Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Mola Hidatidosa adalah suatu penyakit trofoblastik pada kehamilan yang


sering terjadi pada usia reproduksi dimana wanita berumur lebih dari 35 tahun
memiliki risiko 2 kali lipat sedangkan wanita berusia 40 tahun memiliki 5-10 kali
lipat risiko mengalami Mola Hidatidosa (Moore, 2008)
Angka insiden Mola Hidatidosa di negara maju adalah 1 dalam 1500
kehamilan. Hipertiroid pada wanita hamil sulit ditemukan karena banyak gejala
hipertioid juga berhubungan dengan kondisi kehamilan. Diperkirakan 0,2 % dari
kehamilan mengalami hipertiroid, dimana 90 % kasus disebabkan karena Penyakit
Graves sisanya yaitu tiroiditis sub akut, toxic multinoduler goiter, adenoma
toksik, TSH-dependent thyrotoxicosis, T3 atau T4 eksogen, Iodine-induced
hyperthyroidism, Hipermesis gravidarum serta Mola Hidatidosa (Chaniwala et al.,
2008)
Hubungan antara hipertiroid dengan Mola Hidatidosa pertama kali
ditemukan tahun 1955 oleh Tisne dkk di Amerika Selatan yang melaporkan
adanya ambilan tiroid yang tinggi pada 3 wanita dengan Mola Hidatidosa dan
mereka juga mempunyai gejala klinis hipertiroid yang menghilang dalam
beberapa hari setelah mola tersebut diangkat. Prevalensi hipertiroid pada pasein
dengan Mola Hidatidosa adalah 25-64% di AS, akan tetapi banyak pasien Mola
Hidatidosa tidak mengalami atau sangat sedikit dengan gejala klinis hipertiroid
meskipun telah terjadi peningkatan kadar T4 dan T3. Dilaporkan sekitar 5% yang
mengalami gejala klinis hipertiroid. Beberapa juga melaporkan adanya krisis
tiroid pada pasien hipertiroid dengan Mola Hidatidosa (Chaniwala et al., 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mola Hidatidosa
1. Definisi
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang
sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi,
edematous, dan mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang
menyerupai anggur (Martaadisoebrata dan Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa, yang
ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan
menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit (Berkowitz
dan Goldstein, 2009).
2. Etiologi
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola
hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh
terhadap patogenesis mola hidatidosa. Faktor – faktor tersebut antara lain
adalah penggunaan kontrasepsi oral, usia maternal yang terlalu muda
maupun terlalu tua, dan adanya riwayat bortus. Faktor-faktor tersebut
menghasilkan proliferasi tak terkontrol pada trofoblas (Vorvick, 2010;
Martaadisoebrata, 2005).
3. Gejala klinis
a. Perdarahan per vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa,
Gejala tersebut dapat bervariasi mulai spotting sampai perdarahan
yang banyak. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan
pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini
umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
b. Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual muntah hebat. Hal ini akibat
dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi
terus menerus B HCG yang menyebabkan peningkatan B HCG
hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa.
Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10%
pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
c. Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang
berlebihan, volume vesikuler villi yang besar rasa tidak enak pada
uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian
besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus
ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
d. Hipertiroid
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola
sering meningkat (10%), namun gejala hipertiroid jarang muncul.
Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat
dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan
terjadi tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar
masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus
mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan
memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang
dengan menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis
mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian
maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin
karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan
normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat
thyrotropin – like effect dari Chorionic Gonadotropin Hormon.
Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi
hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.
Sekitar 7 % mola hidatidosa komplit datang dengan keluhan seperti
hipertensi, takikardi, tremor, hiperhidrosis, gelisah emosi labil dan
warm skin.
e. Kista teka lutein
Kelainan lain yang menyertai Mola Hidatidosa Komplit adalah
adanya kista lutein, sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap
ovaruim oleh hCG yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat
unilateral maupun bilateral dengan besar yang bervariasi. Umumnya
kista ini akan mengecil kembali setelah jaringan mola dievakuasi.
Dengan demikian, kista tidak perlu diangkat kecuali jika ditemukan
komplikasi berupa torsio atau ruptur, bila memberikan keluhan
mekanis dapat dilakukan dekompresi atau aspirasi
4. Patogenesis
a. Teori Mola Hidatidosa Komplit
1) Teori Hertig, et al.
Hertig, et al, menganggap bahwa pada Mola Hidatidosa
terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada
minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan
cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuk kista-kista
kecil yang makin lama makin besar, hingga kemudian
terbentuk gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas
merupakan akibat dari tekanan vili yang edematous tersebut.
2) Teori Park, et al.
Berbeda dengan teori Hertig, et al, Park menyatakan
bahwa faktor primer pada kejadian MHK adalah adanya
jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi,
displasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula
dengan fungsi abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan
berlebihan ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah
yang pada akhirnya menyebabkan kematian embrio.
3) Teori Sitogenik
Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan saat
ini. Teori ini menerangkan bahwa kehamilan Mola Hidatidosa
terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau
yang intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma haploid (23x).
Hasil konsepsi tersebut kemudian mengadakan penggandaan
sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46xx. Sehingga dua unsur x
pada kromosom Mola Hidatidosa berasal dari sperma (unsur
ayah), tidak ada unsur ovum di dalamnya. Dengan kata lain,
teori ini disebut juga Diploid Androgenetic (Berkowitz dan
Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
Pada kehamilan yang sempurna, harus terdapat
kromosom baik dari sperma maupun ovum. Unsur ovum akan
membentuk bagian embrional (janin) dan unsur sperma
diperlukan untuk pembentukan bagian ekstraembrional, seperti
plasenta, amnion, dan lain-lain, secara seimbang. Ketiadaan
unsur ovum pada MH menjadikan tidak adanya bagian
embrional, hanya akan terbentuk bagian ektraembrional yang
patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik. Abnormalitas ovum dapat terjadi karena gangguan
pada proses meiosis berupa kejadian nondisjunction. Gangguan
proses meiosis ini antara lain terjadi pada kelainan strukstural
kromosom yaitu balanced translocation (Berkowitz dan
Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
Mola Hidatidosa dapat pula terjadi akibat pembuahan
ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Pembuahan
tersebut dapat terjadi dengan dua sperma haploid 23x atau satu
sperma haploid x dan haploid y. Akibatnya dapat terbentuk
hasil konsepsi 46xx atau 46xy. Pada pembuahan dengan
dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46xx hasil
endoreduplikasi dan 46xx hasil pembuahan dengan dispermi,
walaupun tampaknya sama, namun berbeda genotip. Sebagian
menganggap bahwa 46xx heterozigot, yang berasal dari
pembuahan dengan dispermi meniliki potensi keganasan yang
lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23y
(46yy) dianggap tidak pernah bisa terjadi/nonviable (Berkowitz
dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
b. Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial
Secara sitogenetik Mola Hidatidosa Parsial terjadi karena ovum
normal, 23x, dibuahi dengan dispermi. Dapat dibuahi oleh dua haploid
23x, satu haploid 23x dan satu haploid 23y, atau dua haploid 23yy.
Hasil konsepsi dapat berupa 69xxx, 69 xxy, atau 69 xyy. Kromosom
69yyy tidak pernah ditemukan (Bashabsheh, 2011 dan Murphy, 2011).
Sehingga pada Mola Hidatidosa Parsial disebut sebagai Diandro
Triploid. Unsur embrional dapat terbentuk karena pada Mola
Hidatidosa Parsial terdapat unsur ovum. Namun, komposisi unsur
ovum dengan sperma tidak seimbang. Unsur sperma yang tidak normal
tersebut yang menyebabkan terbentuknya plasenta abnormal, yang
merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang
mengalami degeneras hidropik. Oleh karena itu, fungsi plasenta dalam
hal ini pun tidak dapat mempertahankan janin hingga viable. Biasanya
terjadi kematian janin/ Intrauterin Fetal Death (IUFD) yang sangat dini
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan
haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari
lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya
perbesaran rahim.
b. Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut
jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c. Laboratorium
Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar β-hCG yang lebih
tinggi dari normal pada kehamilan trimester 1 yaitu berkisar antara 3
mingguyaitu 5 – 50 mIU/ml dan meningkat hingga
25,700 - 288,000 mIU/ml pada usia 9 – 12 kehamilan.
d. USG
Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri. Di
temukan gambaran mirip badai salju (snow storm) atau honey comb
apperance yanng mengindikasi vili khoriales yang hidrofik dan tidak
adanya gambaran yang menunjukkan detak jantung janin.Bila di
tegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan ( rontgen paru
harus di lakukan untuk melihat penyebaran ke paru-paru, karena paru-
paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG (Penyakit
Trofoblas Ganas ).

Gambar 1. Gambaran Honey comb appearance pada USG


e. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi
(PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang
edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai
hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA
dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan mengalami transformasi
keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel trofoblas.
Proliferasi yang berlebihan memungkinkan transformasi ke arah
keganasan lebih besar (Martaadisoebrata, 2005).

6. Terapi Mola Hidatidosa


a. Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum melakukan evakuasi jaringan mola, keadaan umum ibu
diperbaiki sesuai dengan penyulit yang menyertai. Transfusi darah
untuk mengatasi anemia berat dan syok hipovolemik, serta pemberian
obat antitiroid. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita stabil
dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, atau krisis tiroid, yang
dapat berakibat pada kematian (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010;
Vorvick, 2010).
b. Evakuasi jaringan
Mola Hidatidosa merupakan kehamilan patologis yang sering disertai
dengan penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus
dievakuasi secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi
kuret vakum (suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum
merupakan metode pilihan bagi wanita yang masih harus
mempertahankan fertilitasnya, sedangkan histerektomi total dilakukan
pada wanita dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak cukup,
sebagai tindakan profilaksis terhadap terjadinya keganasan di uterus
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
c. Profilaksis
Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada
golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan
histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang
mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg (3x1),
sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai hepatoprotektor,
selama 5 hari berturut-turut.
2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut, tidak
memerlukan antidote maupun hepatoprotektor (Martaadisoebrata,
2005).
d. Follow up
Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca- Mola Hidatidosa dapat
mengalami transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas
Gestasional (TTG). Masa laten terjadinya keganasan sangat bervariasi.
Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga tiga
tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk melihat
proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris maupun
fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG, dan
kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya
transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini. Pada
umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung
selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita
datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian dalam tiga bulan
berikutnya, penderita datang setiap satu bulan. Selanjutnya dalam
enam bulan terakhir, penderita datang tiap dua bulan. Selama follow
up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas
2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda
subinvolusi
3) Kadar β-hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda
distorsi dari kurva regresi normal.
Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah satu
dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk pemeriksaan
yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-lain
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah
mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada
keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar β-hCG dalam batas normal.
Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak hamil terlebih
dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Jadwal follow up
harus ditepati karena kemungkinan terjadinya transformasi keganasan
lebih besar pada MHK pertama (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010;
Vorvick, 2010).
B. Hipertiroid
a. Definisi
Disebut juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefinisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan (Aru et al, 2007).
b. Etiologi
Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter
multinodular toksis dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada
penyakit Graves adalah akibat antibody reseptor TSH yang merangsang
aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular toksik ada hubungannya
dengan autoimun tiroid itu sendiri.
c. Patogenesis
Grave’s disease adalah penyakit autoimun, dimana tubuh menghasilkan
antibodi pada TSHR (antibodi terhadap thyroglobulin, hormon T3 dan T4
juga dapat dihasilkan). Antibodi ini menyebabkan hipertiroidisme karena
berikatan dengan TSHR dan menstimulasi pembentukan T3 dan T4 yang
sangat banyak. Hal ini membuat timbulnya gejala klinik pada
hipertiroidisme dan pembesaran kelenjar tiroid (Brent GA, 2008)
Tipe – Tipe Antibodi pada TSHR
1. TSI (Thyroid stimulating imunoglobulin)
Antibodi ini (terutama IgG) bekerja sebagai Long Acting Thyroid
Stimulants, mengaktifkan sel secara lebih lama dan lambat daripada
TSH, yang akan meningkatkan produksi dari hormon tiroid.
2. TGI (Thyroid growth immunoglobulins)
Antibodi ini berikatan langsung dengan TSHR dan telah melibatkan
pertumbuhan tiroid.
3. TBII (Thyrotrophin Binding-Inhibiting Inmunoglobulins)
Antibodi ini menghambat TSH dengan reseptornya. Beberapa dari
TBII dapat bertindak seperti TSH untuk menghasilkan hormon tiroid
tetapi ada yang bukan menghasilkan tiroid tetapi menghambat TSI dan
TSH berikatan dan menstimulasi reseptornya (Abalovich M et al.,
2007)
d. Gejala klinis
Gejala pada hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu
makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin,
sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor
pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot (Halim, 2007).
e. Diagnosis
Diagnosis hipertiroid dapat dinilai dari adanya tanda dan gejala serta
pemeriksaan laboratorium. Tanda dan gejala hipertiroid dapat dinilai
menggunakan index wayne dan new castle. Namun yang biasa digunakan
yaitu indeks Wayne (Tabel 1)
Tabel 1. Indeks Wayne
Gejala yang baru timbul atau ada tidak Tanda-tanda ada tidak
bertambah berat

Sesak bila bekerja +1 Kelenjar tiroid teraba +3 -3


Berdebar-debar +2 Bising kelenjar tiroid +2 -2
Kelelahan +2 Eksoftalmos +2
Lebih suka udara panas -5 Kelopak mata +1
Lebih suka udara dingin +5 ketinggalan +4 -2
Tak dipengaruhi suhu - - Gerakan hiperkinetik +1
Keringat berlebihan +3 Tremor halus pada jari +2 -2
Keguguran +2 Tangan yang panas +1 -1
Nafsu makan bertambah +3 Tangan yang basah +4
Nafsu makan berkurang -3 Atrium fibrilasi
Berat badan naik -3 Nadi yang teratur: -3
Berat badan menurun +3 <80/menit 0 0
80-90/menit +3
>90/menit

Interpretasi:
Skor Interpretasi
20 atau lebih Hipertiroid
Kurang dari 10 Tidak ada hipertiroid klinis
10 – 19 Meragukan
f. Penatalaksanaan
1. Obat antitiroid (Propiltiourasil atau metimazol)
Obat ini memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Kedua obat tersebut diberikan
per-oral (ditelan), dimulai dengan dosis tinggi, selanjutnya disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan darah terhadap hormon tiroid. Dosis yang lebih
tinggi bisa mempercepat pengendalian fungis tiroid, tetapi resiko
terjadinya efek samping juga meningkat (Sherwood, 2001). Efek samping
yang terjadi bisa berupa reaksi alergi (ruam kulit), mual, hilang rasa dan
penekanan sintesa sel darah merah di sumsum tulang. Penekanan sumsum
tulang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah putih, sehingga
penderita sangat peka terhadap infeksi. Pada wanita hamil, penggunaan
propiltriurasil lebih aman dibandingkan dengan metimazol karena lebih
sedikit obat yang sampai ke janin (Guyton, 1997). Obat ini biasanya bisa
mengendalikan fungsi tiroid dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan.
2. Obat-obat beta bloker (misalnya propanolol)
Obat ini diberikan bersama obat antitiroid (Propiltiourasil atau
metimazol). Manifestasi klinis hipertiroidisme yaitu akibat dari
pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka
manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat
beta; yang berfungsi menurunkan takikardi, kegelisahan, dan keringat
berlebihan (Sherwood, 2001).
3. Pengobatan dengan yodium radioaktif (RAI)
Pada pasien dengan hipertiroid juga perlu diberikan yodium
radioaktif yang menghancurkan kelenjar tiroid. Yodium radioaktif per-
oral memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap tubuh, tetapi
memberikan pengaruh yang besar terhadap kelenjar tiroid. Karena itu
dosisnya disesuaikan sehingga hanya menghancurkan sejumlah kecil
tiroid agar pembentukan hormon kembali normal, tanpa terlalu banyak
mengurangi fungsi tiroid. Sebagian besar pemakaian yodium radioaktif
pada akhirnya menyebakan hipotiroidisme. Yodium radioaktif tidak
diberikan kepada wanita hamil karena bisa melewati sawar plasenta dan
bisa merusak kelenjar tiroid janin.
4. Operatif
Tiroidektomi yaitu dimana kelenjar tiroid diangkat melalui
pembedahan. Pembedahan tiroidektomi subtotal sesudah terapi
propiltiourasil prabedah. Prinsif umum dari pembedahan ini adalah
operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun
biokimiawi. Indikasi bedah pada hipertiroid :
a) Perlu mencapai hasil definitif cepat.
b) Keberatan terhadap antitiroid.
c) Penanggulangan dengan antitiroid tidak memuaskan.
d) Struma multinoduler dengan hipertiroid.
e) Nodul toksik soliter.
f)
C. Hipertiroid Pada Mola Hidatidosa
Penyakit tropfoblastik pada kehamilan adalah istilah umum dari spektrum
proliferasi abnormal trophoblas. Mola Hidatidosa menujukkan suatu bentuk
jinak dari penyakit trofoblastik sedangkan koriokarsinoma merupakan bentuk
yang ganas, dan sering mengalami metastase. Diperkirakan 75-80 % pasien
pada awalnya terdiagnosis memiliki Mola Hidatidosa berbentuk jinak dan
mengalami resolusi spontan setelah dilatasi dan kuretage, tapi 15-25 %
selanjutnya bisa menjadi lokal invasif dan 3-5 % akhirnya terbukti mengalami
metastase.
Selama kehamilan, beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada fungsi
tiroid yaitu peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi Thyroxine Binding Globulin
(TBG), peningkatan 30-100% konsentrasi T3 total dan T4, peningkatan serum
tiroglobulin, peningkatan kliren yodium pada ginjal dan stimulasi kalenjar
tiroid oleh Human Chorionic Gonadotropin (hCG) (Albaar MT, 2009;
Moeller LK, 2009). Kehamilan umumnya menghasilkan peningkatan aktivitas
tiroid yang membuat individu untuk mempertahankan diri pada kondisi
eutyroid. Akan tetapi, baik hiper maupun hipo bisa terjadi pada kehamilan.
Penilaian fungsi tiroid pada kehamilan sangat penting untuk mencegah
komplikasi ibu dan bayi berupa peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran
prematur, berat badan bayi lahir rendah, kematian janin dalam kandungan, dan
preeklampsia (Moeller LK, 2009).

Tabel 2. Fungsi tiroid selama kehamilan

Diagnosis hipertiroid sangat sulit terutama pada trimester pertama karena


gejala klinik hipertiroid hampir mirip (Albaar MT, 2009). Gejala klinis hipertiroid
dengan MH sering tidak ada gejala atau sangat sedikit ditemukan, gejala ini
berbeda dengan penyakit graves pada kehamilan dimana biasanya sering disertai
dengan pembesaran kalenjar tiroid dan exoptalmus (Kim JM and Arakawa K,
1976). Frekuensi gejala klinis wanita dengan hipertiroid tidak ditemukan secara
pasti. Higgin dkk menemukan bukti klinis hipertiroid pada 9 dari 14 pasien.
Galton dkk menemukan peningkatan fungsi tiroid pada semua pasien yang diteliti,
tapi tidak ditemukan gejala klinik pada grup ini (Chaniwala NU et al., 2008)
Gambar 1. Algoritme evaluasi hipertiroid selama kehamilan.

Ada dua kondisi spesifik pada kehamilan yang menyebabkan hipertiroid


yaitu hiperemesis gravidarum dan penyakit trofoblastik. Hiperemesis
gavidarum dikaitkan dengan hCG yang mengiduksi peningkatan kadar
estradiol, akan tetapi hubungan antara hiperemesis dan hipertiroid masih
belum sepenuhnya dipahami. Akan tetapi baik hiperememis gravidarum
maupun MH ini perlu diidentifikasi segera karena pengobatan penyakit dasar
akan mengatasi kondisi hipertiroidnya (Albaar MT, 2009; Meister LHF et al.,
2005)
Human Chorionic Gonadotropin terdapat pada plasenta tersusun dari sub
unit alpha yang mirip dengan sub unit alpha hormon pituitary glycoprotein
seperti LH, FSH dan TSH, dan sub unit b pada hCG memiliki stuktur 85%
yang hampir sama pada 114 asam amino dan 12 residual sistein pada sub unit
b dari TSH (Albaar MT, 2009; Fantz CR et al., 1999). Karena struktur yang
hampir mirip tersebut dari hCG dengan TSH menyebabkan hCG dapat
merangsang stimulasi reseptor TSH (TSHr) dalam menghasilkan hormon
tiroid seperti hormon TSH pada umumnya. Ini dapat dibuktikan pada suatu
penelitian sel tiroid pada tikus, yang menghasilkan peningkatan ambilan
yodium dan produksi cAMP setelah diberikan hCG. Pada kultur folikel tiroid
pada manusia didapatkan stimulasi ambilan yodium, organifikasi dan sekeresi
dari T3 (Albaar MT, 2009). Studi lain yang dilakukan oleh Herschman dan
Higgins menujukkan bahwa hCG memiliki aktifitas menstimulasi tiroid dan
ditemukan bahwa adanya suatu hubungan yang erat diantara kadar serum hCG
yang diukur dengan radioimmunoassay, molar TSH yang diukur dengan
bioassay dan T3. 11 Pada trimester pertama kehamilan, hCG mencapai
konsentrasi tertinggi, ini membuat stimulasi pada kalenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid dan menekan kadar TSH. Pada trimester kedua
dan ketiga, konsentrasi TSH akan meningkat secara bertahap karena
penurunan kadar hCG. Mekanisme ini menghasilkan kurva seperti cermin.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa setiap 10.000 mIU/L
peningkatan hCG akan diikuti dengan peningkatan 0,6 pmol/L ( 0,1 ng/dL
kadar FT4 dan menurunkan kadar TSH 0,1mIU/L. Peningkatan FT4 pada
trimester pertama diduga dapat diketahui bila kadar hCG 50.000 – 75.000
mIU/L bertahan sampai lebih dari 1 minggu (Albaar MT, 2009).
Pada pasien hiperthiroid yang disebabkan oleh penyakit tropoblastik akan
terjadi peningkatan FT4 dan konsentrasi T3, penurunan TSH, dan peningkatan
hCG secara signifikan. Walaupun konsentrasi FT4 dan T3 dapat meningkat
pada konsentrasi hCG > 50.000 IU/L tetapi pada pasien tumor trophoblastik,
serum hCG biasanya melebihi 300.000 IU/L dan selalu melebihi 100.000
IU/L. Pasien tirotoksikosis juga mengalami rasio T4 menjadi T3 lebih tinggi
dibandingkan dengan Penyakit Graves (Fantz CR, 1999). Kalenjar tiroid
biasanya tidak membesar atau hanya sedikit membesar, jarang melebihi
ukuran 2 kali normal, dan opthalmopathy tidak ditemukan pada kondisi ini.
Selain Mola Hidatidosa menyebabkan hipertiroid, peningkatan kadar hCG
juga dihubungkan penyakit tropoblastik yang lain seperti koriokarsinoma,
embrional sel karsinoma, teratokarsinoma dan testicular karsinoma. HCG
menginduksi hipertiroid tanpa proses neoplasma secara terbatas pada trimester
pertama dan jika diperlukan dapat diberikan pengobatan standar antitiroid
seperti PTU (Meister LHF, 2005).
Pada pasien dengan hCG yang meningkat oleh karena proses neoplasma
sering memerlukan tindakan kemoterapi selain tindakan pembedahan.
D. Penatalaksanaan hipertiroid pada mola Hidatidosa
Penatalaksanaan pada Mola Hidatidosa terdiri dari dua fase yaitu
evakuasi mola segera dan tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas
persisten atau perubahan keganasan. Mola harus dikeluarkan biasanya
dilakukan melalui tindakan dilatasi dan kuretase atau lebih dikenal sebagai
kuret (Syafii et al., 2006). Sebagai alternatif dapat digunakan oksitosin atau
prostaglandin untuk membuat rahim berkontraksi dan mengeluarkan isinya
(Ehlen et al., 2002). Pada tahap pra bedah adalah mempersiapkan penderita
menjadi eutiroidi untuk mencegah terjadinya krisis tiroid, digunakan
kombinasi obat yaitu PTU 200 mg. Obat tersebut memiliki efek menghambat
reaksi autoimun pada proses pembentukan hormon tiroid dan mencegah
sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon T3 dan T4.
Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita hamil dalam dosis 3 x 50-
100 mg per hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Adam (2011) menyatakan bahwa pada
13 wanita hamil dengan hipertiroid selama kehamilan tidak menemukan
kelainan pada bayi yang dilahirkan setelah pemberian Propiltiourasil (PTU)
dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari
(Djokomuljanto, 2006). Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada dosis
yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari akan memiliki efek samping yaitu
kerusakan pada organ ginjal, organ hati (Olson, 2003 dan Gunawan GS,
2007). Karena perjalanan penyakit hipertiroidi dapat berlangsung sangat cepat,
dianjurkan untuk memberikan OAT kepada setiap penderita dengan fungsi
tiroid yang meningkat, walaupun tidak disertai hipertiroidi klinis.
BAB III

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny.SM
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 48 kg
TB : 152 cm
Alamat :Wonogiri, Jawa Tengah
Status Perkawinan : Kawin
Agama :Islam
Tanggal Masuk : 9 Januari 2018
No RM : 0140XXXX
HPMT : 23 September 2017
HPL : 30 Juni 2018
Usia kehamilan : 15+4 minggu
2. Keluhan Utama
Mual muntah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 48 tahun, datang dengan rujukan dari RSUD
Wonogiri dengan keterangan mola hidatidosa. Sebelumnya pasien
mengeluhkan adanya mual dan muntah yang dirasakan semakin lama
semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Pasien juga megeluh adanya
sedikit perdarahan dari jalan lahir diluar siklus menstruasi. Pasien juga
mengeluh sering sesak saat bekerja, mudah merasa lelah, dada berdebar-
debar, sering merasa gemetar pada bagian tangan dan juga mengeluarkan
banyak berkeringat sehingga lebih nyaman pada suhu dingin. Pasien
memiliki riwayat menstruasi tidak teratur 30-60 hari sekali karena pasien
menggunakan KB suntik, 2-3x ganti pembalut/hari, selama 4-5 hari
mesntruasi/bulan.
Pasien lalu berobat ke Puskesmas, dilakukan pemeriksaan dan
dinyatakan hamil 15 minggu lalu dirujuk ke RSUD Wonogiri untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pada saat di RSUD Wonogiri, pasien dilakukan pemeriksaan USG dan
laboratorium dan didapatkan hasil mola hidatidosan disertai dengan
hipertiroid. Pasien lalu dirujuk ke RSUD Dr.Moewardi untuk
mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat mondok :disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Lama menstruasi : 4-5 hari
Siklus menstruasi : 30 hari
Ganti pembalut dalam sehari : 2-3x
6. RiwayatObstetri
Hamil I: laki-laki 25 tahun, BBL 3000 gr, lahir spontan di bidan
Hamil II : hamil ini
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, usia pernikahan 27 tahun.
8. Riwayat KB
Pasien menggunakan KB Suntik 3 bulan selama 24 tahun
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 140/90 mmHg
Nadi : 102x/menit
Respiratory Rate : 22 x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : conjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-),
Eksophtamus (+/+)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, tiroid
teraba, tidak ada perbesaran, bruit (-)
g. Thorax :
1) Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor// sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : DP> DD
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba massa kistik 3 jari
diatas pusat, batas kiri kanan LAAS + LAAD, Batas bawah
kesan masuk panggul, TFU 26 cm.
Perkusi : timpani
h. Genital :
Inspekulo : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio livid utuh, OUE tertutup, darah (-),
discharge (-)
VT : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio licin, OUE tetutup, corpus uteri sebesar kepala bayi, slinger
pain (-), darah (+), discharge (-)
i. USG : v/u terisi cukup, tampak lesi hiperechoic
sebagian hipoechoic dengan gambaran Honey Comb Appearance,
tak tampak gambar janin tampak dan uterus tampak membesar.
Kesan mola hidatidosa.
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM DARAH (08-1-2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN

Hb 13.2 g/dl 12,0 – 15,6

Hct 38 % 33 – 45

AL 8,6 103/  L 4,5 - 11,0

AT 322 103 /  L 150 – 450

AE 4.60 106/  L 4,10 - 5,10

INDEX ERITROSIT

MCV 83.3 /
m 80,0-96,0

MCH 28.6 Pg 28,0-33,0

MCHC 34.4 g/dl 33,0-36,0

RDW 12.8 % 11.6-14,6

MPV 6.5 Fl 7,2-11,1

PDW 19 % 25-65
HITUNG JENIS

Eosinofil 0.42 % 0.00 – 4.00

Basofil 1.09 % 0.00 – 2.00

Neutrofil 62.83 % 55.00 – 80.00

Limfosit 26.05 % 22.00 – 44.00

Monosit 9.62 % 0.00 – 7.00

HEMOSTASIS

PT 12.3 Detik 10,0 – 15,0

APTT 28.1 Detik 20,0 - 40,0

INR 0.930

KIMIA KLINIK

GDS 64 mg/dl 60 – 140

FUNGSI TIROID

TSH <0.05 g/dl 0.40-4.20

FREE T3 9.80 mg/dl 3.00-8.00

FREE T4 41.13 mg/dl 10.30-34.70

B- HCG

1 – 10 minggu :
202 - <225.000
11 – 15 minggu :
B - HCG >225.000 mlU/mL 225.333 -
<225.000
16 – 22 minggu :
8.007 – 50.064
D. SIMPULAN
Seorang G2P1A0, 48 tahun, umur kehamilan 15+4 minggu dengan
riwayat obstetri baik dan fertilitas baik, teraba massa kistik 3 jari diatas
pusat. Hasil B – HCG meningkat dari usia kehamilan, hasil pemeriksaan
USG tak tampak gambaran janin dan tampak uterus membesar dengan
gambaran honey comb appearance.

E. DIAGNOSIS AWAL
Mola hidatidosa dengan hipertiroid

F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam

G. TERAPI
Mondok bangsal
Pro suction kuretase
Rontgen thorax
Pemeriksaan staff bangsal

26
DAFTAR PUSTAKA

Abalovich M et al. 2007. Management of thyroid dysfunction during pregnancy


and postpartum : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin
Endocrinology Metabolik 92 (suppl) : S1

Adam MJ. 2011. Penatalaksanaan Penderita Hipertiroid Dengan Kehamilan dan


Laktasi. Artikel Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Divisi Endokrin-
Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makasar.

Albaar MT, Adam JM. Gestational Transient Thyrotoxicosis: Clinical Practice.


Acta Med Indones - Indones J Intern Med. 2009. 41(2) : 99-104

Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.

Bashabsheh AM. 2012. Clinico – Pathological Study of Hydatidiform Moles in


a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus
University. European Journal of Scientific Research. Pathological Study
of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics &
Gynecology at Damascus University. (55) 4 : 517 – 520.

Berkowitz, R. S., Goldstein, D. P. 2009. Molar Pregnancy. N Engl J Med 2009;


360:1639-164.

Brent GA. 2008. Clinical practice. Graves disease. N Engl J med 2008; 358:
2594

Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. Thyroid
Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole. Thyroid 2008 16(4).
479-480

27
Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto
ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002.
Gestational.

Fantz CR, Dagogo SJ, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid Function during
Pregnancy: Case Conference. Clinical Chemistry. 1999 ; 45 (12) :
2250–2258

Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V.


Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal.
Guyton and Hall. Hipertiroidisme. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.Jakarta : EGC.1997.

Halim A.M., 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan
Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kim JM, Arakawa K. Severe Hyperyhyroidism Associated with Hydatiform


Mole: Clinical Report. Anesthesiology. 1976 ; 41(5) : 445-4489

Lauralee Sherwood. Kelenjar Tiroid Dalam : Fisiologi Manusia dari Sel ke


Sistem. Jakarta : EGC.2001.

Lurain, J. R. 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology,


pathology, clinical presentation and diagnosis of gestational
trophoblastic disease, and management of hydatidiform mole. Am J
Obstet Gynecol:531-539

Martaadisoebrata, D. 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas


Gestasional. Jakarta: EGC.

Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. Hyperthyroidism Due to


Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With

28
Metastatic Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab. 2005 49(2).
319 – 322

Moeller LK. Thyroid Disease in Pregnancy. Hvidovre hospital. Avalaible at


http://www.gyncph.dk/secher/index.htm.

Moore EL, Hernandez E. Hydatiform Mole. Available


at:http://emedicine.medscape.com/article/254657. Last update :
September 24, 2008

Murphy MK, Ronnett MB. 2011. Diagnosis of Hydatidiform Moles:


Morphology and Ancillary Techniques. The Johns Hopkins University
School of Medicine. 1 – 25.
Olson J. 2003. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi. Jakarta : Mc Graw Hill
Education, 190-192 hal.

Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. 2006. Kadar B-HCG Penderita Mola Hidatidosa


Sebelum dan Sesudah Kuretase. Penelitian. (13) : 1-3.

Vorvick, L. J. 2010. Hydatidiform Mole. Available at


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/. Accessed on
22nd November 2012.
Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole
progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro
fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.

29

Anda mungkin juga menyukai