Anda di halaman 1dari 35

KOLITIS ULSERATIF

Nurul Muchlisah, Metrila Harwati


I. PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran


cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit
Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate
colitis). Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan
lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran
cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna (6).

Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik dan idiopatik pada usus
(inflamasi bowel disease) ditandai dengan peradangan mukosa difus yang terbatas
pada kolon dan rektum. Kolitis ulseratif melibatkan rektum pada 95% kasus dan
dapat diperpanjang terus menerus dan secara melingkar ke bagian proksimal kolon.
Gejala klinis klasik dari UC adalah adanya diare berdarah. Perjalanan klinis ditandai
dengan periode remisi dan eksaserbasi, yang dapat terjadi baik secara spontan atau
sebagai respons terhadap pengobatan(9).

II. INSIDENSI

Kejadian kolitis ulseratif berkisar antara 10-20 per 100.000 penduduk per tahun
dengan prevalensi 100-200 per 100.000 penduduk Insiden penyakit crohn kira-kira 5-
10 per 100.000 penduduk per tahun dengan prevalensinya sekitar 50-100 per 100.000
penduduk. Kolitis ulseratif dan penyakit crohn adalah penyakit yang sering dialami
oleh pasien berusia muda (antara 10-40 tahun). Meskipun, hal itu juga bisa terjadi
pada semua usia pasien. Sekitar 15% diderita oleh pasien yang berusia lanjut > 60
tahun saat diagnosis sedang dikonfirmasi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pria dan wanita(3).

1
III. KLASIFIKASI

Kolitis ulseratif dibedakan menurut lokasi dan perluasan inflamasi yaitu :

1. Protitis ulseratif adalah inflamasi yang terbatas pada rektum


2. Protosigmoiditis adalah inflamasi pada rektum dan kolon sigmoid
3. Kolitis sisi kiri adalah inflamasi yang dimulai dari rektum dan meluas ke atas
mengenai kolon sigmoid dan kolon descendens
4. Pankolitis adalah inflamasi yang mengenai seluruh kolon
5. Kolitis fuminan adalah bentuk berat pankolitis. Jenis ini jarang terjadi(13).

Berdasarkan gambaran klinis, kolitis ulseratif dapat dikelompakkan berdasarkan berat


ringannya penyakut yaitu:

1. Kolitis ulseratif ringan yaitu diare < 4 kali sehari, tidak ada atau sedikit
perdarahan rectal dan tidak terdapat gejala sistemik seperti demam, takikardi,
peningkatan LED dan anemia.
2. Kolitis ulseratif sedang yaitu : diare 4-6 kali sehari, perdarahan rektal sedang,
terdapat beberapa gejala sistemik, atau penyakit derajat ringan tidak berespon
terhadap pengobatan.
3. Kolitis ulseratif berat yaitu: diare lebih dari 6 kali sehari (sering pada malam
hari), perdarahan perektal berat, gejala sistemik, malnutrisi dengan
hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dibandingkan
sebelum sakit(13).

2
IV. ANATOMI

Gambar 1. Anatomi kolon(1).


Panjang kolon adalah sekitar 5-6 kaki, bagian berbentuk U bagian dari seluruh
usus besar (saluran cerna bagian bawah). Secara definisi, caecum (dan appendix) dan
ano-rektum, yang juga merupakan bagian dari usus besar, tidak termasuk dalam kolon
(7)
.
Secara embriologis, kolon berkembang sebagian dari midgut (kolon ascendens
sampai proksimal kolon transversum) dan sebagian dari hindgut (kolon transversum
distal sampai kolon sigmoid). Pada foto polos abdomen, kolon terlihat terisi dengan
udara dan feses. Kolon diidentifikasi dengan haustra (sakulasi irreguler incomplete)
(7)
.
Kolon ascendens
Kolon ascendens (kanan) terletak vertikal di bagian paling lateral kanan dari
rongga perut. Ujung proksimal yang buntu yang berbentuk dari kolon ascendens
disebut caecum. Kolon ascendens berbelok tepat di bawah hati membentuk flexura
coli dextra / flexura hepatica dan menjadi kolon transversum, yang memiliki jalur
horizontal dari kanan ke kiri (7).

3
Kolon transversum
Kolon transversum kemudian berjalan terus ke kiri dan kemudian berbelok tepat
di bawah limpa membentuk flexura coli sinistra / flexura lienalis dan kemudian
menjadi kolon descendens (kiri) yang terletak vertikal di bagian lateral paling kiri
dari rongga perut. Kolon descendens mengarah ke kolon sigmoid yang berbentuk V
terbalik, yang kemudian menjadi rektum di setinggi Vertebra Sacralis III. Kolon
sigmoid ini disebut demikian karena bentuknya seperti huruf S(7).
Usus paracolica
Kolon bagian lateral, yaitu kolon ascendens dan kolon descendens adalah usus
paracolica bagian kanan dan kiri dari rongga peritoneal. Melalui usus ini, cairan /
nanah di perut bagian atas dapat menetes ke dalam rongga panggul. Kolon ascendens
dan descendens terkait dengan ginjal, ureter, dan pembuluh gonad yang ada di dalam
retroperitoneum di belakangnya; kolon ascending juga terkait dengan duodenum(7).
Kolon transversum dan kolon sigmoid
Kolon transversum dan kolon sigmoid masing-masing memiliki mesenterium
(yaitu, mesokolon transversal dan mesokolon sigmoid), tetapi kolon ascendens dan
kolon descendens bersifat retroperitoneal, sementara caecum terletak intraperitoneal
tetapi menggunakan mesenterium ileum. Dasar mesokolon transversum terletak
horizontal di duodenum dan pankreas. Omentum major memiliki beberapa bagian,
termasuk 4-lapis omentum yang menggantung kolon transversum dan 2-lapis
ligamentum gastrocolic yang menghubungkan kurvatura mayor lambung dan kolon
transversum(7).
Flexura Lienalis
Flexura lienalis melekat pada diafragma oleh ligamentum frenocolica. Tiga
taenia coli yang berjalan longitudinal terdapat pada caecum, kolon ascendens, kolon
transversum, kolon descendens, dan kolon sigmoid, tetapi tidak pada rektum. Pada
kolon ascendens dan descendens, taenia coli terdapat pada bagian anterior,
posterolateral, dan posteromedial. Terdapat omentum dari lemak yang disebut
appendix epiploicae yang melekat pada kolon(7).

4
Suplai darah
Kolon disuplai oleh arteri mesenterika superior melalui cabang arteri colica
dextra dan cabang arteri colica media dan oleh arteri mesenterika inferior melalui
arteri colica sinistra dan cabang sigmoid ganda. Cabang terminal arteri ini yang
memasuki dinding disebut vasa recta(7).
Persimpangan dua pertiga proksimal dan distal sepertiga dari kolon
transversum, di mana cabang-cabang terminal dari arteri mesenterika superior dan
inferior bertemu, adalah daerah aliran yang rentan terhadap iskemia(7).
Vena mesenterika superior menyertai arteri mesenterika superior, tetapi vena
mesenterika inferior mengalir lebih tinggi dari asal dari arteri mesenterika inferior;
berjalan vertikal ke atas ke kiri dari persimpangan duodenojejunalis dan memasuki
vena lienalis atau persimpangan dengan yang vena mesenterika superior untuk
membentuk vena portal(7).
Gambaran Mikroskopik

Kolon memiliki 4 lapisan yang sama yang terdapat di sebagian besar saluran
pencernaan yaitu mukosa, submukosa, muskularis propria, dan serosa. Mukosa
termasuk epitel kolumnar dengan sejumlah besar mukus sel goblet (vili, yang terdapat
di usus kecil, yang tidak terdapat dalam usus), lamina propria, dan mukosa
muskularis. Lapisan submukosa berisi pembuluh darah dan saraf pleksus Meissner.
Muskularis propria berisi otot sirkularis interna, otot longitudinal externa dan pleksus
nervus myenteric (Auerbach). Taenia coli dibentuk oleh otot-otot longitudinal
externa. Lapisan serosa dari kolon adalah peritoneum visceral(7).

V. FISIOLOGI

Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari.
Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus
maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak tercerna
(minsalnya selulosa), komponen empedu yang tidak diserap dan dicerna, dan cairan.

5
Kolon mengekstraksi H20 dan garam dari isi lumennya. Yang tertinggal dan akan
dikeluarkan disebut feses (tinja). Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan
tinja sebelum defekasi(11).

Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak mendorong sesuai
fungsinya sebagai tempat penyerapan dan penyimpanan. Mortalitas utama kolon
adalah kontraksi haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon.
Kontraksi ini yang menyebabkan kolon membentuk haustra, serupa dengan
segmentasi usus halus tetapi terjadi jauh lebih jarang(11).

Ketika makanan masuk ke dalam lambung, terjadi refleks gastrokolon yang


diperantarai dari lambung ke kolon oleh gastrin dan sel saraf otonom ekstrinsik, yang
menjadi pemicu utama gerakan massa ke kolon. Pada banyak orang, refleks ini paling
jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh keinginan untuk buang air besar(11).

Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum,


perenggangan yang terjadi di rektum merangsang reseptor regang di dinding rektum,
memicu refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus (yaitu otot
polos) melemas dan rektem dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter
ani eksternus (yaitu otot rangka) juga melemas maka terjadi defekasi. Karena otot
rangka, sfingter ani eksternus berada di bawah kontrol volunter(11).

Jika defekasi ditunda terlalu lama maka dapat terjadi konstipasi (sembelit).
Ketika ini isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H2O yang diserap dari
tinja menjadi kering dan keras. Variasi normal frekuensi defekasi diantara individu
bervariasi berkisar setiap makan hingga sekali seminggu(11).

Kemungkinan tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi


mencakup yaitu :

1. Mengabaikan keinginan buang air besar


2. Berkurangnya mortilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat

6
3. Obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon
4. Gangguan refleks defekasi, minsalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang
terlibat(11).

Usus besar tidak mengeluarkan enzim pencernaan apapun. tidak ada yang
diperlukan karena pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon. Sekresi
kolon terdiri dari larutan mucus basa (NaHCO3) yang fungsinya adalah melindungi
mukosa usus besar dari cedera mekanis dan kimiawi. Mucus menghasilkan
pelumasan untuk memudahkan feses bergerak, sementarar NaHCO3 menetralkan
asam-asam iritan yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri lokal. Sekresi meningkat
sebagai respons terhadap stimulasi mekanis dan kimiawi mukosa kolon yang
diperantarai oleh refleks pendek dan persarafan parasimpatis(11).

Karena gerakan kolon yang lambat maka bakteri memiliki waktu untuk tumbuh
dan menumpuk di usus besar. Sebaliknya di usus halus isi biasanya dipindahkan
secara cepat sehingga bakteri tidak dapat tumbuh. Selain itu, mulut, lambung dan
usus mengeluarkan bahan-bahan antibakteri, tetapi kolon tidak. Namun, tidak semua
bakteri yang tertelan dihancurkan oleh lisozim dan HCl. Bakteri yang bertahan hidup
terus berkembang di usus besar. Jumlah bekteri yang hidup dalam kolon manusia
adalah sekitar 10 kali lebih banyak daripada jumlah sel dalam tubuh di dalam tubuh
manusia. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak membahayakan tetapi
kenyataannya dapat bermanfaat yaitu :

1. Meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan nutrient dan


ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen.
2. Mendorong mortilitas kolon.
3. Membantu memelihara integritas mukosa kolon.
4. Memberi kontribusi nutrisi. Contohnya bakteri mensintesis vitamin K yang dapat
diserap dan meningkatkan keasaman kolon sehingga mendorong penyerapan
kalsium, magnesium dan seng. Selain itu, berbeda dari anggapan sebelumnya,

7
sebagian dari glukosa yang dibebaskan selama pemrosesan serat makanan oleh
bakteri diserap oleh mukosa kolon(11).

Sebagian penyerapan terjadi di kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah
daripada usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka luas
permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada usus halus. Selain itu kolon tidak
dilengkapi oleh mekanisme transport khusus seperti yang dimiliki usus halus. Jika
motilitas usus halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke kolon sebelum
absorpsi nutrient tuntas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini
dan bahan akan keluar sebagai diare(11).

Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan H2O. Selain itu, kolon juga
menyerap sejumlah elektrolit lain serta vitamin K yang disintesis oleh bakteri
kolon(11).

Kadang-kadang selain feses yang keluar dari anus, gas usus, atau flatus juga
keluar. Gas ini terutama berasal dari 2 sumber yaitu udara yang tertelan (hingga 500
ml udara mungkin udara tertelan ketika makan) dan gas yang produksi oleh
fermentasi bakteri di kolon(11).

VI. ETIOPATOGENESIS

Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Diduga akibat adanya aktifasi yang
berlebihan dari sistem imun mukosa usus yang menyebabkan inflamasi pada usus
tanpa adanya penyebab yang jelas. Beberapa faktor lainnya diduga berpengaruh yaitu
faktor genetik dan lingkungan. Sistem imin pada penderita tersebut bekerja secara
abnormal dan berlangsung kronis yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi saluran
cerna(13).

a. Faktor genetik
Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetik. Faktor genetik dapat menyebabkan

8
seseorang memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang
dimediasi sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri
komensal yang menyebabkan disregulasi respon imun terhadap mukosa yang
berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan
adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya gen
CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya inflammatory bowel
disease akibat adanya mutasi gen kromosom 16(13).
b. Faktor imunologis
Pada kolitis ulseratif terjadi peningkatan ekspresi IL-5 yang merupakan
sitokin Th-2, tetapi tidak terjadi penigkatan IL-4 yang meupakan sitokin Th-2
lainnya. Peranan Th-2 mungkin membantu respon antibodi, sebab pada kolitis
ulseratif ada peningkatan IgG sel plasma yang diduga dimediasi oleh sel T.
Sitokin seperti IL-1, IL-6, dan IL-8 menimbulkan inflamasi dengan peningkatan
vascular adhesion molecules yang menarik sel inflamasi, peningkatan produksi
eikosanoid, menginduksi sintesis nitrat oksida, dan menginduksi produksi
kolagen. Hal di atas memicu destruksi jaringan yang menimbulkan jaringan
fibrosis. Sekresi elektrolit distimulasi oleh mediator-mediator ini, yang
selanjutnya menyebabkan diare. Autoantibodi yang ditemukan pada kolitis
ulseratif menimbulkan dugaan bahwa kolitis ulseratif merupakan penyakit
autoimun. Perinuclear anti neutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) ditemukan
pada sekitar 70% individu dengan kolitis ulseratif dan dipercaya sebagai tanda
disregulasi imunoregulator genetik(13).
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan terhadap kolitis ulseratif yaitu
1. Infeksi Bacillus sp., E. coli adhesif, dan Fusobacterium varium diduga
berperan terhadap terjadinya kolitis ulseratif.
2. Obat-obatan Penggunaan obat antinflamasi nonsteroid berisiko tinggi
terhadap kejadian IBD dan kekambuhan penderita IBD dalam remisi klinis.

9
3. Diet dan Stres Diet susu dan rendah serat serta stress diduga berpengaruh
terhadap terjadinya IBD, walaupun mekanismenya belum diketahui dengan
pasti(13).

Pada kolitis ulseratif, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke


proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian
kolon. Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus.
Inflamasi hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum
terminalis juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada
kolitis ulseratif, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi
menjadi penanda khas kolitis ulseratif sehingga dapat dijadikan pembeda dengan
penyakit crohn(6).

Pada penyakit crohn, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran


cerna dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas
yakni adanya peradangan, striktur, dan fistula. Berbeda dengan kolitis uleseratif, lesi
pada penyakit crohn tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga
dapat transmural. Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk penyakit crohn.
Selain itu, lesi pada penyakit crohn bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip
area(6).

10
Tabel 1. Gambaran patologis IBD(6)

Patologis Kolitis ulseratif Penyakit crohn


Lesi bersifat segmental (-) ++
(skip area)
Lesi bersifat transmural ± +/++
Graloma (-) 50%
Fibrosis + ++
Fistula ± ++
Predileksi anatomis ± +/++
Ileo-saekal ± ++
Rektum ++ ±
Gambaran patologis Abses kripti, distorsi Granuloma tuberukoloid,
kripti, infiltrasi sel MN infiltrasi sel makrofag dan
dan PMN di lamina limfosit di lamina propria
propria
Keterangan: ++ = sering; + = kadang; ± = jarang; (-) = tidak ada

VII. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Gejala klinis dari kolitis ulseratif adalah diare, pendarahan pada rektum,
adanya mucus pada rektum, tenesmus (kadang-kadang), dan sakit perut bagian
bawah. Pada kolitis ulseratif yang berat atau fuminan ditandai dengan gejala
berupa diare parah dan kram, demam, leukositosis dan distensi abdomen. Temuan
fisik biasanya normal pada stadium ringan, kecuali nyeri tekan ringan di kuadran
perut kiri bawah. Pada stadium berat, berikut ini dapat diamati:
a. Demam.
b. Takikardia.

11
c. Kelunakan abdomen yang signifikan.
d. Penurunan berat badan(1).

Tingkat keparahan kolitis ulseratif dapat dinilai sebagai berikut:

a. Ringan - Perdarahan per rektum dan kurang dari 4 gerakan usus setiap hari.
b. Sedang - Perdarahan per rektum dengan lebih dari 4 gerakan usus per hari.
c. Parah - Perdarahan per rektum, lebih dari 4 gerakan usus per hari, dan
penyakit sistemik dengan hipoalbuminemia (<30 g / L)(1).

Tabel 2. Gambaran klinis IBD(6)

Klinis Kolitis ulseratif Penyakit crohn


Diare kronik ++ ++
Hematoschezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen (-) ++
Fistulasi ± ++
Stenosis/striktur + ++
Keterlibatan usus halus ± ++
Keterlibatan rectum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + ±
Keterangan : ++ = sering; + = kadang; ± = jarang; (-) = tidak ada

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah
lengkap. Pemeriksaan kadar albumin, kalium, magnesium, dan alkaline
phosphatase. Pemeriksaan marker inflamasi dengan pemeriksaan sedimen eritrosit

12
dan kadar C-reactive protein. Pemeriksaan tinja untuk membantu penentuan
apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Dua petanda
antibodi spesifik penyakit crohn telah diketahui antibodi tersebut adalah
perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antineutrophil
cytoplasmic antibodies (ANCA). Antibodi pANCA ditemukan 60-80% pada
kolitis ulseratif. Sedangkan antibodi ANCA ditemukan 76% pada kolitis
ulseratif(2).
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto abdomen polos adalah penunjang yang berguna untuk pencitraan pada
kasus kolitis ulseratif onset akut. Pada kasus yang parah, gambar mungkin
menunjukkan dilatasi kolon, menunjukkan megakolon toksik, bukti perforasi,
obstruksi, atau ileus. Pencitraan radiografi memiliki peran penting dalam
pemeriksaan pasien dengan dugaan IBD dan dalam diferensiasi kolitis ulseratif
dan penyakit Crohn. Karena kemampuannya untuk menggambarkan detail
mukosa yang bagus, pemeriksaan barium enema kontras ganda adalah teknik
yang sangat berharga untuk mendiagnosis kolitis ulseratfi dan penyakit Crohn,
bahkan pada pasien dengan penyakit dini. Secara tradisional, pemeriksaan barium
enema telah menjadi andalan penyelidikan radiologis untuk kolitis ulseratif yang
dicurigai(8).
USG transabdominal adalah suatu modalitas noninvasif yang dapat
membantu dalam diagnosis IBD, namun tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara kolitis ulserativa dan penyakit Crohn. USG transabdominal
juga merupakan teknik yang berguna dalam penyelidikan komplikasi penyakit
empedu(8).
Umumnya, CT memiliki peran terbatas dalam diagnosis kolitis ulserativa
yang tidak rumit. Namun, CT memainkan peran penting dalam diagnosis banding
kolitis ulserativa, dan ini adalah modalitas yang sangat baik dalam diagnosis
komplikasi yang terkait dengan penyakit ini. Dilatasi bilier menunjukkan primary
sclerosing cholangitis. Studi pencitraan cross-sectional seperti CT, MRI, dan USG

13
transabdominal berguna untuk menunjukkan efek dari kondisi ini di dinding usus
dan untuk menunjukkan abses intra-abdomen dan temuan ekstraluminal lainnya
pada pasien dengan penyakit yang lebih lanjut(8).
1. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen sering menghasilkan informasi bermanfaat yang
dapat menjadi panduan untuk evaluasi dan pencitraan klinis. Pola gas
intraluminal dapat menunjukkan pseudopolyposis dan ulkus yang dalam.
Kolon mungkin tampak memendek, dengan hilangnya haustra kolon yang
terkait. Megakolon toksik adalah komplikasi kolitis ulseratif. Radiografi
abdomen polos mungkin menunjukkan dilatasi kolon yang terkait dengan
kontraksi mukosa abnormal. Dilatasi paling menonjol di kolon transversal.
Perforasi kolon adalah komplikasi lain dari kolitis ulseratif. Perforasi dapat
terjadi dengan atau megakolon toksik. Pneumoperitoneum yang terkait
dengan perforasi kolon biasanya masif. Sisa tinja mungkin tidak ada dalam
usus yang meradang(8).
Penebalan lipatan haustra yang simetris bisa menghasilkan
thumbprinting apperance. Pseudopolip adalah akibat dari penyakit mukosa
yang parah, mereka muncul sebagai multiple filling defect dengan berbagai
ukuran. Ini bisa berkembang dengan cepat, dan mereka cenderung bertahan,
bahkan saat kolitis ulseratif berlangsung lama. Kadang-kadang, membentuk
mucosal bridges diantara pseudopolip, yang dapat dibuktikan secara
radiologis(8).

14
Gambar 2. Foto polos abdomen pasien dengan kolitis ulseratif yang disertai
nyeri perut, peritonisme, dan leukositosis. Pada operasi, megacolon toksik
pada kolitis ulseratif dikonfirmasi(8).

Gambar 3. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif yang
mengalami eksaserbasi akut(8).

15
Gambar 4. Foto polos abdomen pada anak berusia 26 tahun dengan riwayat
kolitis ulseratif 10 tahun menunjukkan penyempitan pada kolon descendens(8).

Gambar 5. Seorang pasien wanita berusia 32 tahun dengan kolitis ulserativa


yang menderita sakit perut dan diare berdarah. Pada foto polos abdomen
menggambarkan thumbprinting (panah putih) yang menandakan edema
dinding usus besar(5).
2. Barium enema
Penemuan yang didapatkan pemeriksaan barium enema bervariasi
dengan stadium dan tingkat keparahan penyakit. Perubahan radiografi
mungkin melibatkan keseluruhan usus besar; Bila penyakitnya bersifat

16
segmental, kolon kiri biasanya terlibat. Kolon mungkin tampak menyempit.
Penyempitan semacam itu sering dikaitkan dengan pengisian yang tidak
lengkap yang disebabkan oleh spasme kolon dan iritabilitas(8).
Perubahan mukosa dini paling baik digambarkan pada studi barium
enema double contrast. Sebelum ulkus muncul memberikan gambaran edema
mukosa dan granular appearance. Ketika ulkus mukosa terbentuk dan
konfluen, mukosa digantikan oleh jaringan granulasi. Pada pemeriksaan
enema double contrast gambaran khasnya granular kasar(8).
Pada fase akut dan subakut dari penyakit ini, ulkus bisa memiliki bentuk
yang bervariasi yaitu collar-button ulcer terjadi dengan merusak ulkus,
double-tracking ulcer arahnya longitudinal dan kadang-kadang beberapa
sentimeter panjangnya(8).

Gambar 6. Studi barium enema double contrast menunjukkan perubahan


penyakit dini(8).

17
Gambar 7. Studi barium enema double contrast menunjukkan adanya
perubahan pada penyakit dini. Perhatikan mukosa granular(8).

Gambar 8. Studi barium enema double contrast pada pria 44 tahun yang
memiliki riwayat kolitis ulseratif. Gambar menunjukkan total kolitis dan
pseudopolyposis luas(8).

18
Gambar 9. Studi barium enema double contrast menunjukkan
pseudopolyposis pada kolon descendens(8).

Gambar 10. Studi barium enema single contrast pada pasien (pasien yang
sama seperti pada gambar sebelumnya) dengan kolitis ulseratif dalam remisi
menunjukkan striktur sigmoid jinak(8).

19
Gambar 11. Studi enema single contrast dengan kolitis total menunjukkan
ulkus mukosa dengan berbagai bentuk, dengan collar-botton ulcers terjadi
dengan merusak ulkus, dan ulkus double-tracking dimana ulkus berorientasi
longitudinal(8).

Gambar 12. Studi barium enema double contrast menunjukkan kolitis total.
Perhatikan mukosa granular di caecum/colon ascendens dan multiple striktur
di kolon transversal dan descendens pada pasien dengan riwayat kolitis
ulseratif lebih dari 20 tahun(8).

20
Gambar 13. Studi barium enema single contrast menunjukkan kolitis
ulseratif(8).

Gambar 14. Pada barium enema double contrast menggambarkan mukosa


granular pada pasien dengan kolitis ulseratif aktif(5)

3. CT-Scan
Dengan meningkatnya penggunaan CT-Scan sebagai modalitas
pencitraan utama untuk mengevaluasi penyakit usus inflamasi (IBD), ahli

21
radiologi harus dapat mengenali ciri kolitis ulserativa pada CT-Scan.
Meskipun studi barium enema tetap menjadi alat utama untuk mendiagnosis
dan mengevaluasi dugaan IBD, CT-Scan dapat membantu dalam
membedakan kolitis ulserativa dan penyakit Crohn ketika hasil studi barium
tidak jelas. Pencitraan tipis dengan resolusi tinggi dari komponen intraluminal
dan ekstraluminal memungkinkan ahli radiologi mendeteksi dan melakukan
patologi kolon(8).
CT-Scan sangat berharga untuk deteksi dan karakteristik kolitis ulseratif.
CT-scan biasanya menunjukkan penebalan dinding simetris. Penebalan
dinding usus besar (rata-rata, 7,8 mm; standar deviasi, 1,9) mungkin muncul
dengan inhomogeneous attenuating, a target appearance pada rektum, dan
proliferasi lemak perirectal. Dinding kolon normal memiliki ketebalan
maksimal 3 mm dengan lumen membesar dan 5 mm dengan lumen roboh.
Sebagai perbandingan, penyakit crohn dengan colitis menyebabkan penebalan
dinding usus lebih besar (rata-rata, 11 mm; standar deviasi, 5.1). Penebalan
tersebut muncul bersamaan dengan redaman homogen, pembentukan fistula
dan abses, dan kelainan mesenterika(8).
Kolitis ulseratif biasanya berdampingan atau difusi. Pada kasus kolitis
ulserativa, penebalan dinding bisa menyebar dan simetris. Sebaliknya, dalam
kasus penyakit Crohn, penebalan dinding bersifat eksentrik dan segmental,
dan ada skip lesions. Proliferasi lemak perirectal adalah tanda nonspesifik
yang dapat dilihat mana saja. Munculnya endapan lemak submukosa secara
signifikan lebih sering pada kolitis ulseratif (61%) dibandingkan kolitis Crohn
(8%)(8).

22
Gambar 15. Seorang pasien wanita berusia 32 tahun dengan kolitis ulserativa
yang menderita sakit perut dan diare berdarah. CT-Scan menunjukkan udara
bebas (panah putih) dan penebalan dinding usus besar (panah putih) (5).

Gambar 16. CT enterography pada wanita berusia 55 tahun dengan kolitis


ulseratif pancolonis. Panah putih menyoroti daerah dengan penebalan dan
peningkatan dinding(5).

4. MRI
Beberapa temuan MRI untuk peradangan usus aktif telah dilaporkan pada
pasien kolitis ulseratif. Penyakit kolon aktif ringan dapat menunjukkan
penebalan dinding kolon yang halus dan berkurangnya distensibilitas.
Penyakit sedang sampai berat dapat menunjukkan penebalan dinding usus,
edema mural, ulserasi, kehilangan haustra, hyperenhancement mural,
membesar vasa recta dan kelenjar getah bening pericolonic membesar.
Peningkatan penyakit kronis telah digambarkan sebagai akibat hilangnya

23
haustra, kontur halus, penyempitan tubular, kekakuan dan proliferasi lemak
yang terbatas pada ruang perirectal yang melebar(5).

Gambar 17. Enterografi resonansi magnetik pada pria berusia 24 tahun dengan
kolitis ulseratif. Penebalan dinding kolon (panah putih) dan
hyperenhancement pada usus besar kanan(5).

Gambar 18. Enterografi resonansi magnetik pada pria berusia 24 tahun dengan
kolitis ulseratif. Pembengkakan dari pericolonic vasa recta (panah putih)
dengan penebalan dinding kolon dan hyperenhancement pada kolon
sigmoid(5).

5. ENDOSKOPI
Diagnosis kolitis ulseratif paling baik dilakukan dengan endoskopi.
Secara endoskopi, kolitis ulserativa ditandai dengan mukosa eritematosa
abnormal, dengan atau tanpa ulserasi, mulai dari rektum hingga bagian atau

24
seluruh usus besar. Pendarahan kontak juga dapat diamati, dengan lendir yang
teridentifikasi di dalam lumen usus. Biopsi mukosa dianjurkan untuk
mengidentifikasi tingkat penyakit sehubungan dengan ketebalan dinding usus.
Temuan pada kolonoskopi dengan biopsi mengkonfirmasi diagnosis. Selain
itu, ini berguna untuk mendokumentasikan tingkat penyakit, untuk memantau
aktivitas penyakit, dan untuk pengawasan displasia atau kanker. Namun,
berhati-hatilah dalam upaya kolonoskopi dengan biopsi pada pasien dengan
penyakit berat karena kemungkinan risiko perforasi atau komplikasi lainnya.
Meskipun kolonoskopi prosedur yang relatif aman, tingkat perforasi lebih
tinggi pada pasien dengan kolitis berat(2).

Gambar 19. Kolitis ulseratif seperti yang divisualisasikan dengan kolonoskopi(1).

6. ULTRASONOGRAFI
Pada kolitis ulseratif terjadi penebalan dinding usus, mukosa echogenic,
haustra hilang, terjadi penurunan ekogenisitas dan penyempitan luminal
ketebalan dinding tidak begitu besar, rata-rata 7,8 mm. Perforasi lokal dapat
menyebabkan pembentukan abses. Sedangkan pada penyakit crohn, seluruh
dinding usus tebal menebal, semua lapisan terlibat dengan edema, fibrosis,
radang, dan limfangiektasis. Pada ultrasonografi, dindingnya jelas menebal,
hypoechoic, dan homogen pada awalnya, namun bisa menjadi tidak homogen
karena pengendapan lemak. Anatomi berlapis dinding usus dan haustra

25
hilang. Usus menjadi kaku, dengan kompresibilitas dan peristaltik berkurang.
Diameter dinding kira-kira 13 mm(8).
7. Angiografi
Angiografi adalah alat yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi
perdarahan dari usus besar akibat kolitis ulserativa dan penyebab lainnya.
Tsuchiya dan rekan melakukan angiografi mesenterika superior dan inferior
superior pada 25 pasien dengan kolitis ulserativa. Perubahan vaskular pada
pembuluh darah besar, seperti peningkatan diameter arteri mesenterika
inferior, ditemukan berkorelasi lebih baik dengan tingkat keparahan atau
aktivitas penyakit. Namun, dalam beberapa kasus, perubahan mikrosirkulasi
pembuluh darah kecil dari dinding usus (minsalnya hilangnya lekukan normal
vasa recta)(8).
VIII. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS RADIOLOGI
Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding kolitis
ulseratif antara lain
1. Penyakit crohn
Pada pemeriksaan barium enema dengan double contrast, penyakit
crohn awal ditandai oleh ulkus aphthoid yang sering terpisah dengan usus
yang normal dan membentuk skip lesions. Sebaliknya, kolitis ulseratif dini
ditandai dengan penampilan granular pada pemeriksaan kontras ganda
akibat edema dan hiperemia pada mukosa(4).
CT-Scan merupakan prosedur radiologis pertama yang dilakukan pada
pasien dengan gejala akut dan curiga penyakit crohn. Kemampuan untuk
langsung menunjukkan dinding usus, organ perut disekitarnya,
mesenterium, dan retroperitoneum membuat CT-scan lebih unggul dari studi
barium dalam mendiagnosis komplikasi penyakit Crohn. CT-scan langsung
mendemonstrasikan penebalan dinding usus, edema mesenterika, dan
limfadenopati, serta phlegmon dan abses(4).

26
Ultrasonografi dapat menjadi alternatif untuk CT-scan dalam
mengevaluasi manifestasi intraluminal dan extraluminal penyakit rohn.
Dinding GI normal menggambarkan 5 lapisan echogenic dan hypoechoic
yang konsentris. Dinding GI memiliki ketebalan rata-rata kurang dari 5 mm.
Dalam kasus penyakit Crohn aktif, ketebalan dinding dapat berkisar dari 5
mm sampai 2 cm dengan hilangnya layering sebagian atau total, yang
mencerminkan edema transmural, peradangan, atau fibrosis. Pada inflamasi
yang parah, dinding tampak hipoechoic difus dengan garis hyperechoic
sentral dengan lumen yang menyempit. Peristalsis berkurang atau tidak ada,
dan hilangnya haustra(4).

Gambar 20. Penyakit Crohn. Studi barium enema kontras dua menunjukkan
adanya ulserasi, inflamasi, dan penyempitan kolon ascendens(4).

Gambar 21. Penyakit Crohn. Radang usus kecil aktif. CT scan menunjukkan
penebalan dinding usus kecil, inflamasi mesenterika, dan adenopati
mesenterika(4)

27
Gambar 22. Penyakit Crohn pada ileum terminal dengan korelasi CT dan
sonografi. Perhatikan penebalan dinding hypoechoic, hilangnya the gut
signature, dan garis hyperechoic pada lumen yang menyempit(4).
2. Kanker kolon
Pemeriksaan ultrasonography pada tumor kolon primer biasanya
muncul sebagai echo-poor mass dengan hyperechoic di sentral , yang
dikenal sebagai target sign. Temuan lainnya meliputi penebalan dinding
usus tidak teratur lokal, kontur yang tidak teratur, dan kurangnya
peristaltik(12).
Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada tumor kolon gambaran
bervariasi jenis morfologinya yaitu polipoid, annular, atau datar. Munculnya
tumor kolon pada barium enema kontras ganda menggambarkan lesi
polipoid bervariasi dari tumor kecil dan halus ke massa lobulasi yang lebih
besar dengan permukaan yang tidak beraturan dan kelainan bentuk kontur.
Lesi ulserasi yang lebih besar dan lebih tidak teratur cenderung mengandung
karsinoma. Lesi annular terjadi akibat massa tidak beraturan dan melingkar
yang sangat menyempitkan lumen usus dengan tepi yang menjorok, disebut
“apple-core" lesion. Lipatan mukosa di segmen yang menyempit hancur,
bisa terdapat ulserasi(12).
CT scan (termasuk multidetector computed tomography [MDCT] dan
CT colonography) digunakan sebagai tambahan dalam skrining untuk

28
karsinoma usus besar, sebelum melakukan operasi, untuk menilai dan
stadium penyakit, dan untuk mendeteksi adanya metastasis jauh(12).

Gambar 23. Karsinoma annular di kolon asendens dan splenic flexure(12).

Gambar 24. Gambaran endoskopi lesi cecal menunjukkan lesi melingkar


lumen sempit dengan ulserasi(12).

29
Gambar 25. Ultrasonografi Lobus kanan hepar yang menunjukkan
metastasis hyperechoic besar dari kanker usus besar(12).
IX. PENATALAKSANAAN

Fokus utama rencana terapeutik adalah upaya penghambatan proses inflamasi


jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD adalah
mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi, mencegah
peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin dan mengobati
serta mencegah komplikasi. Namun tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas
endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan terutama pada lini
kesehatan primer. Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir jika
medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya
perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi
maligna ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada kolitis ulseratif(5).

1. Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg
per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama penyakit crohn. Sedangkan untuk kolitis ulseratif, jarang diberi terapi

30
antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen
proinflamasi disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri
intraluminal bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun
mereka masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel
intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi
dan meningkatkan produksi interleukin 10. Pemberian probiotik seperti
laktobasilus berperan dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan
endoskopis pada pasien pasca kolektomi(5).
2. Pengobatan Radang Aktif
Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD
bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam
amino salisilat(5).
a. Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat
pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif.
Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednisone dan metilprednisolon
masih menjadi primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang
luas. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison. Namun, jangan
dilupakan efek sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang
tinggi pada dinding usus namun dengan efek sistemik yang rendah.
Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi
biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian diikuti dengan
penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga
tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian
dosis ditapering off 2.5 mg per minggu(5).
b. Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih
disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski
efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam

31
bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria
500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari4
meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3
gram per hari.1 Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu yang
kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3
gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan
mesalazin supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus berat, biasanya
tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA(5).
3. Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat
individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-
obatan(5).
Indikasi untuk operasi mendesak meliputi:
1. Megacolon toksik tahan terhadap manajemen medis.
2. Serangan Fulminant tidak tahan terhadap manajemen medis.
3. Pendarahan kolon yang tidak terkontrol(1).

Indikasi untuk operasi elektif meliputi:

1. Ketergantungan steroid jangka panjang.


2. Displasia atau adenokarsinoma ditemukan pada biopsi skrining.
3. Penyakit hadir 7-10 tahun(1).

Pilihan bedah meliputi hal berikut :

1. Total kolektomi (panproctocolectomy) dan ileostomy.


2. Total kolektomi.
3. Rekonstruksi kantong Ileoanal atau anastomosis ileorektal.
4. Dalam keadaan darurat, colectomy subtotal dengan end-ileostomy(1).

32
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perdarahan, perforasi, striktur, dan fistula,
megakolon toksin dan keganasan(9).
XI. PROGNOSIS

Inflammatory bowel disease biasanya ditandai oleh adanya periode eksaserbasi


dan remisi. Hanya 1% penderita penyakit crohn yang tidak mengalami kekambuhan
setelah diagnosis dan pengobatan awal. Terdapat risiko berkembangnya kanker pada
penyakit usus kronis yang risikonya sama antara penyakit crohn dan kolitis
ulseratif(11).

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Basson, M, D. Ulcerative Colitis. 2017.


http://emedicine.medscape.com/article/183084-overviewAccessed on 2018,
Januari 24.
2. Basson, M, D. Ulcerative Colitis Workup. 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/138034-overviewAccessed on 2018,
Januari 24.
3. Chandra, S., Maroellus S. 2014. Management of Inflammatory Bowel Disease.
Journal. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
4. Chen, Y, S. Imaging in Crohn Disease. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/375166-overviewAccessed on 2018,
Januari 29.
5. Deepak, P., David H, B. 2014. Radiographycal Evaluation of Ulceration Colitis.
Journal. Division of Gastroenterology and Hepatology, Mayo Clinic College of
Medicine, Rochester MN, USA. Amerika. Hal. 169-177.
6. Firmansyah, M, A. 2013. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan
Inflammatory Bowel Disease. Jurnal. PPDS Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Indonesia. Vol.40. No.4. Hal.247-252
7. Kapoor, V, K. Colon Anatomy. 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/1949039-overviewAccessed on 2018,
Januari 24
8. Khan, A, N. Ulcerative Colitis Imaging. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/375166-overviewAccessed on 2018,
Januari 29
9. Kornbluth, A., Sachar, D, B. 2004. Ulcerative Colitis Practice Guidelines In
Adults (Update): American College of Gastroenterology, Practice Parameters
Committee. Journal. The Henry D Janowitz Division of gastroenterology, The

34
Department of Medicine, Mount Sinai School of Medicine; and The Practice
Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. America.
Hal. 1371-1385.
10. Rowe, W, A. Inflammatory Bowel Disease. 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/179037-overviewAccessed on 2018,
Januari 24.
11. Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. Indonesia. Hal. 688-693.
12. Taylor, C, R. Colon Cancer Imaging. 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/179037-praticeAccessed on 2018, Januari
25
13. Yosi, D, S, Salwan, H. 2014. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak. Jurnal.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
RS Moh Hoesin. Palembang. Indonesia. Hal 158-163.

35

Anda mungkin juga menyukai