Pembimbing :
dr. Yusfi Rydoka Sp.P.M.Kes
Disusun oleh :
Mohammad Agris Dwi Putra Amran Batalipu
030.13.127
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Judul:
Penyusun:
Mohammad Agris Dwi Putra Amran Batalipu
030.13.127
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya akhinya saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini,Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas kepaniteraan klinik bagian Penyakit Dalam Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti
di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal, Saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama :
1. dr. Yusfi Rydoka Sp.P selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya mengharapkan
kritik dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut memperbaiki makalah ini
agar dapat bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat luas.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
HALAMAN
4
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru adalah penyakit paru menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis , Tuberkulosis (TB) sampai sekarang ini masih menjadi persoalan
yang global, World Health Organization tahun 2011 menyatakan penyakit ini setiap tahunnya
menginfeksi sekitar 9.000.000 orang dan membunuh hampir 1.400.000 orang di seluruh
dunia.wilayah Asia Timur dan juga Selatan merupakan penyumbang kasus terbesar yaitu 40%
atau 3.500.000 kasus setiap tahunnya, dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26 orang
per 100.000 penduduk(1)
Sedangkan Multi drug resistant TB (MDR TB) adalah penyakit tb yang resistensi
terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan
rifampisin. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dapat dibagi menjadi Resistensi
primer adalah ketika pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB , dan
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Berdasarkan Global Report 2015 dari 9,6 juta kasus-kasus TB baru pada tahun 2014, terdapat
58% berada di daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Lebih dari separuh kasus TB di dunia
(54%) terjadi di China, India, Indonesia, Nigeria dan Pakistan. Di antara kasus baru,
diperkirakan 3,3% adalah multidrug-resistant tuberculosis (MDR TB), merupakan tingkat yang
tetap tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir.(2)
Indonesia merupakan salah satu dari 27 negara yang memiliki penyakit TB MDR
terbanyak dengan estimasi sekitar 6800 kasus per tahunnya , dengan prevalensi nasional TB
MDR sebanyak 2,8 % dari jumlah kasus tb baru dan 16 % dari jumlah kasus yang pernah
mendapat perawatan TB sebelumnya kasus MDR TB dari tahun ke tahun diperkirakan akan
terus meningkat.Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam
(BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi
negatif ,Secara global diperkirakan terdapat 630.000 kasus multidrug resistant tuberculosis
(MDR-TB).(3)
Penatalaksanaan klinis MDR TB lebih rumit bila dibandingkan dengan TB yang sensitif
karena mempergunakan obat anti-TB (OAT) lini I dan lini II.(2) Pada tatalaksana TB yang
sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan pada
tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama 18 sampai 24
bulan. Sejauh ini belum ditemukan OAT baru untuk mengatasi masalah MDR TB. Beberapa
5
penelitian klinis menunjukan beberapa antimikroba (makrolid, kuinolon, betalaktam) dapat
digunakan sebagai OAT.(3)Dari semua antimikroba golongan kuinolon dianggap mempunyai
efektivitas sebagai anti TB. Saat ini dari uji klinis yang dilakukan belum dapat disimpulkan
tentang terapi TB-MDR yang optimal. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan
dengan kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat.(4)
Pengobatan pada pasien TB MDR dengan kebutuhan khusus dapat berbeda dengan
pengobatan TB MDR biasanya harus disesuaikan dengan penyakit lainnya seperti contoh pada
Gangguan Ginjal,Untuk pasien TB dengan gangguan ginjal jangan menggunakan Streptomisin,
Kanamisin , dan Kapreomisin karena diekskresi melalui ginjal, oleh karenanya hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal , sedangkan untuk Isoniasid (H),
Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna
menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik sehingga OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal. Untuk Etambutol ebaiknya
dihindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi
etambutol. alam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan
kreatinin. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengenal, mendiagnosis, secara dini dan
melakukan pengobatan yang adekuat terhadap penderita tuberkulosis.(5)
6
BAB II
PEMBAHASAN
16000 15380
14000
12000
10000 9399
8000
6000
3833
4000
2441
1860
1566
2000 1255 1094819 1287
550216155 460296 696441
148 66 34 1.752
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Terduga Konfirm Diobati
Penemuan kasus TB-MDR pada tahun 2009-2015 didapatkan hasil yang terus
meningkat pada tahun 2015 sendiri ditemukan sebanyak 15380 kasus terduga TB MDR dengan
diantaranya sudah terkonfirmasi menderita TB MDR adalah 1860 dan yang sudah diobati
sekitar 1566 kasus , berbeda dengan tahun 2009 yang dimana terdapat kasus terduga TB MDR
sebanyak 148 kasus dan diantaranya yang terkonfirmasi sekitar 66 kasus dan yang telah di
obati sebanyak 34 kasus. .(6)
7
2.1.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi resistensi Obat
Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi
hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu
saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi).
Selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi, Mutasi baru dalam pertumbuhan
populasi basil menyebabkan resistensi obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus
berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana
orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer.
Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih
cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan
diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara
dengan prevalensi yang tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer,
seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan
penyakit resistensi obat di dalam komunitas.(7)
Selain itu terdapat beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,
yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak
tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan,
maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap
obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Fenomena “ addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat
hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten Penggunaan obat
kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu
bioavailabiliti obat
8
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang
terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan Pemakaian obat antituberkulosis
cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat
sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase
(8).
peroksidase Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi
secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid
diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG
berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase(9)
9
pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase
dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut (8).
10
resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin
maupun amikasin(9).
2.1.5 Diagnosis.(
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk ≥ 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar. (10,11,12)
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan. (10,11,12)
2. Gejala sistemik
Demam dan gejala sistemik lain seperti malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
11
Pemeriksaan Fisik.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex
dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. (10,11,12)
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. (10,11,12)
Gambar 1. Gambar Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior Paru
Pemeriksaan Bakteriologik
12
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut- turut atau dengan cara:
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang,disebut negative, Ditemukan 1-9 BTA
dalam 100 lapang pandang tulis jumlah kuman yang ditemukan, Ditemukan 10-99 BTA
dalam 100 lapang pandang disebut + (1+),Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang
disebut ++ (2+),Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).(10,11,12)
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul . (10,11,12)
Pemeriksaan TCM
13
perbedaan hasil, apabila hasil TCM Rifampisin Resisten (TB-RR) dapat diberikan pengobatan
standar MDR tanpa menunggu hasil kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar , jika hasil resistensi
menunjukkan MDR , lanjutkan pengobatan tetapi jika terdapat resistensi tambahan terhadap
OAT lainnya , pengobatan harus menyesuaikan hasil uji kepekaan OAT. (10,11,12)
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). (10,11,12)
Luas lesi , Lesi minimal adalah proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga
2) dan tidak dijumpai kaviti , Lesi luas bila proses lebih luas dari lesi minimal. (10,11,12)
14
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis
secara lebih cepat. 10,11,12)
1. Pemeriksaan BACTEC
2. Polymerase chain reaction (PCR)
3. Pemeriksaan serologi, antara lain:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
b. Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
c. Mycodot
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
e. Imunoglobulin anti TB
Pemeriksaan lain
1. Analisis cairan pleura
2. Histopatologi jaringan
3. Pemeriksaan darah
4. Uji tuberkulin
15
Gambar 2.Skema Alur diagnosis TB paru pada orang dewasa(13)
16
2.1.6 Kriteria Suspek TB MDR
Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dan memenuhi salah
satu kriteria dibawah ini :
17
Suspek TB MDR
Dahak Sewaktu
Tes Cepat
(GeneXpert)
Biakan
M.Tuberkulosis
M.Tuberculosis tidak
M.Tuberculosis
tumbuh
tumbuh
DST
Semua Kriteria Semua FLD
FLD
Suspek TB MDR Sensitif
Mono Resisten Bukan TB MDR
Poli Resisten
TB MDR
Kriteris Suspek
TB MDR 1,3,6 DST TB MDR dan semua SLD TB MDR
SLD Sensitif
18
2.2.1 Definisi Gangguan Ginjal
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan
elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium
didalam darah atau produksi urin.(13)
Ginjal yang sakit tidak bisa menahan protein darah (albumin) yang seharusnya tidak
dilepaskan ke urin. Awalnya terdapat dalam jumlah sedikit (mikro-albuminuria). Bila
jumlahnya semakin parah akan terdapat pula protein lain (proteinuria). Jadi, berkurangnya
fungsi ginjal menyebabkan terjadinya penumpukan hasil pemecahan protein yang beracun bagi
tubuh, yaitu ureum dan nitrogen.Kemampuan ginjal menyaring darah dinilai dengan
perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) atau juga dikenal dengan Glomerular Filtration
Rate (GFR). 13)
Kemampuan fungsi ginjal tersebut dihitung dari kadar kreatinin (creatinine) dan kadar
nitrogen urea (blood urea nitrogen/BUN) di dalam darah. Kreatinin adalah hasil metabolisme
sel otot yang terdapat di dalam darah setelah melakukan kegiatan, ginjal akan membuang
kretinin dari darah ke urin. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin di dalam darah akan
meningkat. Kadar kreatinin normal dalam darah adalah 0,6-1,2 mg/dL. 13)
LFG dihitung dari jumlah kreatinin yang menunjukkan kemampuan fungsi ginjal
menyaring darah dalam satuan ml/menit/1,73mKemampuan ginjal membuang cairan berlebih
sebagai urin (creatinine clearence unit) di hitung dari jumlah urin yang dikeluarkan tubuh
dalam satuan waktu, dengan mengumpulkan jumlah urin tersebut dalam 24 jam, yang disebut
dengan C_crea (creatinine clearence). C_cre normal untuk pria adalah 95-145 ml/menit dan
19
wanita 75-115 ml/menit.Perbandingan nilai kreatinin, laju filtrasi glomerulus dan clearence
rate untuk menilai fungsi ginjal dapat dikategorikan menjadi13):
Kategori fungsi ginjal GFR (mg/dL) Kreatinin (ml/menit/1,73m ) Clearence Rate (ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3 Wanita : <1,0 Pria : 90-145 Wanita : 75-115
Gangguan ginjal ringan 60-89 Pria : 1,3-1,9 Wanita : 1-1,9 56-100
Gangguan ginjal sedang 30-59 2-4 35-55
Gangguan ginjal berat 15-29 >4 <35
2. Wanita.
20
2.1.7 Penatalaksanaan MDR TB
OAT Untuk pengobatan TB MDR, pengobatan pasien dengan TB MDR penggunakan
paduan OAT yang terdiri dari lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok
berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu : (14,15,16)
A.Golongan OAT
Golongan Jenis Obat
I Obat oral Lini pertama Isoniazid ( H)
Rifampisin (R)
Etambutol ( E)
Pirazinamid (Z)
Rifapentin (Rfp)
Rifabutin (Rfb)
21
B.Paduan Pengobatan TB MDR
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO
guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya,
sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan
dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah
kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua
pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid,
dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini
pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data
melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Pilihan panduan OAT resisten obat saat ini adalah panduan standar , yang pada
permulaan pengobatakan akan diberikan sama kepada semua pasien TB- Resisten Obat ,
Panduan Standar : (14,15,16)
1)Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris (hasil
tes cepat atau metode konvesional ).
2)Pengobatan dengan standar dapat dimulai berdasarkan hasil GeneXpert yang menyatakan TB
RR.
3)Bila ada riwayat menggunakan paduan OAT yang telah dicurigai ada resistensi misalnya : pasien
sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resistan terhadap levofloksasin maka paduan
pengobatan ditambah PAS dan levofloxacin diganti dengan moksifloksasin, sedangkan untuk
22
pasien yang sudah mendapatkan Kanamisin sebelumnya dapat diberikan Kapreomisin sebagai
bagian dari panduan OAT standar yang diberikan.
4)Paduan OAT resisten Obat standar diatas akan disesuaikandengan panduan atau dosisnya jika :
- Terdapat bukti tambahan resistensi terhadap OAT lain bedasarkan hasil uji kepekaan
konvesional untuk OAT lini pertama dan lini kedua sebagai contoh:
- INH tidak diberikan jika pasien terkonfirmasi TB MDR (INH dan Rifampisin resisten)
-Etambutol tidak diberikan jika sudah terbukti resisten
- Terjadi Efek Samping berat dan obat penyebab sudah diketahui maka obat bias diganti bila
tersedia obat pengganti , sebagai contoh :
- Pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena Sikloserin maka dapat
diganti dengan PAS.
- Pasien mengalami gangguan pendengaran karena Kanamisin maka dapat diganti
dengan Kapreomisin
-Pasien mengalami gangguan penglihatan karena Etambutol maka pemberian dapat
dihentikan
- Dosis atau Frekuensi disesuaikan jika :
- Terjadi perubahan kelompok berat badan
- Terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia
6)Jika terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E)-(H)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)-(H)
7)Jika terbukti resistan terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut:
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) )-(H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) )-(H)
8)Jika terbukti resistan terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB-MDR/ HIV
maka paduan standar adalah sebagai berikut :
CM – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) )-(H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) )-(H)
23
C..Dosis OAT MDR(14,15,16)3323
OAT Dosis Harian Berat Badan >30kg
24
Sikloserin,Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk
mengurangi terjadinya efek samping,selain itu pemberian dalam dosis terbagi
direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART , Sodium PAS diberikan dosis
dengan asam PAS dan bias diberikan dalam dosis terbagi, Bedaquilin diberikan 400mg/hari
dosis tunggal selama 2 minggu lalu dilanjutkan dengan dosis 200mg intermiten 3 kali per
minggu diberikan selama 22 minggu (minggu 3-24) pada minggu ke 25 bedaqulin dihentikan,
Clofamizin diberikan dengan dosis 200-300mg per hari(14,15,16)
1. Pasien baru/belum pernah diobati dengan TB RR/MDR ialah lama pengobatan adalah
18 bulan setelah konversi biakan dengan minimal lama pengobatan 20 bulan
2. Pasien sudah pernah diobati dengan pengobatan TB RR/MDR atau pasien TB XDR
adalah 22 bulan setelah konversi biakan dengan minimal lama pengobatan 24 bulan
3. Konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan
30 hari menunjukkan hasil negative,Tanggal konversi adalah tanggal pengambilan
dahak pertama untuk biakan yang hasilnya negatif. Tanggal ini digunakan untuk
menentukan lamanya pengobatan tahap awal dan lama pengobatan selanjutnya. (14,15,16)
1. Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat oral dan obat suntikan
(kanamisin dan kapreomisin), pada pasien baru lama tahap awal adalah 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan dan diberikan sekurang-kurangnya selama 8 bulan. , pada pasien
yang sudah pernah diobati atau pasien TB XDR lama tahap awal adalah 10 bulan
setelah terjadi konversi biakan dan diberikan sekurang-kurangnya 12 bulan. (14,15,16)
2. Tahap lanjutan adalah tahap pengoatalah setelah selesai pengobatan tahap awal dan
pemberian suntikan dihentikan, pada pasien baru lama tahap lanjutan adalah 12-14
bulan , dan pada pasien yang pernah diobati TB RR/MDR atau pasien TB XDR lama
tahap lanjutnya adalah 12 bulan (14,15,16)
25
Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan lanjutan menganut prinsip
DOT, Cara Pemberian obat :
1. Tahap Awal : Suntikan diberikan 5x dalam 1 minggu (senin-jumat) dan obat per – oral
diberikan 7 kali seminggu (senin-minggu), jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan
minimal 224 dosis dan suntikan minimal 160 dosis
2. Tahap Lanjutan : Obat oral diberikan 7x dalam 1 minggu (senin-minggu),obat suntikan
sudah tidak diberikan lagi, jumlah minimal obat oral yang diberikan dan ditelan adalah
336 dosis
26
E. Pengobatan Adjuvan pada TB MDR
Selain nutrisi tambahan dapat juga diberikan kortikosteroid pada pasien TB MDR
dengan gangguan respirasi berat , gangguan susunan saraf pusat atau pericarditis,
Kortikosteroid yang dapat digunakan adalah Prednison 1mg/kg , apabila digunakan dalam
jangka waktu lama (5-6minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tapering off) (14,15,16)v
Kelainan fungsi Km, Cm -Pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes mellitus atau riwayat
ginjal gangguan ginjal, harus dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal seperti :
Edema,penurunan produksi urin , malaise , sesak nafas dan renjatan
-Rujuk ke pusat rujukan PMDT bila ditemukan gejala yang mengarah ke
gangguan ginjal
-TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan
penatalaksaanaanya jika terdapat :
Gangguan Ringan (Kadar kreatinin 1,5-2,2 mg/dl), hentikan kanamisin
sampai kadar kreatinin menurun.
Gangguan Berat (Kadar kreatinin >2,2 mg/dl), hentikan semua obat dan
lakukan perhitungan GFR.
-Jika GFR atau klirens kreatinin < 30ml/menit atau pasien mendapat
hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai table
penyesuaian
-Bila setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan
kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu
27
G. Perubahan dan Penyesuaian dosis OAT pada gangguan Ginjal(13,14,15)
Km YA YA 12-15mg/kg/dosis 2-
3x/minggu
PAS Tidak 2x4gr sehari
Tabel 6. Tabel Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal(14)
28
Bulan pengobatan
Pemantauan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase
√
dan biakan dahak lanjutan
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis
Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
(termasuk BB)
Foto toraks √ . . . . . √ . . √ . . √ . .
1 - 3 minggu sekali
Ureum, Kreatinin √ . . . . . . . .
selama suntikan
29
I. EVALUASI
A.Evaluasi hasil akhir pengobatan
1)Sembuh.
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR,
dan Hasil biakan telah negatif minimal 5 kali berturut-turut dalam 12 bulan terakhir
pengobatan,
Jika dilaporkan ada satu hasil biakan positif selama kurun waktu tersebut dan tidak ada
bukti perburukan klinis, pasien tetap dinyatakan sembuh, dengan syarat hasil biakan
positif tersebut diikuti minimal 3 kali hasil biakan negatif berturut-turut(14,15,16)
2)Pengobatan lengkap.
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan tetapi tidak
memenuhi definisi sembuh maupun gagal. (14,15,16)
3)Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan. (14,15,16)
4)Gagal.
Pengobatan dinyatakan gagal jika ada 2 atau lebih dari 5 hasil biakan dalam 10 bulan
terakhir masa pengobatan hasilnya positif.
Bila telah terjadi konversi dan hasil biakan kembali menjadi positif pada 6 bulan
terakhir pengobatan.
Bila sampai bulan ke delapan pengobatan hasil biakan masih positif.
Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila TAK memutuskan menghentikan
pengobatan lebih awal karena perburukan respon klinis, radiologis atau efek samping.
Bila TAK memutuskan penggantian dua atau lebih OAT lini kedua yang berdasar pada
hasil uji kepekaan OAT lini kedua. (14,15,16)
5)Lalai/Defaulted.
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih dengan
alasan apapun. (14,15,16)
6)Pindah
Pasien yang pindah ke fasyankes Rujukan TB MDR di daerah lain, dibuktikan dengan
balasan TB 09 MDR. (14,15,16)
30
B.Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap(14,15,16)
1.Fasyankes Rujukan TB MDR membuat jadwal kunjungan untuk evaluasi pasca pengobatan.
2.Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun, kecuali timbul gejala dan keluhan TB
seperti batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan dan tidak ada nafsu makan maka
pasien segera datang ke fasyankes rujukan.
3.Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadwal kunjungan yang telah ditentukan.
4.Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak,
biakan dan foto toraks.
5.Pemeriksaan dilakukan untuk melihat/memastikan adanya kekambuhan.
6.Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti olah raga teratur, tidak
merokok, konsumsi makanan bergizi, istirahat dan tidak mengkonsumsi alkohol.
31
BAB III
KESIMPULAN
1. Penemuan kasus TB-MDR pada tahun 2009-2015 didapatkan hasil yang terus
meningkat pada tahun 2015 sendiri ditemukan sebanyak 15380 kasus terduga TB
MDR dengan diantaranya sudah terkonfirmasi menderita TB MDR adalah 1860 dan
yang sudah diobati sekitar 1566 kasus
2. Paduan standar yang diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR
secara laboratoris (hasil tes cepat atau metode konvesional )
8Km5 – Eto7 – Lfx7 – Cs7 – Z7-(E)7-(H)7/12 Eto7 – Lfx7 – Cs7 – Z7-(E)7-(H7)
3. Penatalaksanaan pada TB MDR dengan ganggual ginjal ,pada gangguan ginjal ringan
hentikan kanamisin hingga kadar kreatinin menurun , pada gangguan ginjal berat
hentikan semua obat dan lakukan perhitungan gfr , jika gfr atau klirens kreatinin <
30ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT
sesuai table penyesuaian , jika setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi
maka hentikan kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global tuberculosis control. WHO report 2012. Geneva:
WHO; 2102.
2. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/250441/1/9789241565394-
eng.pdf?ua=1&ua=1
3. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 2015. Switzerland. 2015.
4. Mondero I, Caminero JA. Management of multidrug resistant tuberculosis an update.
Ther Adv Respir Dis. 2010;4(2):117–27.
5. TUBERKULOSIS,PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA,Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2006
6. Kemenkes RI. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Infodatin.
[Internet].2015.[cited 2017 Agustus 28].Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/i
nfodatin_tb.pdf.
7. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
8. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku
Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala.
PERPARI.Bandung. 2006.
9. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
10. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A,
Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi. Jakarta,
Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11
11. Fattiyah I, Zubaedah T, Priyanti ZS, Erlina B, Reviono, Soedarsono, dkk, penyunting.
Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi
pertama. Jakarta: PDPI; 2011. .
12. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis,
eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for
Tuberculosis, 2002
13. Ahmed, S., & Lowder, G. (2012) Severity and Stages of Chronic Kidney Disease.In
Go z , M. (Ed.), Chronic Kidney Disease. Rijeka, Croatia: InTech Janeza
33
14. Petunjuk Tekhnis Manajemen Terpadu Pengedalian Tuberkulosis Resisten Obat , 2014
, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Penanggulangan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, hal 31-45
15. Addendum Pengobatan TB Resisten Obat ,2016 , Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jendral Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
16. WHO,2016. WHO treatment guidelines for drug-resistant tuberculosis 2016
update,p11.
34