PENDAHULUAN
A. Mola Hidatidosa
1. Definisi
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang
sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi,
edematous, dan mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang
menyerupai anggur (Martaadisoebrata dan Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa, yang
ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan
menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit (Berkowitz
dan Goldstein, 2009).
2. Etiologi
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola
hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh
terhadap patogenesis mola hidatidosa. Faktor – faktor tersebut antara lain
adalah penggunaan kontrasepsi oral, usia maternal yang terlalu muda
maupun terlalu tua, dan adanya riwayat bortus. Faktor-faktor tersebut
menghasilkan proliferasi tak terkontrol pada trofoblas (Vorvick, 2010;
Martaadisoebrata, 2005).
3. Gejala klinis
a. Perdarahan per vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa,
Gejala tersebut dapat bervariasi mulai spotting sampai perdarahan
yang banyak. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan
pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini
umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
b. Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual muntah hebat. Hal ini akibat
dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi
terus menerus B HCG yang menyebabkan peningkatan B HCG
hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa.
Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10%
pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
c. Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang
berlebihan, volume vesikuler villi yang besar rasa tidak enak pada
uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian
besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus
ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
d. Hipertiroid
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola
sering meningkat (10%), namun gejala hipertiroid jarang muncul.
Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat
dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan
terjadi tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar
masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus
mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan
memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang
dengan menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis
mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian
maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin
karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan
normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat
thyrotropin – like effect dari Chorionic Gonadotropin Hormon.
Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi
hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.
Sekitar 7 % mola hidatidosa komplit datang dengan keluhan seperti
hipertensi, takikardi, tremor, hiperhidrosis, gelisah emosi labil dan
warm skin.
e. Kista teka lutein
Kelainan lain yang menyertai Mola Hidatidosa Komplit adalah
adanya kista lutein, sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap
ovaruim oleh hCG yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat
unilateral maupun bilateral dengan besar yang bervariasi. Umumnya
kista ini akan mengecil kembali setelah jaringan mola dievakuasi.
Dengan demikian, kista tidak perlu diangkat kecuali jika ditemukan
komplikasi berupa torsio atau ruptur, bila memberikan keluhan
mekanis dapat dilakukan dekompresi atau aspirasi
4. Patogenesis
a. Teori Mola Hidatidosa Komplit
1) Teori Hertig, et al.
Hertig, et al, menganggap bahwa pada Mola Hidatidosa
terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada
minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan
cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuk kista-kista
kecil yang makin lama makin besar, hingga kemudian
terbentuk gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas
merupakan akibat dari tekanan vili yang edematous tersebut.
2) Teori Park, et al.
Berbeda dengan teori Hertig, et al, Park menyatakan
bahwa faktor primer pada kejadian MHK adalah adanya
jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi,
displasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula
dengan fungsi abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan
berlebihan ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah
yang pada akhirnya menyebabkan kematian embrio.
3) Teori Sitogenik
Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan saat
ini. Teori ini menerangkan bahwa kehamilan Mola Hidatidosa
terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau
yang intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma haploid (23x).
Hasil konsepsi tersebut kemudian mengadakan penggandaan
sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46xx. Sehingga dua unsur x
pada kromosom Mola Hidatidosa berasal dari sperma (unsur
ayah), tidak ada unsur ovum di dalamnya. Dengan kata lain,
teori ini disebut juga Diploid Androgenetic (Berkowitz dan
Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
Pada kehamilan yang sempurna, harus terdapat
kromosom baik dari sperma maupun ovum. Unsur ovum akan
membentuk bagian embrional (janin) dan unsur sperma
diperlukan untuk pembentukan bagian ekstraembrional, seperti
plasenta, amnion, dan lain-lain, secara seimbang. Ketiadaan
unsur ovum pada MH menjadikan tidak adanya bagian
embrional, hanya akan terbentuk bagian ektraembrional yang
patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik. Abnormalitas ovum dapat terjadi karena gangguan
pada proses meiosis berupa kejadian nondisjunction. Gangguan
proses meiosis ini antara lain terjadi pada kelainan strukstural
kromosom yaitu balanced translocation (Berkowitz dan
Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
Mola Hidatidosa dapat pula terjadi akibat pembuahan
ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Pembuahan
tersebut dapat terjadi dengan dua sperma haploid 23x atau satu
sperma haploid x dan haploid y. Akibatnya dapat terbentuk
hasil konsepsi 46xx atau 46xy. Pada pembuahan dengan
dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46xx hasil
endoreduplikasi dan 46xx hasil pembuahan dengan dispermi,
walaupun tampaknya sama, namun berbeda genotip. Sebagian
menganggap bahwa 46xx heterozigot, yang berasal dari
pembuahan dengan dispermi meniliki potensi keganasan yang
lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23y
(46yy) dianggap tidak pernah bisa terjadi/nonviable (Berkowitz
dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
b. Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial
Secara sitogenetik Mola Hidatidosa Parsial terjadi karena ovum
normal, 23x, dibuahi dengan dispermi. Dapat dibuahi oleh dua haploid
23x, satu haploid 23x dan satu haploid 23y, atau dua haploid 23yy.
Hasil konsepsi dapat berupa 69xxx, 69 xxy, atau 69 xyy. Kromosom
69yyy tidak pernah ditemukan (Bashabsheh, 2011 dan Murphy, 2011).
Sehingga pada Mola Hidatidosa Parsial disebut sebagai Diandro
Triploid. Unsur embrional dapat terbentuk karena pada Mola
Hidatidosa Parsial terdapat unsur ovum. Namun, komposisi unsur
ovum dengan sperma tidak seimbang. Unsur sperma yang tidak normal
tersebut yang menyebabkan terbentuknya plasenta abnormal, yang
merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang
mengalami degeneras hidropik. Oleh karena itu, fungsi plasenta dalam
hal ini pun tidak dapat mempertahankan janin hingga viable. Biasanya
terjadi kematian janin/ Intrauterin Fetal Death (IUFD) yang sangat dini
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan
haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari
lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya
perbesaran rahim.
b. Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut
jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c. Laboratorium
Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar β-hCG yang lebih
tinggi dari normal pada kehamilan trimester 1 yaitu berkisar antara 3
mingguyaitu 5 – 50 mIU/ml dan meningkat hingga
25,700 - 288,000 mIU/ml pada usia 9 – 12 kehamilan.
d. USG
Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri. Di
temukan gambaran mirip badai salju (snow storm) atau honey comb
apperance yanng mengindikasi vili khoriales yang hidrofik dan tidak
adanya gambaran yang menunjukkan detak jantung janin.Bila di
tegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan ( rontgen paru
harus di lakukan untuk melihat penyebaran ke paru-paru, karena paru-
paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG (Penyakit
Trofoblas Ganas ).
Interpretasi:
Skor Interpretasi
20 atau lebih Hipertiroid
Kurang dari 10 Tidak ada hipertiroid klinis
10 – 19 Meragukan
f. Penatalaksanaan
1. Obat antitiroid (Propiltiourasil atau metimazol)
Obat ini memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Kedua obat tersebut diberikan
per-oral (ditelan), dimulai dengan dosis tinggi, selanjutnya disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan darah terhadap hormon tiroid. Dosis yang lebih
tinggi bisa mempercepat pengendalian fungis tiroid, tetapi resiko
terjadinya efek samping juga meningkat (Sherwood, 2001). Efek samping
yang terjadi bisa berupa reaksi alergi (ruam kulit), mual, hilang rasa dan
penekanan sintesa sel darah merah di sumsum tulang. Penekanan sumsum
tulang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah putih, sehingga
penderita sangat peka terhadap infeksi. Pada wanita hamil, penggunaan
propiltriurasil lebih aman dibandingkan dengan metimazol karena lebih
sedikit obat yang sampai ke janin (Guyton, 1997). Obat ini biasanya bisa
mengendalikan fungsi tiroid dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan.
2. Obat-obat beta bloker (misalnya propanolol)
Obat ini diberikan bersama obat antitiroid (Propiltiourasil atau
metimazol). Manifestasi klinis hipertiroidisme yaitu akibat dari
pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka
manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat
beta; yang berfungsi menurunkan takikardi, kegelisahan, dan keringat
berlebihan (Sherwood, 2001).
3. Pengobatan dengan yodium radioaktif (RAI)
Pada pasien dengan hipertiroid juga perlu diberikan yodium
radioaktif yang menghancurkan kelenjar tiroid. Yodium radioaktif per-
oral memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap tubuh, tetapi
memberikan pengaruh yang besar terhadap kelenjar tiroid. Karena itu
dosisnya disesuaikan sehingga hanya menghancurkan sejumlah kecil
tiroid agar pembentukan hormon kembali normal, tanpa terlalu banyak
mengurangi fungsi tiroid. Sebagian besar pemakaian yodium radioaktif
pada akhirnya menyebakan hipotiroidisme. Yodium radioaktif tidak
diberikan kepada wanita hamil karena bisa melewati sawar plasenta dan
bisa merusak kelenjar tiroid janin.
4. Operatif
Tiroidektomi yaitu dimana kelenjar tiroid diangkat melalui
pembedahan. Pembedahan tiroidektomi subtotal sesudah terapi
propiltiourasil prabedah. Prinsif umum dari pembedahan ini adalah
operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun
biokimiawi. Indikasi bedah pada hipertiroid :
a) Perlu mencapai hasil definitif cepat.
b) Keberatan terhadap antitiroid.
c) Penanggulangan dengan antitiroid tidak memuaskan.
d) Struma multinoduler dengan hipertiroid.
e) Nodul toksik soliter.
f)
C. Hipertiroid Pada Mola Hidatidosa
Penyakit tropfoblastik pada kehamilan adalah istilah umum dari spektrum
proliferasi abnormal trophoblas. Mola Hidatidosa menujukkan suatu bentuk
jinak dari penyakit trofoblastik sedangkan koriokarsinoma merupakan bentuk
yang ganas, dan sering mengalami metastase. Diperkirakan 75-80 % pasien
pada awalnya terdiagnosis memiliki Mola Hidatidosa berbentuk jinak dan
mengalami resolusi spontan setelah dilatasi dan kuretage, tapi 15-25 %
selanjutnya bisa menjadi lokal invasif dan 3-5 % akhirnya terbukti mengalami
metastase.
Selama kehamilan, beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada fungsi
tiroid yaitu peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi Thyroxine Binding Globulin
(TBG), peningkatan 30-100% konsentrasi T3 total dan T4, peningkatan serum
tiroglobulin, peningkatan kliren yodium pada ginjal dan stimulasi kalenjar
tiroid oleh Human Chorionic Gonadotropin (hCG) (Albaar MT, 2009;
Moeller LK, 2009). Kehamilan umumnya menghasilkan peningkatan aktivitas
tiroid yang membuat individu untuk mempertahankan diri pada kondisi
eutyroid. Akan tetapi, baik hiper maupun hipo bisa terjadi pada kehamilan.
Penilaian fungsi tiroid pada kehamilan sangat penting untuk mencegah
komplikasi ibu dan bayi berupa peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran
prematur, berat badan bayi lahir rendah, kematian janin dalam kandungan, dan
preeklampsia (Moeller LK, 2009).
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny.SM
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 48 kg
TB : 152 cm
Alamat :Wonogiri, Jawa Tengah
Status Perkawinan : Kawin
Agama :Islam
Tanggal Masuk : 9 Januari 2018
No RM : 0140XXXX
HPMT : 23 September 2017
HPL : 30 Juni 2018
Usia kehamilan : 15+4 minggu
2. Keluhan Utama
Mual muntah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 48 tahun, datang dengan rujukan dari RSUD
Wonogiri dengan keterangan mola hidatidosa. Sebelumnya pasien
mengeluhkan adanya mual dan muntah yang dirasakan semakin lama
semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Pasien juga megeluh adanya
sedikit perdarahan dari jalan lahir diluar siklus menstruasi. Pasien juga
mengeluh sering sesak saat bekerja, mudah merasa lelah, dada berdebar-
debar, sering merasa gemetar pada bagian tangan dan juga mengeluarkan
banyak berkeringat sehingga lebih nyaman pada suhu dingin. Pasien
memiliki riwayat menstruasi tidak teratur 30-60 hari sekali karena pasien
menggunakan KB suntik, 2-3x ganti pembalut/hari, selama 4-5 hari
mesntruasi/bulan.
Pasien lalu berobat ke Puskesmas, dilakukan pemeriksaan dan
dinyatakan hamil 15 minggu lalu dirujuk ke RSUD Wonogiri untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pada saat di RSUD Wonogiri, pasien dilakukan pemeriksaan USG dan
laboratorium dan didapatkan hasil mola hidatidosan disertai dengan
hipertiroid. Pasien lalu dirujuk ke RSUD Dr.Moewardi untuk
mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat mondok :disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Lama menstruasi : 4-5 hari
Siklus menstruasi : 30 hari
Ganti pembalut dalam sehari : 2-3x
6. RiwayatObstetri
Hamil I: laki-laki 25 tahun, BBL 3000 gr, lahir spontan di bidan
Hamil II : hamil ini
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, usia pernikahan 27 tahun.
8. Riwayat KB
Pasien menggunakan KB Suntik 3 bulan selama 24 tahun
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 140/90 mmHg
Nadi : 102x/menit
Respiratory Rate : 22 x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : conjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-),
Eksophtamus (+/+)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, tiroid
teraba, tidak ada perbesaran, bruit (-)
g. Thorax :
1) Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor// sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : DP> DD
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba massa kistik 3 jari
diatas pusat, batas kiri kanan LAAS + LAAD, Batas bawah
kesan masuk panggul, TFU 26 cm.
Perkusi : timpani
h. Genital :
Inspekulo : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio livid utuh, OUE tertutup, darah (-),
discharge (-)
VT : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio licin, OUE tetutup, corpus uteri sebesar kepala bayi, slinger
pain (-), darah (+), discharge (-)
i. USG : v/u terisi cukup, tampak lesi hiperechoic
sebagian hipoechoic dengan gambaran Honey Comb Appearance,
tak tampak gambar janin tampak dan uterus tampak membesar.
Kesan mola hidatidosa.
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM DARAH (08-1-2018)
HEMATOLOGI RUTIN
Hct 38 % 33 – 45
INDEX ERITROSIT
MCV 83.3 /
m 80,0-96,0
PDW 19 % 25-65
HITUNG JENIS
HEMOSTASIS
INR 0.930
KIMIA KLINIK
FUNGSI TIROID
B- HCG
1 – 10 minggu :
202 - <225.000
11 – 15 minggu :
B - HCG >225.000 mlU/mL 225.333 -
<225.000
16 – 22 minggu :
8.007 – 50.064
D. SIMPULAN
Seorang G2P1A0, 48 tahun, umur kehamilan 15+4 minggu dengan
riwayat obstetri baik dan fertilitas baik, teraba massa kistik 3 jari diatas
pusat. Hasil B – HCG meningkat dari usia kehamilan, hasil pemeriksaan
USG tak tampak gambaran janin dan tampak uterus membesar dengan
gambaran honey comb appearance.
E. DIAGNOSIS AWAL
Mola hidatidosa dengan hipertiroid
F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
G. TERAPI
Mondok bangsal
Pro suction kuretase
Rontgen thorax
Pemeriksaan staff bangsal
26
DAFTAR PUSTAKA
Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Brent GA. 2008. Clinical practice. Graves disease. N Engl J med 2008; 358:
2594
Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. Thyroid
Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole. Thyroid 2008 16(4).
479-480
27
Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto
ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002.
Gestational.
Fantz CR, Dagogo SJ, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid Function during
Pregnancy: Case Conference. Clinical Chemistry. 1999 ; 45 (12) :
2250–2258
Halim A.M., 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan
Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
28
Metastatic Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab. 2005 49(2).
319 – 322
29