Makalah Akhir Anestesi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Atresia ani atau anus imperforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah suatu
kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, termasuk Agenesis ani,
Agenesis rekti dan Atresia rekti. Insiden 1 : 5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai
penyakit tersering yang merupakan syndrom VACTRERL ( Vertebra, Anal, Cardial,
Esofageal, Renal, Limb).

Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada
anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi
gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus
akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan
yang cermat atau pemeriksaan perineum.

Kelainan kongenital pada anus ini biasanya disebabkan karena putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam
kandungan berusia 12 minggu /3 bulan, dan adanya gangguan atau berhentinya
perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis,
yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu :
a. Hipnotik, hilang kesadaran
b. Analgetik, hilang perasaan sakit
c. Relaksan, relaksasi otot-otot

2.2 Anestesi Umum


Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana hilangnya
kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat pemberian obat-
obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat diberikan secara intravena,
inhalasi dan intramuskular.
Indikasi anestesi umum :
 Pada bayi dan anak-anak
 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh ahli bedah
walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

2
Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :
a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O, Halotan, Enfluran,
Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori menggunakan sungkup muka,
Endotrakeal tube nafas spontan, Endotrakeal tube nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal
dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-anestesi.


Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani
suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:5
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya
alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar sangat penting
untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang sebaiknya
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di atas 50 tahun sebaiknya
dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.

3
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :5
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk ditransplantasi.
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau IIE.

2.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi rasa sakit
 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
 Menurunkan basal metabolisme tubuh

Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan keadaan umum
pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam sebelumnya atau per oral 2 jam
sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi jika
anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat yang banyak
digunakan:

4
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler

- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler

Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler

- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, Dewasa

1,5 mg/kgbb intramuskuler

- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral


Anak
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb

Vagolitik antisialagog ue: - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau

intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg

Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan

2 jam sebelum operasi

- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi

- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum induksi anastesi


Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab untuk
pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah apakah pasien
sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum sekurang-kurangnya 6 jam
sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi
anastesi pada operasi darurat, lambung mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan
buatlah pasien relaks sebisa mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan
berpengalaman. Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.

Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi, karena
keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar hal-hal yang harus
diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering digunakan.

5
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan baik. Jika kita
menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang digunakan dan silinder
cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung dengan tepat tanpa ada yang bocor,
hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan
aman. Jika kita tidak yakin dengan sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi
dimatikan). Periksalah fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi
kesalahan aliran gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap.
Kita juga harus yakin bahwa pasien berbaring pada meja atau kereta dorong yang
dapat diatur dengan cepat ke dalam posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak
atau muntah. Persiapkan obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan
yakinkan bahwa obat itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi,
yakinkan aliran infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.

2.4 Induksi Anestesi


Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Sebelum memulai induksi
anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk
persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:
 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau
daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan
balon (cuffed).
 A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal
airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah
tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

6
 I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering
menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedative seperti
midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan
darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anesthesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20 – 50
mg / kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

Induksi Intamuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular dengan
dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

7
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat
anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan
anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal ini terjadi,
bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-anak yang takut pada
jarum.

2.5 Intubasi Endotrakeal


Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang
terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu
memberikan anestesi secara inhalasi.5

Gambar 2.1: Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal :


1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan tak ada
ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol

8
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan pengisian cuffnya
dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord2

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :


 Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang cukup
 Posisi kepala dan leher yang tepat
 Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :


a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena
penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi
dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka
untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff
supaya tidak bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Gambar 2.2: Endotracheal Tube

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

9
b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat yang
digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop :
 Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
 Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.3: Laringoskop

10
Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi.
Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu didasarkan pada
visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:
 Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas
 Grade II :Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

Gambar 2.4: Grade Mallampati

Kesulitan dalam teknik intubasi:


 Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
 Mandibula yang menonjol.
 Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
 Kesulitan membuka mulut
 Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
 Gerak sendi temporo – mandibular terbatas
 Gerak vertebra servikal terbatas.

11
Komplikasi pada intubasi endotrakeal :
 Memar & oedem laring
 Strech injury
 Non specific granuloma larynx
 Stenosis trakea
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi, spasme bronkus

2.6 Obat-Obat Anestesi Umum


Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:
I. Gas Anestesi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah
N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.Mekanisme kerja obat anestetik
inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi misteri dalam farmakologi modern.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:
1. N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen minimal 25%. Gas ini
bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan,
maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan
terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen
100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas, maka
sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan merupakan
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan tahapan anestesi dilalui
dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Pada napas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang
tentunya disesuaikan dengan klinis pasien.

12
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan
pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10
menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi.Tanda
untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi
napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak
terhadap oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat absorben
dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser khusus untuk
desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat
jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas,
sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen
anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi
inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8%
sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari
tubuh.

II. Obat-obat Anestesi Intravena


Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang diberikan dengan
cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena7.
A. Hipnosis
1. Golongan barbiturat (pentotal)
 Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya cepat
(30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya
habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan
kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.

13
 Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai induksi
diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20 detik
(untuk orang dewasa).
2. Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,
potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak
menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi. Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan
kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam :
induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.
3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya diberikan lidokain 1-2
mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kgBB.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan kerja singkat.
Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan neurotransmitter
eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya sangat
kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak
menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.
Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM. Anestesi dengan
ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang
sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering
disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan
tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit,
analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

14
B. Analgetik
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak
begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah
pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan
ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin
dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada
waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2
mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yamg diperlukan.
2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid sintetik dari
kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Fentanyl banyak
digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih
singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan
relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada
morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien
tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg
BB.

15
C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)
Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien secara
intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari otot-otot rangka
dan memudahkan dilakukannya operasi.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot tidak
dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Yang
termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2 mg/kgBB IV.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tak dapat bekerja.

Dosis (mg/kgBB) Durasi (menit)


Long Acting
1. D-tubokurarin 0,4-0,6 30-60
2. Pankuronium 0,08-0,12 30-60
3. Metakurin 0,2-0,4 40-60
4. Pipekuronium 0,05-0,12 40-60
5. Doksakurium 0,02-0,08 45-60
6. Alkurium 0,15-0,3 40-60
Intermediate Acting
1. Gallamin 4-6 30-60
2. Atrakurium 0,5-0,6 20-45
3. Vekuronium 0,1-0,2 25-45
4. Rokuronium 0,6-1,2 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
Short Acting
1. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
2. Ropacuronium 1,5-2 15-30

16
2.7 Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi baik dari anestesi
umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau, unit perawatan pasca
anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit).
Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat
pemulihan. Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi
pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang
berlanjut.
Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan saat yang paling berbahaya bagi
pasien. Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah
bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernapasan. Nyeri pada luka
khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas, akan menghambat pasien untuk
mengambil napas dalam atau batuk. Ini dapat menyebabkan berkembangnya infeksi di dada
atau kolaps dasar paru dengan hipoksia lebih lanjut. Pasien yg masih belum sadar betul,
sebaiknya dibaringkan dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah
benar-benar sadar, biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar.
Oksigen harus selalu diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yg menjalani
operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk memberikan oksigen selama masa
pemulihan adalah melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1 L/menit, yang akan menghasilkan
udara inspirasi dengan konsistensi oksigen 30-40%. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya
opium, berikan dosis pertama secara intravena, sehingga anda dapat menghitung dosis yg
diperlukan untuk melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi
pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan secara
intramuskular.

Tempat pemulihan
Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu sendiri, dimana
semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi tersedia. Akan tetapi
biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga kamar operasi dapat dibersihkan
dan digunakan untuk operasi berikutnya. Ruang pemulihan harus bersih, dekat dengan kamar
operasi sehingga anda bisa cepat melihat pasien bila terjadi sesuatu. Alat penghisap harus
selalu tersedia, juga oksigen dan peralatan resusitasi. Pasien yang tidak sadar jangan dikirim
ke bangsal.

17
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan penilaian
pemulihan pasca anestesi. Salah satunya berdasarkan Aldrete Score.

Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi Dapat Tidak dapat
baik dibangunkan dibangunkan
Warna Merah muda Pucat kehitaman, Sianosis, dengan
(pink), tanpa O2, perlu O2, O2 SaO2 tetap
SaO2 92% SaO2>90% <90%
Aktivitas 4 ekstremitas 2 ekstremitas Tidak ada
bergerak bergerak ekstremitas
bergerak
Respirasi Dapat bernapas Napas dangkal Apnue atau
dalam Sesak napas obstruksi
Batuk
Kardiovaskular Tekanan darah Berubah 20-30 % Berubah >50%
berubah <20%

Kriteria pindah dari unit perawatan pasca anestesi jika nilai 9 atau 10.

18
BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi

Istilah atresia ani memiliki beberapa defenisi dari para ahli, Yaitu :
a. Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan trepsis
yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan
tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.
b. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).
c. Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna, 2003).
d. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
e. Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
f. memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Jadi atresia ani adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang
untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.

B. Klasifikasi Jenis
Klasifikasi atresia ani, yaitu :
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
d. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
e. Anus imperforata dan ujung rektum buntu terletak pada berbagai jarak dari peritoneum.

19
f. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rektum yang buntu.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi, yaitu :
a. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung rectum buntu sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

>Klasifikasi menurut letaknya :


a. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan
jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm.

C. Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber
yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan

pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

20
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar
panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif
yang menjadi penyebab atresia ani.
e. Genetik dan abnormalitas kromosom
f. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.

D. Faktor Predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :
a. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
b. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

E. Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik,
sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan
struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-
10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar
yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga
intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas hingga daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.

F. Tanda Gejala

Tanda dan gejala yang sering timbul, yaitu :

21
a. Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium.
Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
b. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
c. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung
kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
d. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran. (Suriadi,2001).
e. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
f. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
g. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir.
h. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
i. Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula
j. Bila ada fistula pada perineum(mekoneum +) kemungkinan letak rendah
k. Bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal,
pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)

G. Komplikasi

 Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.


 Obstruksi intestinal
 Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.(Betz, 2002)

H. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

22
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari
setelah lahir. Kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through"
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini
dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan
bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai
BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB
berkurang frekuensinya dan agak padat.
d. Dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau speculum
e. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada
anus yang baru pada kelainan tipe dua.
f. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada
masa neonates.
g. Melakukan pembedahan rekonstruktif ;
1. Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)
2. Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
3. Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
h. Penanganan pasca operasi :
1. Memberikan antibiotic secara iv selama 3 hari
2. Memberikan salep antibiotika selama 8-10 hari

2. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :


a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen

23
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

c. Ultrasound terhadap abdomen


Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari
adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

f. Pemeriksaan fisik rektum


Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bias digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus
urinarius.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Atresia anus artinya anus tidak ada atau tidak berada pada tempatnya.Atresia anus
merupakan kelainan dalam perkembangan bayi saat masih dalam kandungan, penyebabnya
tidak diketahui, tetapi diduga factor genetic sedikit berperanan.diagnosis dibuat segera setelah
bayi dilahirkan (rutinitas/SOP, dimana tiap bayi baru lahir diperiksa anusnya ada atau
tidak,trsumbat atau tidak.
Namun demikian terjadi juga keadaan ini tidak terdeteksi, dan baru diketahui setelah
bayi tidak bias BAB dan terlihat gejala sumbatan diusus. Untuk memastikan jenis atresia dan
posisinya pastinya, dilakukan pemeriksaan ronsen plus zat kontras. MRI atau CT Scan dan
juga bisa menentukan jenis dan ukuran atresia.
Tindakan pembedahan merupakan satu-satunya cara pengobatan atresia ani. Yaitu berupa
membuat saluran darurat di dinding perut bayi (colostomy) untuk menyalurkan feses,
beberapa bulan kemudian baru dipindahkan ke bagian anusnya.

Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap operasi.


Pemeriksaan pra anastesi ini memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantipasinya.

Pada makalah ini menyajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum Open Cholesistectomi
pasien perempuan, usia 62 tahun, status fisik ASA III, dengan diagnosis Cholelithiasis dan
menggunakan teknik General Anesthesia EndoTracheal Tube (GA-ETT).

Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien post operasi
di ruang 21, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi
dan saturasi oksigen.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anastesi berlangsung dengan baik
meskipun ada hal-hal yang perlu diperhatikan.

B. Saran-saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta wawasan
pembaca. Selanjutnya kami pembuat makalah mengharapkan kritik dan saran pembaca demi
kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Sudarti.2010. KELAINAN DAN PENYAKIT PADA BAYI DA ANAK.YOGYAKARTA : Nuha

Medika

Muslihatun, Wafi Nur. 2010. ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA.Yogyakarta :

Fitramaya

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-babii.pdf

http://dokteryudabedah.com/atresia-ani-bayi-lahir-tanpa-anus/

http://sufyannanank.blogspot.com/2012/11/atresia-anus.html

http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/

26

Anda mungkin juga menyukai