tujuan
perineum tidak terbebani dengan tubuh bayi dan siku bayi tidak membuka
saat melewati perineum, sehingga dapat menghindari terjadinya ruptur
perineum dan tindakan yang terakhir setelah kelahiran tubuh dan lengan,
sisirkan tangan bagian depan (anterior) di punggung bayi ke arah bokong
kaki bayi untuk menahan laju kelahiran bayi saat kaki lahir. Sisipkan jari
telunjuk dari tangan yang sama diantara kaki bayi, pegang dengan
mantap bagian mata kaki bayi dan baru lahirkan kakinya secara hati-hati
untuk menghindari terjadinya ruptur perineum (Endang, 2008).
Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa langkah-langkah
yang mempunyai pengaruh bermakna dengan keamanan pasien dalam
menghindari luka perineum dalam uji bivariat kemudian dilakukan uji
multivariat dengan logistic regression didapatkan hasil bahwa langkah ke
18 dengan nilai p=0,000, langkah ke 23 dengan nilai p =0,001 dan
langkah ke 24 dengan nilai p=0,011 dengan demikian dari ketiga langkah
tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah 18 (menahan perineum saar
kepala bayi crowning) mempunyai pengaruh yang paling kuat dibanding
dengan langkah 23 (sangga susur) dan langkah 24 (jepit kedua kaki bayi)
(Endang, 2008).
Menurut Sayanti 2015 untuk melaksanakan standar asuhan persalinan
normal (APN) diperlukan pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar yang ada, salah satu
upayanya yaitu perlunya bidan mengikuti pelatihan APN terutama yang
belum pernah mengikuti pelatihan.

Hasil penelitian lain tentang pelaksanaan APN ini yaitu penelitian


yang dilakukan oleh Wattimena (2008) mengenai penerapan standar
Asuhan Persalinan Normal (APN) oleh bidan di RSUD kabupaten
Sorong didapatkan bidan dengan pelaksanaan kurang baik dalam
penerapan APN sebesar 23,35. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
upaya untuk meningkatkan penerapan APN yang dapat dilakukan
dengan cara melakukan kegiatan pelatihan dan pengawasan yang lebih
baik terhadap pelaksanaan APN.
44

Kepatuhan asuhan persalinan normal (APN) dapat ditingkatkan


dengan kegiatan pelatihan standar asuhan persalinan normal (APN)
yang termasuk pendidikan nonformal. Pelatihan dilakukan terutama
untuk memperbaiki efektifitas pegawai dalam mencapai hasil kerja yang
telah ditetapkan, dengan maksud memperbaiki penguasaan
keterampilan dan tehnik-tehnik pelaksanaan pekerjaan tertentu.
Pelatihan merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin
keberhasilan pelaksanaan jaminan mutu standar asuhan persalinan
normal (APN).

C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali peneliti lakukan
oleh sebab itu peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini banyak
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya serta masih banyak terdapat
kekurangan dalam berbagai aspek. Berikut adalah kesulitan dan kelemahan
yang peneliti temui selama penelitian:
1. Penelitian ini hanya meneliti satu sudut pandang saja yaitu dari sudut
pandang penerapan Asuhan Persalinan Normal meskipun ada beberapa
sudut pandang lain yang mungkin dijadikan permasalahan dalam tema ini
seperti faktor ibu dan faktor janin.
2. Responden yang digunakan dalam penelitian ini jumlahnya sangat
terbatas sehingga sulit untuk di generalisasikan, diharapkan untuk peneliti
selanjutnya untuk memaksimalkan jumlah responden yang ada.
45

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan dalam penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Dari 34 responden dalam penelitian ini terdapat frekuensi lebih banyak
adalah penerapan APN sesuai SPO sebanyak 26 responden (76,5%).
2. Dari 34 responden dalam penelitian ini terdapat frekuensi lebih banyak
ibu yang tidak mengalami ruptur perineum yaitu berjumlah 20 responden
(58,9).
3. Hasil analisis dari penelitian ini dengan menggunakan uji statistik fisher
diperoleh nilai p=0,004 < p=0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan
antara penerapan APN dengan kejadian ruptur perineum di klinik
bersalin Ramlah Parjib.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan para pendidik membekali peserta didiknya tentang
penerapan Asuhan Persalinan Normal (APN) yang sesuai dengan SPO
agar mampu memberikan penyuluhan kesehatan dan mampu
mempraktekkannya.
2. Bagi Penolong Persalinan di Klinik
Diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar
yang ada, salah satu upayanya yaitu perlunya penolong persalinan
mengikuti pelatihan APN yang sesuai dengan SPO terutama yang
belum pernah mengikuti pelatihan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan perlu diteliti lebih lanjut dengan
menggunakan variabel lain yang dapat mempengaruhi ruptur perineum
seperti faktor paritas, meneran, berat badan bayi baru lahir dan
presentasi janin. Perlu dikembangkan juga faktor-faktor lain yang
mempengaruhi ruptur perineum seperti perslinan pervaginaan.

Anda mungkin juga menyukai